Data buku kumpulan puisi
Judul : Jendela Jadikan Sajak
Penulis : Frans
Nadjira
Cetakan : I, April 2003
Penerbit : Padma, Yogyakarta.
Tebal : 104 halaman (44 puisi)
Sampul dan isi: Aris
Sunandar
Pengantar 1: Arif B.
Prasetyo
Pengantar 2: Thomas M.
Hunter Jr. (diterjemahkan oleh M. Bundhowi)
Jendela Jadikan Sajak terdiri atas 2 bagian, yaitu Jendela (23 sajak) dan Jadikan Sajak (21 sajak)
Beberapa pilihan puisi Frans Nadjira dalam Jendela
Ngigau
Gemerisik hujankah itu atau
sesuatu yang jahat mengintai
dari atap seng menaburkan pilu
mencabuti tali-tali transfusi?
Aku tak senang cara kau memandangku
dan berniat bersembunyi di balik punggungku.
Beri aku air, beri aku
api
kuda liar dan kelewang
para nabi.
Lihat,
tanganku
bagai tanah
perawan-perawan menari di
atasnya.
Lihat,
ringannya
melayang bagai kapas
menjadi biri-biri dan
gembala-gembala
gembala-gembala tanah
biri-biri kapas.
Aku tanah
Rohku kapas.
Selamat
Jalan I Gusti Nyoman Lempad
Untuk kali terakhir
kata menjengukmu
karena kata cuma milikku:
“Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak.”
Di suatu desa ada sumber air panas
menjangan-menjangan berkumpul di sana
Termangu. Mengapa angin pagi ini terasa
liar. Ini bukan tarian biasa. Ia membelit
ia melilit. Seperti berobah perangainya.
Langitpun jatuh. Melekat
seperti kaki-kaki gurita. Dukaku
memeluk lengan-lengan menjangan
yang bernyanyi perlahan:
“Kubuatkan ayunan lengkung
cahaya
di kaki langit. Kami yang
nampak
karena lahir. Matahari
silam, topeng-topeng
buatkan kami nyanyian untuk
berangkat.”
Karena kata cuma milikku
Kujenguk kau dengan kata:
“Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak.”
Musium
Pada rak ke dua
Lemari museum
terletak tengkorak.
Jalan menganga di mata
lobang hidung. Burung-burung
bersarang dalam karang.
Sambil menyucut jari
pemuda itu menghapus
uap di kaca
Tengkorak itu bermata kini!
Seluruh hidupnya
terpancar dalam mata itu.
Maka ia mendengar tangis
jauh di dalam rahim. Kemudian
suara-suara orang menggali di reruntuhan
candi yang sunyi.
Sejarah manusia
berakhir dalam lemari.
Nyurup
Yang datang padamu
malam ini
dari jauh, menambatkan
kudanya
di halaman sementara
anak-anak
mengumpulkan roh-roh
di antara kerikil.
Apa perlumu
apa maksudmu memanggil
Opo malam-malam?
Seseorang di beranda
menawarkan burung-burung
berkalung bunga
ketika Opo masuk
Diakah yang telah
meniupkan
mantera-mantera hitam
di atas
kepalamu dan
muncul dalam mimpimu
berpakaian koyak-koyak
berujud perempuan yang
kemalaman di jalan dan
orang menutup
pintu-pintu baginya?
Jangan kasih dia masuk
Bodoh! Cucu-cucu yang
bodoh!
Kamu orang bakar
kemenyan bulu ayam
taruh di muka pintu
ukup di mana tangga
dia bisa naik
sebar asap di setiap
lobang
di mana dia bisa
masuk.
Kamu orang jangan kasi
dia sajen.
Ingat asal tanah
Ingat asal air.
Apa guna menggantung
duabelas jimat dari rotan
duabelas jintan hitam
duabelas jumlah bulan
menjaga dalam setahun?
Yang datang padamu
malam ini
dari jauh, menambatkan
kudanya
di halaman sementara
anak-anak
mengumpulkan roh-roh
di antara kerikil.
Hei,
Kalian yang di Bawah
Seperti kalian kami pun
bergerak
di bawah langit. Kami memiliki kediaman
pancang arah angin di atas bukit
pucuk-pucuk daun dalam cahaya. Cuma kami
tiada membutuhkan air untuk pesawahan, sebab
kami dalam cahaya, bergetar di udara yang
mengalir, muncul dari dalam keheningan,
pusat dari tiada, tempat semua bakal kembali
di mana tak lagi menyusup hawa nafsu, yang
dihembuskan lewat bilik hati yang lain.
