Minggu, 01 Maret 2015

Ahmad Nurullah: SETELAH HARI KEENAM




Data buku kumpulan puisi

Judul : Setelah Hari Keenam
Penulis : Ahmad Nurullah
Cetakan : I, Agustus 2011
Penerbit : Cakra Books, Jakarta.
Tebal : x + 114 halaman; 13 x 19,5 cm (50 puisi)
ISBN : 978-979-3456-30-0
Prakata : Ahmad Nurullah
Tata letak : Imam Saptaji
Rencana Sampul : Sides Sudyarto DS
Lukisan : Albrecht Durer, Adam and Eve (1504)

Beberapa pilihan puisi Ahmad Nurullah dalam Setelah Hari Keenam

Tuhan Para Pelaut

Tuhanku adalah Tuhan para penjelajah:
mereka yang menampik ketenangan
sebagai hadiah –
Tuhan badai, gelombang, angin puyuh
Tuhan para pemberani, dan para penemu

Tuhannya orang-orang yang bertanya,
dan merayakan kegelisahan
sebagai sebuah pintu
untuk berangkat:
Tuhan para pelaut
Tuhan para penakluk

Tapi, Tuhanku juga Tuhan rembulan,
matahari, bintang-bintang, yang bersinar –
tanpa berisik. Tuhan yang tidak minta dicari,
tapi ditemukan. Di dalam sukmamu:
sehabis melepas jangkar,
dan membuang sauh.

Jakarta, 2005



Perkampungan Ilahi

Berjalan di halaman perkampungan Ilahi
Butiran mimpi yang tercecer hanyalah debu
Tak ada tawa tak ada airmata
Cuma seulas senyum yang gemetar
Melekat pada cuaca yang tergenang

Roh-roh tenggelam di lambung jam. Terpejam
Seperti burung-burung purba menclok
di ranting-ranting senja yang putih

Tak ada gunung tak ada jurang
Tanah mengental tanpa jarak
Seperti sebutir atom dalam ketinggian yang rapat
Sebelum awal waktu penciptaan
Sebelum meledak dan terburai jadi bintang-bintang

Tanah bukit lembah surut ke titik nihil
Antara nol dan minus yang panjang
Bagai barisan molekul berlari di dalam air
tanpa gelas. Bagai darahmerah darahputih mengalir
tanpa jasad

Di perkampungan Ilahi
Tak ada lagi kebisingan
Kecuali nyanyian

Jakarta, 1989


Setelah Hari Keenam

Jika bumi, langit, dan seisinya dicipta selama
enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
sebelum hari pertama, dan jauh setelah
hari keenam? “Aku tak hendak mengatakan:
Tuhan adalah pengangguran,” katamu.

Aku coba tersenyum. Pedih. Lalu tengadah—
Bulan malas merekah. Langit irit bintang.

Pada malam dingin di sebuah negeri berkabut
awal November tahun ini, entah:
telah berapa jauh waktu berlalu
Berapa jauh jaraknya dari hari keenam—
usai penciptaan.

Pada hari puncak itu, “Setelah segala air di bawah langit
berkumpul pada satu tempat”, dan menjelma lautan,
dan Tuhan mengalungkan nama pada tanah kering
itu
“darat”, Ia melihat: “Semuanya itu baik”. Baik.

Tapi, tak tahukah Ia: apa yang akan terjadi
sesudah itu, jauh setelah hari keenam?
Apa lagi yang akan terjadi, misalnya:
setelah Semanggi, Sambas, Aceh, atau Jimbaran?

Malam larut. Bumi redup. Langit memercikkan gerimis
Sebentar lagi mungkin hujan akan mengguyur
kota-kota. Detik ini, apa yang dilakukan Tuhan?

Aku tak tahu. Seperti aku tak tahu nasibku,
dan nasib anak-anakku
esok, di negeri ini
setelah semua tangisku berakhir, dan kapalku berangkat
dalam debu.

Jakarta, 2005


Bersyukurlah Kau Tidak Lahir dari Hujan
- Untuk Orang yang Tak Ada

Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan, sebab
langit tetap lebih teduh dibanding semua rumah
yang terpacak di bumi.

Bukan, bukan soal di sini tak ada surga
tetapi di sini terlalu banyak neraka
bahkan di kamar tidurmu
.

Bumi ini, yang mewarisi pengetahuan pertama dari
darah Habil, bukan saja kampung yang kumuh,
tapi juga pedih
.

Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan
Jangan! sebab kulitmu terlalu halus untuk setiap
debu dan kotoran. Untuk semua mimpi dan harum bangkai
Bersyukurlah, dan jangan sekali-kali bermimpi
untuk datang
.

Kubayangkan: di langit
rohmu bening
bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis
oleh benda-benda, oleh pelbagai cuaca
. Oleh airmata.

Bersyukurlah kau jadi orang yang tak ada
Bertahanlah terus untuk tak ada
Tak pernah ada!

Jakarta, 2003


Batu yang Bernyanyi
– mengenang Bunda Teresa

”Tuhan,” katamu,bersahabat dengan diam
Bunga tumbuh tanpa kata. Bulan bergerak,
tanpa berisik.”

Maka, menyeberang dari kata,
dari gemuruh dan tempik sorak,
dari kasak-kusuk dan teriak,
aku pun melangkah
ke dalam diam:
 
Kesunyian tumbuh
jadi kata. Diam mengembang
jadi bahasa.

Bumi terus berputar, tanpa derak.
Waktu mengalir, tanpa
gericik.
Dan
, dalam diam,
pepohonan menggeliat,
batu-batu bernyanyi.
Rerumput tumbuh, tanpa bunyi.
Embun lindap, seperti pencuri
diam-diam datang
merayakan pagi.

Bunda,bagaimana harus kudengar suara badai,
misalnya di Aceh?

Jakarta, 2005


Burung-burung Bersarang di dalam Sajakku

Itulah peristiwa paling penting yang amat menentukan
jalan hidupku. Mengekalkan takdirku. Yakni:
Pada suatu sore, ketika kugubah sepotong sajak,
dan kupacak sederet citraan pohon di sepanjang
tepi sungai, dari luar jendela burung-burung berhambur
dan membangun sarang di situ. Di dalam sajakku.

Seketika kehidupan di tepi sungai itu ramai
Pepohonan bergegas tumbuh. Juga rerumput, semak,
belukar. Sepanjang hari burung-burung itu nyaring
berkicau. Menyuapi anak-anak mereka yang
bercericit riang: menagih ulat dan biji-bijian.

Waktu bergerak. Kehidupan di dalam sajakku mekar
Sungai itu deras mengalir. Airnya yang bening
bergericik ramai. Berdentang, bagai musik orkestral –
merayakan kemurnian hidup dan keasrian hutan

Dari sebuah titik di cakrawala, sungai itu tampak
melengkung – menipis di kejauhan,
lalu mematahkan ekornya di batas kertas
Di jeramnya ikan-ikan bertelur, berbiak –
mengasuh anak-anak mereka yang berenang-renang
di rongga-rongga batu cadas

Sunyi. Seperti di pagi-pagi kemarin
matahari menyembul di ujung lanskap
Semburat cahayanya yang merah
melumuri pinggang gunung, ladang, persawahan –
menguak perbukitan.

Jauh di kaki cakrawala,
rombongan satwa berbaris:
jerapah, pelanduk, zebra
Gadis-gadis kecil berlari-lari riang
Mereka anak-anak petani, agaknya –
penduduk asli yang tinggal di ujung desa.

Muak hidup berkerubung kabut di negeriku,
aku pun pergi – mengungsi ke dalam sajakku:
kawin, dan berbiak,
dan aku malas pulang
Sampai sekarang.

Jakarta, 2005


Homo Textualis

Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi kali,
selokan, parit-parit, yang mengalir
dalam tubuhmu. Kupelajari segala jenis kerikil,
batu-batu; biji-biji emas, dan ikan-ikannya

Tetapi, sungguh engkaukah itu
Sungguh kaukah yang berdiri tersenyum
di dalam waktu?

Mungkin bukan. Mungkin kau cuma bayang-bayang
pikiranku. Kususun dari rasa-rasaku

Kau hasil rajutan sebuah pikiran
Kau percik perasaan.

“Hallo! Kaukah itu. Sungguh kaukah yang berdiri
di depan pintu?” Kau yang baik, kau yang dungu?
Kau yang suci, yang berdebu? Mungkin bukan.

Kau angin yang berdesir, air yang bergerak,
kau batu yang berjalan
dalam diam: Kau tak bulat
. Kau tak selesai.

Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi danau,
rawa-rawa, parit-parit, yang bergericik
dalam tubuhmu.

Tapi, kadang kau tak ada
Kau cuma jejak.