Hei, kalian yang di bawah
yang hidup
dalam jasad yang hidup dalam api:
Seekor burung tak lagi dapat menelan
air liurnya, tak lagi dapat mengepakkan
sayapnya. Karena kekal menelan tanpa liur
Mengepak tanpa sayap.
Tengah
Malam
Mustahil aku tidur
selama anak-anak itu di sini
memainkan bayang tubuhnya
gepeng seperti wayang
Berapa lama kau mengatur
semua
ini?
Udara memang lewat di atas Nias. Pun
depan dapur yang lama dingin
(dengan mata ikan koki
orang-orang busung merangkak
menjerit
elang dan potongan-potongan awan
menyerbu ke arahnya)
Tutup auratmu!
Tapi orang-orang itu merangkak ke dadaku
bagaimana aku dapat menenteramkan hatiku?
Laut surut menghirup airnya sendiri
Semangka busuk menghempas dirinya
karena tak kuasa menyamai
bulatan bulan. Warna
berangkai
bersusun jadi tangga.
Naiklah, pakai tangga itu. Orang-orang
yang meminta hujan, kita bermain bayang
Anak-anak telah menyediakan dirinya
jadi wayang
Kau dalang
Jendela
Geser sedikit tirai
itu
agar cahaya matahari
dapat langsung
masuk ke dalam kamarku
sebab biasanya
ia pada saat-saat seperti
ini akan
bermain-main di atas
tempat tidurku
menyibakkan gaunku
dan dengan kekurang
ajaran yang kusukai
ia akan mengintai ke
dalam
celah pahaku mungkin
merenung sejenak sebelum
bertanya:
“Kehidupan bagaimanakah yang
akan lahir dari tempat ini?”
Karena itu tolong
geser sedikit
tirai itu biar ia
masuk sebelum
Bidan itu datang.
Beberapa pilihan puisi Frans Nadjira dalam Jadikan
Sajak
Jadikan
Sajak
dengar desir
air
dengar sihir nyiur
kelepak sayap kelelawar…
Senyap itu bertangan.
Jangan lelap.
Malam dengan sedikit
sinar tipis di tepinya
siap menjemputmu.
Cahaya darimu
Tercipta dari sumber
Yang memisahkan garam
dari laut
Mengembalikan air ke
sifat cairnya.
Bangkit, ulurkan
tanganmu pada ranting
angin dingin. Lebur
jiwamu
jadi beringas laut
jadi pisau api
yang kau pandang jika
duka
Yang kau genggam jika
marah. Ayo, ke laut!
Pandang beringasnya
dengan paham
Genggam ganasnya
dengan diam: Jadikan sajak!
Pidato
Seorang Mahasiswa di Makam Pahlawan
Puasa kesabaranku usai
sudah.
Sampai ke batas. Di
depan pintu-pintu bisu
Berjuta mata menatap Berjuta mulut meratap
Tangan menggenggam
tangan mengeras di udara.
Negeri ini sedang
gering
Sebuah singgasana
Menggigil di dahi
orang-orang miskin
Yang menatap Yang
meratap
Tak ada pilihan lain
Setelah kemarau panjang
Sungai-sungai
mengering tohor dan kotor
Dengan kepatuhan
seribu burung beo
Bayangan meloncat
Dari tahun ke tahun
ringan dan bebal
Melingkar seperti ular
berlendir
Memeluk singgasana
lagu senja hari
Maka tak ada pilihan
lain Spanduk dukaku
Dan puasa kesabaranku Kulepas ke angkasa
Menjadi burung gagak
menjadi mata menjadi mulut
Menjadi angin menjadi awan menjadi halilintar
Menjadi kata yang tak
gentar mengucapkan yang benar.
Sebab seperti lazimnya
Hari-hari berlalu
Dan dengan setetes darahku
Bunga bangkai tumbuh
mekar di taman bulan maret.
Tanpa hirau bahwa
sesungguhnya aku kuat
Karena aku kayu besi
yang tumbuh di antara
Orang-orang berliur
cuka
Yang setiap tahun
mengenangmu
Dengan air mata
Larut bersama embun
jadi kelopak
Wangi bunga melati
Menjadi terang bintang
menyinari batu nisanmu
Menjadi saksi
kunang-kunang di malam dingin
Duka adalah pedang
yang makan sampai kenyang.
Pergilah ke daerah
lapar berlayar tanpa laut
Ambil tempat di
barisan paling depan
Tempat senyapmu Rebah tanpa keluh
Sebelum aku datang
bersama lahar
Mengalir jadi bencana
seperti belalang bara
Dalam urat darah
negeri ini
Sebelum derap kuku
kuda-kudaku
Merobek malam
Seperti kalian
orang-orang gagah perkasa
Yang turun dari
puncak-puncak gunung
Berdiri di tepi hutan Ingatkan mereka!
Berjuta mata menatap Berjuta mulut berharap
Tangan menggenggam
tangan mengeras di udara
Menyala bagai tembikar
di pembakaran
Pahlawan orang-orang
tertindas
Terimalah pidato malam
larutku.
Ya
Allah, Mereka Berperang
Ya Allah, mereka
berperang
Mereka bertempur.
Pucuk manis bunga kurmaku
gugur tertebas
sayap-sayap elang timah. Bum!
Desing angin pasir
Berpusing menerbangkan
panas ke angkasa
Sukma teluk telusuri
kembali awal asalmu
Setiap lekuk Tepi air
Mengalir dalam darahmu Dalam sumsumku
Langit bercermin di
laut dalam. Mana wajah mentari.
Engkau janjikan
daratan luas
Tempat anakmu bermain
di pangkuan
hangat bumi. Bumi kita
tempat berteduh
lebah-lebah kasih.
Mana payung yang
kembang di cerah cuaca
Yang tangkainya kita
pegang bersama
Mana sampan yang hilir
di madu sungai
Yang dayungnya kita
genggam bersama. Bulan
Lingkar cahayamu tak
lagi menjadi kalung langit.
Gunung, tulang,
lengking angkasa
kapan akhir pedih ini?
Di lembah mana
kau sembunyikan
anak-anak kami
yang lepas dari susu
ibunya. Sungai kering
kehidupan yang
batu-batunya berbenturan
menghantam langit
memadamkan cahaya
bintang
Ya Allah, mereka
berperang. Siapa yang tersisa
Menghitung
kunang-kunang di antara bau anyir
malam. Bau kerang yang
kulitnya terbuka menganga.
Dan pada lambaian
terakhir tangan-tangan pucat
Embun menciptakan
aroma manis kurma
Yang tak lagi
ditemukan tempat tumbuhnya
Sepeda
Anak-anak di Halaman
Tersandar pada pohon
sepeda anak-anak di
halaman.
Bekas tapak,
sobekan potret
keluarga
sepasang anjing tanah
berputar berkejaran
dekat roda yang patah
Malaikat semalam
membuat boneka-boneka
tikus dari kertas.
Hujan pertama
di sudut percuma
menampiknya. Melati
bunga mungil itu basah
dekat roda
yang patah di mana
sepasang anjing tanah
meletakkan kotorannya.
Sepeda tersandar di
halaman: tiada bersayap.
Sungai
Mississippi
1
“Mesin, berikan kartu
nasibku hari ini”
kataku sejam lalu
sewaktu menekan tombol
sebuah kotak
Tapi yang meluncur ke
luar
sebuah kapal es krim.
Begitu sempurna.
Dengan kapal itu, kini
kulayari Mississippi. Sesat
di antara penumpang lain
yang tak kukenal. Bercakap
campur aduk
mabuk
semaput
saling beradu gelas
bayangan mereka tindih menindih dalam kaca:
“Minum,
ini anggur dari cairan otak orang Indian!”
Minum, baru sejam lalu aku meminta
kartu nasibku pada sebuah kotak es krim
Wajahku yang aneh menempel pucat di kaca
awal
musim dingin
Menempel pucat di daun yang terhimpit
di bawah sepatu seorang tua
yang meludah seenaknya
di tepi jalan di taman-taman. Awal musim dingin
Belahan
bumi yang lain
Cuaca yang lain. Mengapa bumi tak rata
agar matahari dapat membagi cahayanya?
Baru sejam lalu aku menginginkan kartu nasibku
Setelah makan kenyang. Setelah membanggakan
Borobudur
yang kini sedang dipugar pada seorang komunis
yang
sinis
Setelah melihat daun rontok terseret sepanjang
jalan.
Mississippi, masa lalu adalah kawah bawah laut
Dan anggur tak akan mampu mengusir rasa takut.