Jakarta, 2005


Menimang Sejarah, Menangisi Airmata
—Kepada Orang Lain

1
Sungguh adakah cinta, jika perang adalah fakta,
dan darah adalah sejarah?

Kadang aku berpikir:
Mungkin kita tercipta
dari keisengan. Kala bumi kuyup
Udara menggigil. Dan malam
sesaat jadi biru.

Di bawah hujan, kota-kota lelap
Dan, seperti di hari-hari kemarin,
sepasang api purba bertumbuk, meledak,
dan terbakar. Dan kau:
di luar keinginanmu, jatuh
pada seliang rahim yang basah
dengan kepala kuyup oleh api
dengan kening basah
oleh mimpi.

2
Di bangku dasar kaureguk pengetahuan pertama:
Perang meletus sejak di sebuah lembah
di rahim: Ketika bermiliar ekor serangga berenang
dan berburu mahkota
di kepala putik bunga
Ketika kau cuma seharga anak nyamuk
tersisip di tengah gelombang massa.
Dan kau saling menikam
Dan kita terlibat di dalamnya
Dan kitalah pemenang. Kitalah pembunuh
Dan hidup bermula dari pembunuhan.

3
Lalu ibumu mengerang
Dan kau: sang pemenang itu
melompat ke dalam waktu. Debu tumbuh,
dan berbunga. Tanah berbuah: sejarah


Tentang Kain yang tangannya kuyup darah
Tentang Hitler yang mengamuk di Eropa
Tentang pesta peluru di Lebanon,
Afghanistan – Timur Tengah
Tentang perang etnik di Yugoslavia
Tentang pembantaian massal di Tiananmen
Tentang Semanggi, Ambon, Aceh, Irian Jaya,
Timor Leste. Tentang kita. Tentang kita.

4
Sungguh adakah cinta, jika perang
adalah fakta, dan darah
adalah sejarah?

Kau meludah: “Campakkan saja mimpimu
tentang cinta. Mari, perang yang lain
kita mulai. Seperti dulu. Ketika kita
berebut mahkota di kepala putik bunga
Sebelum kita sendiri mengerti
asamnya darah
pedasnya airmata.”

(Lalu kau terisak:
“Ibu, maafkanlah atas kelancanganku.”)

Jakarta, 1999


Mitologi Kata

Di dalam kata-katamu yang indah
kutemukan sarang ular: ia melingkar
mengerami telur-telurnya
di bawah sisik-sisiknya yang berkilau
bak permata

Bila di Taman Firdaus zaman Adam
ular gemar melingkar di batang pohon khuldi
Sekarang ular punya tempat sembunyi lebih nyaman:
kata-kata

Sebab, lebih licin dibanding pohon khuldi
kata bisa menjelma apa saja:
Hari ini seonggok sarung
Besok baju tentara

“Apa kabar, Kawan?” tanyanya, ceria
Aku tersenyum. “Baik,” jawabku
Diam-diam aku menyusup ke dalam kata-katanya:
Astaga! Ada jutaan ular melingkar di situ

Usai Waktu Penciptaan
Kata-kata telah bergeser dari peran dasarnya:
Ia bukan lagi Perawan Suci yang bertugas
menggendong Alam Semesta.

Jakarta, 2003


Nota Bulan Desember
Catatan  Akhir Tahun

Tak perlu kuucapkan
selamat tinggal pada detik terakhir
bulan Desember, dan
selamat datang untuk detik
awal Januari. Untuk apa? Segala waktu sama. Waktu
adalah sumbu semua sejarah, ibu segala kepedihan.

Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin. Tapi,
di antara detik-detik yang gugur, bulan-bulan membusuk,
hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal yang
masih lengket—berkecamuk dalam kenangan:

Tanah meledak, kota-kota terbakar; AIDS, flu burung,
demam berdarah, busung lapar; BBM melonjak,
harga-harga menjerat leher
, juga laut yang mendadak gila,
menghancurkan jadwal-jadwal—
menculik seluruh isi kota.

Tapi waktu tak peduli. Waktu terus berjalan, mengusung
detak-detaknya, diam-diam—
menyembunyikan wajahnya di balik
paras bulan merekah, atau matahari bersinar
Membungkus rahasianya dengan siang, dengan malam:
Waktu adalah siluman yang pandai menyamar.

“Selamat Tahun Baru,” katamu, menyeringai.
Selamat tahun baru? Untuk apa?

Seperti waktu, aku pun terus berjalan: gelisah oleh tatapan
mata bulan. Gemetar di bawah kerling
matahari. Sebab, gara-gara waktu,
banyak hal berdesak untuk diingat,
dan aku berjuang untuk lupa—sebagai jalan
pembebasanku.