2
You’re crazy! Tapi kita sama saja
tak paham diri sendiri
menolak menerimanya
berlari
ke halaman suatu senja, berdiri
mengangakan mulut ke langit
meramal gelagat cuaca
memandang ke dua garis asap melengkung jingga:
orang-orang
berangkat
entah
tiba atau tidak
Namaku Mark Twain. Aslinya: Samuel Clemens.
Kau?
Aku? Baru sejam lalu aku bicara dengan
seseorang
tentang Borobudur. Tentang bumi yang tak ceper.
Tentang
mereka yang lahir di suatu tempat tapi tak lagi
memiliki
tempat. Tentang salju dan angin puyuh. Tentang
roh,
kelahiran, nasib dan kematian. Tentang diriku
yang retak
bagian dalamnya dan selalu menjenguk ke luar.
Sebab inginku
lahir sebagai gunung
yang dapat menghancurkan tubuhnya
dan setiap pecahan menjadi kristal api.
Atau
jadi RASA mengalir dalam udara
meniup
ke paru-paru
berkata hirup yang dalam
Hirup Hirup
Lalu
mereka pun hidup.
Jadi
aku yang memberi hidup
Aku
yang meniupkan roh
Aku
yang menyeberang di siang lengang
menyapa
bayang-bayang
yang
setia mengikut raga.
Tapi nyatanya
Aku tak pernah tahu
kapan aku akan lahir dari rahim yang mana
Dan begini jadi
orang yang sukar
akrab dengan diri sendiri. Yes, I’m crazy
memang
but I’m not a suicidal person.
“Tapi kau belum menyebutkan namamu”
Sajak Bonsai Memandang Pagi
Jadi apa makna bercak darah?
Tirai tembus pandang bergetar dalam cahaya
ketika dingin menyentuh kemilau embun.
Ia ingat jejak mawar dan semua yang pernah
menyapanya. Ia ingat:
Potret
mempelai dalam pakaian adat
Seperei
dengan tulisan tangan
tak
terbaca. Ah.
Perkawinan.
Akar pohon kerdil.
Yang sengaja dikerdilkan
Beringin kecil dekat jendela.
Sesudah sarang merpati, pemandangan menjadi
biasa dengan akar-akar kerdil dan ikan hias
Dan ia membasuh tangannya dengan wajah bahagia
Serta segala yang pantas diperlihatkan
Pohon yang Tinggi Dekat dengan Bulan
Bulan. Jembatan basah
Pohon dari hutan
rebah
menghubungkan tepi impian
Rindu kita. Suatu saat.
pohon tua di taman
yang
telah ditinggalkan
tepi
daun peraknya
dan malam ajaib burung merpati
berdiri di sisi ranjang
bersama orang-orang yang kita cintai:
Yang bertubuh kurus matanya
seperti
bintang rontok
Yang tak bertubuh membisikkan
kata-kata
hiburan mirip dengung
suara
lalat di sumur dalam
Sumur Alzheimer. Dan surat-surat simpati
yang ditulis dengan jari di jendela dingin.
Kasihku
Bila saat itu tiba, ah
Pohon yang tinggi dekat dengan bulan
Dan tepi impian rindu kita
Membentang jalan ke titik paling terang
Paling terang Paling
terang
Barnett Newman, Siapa yang Takut pada Warna?
Dengan sekali sentakan
tulisan di tembok kusam subway
melar seperti permen karet:
“Setiap
orang ada harganya.”
Tapi tak ada yang ingin pergi. Di atas
terlalu banyak angin. Dingin sekali.
Segala sesuatu menuju
ke
satu titik rahasia
Tak ada yang hilang. New York, bilang
pada anak marah yang lenyap di kabut
musim
dingin;
Suatu malam kusaksikan salju pertama
yang lembut jatuh ke rerumputan di Iowa
Di
malam yang sama
Di
bawah langit yang sama
kudengar bunyi tembakan di tamanmu
Di bawah cahaya lampu yang sejuk
orang berkerumun memandang ke luka menganga.
Tak seorang mengenalnya. Hanya kertas koran
dan bangku taman terbungkus bau gas.
Barnett Newman, siapa yang takut pada warna?
Terkadang kita kalah dan tak tahu mengapa.
Tak tahu mengapa aku merasa terancam
Graffiti yang melintas cepat di kaca buram.
Bukan warna. Mata perempuan kurus itu.
Yang
bahunya melengkung
Lengannya
kecil pipih
Tergantung lunglai di bahu suaminya:
“Kami sepasang camar
dari muara sungai Hudson
tiang lancip kapal tua
berlabuh di teluk
menanti matahari terbenam.
Kamu dari negeri kaya, orang Iran kah?
Mereka mencarimu. Jika kamu pintar
Sembunyi saja di bawah bangku.
Dingin menancap ke seluruh ruangan
Tak ada pintu terbuka.
Aku menggigil. Bukan warna.
Kaca matanya yang retak sebelah
meleleh menetes ke wajah suaminya
membangunkannya dari tidur masa lalunya.
Seorang
veteran perang Vietnam
Lapar.
Beringas.
Musuh mengepungnya lewat udara
yang mengalir sepanjang terowongan.
Dengan lahap ia kunyah setiap benda.
Mengamuk. Dari jarinya menghambur
peluru menghancurkan tank musuh.
Aku kejang. Sendiri tanpa bentuk.
Siapa yang takut pada warna?
Seorang pelukis menggores langit
dengan
kuasnya
kemudian
jumawa.
Seorang veteran dengan segenggam tanda jasa
adalah
ancaman
adalah
bayonet
Adalah deru kereta api bawah tanah
bermuatan remah roti di malam hampa
Sajak Kampuchea
Satu garis lagi
Selesailah gambar mata air ini
Di mana pintu gua yang sering kumasuki ketika
Masa kanakku? Jalan naik tertimbun daun sulit
membedakannya
dari lumut. Tapi kuyakin getaran
lemah
itu suara camar-camar haus mempertengkarkan
setetes
air. Tak seekor akan kembali, sahabatku.
Muntahlah,
keluarkan peluru yang ada dalam mulutmu.
Bumi
panas tapi tak cukup untuk menetaskan sebutir telur.
Satu baris lagi
Selesailah sajak air mata ini.
Tentang Frans Nadjira
Frans Nadjira lahir di Makassar, 3 September 1942. Sempat kuliah di
Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) selama berapa bulan, merasa kurang dapat
ilham, memilih untuk mengembara mengelilingi hampir seluruh kepualauan
Indonesia dan Filipina. Sempat jadi kuli pelabuhan dan penebang pohon besar di
rimba Kalimantan Utara. Cerpen pertama terbit tahun 1961-1962 di majalah Warta
Dunia (Jakarta). Lukisan pertama timbul di muka umum tahun 1970 di Taman Ismail
Marzuki pada pameran yang bertajuk Tujuh
Belas Pelukis Muda Jakarta. Sempat pula di Medan selama 2 tahun sebelum
menetap di Bali tahun 1974. Tahun 1979 mengikuti International Writing Program
di Universitas Iowa, AS.
Kumpulan puisinya, Jendela (1979), Springs of Fire, Spring of Tear (bilingual edisi,
dengan translator Thomas H. Hunter Jr, 1998). Kumpulan cerpennya: Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun-daun
(2003). Sebenarnya ada lagi
kumpulan puisi FN yang tak tercatat di buku ini, karena terbit selepas tahun
2003, yaitu Curriculum Vitae (Bali,
2007). Informasi ini didapat dari resensi Riki Dhamparan Putra terhadap buku
tersebut di jurnal rumahlebah #1/2009.
Catatan
Lain
Arif B. Prasetyo menulis di satu paragraf: “ Dengan berbagai cara, puisi Frans tampak
menunjukkan obsesi terhadap pelbagai misteri kehidupan di sekitar problem
eksistensial yang merundung kemanusiaan, baik manusia sebagai pribadi maupun
umat. Sejumlah besar puisi Frans, terutama dari periode penciptaan yang awal,
amat pekat dengan perenungan tentang maut – momok dan problem eksistensial
terbesar manusia, sesuatu yang sejak dahulu kala terus menerus mengusik pikiran
manusia dan telah melahirkan tak terhitung mitologi, seni dan filsafat.”
(hlm. 10)
Di bagian lain tertulis: “Sejumlah puisi mutakhir Frans bahkan menunjukkan kecenderungan ke arah
‘protes’, dengan bahasa yang lugas dan mementingkan pesan/amanat berdimensi sosial-politik.”
(hlm. 13). Nah, masalahnya puisi-puisi di buku ini tak memiliki tanggal
penciptaan. Jadi, hanya menebak-nebak mana yang dari periode awal, mana yang
mutakhir.
Saya suka gaya nulisnya. Sudah dapet bukunya juga di bazar buku di Solo bulan kemaren.
BalasHapusSalam :)