Jakarta, 2006


Pada Tapal Batas Waktu
Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi besok
– Horatius

Tapi, kita selalu langgar petuah itu. Kita terus melangkah:
membaca, bertanya, menduga-duga:
Apa yang akan terjadi, besok?
Akan turun hujankah di hari pengantinmu,
Kamis depan?

Saat kau terjaga dari tidur, adakah rumahmu
masih utuh terpacak? Akan membuncit lagikah
perut istrimu, akan beranak lagikah anjingmu,
tahun depan? Dua hari lagi
suamimu pasti studi di Holland?

“Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi besok
Jangan mencari tahu apa yang akan terjadi
di masa depan”

Tapi, siapa tak mau mencari tahu
apa yang akan terjadi, besok – di negeri ini,
di hari-hari depan? Usai makan di sebuah kafe,
adakah tubuhmu masih bulat, meja dan kursi
masih tegak, dan kepalamu masih setia
tinggal pada lehermu yang jenjang?

“Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi,
besok. Besok adalah rahasia waktu. Masa depan
adalah daerah Tuhan.”

Tapi, kita terus langgar petuah itu, dengan berani:
dengan kaki, dengan tangan. Dengan degup jiwa,
dengan segenap kesadaran. Sebab,
sejak tangis pertama pecah,
sejak popok dibalutkan,
besok tak dapat dihindar
Masa depan tak terelakkan.

“Tapi, apa yang akan terjadi, besok?”

Bulan bergerak. Detik-detik terus berguguran. Tapi
kita tak henti melangkah. Tapi kita
tak kunjung berhasil meraih jawab
Sampai, pada tapal batas waktu,
kita jera bertanya, dan kita tak membantah:
Besok adalah sebuah pintu –
dari mana kita masuk, dan kita tak kembali.

Jakarta, 2006


Selat Kamal: Mengupas Nostalgia
Kita tak mungkin mencebur ke sungai yang sama
– Herakleitos

Tak mungkin, memang. Seperti juga tak mungkin
aku berlayar di laut yang sama. Waktu membawa angin, iklim,
dan ombak yang lain. Meski di langit lintas
matahari yang sama. Seperti dulu: di masa bocahku.

Tapi, melayari Selat Kamal, mengulang
perjalanan yang ngilu: orang-orang berdesak
Juga mobil-mobil, motor,truk; para pedagang telur, rokok,
nasi bungkus – sebelum feri meraung, menggeliat,
lalu berangkat.

Pernah di masa bocah kubayangkan:
Dari langit, pulauku bagaikan seonggok buntut naga
terendam di bawah permukaan air laut:
Jawa tubuh, Sunda kepala, Jakarta urat lehernya
Kampungku: bisul dari sebuah titik di cakrawala

Kini buntut naga itu bergeser
Setelah terpacak Jembatan Suramadu,
yang sempat rubuh. Bukan oleh gempa atau revolusi
Tapi mungkin oleh logam yang ceking, sluf yang tonggos
Semen yang tipis – moral yang keropos.

Selat Kamal sesak kenangan, ramai sejarah,
juga legenda – semacam legenda:
Tentang Adirasa – adik Jokotole – yang mengantar pusarnya
Ke Majapahit, di abad yang jauh: sumber timah panas
Perekat engsel gerbangnya yang angkuh dan keramat.

Juga saat Trunojoyo menangkap firasat, mungkin
tanpa firasat. Sebelum sekerat hatinya jadi santapan lezat
para penghuni kaputren, dan segenap warga Kartasura
Sebelum jenazahnya dibiarkan tergeletak
di kaki tangga istana. Tanpa upacara. Tanpa doa-doa.

Selat Kamal sibuk dengan impian para perantau:
Rombongan pedagang dan nelayan menyeberang
Lalu terdampar dan berbiak di bibir timur Tanah Jawa
Mengusung ragam adat, dan kata-kata
Juga logat, dan panas darah. Panas darah?

Para calon TKW bermimpi hujan rial di Tanah Arab
Seraya diam-diam mengerling Mekkah. Atau
abang sate menyusun rumah idaman dari
kepulan asap, nyala bara, tetes keringat. Atau…

Selat Kamal. Telah berapa kali kulayari
Dan kutinggalkan engkau, Ayah? Ibu?

Kapal feri mengerang, menggeliat
Membawaku pergi, menjangkau masa depan
Sebelum akhirnya aku terdampar
di negeri kata-kata: sebuah negeri yang kurus,
dan tak seharum pesta.

“Tapi demi kemerdekaanku,
tak ada alasan untuk menangis, Ayah, Ibu.”

Jakarta, 2004


Barito
– catatan perjalanan

1
Di tengah kelucak sungai Murung-Barito
Di tengah guncangan riam lawang haring
Ada sisa kenangan yang tercecer:
sepanjang Teluk Jolo
sampai bibir Desa Tumbang Topus –
secelah kenyataan tentang bagian
dari Tanah Airku:

Gadis-gadis Dayak berjoget
Dalam busana blue jeans dan kaos T-Shirt
Mabok tersihir lagu-lagu dangdut yang berdetak
lewat corong tape recorder

Dunia cuma seluas antena parabola
Terpacak tak jauh dari pantan
tempat rombongan roh melolong
Sebelum upacara purba
mengantar dari bumi ke nirwana.

2
Pedalaman Kalteng adalah dunia yang pecah:
Dadanya tenggelam ke dunia magi. Bersama balian,
kidung randan, tapi japen, dan bahalai:
riasan buah-buahan –
menyambut rombongan tamu agung
dari dunia seberang

Tapi kepalanya gatal melongok dunia luar:
Dunia (“Barat” yang) kebyar? Atau: kemajuan?
Hati-hati matamu mengerling perempuan
Bila tak ingin biji pelirmu tersangkut di pohonan

3
Malam. Di sebuah kamp HPH, di tepi hutan
Di bawah bayangan pemilik modal yang
mencengkeramkan kukunya pada
balok-balok kayu
semayup kudengar tarian magis:
musik Kenyah, kilatan Mandau;
sumpit berlumur getah pohon mistik
atau mungkin racun ular:

Para balian menari
Mantra-mantra disemburkan
buat Ranying Hatalla Langit
Tanah bergerincing
Udara merekah
Keringat mengucur
Bumi menyala.

4
Masihkan hutanku hutan yang dulu?
Air-menitis di celah batu-batu di sepanjang tepi sungai
Suatu saat mungkin mengering
Direguk waktu: bumi yang gelenyar
bersolek pembangunan?
Tak ada jawaban. Hanya gerusuh angin
Menyisir kesunyian hutan.

5
Milik siapakah bulan di langit, Saudaraku?
Para Nihin, Abdul, dan Joseph berangkul tangan
Melantunkan nyanyian hutan yan tak tumbuh lagi dari
tanah leluhur: Bersama anjing, babi,
bangkui, dan beruang. Bersama
Sang Dewa yang liat berakar.

6
Pagi. “Simbur, simbur! Simbur, simbur!”
Gadis-gadis Dayak menabur air dari pelipis sungai
Seolah hendak berkata, “Selamat jalan, Saudaraku!
Kapan mampir lagi di tanah kami?”

Sungai berkelucak
Daratan mulai menjauh
Di bawah matahari pagi,
daun-daun merbau jatuh
Hutan sunyi. Burung-burung sepi
Perahu bergegas –
membawa kami pergi.

7
Tak ada yang istimewa, agaknya. Tapi,
ada yang layak dicatat:
di sebuah kawasan yang jauh,
ternyata ada juga orang berbahagia. Bukti
bahwa bumi sabar mengasuh segala yang ada:
yang kecil, ganjil, sederhana
Meski, bukan tak bermakna.

Jakarta, 1995


Di Tebing Waktu: Meditasi

Sebelum jagat raya diciptakan,
apa yang dilakukan Tuhan?

Sunyi. Di teras: waktu merayap
Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang.
Di jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku
Mungkin juga di hatimu

Aku teringat Stephen. Ia melompat dari
bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda
Merogoh lubang hitam
Meng
emas lagi bangkai bintang-bintang
yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.

Sebelum jagat raya diciptakan,
apa yang dilakukan Tuhan, Stephen?
Membangun Surga?
Merancang Neraka?
Jauh sebelum ayah dan ibumu berpengantin,
di mana kau ada?

Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit
sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi.
Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila,
katanya.

2
Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang
:
melompat dari bintang ke bintang. Berguling-guling
dari galaksi ke galaksi. Mengintip lubang cacing.
Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.

Di bawah telapak kakiku berhambur
bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai. Seperti
pecahan biji gunduk yang membercaki ruang
Laksana kepingan biji mutiara bersemai
di sudut-sudut waktu.

Lihat, katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya.
Apa arti kau ada?

Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada pertengkaran:
di dekat Tanah Nod,
jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum
Pizarro menemukan Inca. Sebelum Bolivar
menyembul di Tanah Caracas.

3
Menginjak sebutir detik yang nanar,
aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu:
ke bumi.

Ada bom meledak di masjid-masjid. Menggelegar
di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah
menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang pertengkaran,
jauh di sebuah celah bumi yang tua.

Ketika bumi masih sebercak Kata,
apa yang dilakukan Tuhan, Stephen?
Merakit algojo?
Merancang pendeta?
Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba,
besok, di negeri saya?"

Ia, dituntun oleh wataknya,
kembali menyeringai.
Lalu kembali mengajakku berputar:
Berdiri di tebing waktu,
menyapu kemahaluasan ruang:
Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.

Stephen, saya lelah jadi manusia”

Jakarta, 1999


Seseorang Berdiri di Tepi Sajakmu

Seseorang berdiri di tepi sajakmu. Wajahnya sepi,
seperti sebuah kuil terpacak
di lereng bukit. Sepasang matanya kering,
seperti selongsong kulit laba-laba.
“Aku rindu kedamaian,” bisiknya.

Adakah ia seorang pertapa?

Ia tertegun: memandang kata-kata berbaris.
Atau menikung, seperti rel kereta api membelah
tanah desa. Atau berkeriap,
seperti lampu-lampu di tengah kota
di sebuah negeri yang redup
Negeri yang jalan-jalannya berputar. Atau melintir,
seperti rambut sebuah suku tua yang telah punah.

Adakah di sana terbentang kedamaian,
seperti ia impikan?

Agak ragu ia melangkah
. Masuk:
menyibak kata-kata.
Lalu, dengan terompah butut,
ia pergi keliling kota:
menyaksikan karnaval hari kemerdekaan. Atau
menonton sirkus. Atau ikut menyisip ke tengah
arak-arakan massa –
sejarah yang menuntut turun harga BBM,
atau kenaikan upah buruh.

Haus, ia minum air mancur di sebuah taman.
Lalu tertidur, sebelum dibangunkan oleh gerimis.
Dua ekor anjing menggigit ujung jubahnya –
sebuah peristiwa yang mendorongnya melompat
ke luar lagi dari sajakmu.

Di luar pagar, pada tapal batas antara
dunia dan kata-kata,
gonggong anjing masih bersahutan
menyembulkan moncongnya dari sederet penanda.

Ia tersengal, menyapu peluh di keningnya, dan berbisik:
“Tak ada kedamaian,” Juga tidak dalam sajakmu.

Jakarta, 2003


Tentang Ahmad Nurullah
Ahmad Nurullah lahir di Sumenep,Madura, 10 November 1964. Menulis puisi, cerpen, esai dan kritik sastra. Karyanya termuat di berbagai media massa dan antologi puisi bersama, al: Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1992), Angkatan 2000 (ed. Korrie Layun Rampan, 2001), Horison Sastra Indonesia (2002). Setelah Hari Keenam (2011) adalah buku kumpulan puisinya yang pertama setelah menjalani proses kepenyairan selama 24 tahun, sejak 1987.


Catatan Lain
Ada tiga nama yang mengisi sampul belakang buku, memberi kesaksian, yaitu Tommy F Awuy, Radhar Panca Dahana, dan Sides Sudyarto DS. Kata Radhar: “Merenungkan hal-hal mendasar tentang manusia, cinta, Tuhan, kesemestaan, dan hidup itu sendiri aalah kerja suci kebudayaan. Tugas itu tak memiliki janji final. Ahmad Nurullah salah satu yang memiliki keberanian mengambil tugas itu – yang selalu kontekstual dan kontemporer. Memasuki antologi puisinya ini, kita seperti memasuki lorong terjauh sekaligus terdekat dari diri kita.”
Pun penyair menulis prakata di bagian awal. Dari prakata itu ketahuan, antara lain bahwa penyair sadar ia bukan penyair yang produktif. Dan itu yang menjadi sebab daftar isi buku kumpulan puisi Setelah Hari Keenam disusun secara alfabetis berdasarkan judul. Kata penyair: “Dengan cara itu saya hendak mengatakan bahwa puisi-puisi yang dihimpun dalam buku ini bukan produk yang lahir secara berkesinambungan, sehingga tidak menuntut pendekatan berdasarkan kronologi tahun penciptaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar