Data buku
kumpulan puisi
Judul
: Setelah Hari Keenam
Penulis : Ahmad
Nurullah
Cetakan
: I, Agustus 2011
Penerbit
: Cakra Books, Jakarta.
Tebal
: x + 114 halaman; 13 x 19,5 cm (50 puisi)
ISBN
: 978-979-3456-30-0
Prakata
: Ahmad Nurullah
Tata
letak : Imam Saptaji
Rencana
Sampul : Sides Sudyarto DS
Lukisan
: Albrecht Durer, Adam and Eve (1504)
Beberapa pilihan puisi Ahmad
Nurullah dalam Setelah Hari Keenam
Tuhan Para
Pelaut
Tuhanku
adalah Tuhan para penjelajah:
mereka
yang menampik ketenangan
sebagai
hadiah –
Tuhan
badai, gelombang, angin puyuh
Tuhan
para pemberani, dan para penemu
Tuhannya
orang-orang yang bertanya,
dan
merayakan kegelisahan
sebagai
sebuah pintu
untuk
berangkat:
Tuhan
para pelaut
Tuhan
para penakluk
Tapi,
Tuhanku juga Tuhan rembulan,
matahari,
bintang-bintang, yang bersinar –
tanpa
berisik. Tuhan yang tidak minta dicari,
tapi
ditemukan. Di dalam sukmamu:
sehabis
melepas jangkar,
dan
membuang sauh.
Jakarta, 2005
Perkampungan
Ilahi
Berjalan
di halaman perkampungan Ilahi
Butiran
mimpi yang tercecer hanyalah debu
Tak
ada tawa tak ada airmata
Cuma
seulas senyum yang gemetar
Melekat
pada cuaca yang tergenang
Roh-roh
tenggelam di lambung jam. Terpejam
Seperti
burung-burung purba menclok
di
ranting-ranting senja yang putih
Tak
ada gunung tak ada jurang
Tanah
mengental tanpa jarak
Seperti
sebutir atom dalam ketinggian yang rapat
Sebelum
awal waktu penciptaan
Sebelum
meledak dan terburai jadi bintang-bintang
Tanah
bukit lembah surut ke titik nihil
Antara
nol dan minus yang panjang
Bagai
barisan molekul berlari di dalam air
tanpa
gelas. Bagai darahmerah darahputih mengalir
tanpa
jasad
Di
perkampungan Ilahi
Tak
ada lagi kebisingan
Kecuali
nyanyian
Jakarta, 1989
Setelah Hari Keenam
Jika bumi, langit, dan seisinya dicipta selama
enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
sebelum hari
pertama, dan jauh setelah
hari keenam? “Aku tak hendak mengatakan:
Tuhan adalah pengangguran,” katamu.
Aku coba tersenyum. Pedih. Lalu tengadah—
Bulan malas merekah. Langit irit bintang.
Pada malam dingin di sebuah negeri berkabut
awal November tahun ini, entah:
telah berapa jauh waktu berlalu
Berapa jauh jaraknya dari hari keenam—
usai penciptaan.
Pada hari puncak itu, “Setelah segala air di bawah langit
berkumpul pada satu tempat”, dan menjelma lautan,
dan Tuhan mengalungkan nama pada tanah kering itu
“darat”, Ia melihat: “Semuanya itu baik”. Baik.
Tapi, tak tahukah Ia: apa yang akan terjadi
sesudah itu, jauh setelah hari keenam?
Apa lagi yang akan terjadi, misalnya:
setelah Semanggi, Sambas, Aceh, atau Jimbaran?
Malam larut. Bumi redup. Langit memercikkan gerimis
Sebentar lagi mungkin hujan akan mengguyur
hari keenam? “Aku tak hendak mengatakan:
Tuhan adalah pengangguran,” katamu.
Aku coba tersenyum. Pedih. Lalu tengadah—
Bulan malas merekah. Langit irit bintang.
Pada malam dingin di sebuah negeri berkabut
awal November tahun ini, entah:
telah berapa jauh waktu berlalu
Berapa jauh jaraknya dari hari keenam—
usai penciptaan.
Pada hari puncak itu, “Setelah segala air di bawah langit
berkumpul pada satu tempat”, dan menjelma lautan,
dan Tuhan mengalungkan nama pada tanah kering itu
“darat”, Ia melihat: “Semuanya itu baik”. Baik.
Tapi, tak tahukah Ia: apa yang akan terjadi
sesudah itu, jauh setelah hari keenam?
Apa lagi yang akan terjadi, misalnya:
setelah Semanggi, Sambas, Aceh, atau Jimbaran?
Malam larut. Bumi redup. Langit memercikkan gerimis
Sebentar lagi mungkin hujan akan mengguyur
kota-kota. Detik ini,
apa yang dilakukan Tuhan?
Aku tak tahu. Seperti aku tak tahu nasibku,
dan nasib anak-anakku – esok, di negeri ini
setelah semua tangisku berakhir, dan kapalku berangkat
dalam debu.
Jakarta, 2005
Aku tak tahu. Seperti aku tak tahu nasibku,
dan nasib anak-anakku – esok, di negeri ini
setelah semua tangisku berakhir, dan kapalku berangkat
dalam debu.
Jakarta, 2005
Bersyukurlah
Kau Tidak Lahir dari Hujan
- Untuk Orang yang Tak Ada
Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan, sebab
langit tetap lebih teduh dibanding semua rumah
- Untuk Orang yang Tak Ada
Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan, sebab
langit tetap lebih teduh dibanding semua rumah
yang terpacak di bumi.
Bukan, bukan soal di sini tak ada surga
tetapi di sini terlalu banyak neraka
bahkan di kamar tidurmu.
Bumi ini, yang mewarisi pengetahuan pertama dari
darah Habil, bukan saja kampung yang kumuh,
tapi juga pedih.
Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan
Jangan! sebab kulitmu terlalu halus untuk setiap
debu dan kotoran. Untuk semua mimpi dan harum bangkai
Bersyukurlah, dan jangan sekali-kali bermimpi
untuk datang.
Bersyukurlah, dan jangan sekali-kali bermimpi
untuk datang.
Kubayangkan: di langit rohmu bening
bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis
oleh benda-benda, oleh pelbagai cuaca. Oleh airmata.
Bersyukurlah kau jadi orang yang tak ada
Bertahanlah terus untuk tak ada
Tak pernah ada!
Jakarta, 2003
Batu yang Bernyanyi
– mengenang
Bunda Teresa
”Tuhan,” katamu, “bersahabat
dengan diam
Bunga tumbuh tanpa kata. Bulan bergerak,
tanpa berisik.”
Maka, menyeberang dari kata,
Maka, menyeberang dari kata,
dari gemuruh dan tempik sorak,
dari kasak-kusuk dan teriak,
dari kasak-kusuk dan teriak,
aku pun melangkah
ke dalam diam:
Kesunyian tumbuh
jadi kata. Diam mengembang
jadi bahasa.
Bumi terus berputar, tanpa derak.
Waktu mengalir, tanpa gericik.
Dan, dalam diam,
Bumi terus berputar, tanpa derak.
Waktu mengalir, tanpa gericik.
Dan, dalam diam,
pepohonan menggeliat,
batu-batu bernyanyi.
Rerumput tumbuh, tanpa bunyi.
Rerumput tumbuh, tanpa bunyi.
Embun lindap, seperti pencuri
diam-diam datang
Bunda,bagaimana
harus kudengar suara badai,
misalnya di Aceh?
misalnya di Aceh?
Jakarta, 2005
Burung-burung
Bersarang di dalam Sajakku
Itulah
peristiwa paling penting yang amat menentukan
jalan
hidupku. Mengekalkan takdirku. Yakni:
Pada
suatu sore, ketika kugubah sepotong sajak,
dan
kupacak sederet citraan pohon di sepanjang
tepi
sungai, dari luar jendela burung-burung berhambur
dan
membangun sarang di situ. Di dalam sajakku.
Seketika
kehidupan di tepi sungai itu ramai
Pepohonan
bergegas tumbuh. Juga rerumput, semak,
belukar.
Sepanjang hari burung-burung itu nyaring
berkicau.
Menyuapi anak-anak mereka yang
bercericit
riang: menagih ulat dan biji-bijian.
Waktu
bergerak. Kehidupan di dalam sajakku mekar
Sungai
itu deras mengalir. Airnya yang bening
bergericik
ramai. Berdentang, bagai musik orkestral –
merayakan
kemurnian hidup dan keasrian hutan
Dari
sebuah titik di cakrawala, sungai itu tampak
melengkung
– menipis di kejauhan,
lalu
mematahkan ekornya di batas kertas
Di
jeramnya ikan-ikan bertelur, berbiak –
mengasuh
anak-anak mereka yang berenang-renang
di
rongga-rongga batu cadas
Sunyi.
Seperti di pagi-pagi kemarin
matahari
menyembul di ujung lanskap
Semburat
cahayanya yang merah
melumuri
pinggang gunung, ladang, persawahan –
menguak
perbukitan.
Jauh
di kaki cakrawala,
rombongan
satwa berbaris:
jerapah,
pelanduk, zebra
Gadis-gadis
kecil berlari-lari riang
Mereka
anak-anak petani, agaknya –
penduduk
asli yang tinggal di ujung desa.
Muak
hidup berkerubung kabut di negeriku,
aku
pun pergi – mengungsi ke dalam sajakku:
kawin,
dan berbiak,
dan
aku malas pulang
Sampai
sekarang.
Jakarta, 2005
Homo Textualis
Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi kali,
selokan, parit-parit, yang mengalir
dalam tubuhmu. Kupelajari segala jenis kerikil,
batu-batu; biji-biji emas, dan ikan-ikannya
selokan, parit-parit, yang mengalir
dalam tubuhmu. Kupelajari segala jenis kerikil,
batu-batu; biji-biji emas, dan ikan-ikannya
Tetapi, sungguh engkaukah itu
Sungguh kaukah yang berdiri tersenyum di dalam waktu?
Mungkin bukan. Mungkin kau cuma bayang-bayang
pikiranku. Kususun dari rasa-rasaku –
Kau hasil rajutan sebuah pikiran
Kau percik perasaan.
“Hallo! Kaukah itu. Sungguh kaukah yang berdiri
di depan pintu?” Kau yang baik, kau yang dungu?
Kau yang suci, yang berdebu? Mungkin bukan.
Kau angin yang berdesir, air yang bergerak,
kau batu yang berjalan
dalam diam: Kau tak bulat. Kau tak selesai.
Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi danau,
rawa-rawa, parit-parit, yang bergericik
dalam tubuhmu.
Tapi, kadang kau tak ada
Kau cuma jejak.
Jakarta, 2005
Menimang
Sejarah, Menangisi Airmata
—Kepada Orang Lain
1
Sungguh adakah cinta, jika perang adalah fakta,
1
Sungguh adakah cinta, jika perang adalah fakta,
dan darah adalah
sejarah?
Kadang aku berpikir:
Mungkin kita tercipta
dari keisengan. Kala bumi kuyup
Udara menggigil. Dan malam
sesaat jadi biru.
Di bawah hujan, kota-kota lelap
Dan, seperti di hari-hari kemarin,
sepasang api purba bertumbuk, meledak,
Mungkin kita tercipta
dari keisengan. Kala bumi kuyup
Udara menggigil. Dan malam
sesaat jadi biru.
Di bawah hujan, kota-kota lelap
Dan, seperti di hari-hari kemarin,
sepasang api purba bertumbuk, meledak,
dan terbakar. Dan kau:
di luar keinginanmu, jatuh
pada seliang rahim yang basah
dengan kepala kuyup oleh api
dengan kening basah
oleh mimpi.
2
Di bangku dasar kaureguk pengetahuan pertama:
Perang meletus sejak di sebuah lembah
di rahim: Ketika bermiliar ekor serangga berenang
dan berburu mahkota
di kepala putik bunga
Ketika kau cuma seharga anak nyamuk
tersisip di tengah gelombang massa.
Dan kau saling menikam
Dan kita terlibat di dalamnya
Dan kitalah pemenang. Kitalah pembunuh
Dan hidup bermula dari pembunuhan.
3
Lalu ibumu mengerang
Dan kau: sang pemenang itu
melompat ke dalam waktu. Debu tumbuh,
dan berbunga. Tanah berbuah: sejarah –
Tentang Kain yang tangannya kuyup darah
Tentang Hitler yang mengamuk di Eropa
Tentang pesta peluru di Lebanon,
pada seliang rahim yang basah
dengan kepala kuyup oleh api
dengan kening basah
oleh mimpi.
2
Di bangku dasar kaureguk pengetahuan pertama:
Perang meletus sejak di sebuah lembah
di rahim: Ketika bermiliar ekor serangga berenang
dan berburu mahkota
di kepala putik bunga
Ketika kau cuma seharga anak nyamuk
tersisip di tengah gelombang massa.
Dan kau saling menikam
Dan kita terlibat di dalamnya
Dan kitalah pemenang. Kitalah pembunuh
Dan hidup bermula dari pembunuhan.
3
Lalu ibumu mengerang
Dan kau: sang pemenang itu
melompat ke dalam waktu. Debu tumbuh,
dan berbunga. Tanah berbuah: sejarah –
Tentang Kain yang tangannya kuyup darah
Tentang Hitler yang mengamuk di Eropa
Tentang pesta peluru di Lebanon,
Afghanistan – Timur
Tengah
Tentang perang etnik di Yugoslavia
Tentang pembantaian massal di Tiananmen
Tentang Semanggi, Ambon, Aceh, Irian Jaya,
Tentang perang etnik di Yugoslavia
Tentang pembantaian massal di Tiananmen
Tentang Semanggi, Ambon, Aceh, Irian Jaya,
Timor Leste. Tentang
kita. Tentang kita.
4
Sungguh adakah cinta, jika perang
4
Sungguh adakah cinta, jika perang
adalah fakta, dan darah
adalah sejarah?
Kau meludah: “Campakkan saja mimpimu
tentang cinta. Mari, perang yang lain
kita mulai. Seperti dulu. Ketika kita
berebut mahkota di kepala putik bunga
Sebelum kita sendiri mengerti
asamnya darah
pedasnya airmata.”
(Lalu kau terisak:
“Ibu, maafkanlah atas kelancanganku.”)
Jakarta, 1999
Kau meludah: “Campakkan saja mimpimu
tentang cinta. Mari, perang yang lain
kita mulai. Seperti dulu. Ketika kita
berebut mahkota di kepala putik bunga
Sebelum kita sendiri mengerti
asamnya darah
pedasnya airmata.”
(Lalu kau terisak:
“Ibu, maafkanlah atas kelancanganku.”)
Jakarta, 1999
Mitologi Kata
Di
dalam kata-katamu yang indah
kutemukan
sarang ular: ia melingkar
mengerami
telur-telurnya
di
bawah sisik-sisiknya yang berkilau
bak
permata
Bila
di Taman Firdaus zaman Adam
ular
gemar melingkar di batang pohon khuldi
Sekarang
ular punya tempat sembunyi lebih nyaman:
kata-kata
Sebab,
lebih licin dibanding pohon khuldi
kata
bisa menjelma apa saja:
Hari
ini seonggok sarung
Besok
baju tentara
“Apa
kabar, Kawan?” tanyanya, ceria
Aku
tersenyum. “Baik,” jawabku
Diam-diam
aku menyusup ke dalam kata-katanya:
Astaga!
Ada jutaan ular melingkar di situ
Usai
Waktu Penciptaan
Kata-kata
telah bergeser dari peran dasarnya:
Ia
bukan lagi Perawan Suci yang bertugas
menggendong
Alam Semesta.
Jakarta, 2003
Nota Bulan Desember
– Catatan
Akhir Tahun
Tak perlu kuucapkan “selamat tinggal” pada detik terakhir
bulan Desember, dan “selamat datang” untuk detik
awal Januari. Untuk apa? Segala waktu sama. Waktu
adalah sumbu semua sejarah, ibu segala kepedihan.
Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin. Tapi,
di antara detik-detik yang gugur, bulan-bulan membusuk,
hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal yang
masih lengket—berkecamuk dalam kenangan:
Tanah meledak, kota-kota terbakar; AIDS, flu burung,
demam berdarah, busung lapar; BBM melonjak,
harga-harga menjerat leher, juga laut yang mendadak gila,
menghancurkan jadwal-jadwal—
menculik seluruh isi kota.
Tapi waktu tak peduli. Waktu terus berjalan, mengusung
detak-detaknya, diam-diam—
Tak perlu kuucapkan “selamat tinggal” pada detik terakhir
bulan Desember, dan “selamat datang” untuk detik
awal Januari. Untuk apa? Segala waktu sama. Waktu
adalah sumbu semua sejarah, ibu segala kepedihan.
Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin. Tapi,
di antara detik-detik yang gugur, bulan-bulan membusuk,
hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal yang
masih lengket—berkecamuk dalam kenangan:
Tanah meledak, kota-kota terbakar; AIDS, flu burung,
demam berdarah, busung lapar; BBM melonjak,
harga-harga menjerat leher, juga laut yang mendadak gila,
menghancurkan jadwal-jadwal—
menculik seluruh isi kota.
Tapi waktu tak peduli. Waktu terus berjalan, mengusung
detak-detaknya, diam-diam—
menyembunyikan wajahnya di balik
paras bulan merekah, atau matahari bersinar
Membungkus rahasianya dengan siang, dengan malam:
Waktu adalah siluman yang pandai menyamar.
“Selamat Tahun Baru,” katamu, menyeringai.
Selamat tahun baru? Untuk apa?
Seperti waktu, aku pun terus berjalan: gelisah oleh tatapan
mata bulan. Gemetar di bawah kerling
matahari. Sebab, gara-gara waktu,
paras bulan merekah, atau matahari bersinar
Membungkus rahasianya dengan siang, dengan malam:
Waktu adalah siluman yang pandai menyamar.
“Selamat Tahun Baru,” katamu, menyeringai.
Selamat tahun baru? Untuk apa?
Seperti waktu, aku pun terus berjalan: gelisah oleh tatapan
mata bulan. Gemetar di bawah kerling
matahari. Sebab, gara-gara waktu,
banyak hal berdesak untuk diingat,
dan aku berjuang untuk lupa—sebagai jalan
pembebasanku.
Jakarta, 2006
pembebasanku.
Jakarta, 2006
Pada Tapal
Batas Waktu
Janganlah
mencari tahu apa yang akan terjadi besok
–
Horatius
Tapi,
kita selalu langgar petuah itu. Kita terus melangkah:
membaca,
bertanya, menduga-duga:
Apa
yang akan terjadi, besok?
Akan
turun hujankah di hari pengantinmu,
Kamis
depan?
Saat
kau terjaga dari tidur, adakah rumahmu
masih
utuh terpacak? Akan membuncit lagikah
perut
istrimu, akan beranak lagikah anjingmu,
tahun
depan? Dua hari lagi
suamimu
pasti studi di Holland?
“Janganlah
mencari tahu apa yang akan terjadi besok
Jangan
mencari tahu apa yang akan terjadi
di
masa depan”
Tapi,
siapa tak mau mencari tahu
apa
yang akan terjadi, besok – di negeri ini,
di
hari-hari depan? Usai makan di sebuah kafe,
adakah
tubuhmu masih bulat, meja dan kursi
masih
tegak, dan kepalamu masih setia
tinggal
pada lehermu yang jenjang?
“Janganlah
mencari tahu apa yang akan terjadi,
besok.
Besok adalah rahasia waktu. Masa depan
adalah
daerah Tuhan.”
Tapi,
kita terus langgar petuah itu, dengan berani:
dengan
kaki, dengan tangan. Dengan degup jiwa,
dengan
segenap kesadaran. Sebab,
sejak
tangis pertama pecah,
sejak
popok dibalutkan,
besok
tak dapat dihindar
Masa
depan tak terelakkan.
“Tapi,
apa yang akan terjadi, besok?”
Bulan
bergerak. Detik-detik terus berguguran. Tapi
kita
tak henti melangkah. Tapi kita
tak
kunjung berhasil meraih jawab
Sampai,
pada tapal batas waktu,
kita
jera bertanya, dan kita tak membantah:
Besok
adalah sebuah pintu –
dari
mana kita masuk, dan kita tak kembali.
Jakarta, 2006
Selat Kamal:
Mengupas Nostalgia
Kita
tak mungkin mencebur ke sungai yang sama
–
Herakleitos
Tak
mungkin, memang. Seperti juga tak mungkin
aku
berlayar di laut yang sama. Waktu membawa angin, iklim,
dan
ombak yang lain. Meski di langit lintas
matahari
yang sama. Seperti dulu: di masa bocahku.
Tapi,
melayari Selat Kamal, mengulang
perjalanan
yang ngilu: orang-orang berdesak
Juga
mobil-mobil, motor,truk; para pedagang telur, rokok,
nasi
bungkus – sebelum feri meraung, menggeliat,
lalu
berangkat.
Pernah
di masa bocah kubayangkan:
Dari
langit, pulauku bagaikan seonggok buntut naga
terendam
di bawah permukaan air laut:
Jawa
tubuh, Sunda kepala, Jakarta urat lehernya
Kampungku:
bisul dari sebuah titik di cakrawala
Kini
buntut naga itu bergeser
Setelah
terpacak Jembatan Suramadu,
yang
sempat rubuh. Bukan oleh gempa atau revolusi
Tapi
mungkin oleh logam yang ceking, sluf yang tonggos
Semen
yang tipis – moral yang keropos.
Selat
Kamal sesak kenangan, ramai sejarah,
juga
legenda – semacam legenda:
Tentang
Adirasa – adik Jokotole – yang mengantar pusarnya
Ke
Majapahit, di abad yang jauh: sumber timah panas
Perekat
engsel gerbangnya yang angkuh dan keramat.
Juga
saat Trunojoyo menangkap firasat, mungkin
tanpa
firasat. Sebelum sekerat hatinya jadi santapan lezat
para
penghuni kaputren, dan segenap warga Kartasura
Sebelum
jenazahnya dibiarkan tergeletak
di
kaki tangga istana. Tanpa upacara. Tanpa doa-doa.
Selat
Kamal sibuk dengan impian para perantau:
Rombongan
pedagang dan nelayan menyeberang
Lalu
terdampar dan berbiak di bibir timur Tanah Jawa
Mengusung
ragam adat, dan kata-kata
Juga
logat, dan panas darah. Panas darah?
Para
calon TKW bermimpi hujan rial di Tanah Arab
Seraya
diam-diam mengerling Mekkah. Atau
abang
sate menyusun rumah idaman dari
kepulan
asap, nyala bara, tetes keringat. Atau…
Selat
Kamal. Telah berapa kali kulayari
Dan
kutinggalkan engkau, Ayah? Ibu?
Kapal
feri mengerang, menggeliat
Membawaku
pergi, menjangkau masa depan
Sebelum
akhirnya aku terdampar
di
negeri kata-kata: sebuah negeri yang kurus,
dan
tak seharum pesta.
“Tapi
demi kemerdekaanku,
tak
ada alasan untuk menangis, Ayah, Ibu.”
Jakarta, 2004
Barito
– catatan
perjalanan
1
Di
tengah kelucak sungai Murung-Barito
Di
tengah guncangan riam lawang haring
Ada
sisa kenangan yang tercecer:
sepanjang
Teluk Jolo
sampai
bibir Desa Tumbang Topus –
secelah
kenyataan tentang bagian
dari
Tanah Airku:
Gadis-gadis
Dayak berjoget
Dalam
busana blue jeans dan kaos T-Shirt
Mabok
tersihir lagu-lagu dangdut yang berdetak
lewat
corong tape recorder
Dunia
cuma seluas antena parabola
Terpacak
tak jauh dari pantan –
tempat
rombongan roh melolong
Sebelum
upacara purba
mengantar
dari bumi ke nirwana.
2
Pedalaman
Kalteng adalah dunia yang pecah:
Dadanya
tenggelam ke dunia magi. Bersama balian,
kidung randan, tapi japen,
dan bahalai:
riasan
buah-buahan –
menyambut
rombongan tamu agung
dari
dunia seberang
Tapi
kepalanya gatal melongok dunia luar:
Dunia
(“Barat” yang) kebyar? Atau: kemajuan?
Hati-hati
matamu mengerling perempuan
Bila
tak ingin biji pelirmu tersangkut di pohonan
3
Malam.
Di sebuah kamp HPH, di tepi hutan
Di
bawah bayangan pemilik modal yang
mencengkeramkan
kukunya pada
balok-balok
kayu
semayup
kudengar tarian magis:
musik
Kenyah, kilatan Mandau;
sumpit
berlumur getah pohon mistik
atau
mungkin racun ular:
Para
balian menari
Mantra-mantra
disemburkan
buat
Ranying Hatalla Langit
Tanah
bergerincing
Udara
merekah
Keringat
mengucur
Bumi
menyala.
4
Masihkan
hutanku hutan yang dulu?
Air-menitis
di celah batu-batu di sepanjang tepi sungai
Suatu
saat mungkin mengering
Direguk
waktu: bumi yang gelenyar
bersolek
pembangunan?
Tak
ada jawaban. Hanya gerusuh angin
Menyisir
kesunyian hutan.
5
Milik
siapakah bulan di langit, Saudaraku?
Para
Nihin, Abdul, dan Joseph berangkul tangan
Melantunkan
nyanyian hutan yan tak tumbuh lagi dari
tanah
leluhur: Bersama anjing, babi,
bangkui, dan beruang.
Bersama
Sang
Dewa yang liat berakar.
6
Pagi.
“Simbur, simbur! Simbur, simbur!”
Gadis-gadis
Dayak menabur air dari pelipis sungai
Seolah
hendak berkata, “Selamat jalan, Saudaraku!
Kapan
mampir lagi di tanah kami?”
Sungai
berkelucak
Daratan
mulai menjauh
Di
bawah matahari pagi,
daun-daun
merbau jatuh
Hutan
sunyi. Burung-burung sepi
Perahu
bergegas –
membawa
kami pergi.
7
Tak
ada yang istimewa, agaknya. Tapi,
ada
yang layak dicatat:
di
sebuah kawasan yang jauh,
ternyata
ada juga orang berbahagia. Bukti
bahwa
bumi sabar mengasuh segala yang ada:
yang
kecil, ganjil, sederhana
Meski,
bukan tak bermakna.
Jakarta, 1995
Di Tebing
Waktu: Meditasi
Sebelum jagat raya diciptakan,
apa yang dilakukan Tuhan?
Sunyi. Di teras: waktu merayap
Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang.
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang.
Di jalan-jalan
berkecipak perang. Seperti di hatiku
Mungkin juga di hatimu
Aku teringat Stephen. Ia melompat dari
bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda
Membetulkan punggungnya pada kursi roda
Merogoh lubang hitam
Mengemas lagi bangkai bintang-bintang
Mengemas lagi bangkai bintang-bintang
yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.
di bawah bulu alisnya.
“Sebelum jagat raya diciptakan,
apa yang dilakukan Tuhan, Stephen?
Membangun Surga?
Merancang Neraka?
Jauh sebelum ayah dan
ibumu berpengantin,
di mana kau ada?”
Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit
sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi.
tentang cara menjinakkan bumi.
“Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila,” katanya.
untuk seorang yang berani gila,” katanya.
2
Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang:
melompat dari bintang ke bintang. Berguling-guling
dari galaksi ke galaksi. Mengintip lubang cacing.
Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.
Di bawah telapak kakiku berhambur
bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai. Seperti
pecahan biji gunduk yang membercaki ruang
Laksana kepingan biji mutiara bersemai
di sudut-sudut waktu.
“Lihat,” katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya. “Apa arti kau ada?”
Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada pertengkaran:
di dekat Tanah Nod,
jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum
Pizarro menemukan
Inca. Sebelum Bolivar
menyembul di Tanah Caracas.
3
Menginjak sebutir detik yang nanar,
Menginjak sebutir detik yang nanar,
aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu:
ke satu celah di titik yang jauh itu:
ke bumi.
Ada bom meledak di masjid-masjid. Menggelegar
di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah –
menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang pertengkaran,
Tentang pertengkaran,
jauh di sebuah celah bumi yang tua.
“Ketika bumi masih sebercak Kata,
apa yang dilakukan Tuhan, Stephen?
Merakit algojo?
Merancang pendeta?
Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba,
presiden pemenang lomba,
besok, di negeri saya?"
Ia, dituntun oleh wataknya,
kembali menyeringai.
Lalu kembali mengajakku
berputar:
Berdiri di tebing waktu,
menyapu kemahaluasan
ruang:
Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.
“Stephen, saya lelah jadi manusia”
Jakarta, 1999
Seseorang Berdiri di Tepi Sajakmu
Seseorang berdiri di tepi sajakmu. Wajahnya sepi,
seperti sebuah kuil terpacak
di lereng bukit. Sepasang matanya kering,
seperti selongsong kulit laba-laba.
“Aku rindu kedamaian,” bisiknya.
seperti sebuah kuil terpacak
di lereng bukit. Sepasang matanya kering,
seperti selongsong kulit laba-laba.
“Aku rindu kedamaian,” bisiknya.
Adakah ia seorang pertapa?
Ia tertegun: memandang kata-kata berbaris.
Ia tertegun: memandang kata-kata berbaris.
Atau menikung, seperti rel
kereta api membelah
tanah desa. Atau berkeriap,
seperti lampu-lampu di tengah kota –
seperti lampu-lampu di tengah kota –
di sebuah negeri yang redup
Negeri yang jalan-jalannya berputar. Atau melintir,
seperti rambut sebuah suku tua yang telah punah.
Adakah di sana terbentang kedamaian,
seperti ia impikan?
Agak ragu ia melangkah. Masuk:
seperti rambut sebuah suku tua yang telah punah.
Adakah di sana terbentang kedamaian,
seperti ia impikan?
Agak ragu ia melangkah. Masuk:
menyibak kata-kata.
Lalu, dengan terompah butut,
Lalu, dengan terompah butut,
ia pergi keliling kota:
menyaksikan karnaval hari kemerdekaan. Atau
menonton sirkus. Atau ikut menyisip ke tengah
menyaksikan karnaval hari kemerdekaan. Atau
menonton sirkus. Atau ikut menyisip ke tengah
arak-arakan massa –
sejarah yang menuntut turun harga BBM,
atau kenaikan upah buruh.
Haus, ia minum air mancur di sebuah taman.
atau kenaikan upah buruh.
Haus, ia minum air mancur di sebuah taman.
Lalu tertidur, sebelum
dibangunkan oleh gerimis.
Dua ekor anjing menggigit ujung jubahnya
–
sebuah peristiwa yang mendorongnya melompat
ke luar lagi dari sajakmu.
Di luar pagar, pada tapal batas antara
Di luar pagar, pada tapal batas antara
dunia dan kata-kata,
gonggong anjing masih bersahutan –
gonggong anjing masih bersahutan –
menyembulkan moncongnya
dari sederet penanda.
Ia tersengal, menyapu
peluh di keningnya, dan berbisik:
“Tak ada kedamaian,” Juga tidak dalam sajakmu.
Jakarta, 2003
“Tak ada kedamaian,” Juga tidak dalam sajakmu.
Jakarta, 2003
Tentang Ahmad Nurullah
Ahmad
Nurullah lahir di Sumenep,Madura, 10 November 1964. Menulis puisi, cerpen, esai
dan kritik sastra. Karyanya termuat di berbagai media massa dan antologi puisi
bersama, al: Mimbar Penyair Abad 21
(DKJ, 1992), Angkatan 2000 (ed.
Korrie Layun Rampan, 2001), Horison
Sastra Indonesia (2002). Setelah Hari
Keenam (2011) adalah buku kumpulan puisinya yang pertama setelah menjalani
proses kepenyairan selama 24 tahun, sejak 1987.
Catatan Lain
Ada tiga nama yang mengisi sampul belakang
buku, memberi kesaksian, yaitu Tommy F Awuy, Radhar Panca Dahana, dan Sides
Sudyarto DS. Kata Radhar: “Merenungkan
hal-hal mendasar tentang manusia, cinta, Tuhan, kesemestaan, dan hidup itu
sendiri aalah kerja suci kebudayaan. Tugas itu tak memiliki janji final. Ahmad
Nurullah salah satu yang memiliki keberanian mengambil tugas itu – yang selalu
kontekstual dan kontemporer. Memasuki antologi puisinya ini, kita seperti
memasuki lorong terjauh sekaligus terdekat dari diri kita.”
Pun penyair menulis
prakata di bagian awal. Dari prakata itu ketahuan, antara lain bahwa penyair
sadar ia bukan penyair yang produktif. Dan itu yang menjadi sebab daftar isi
buku kumpulan puisi Setelah Hari Keenam
disusun secara alfabetis berdasarkan judul. Kata penyair: “Dengan cara itu saya hendak mengatakan bahwa puisi-puisi yang dihimpun
dalam buku ini bukan produk yang lahir secara berkesinambungan, sehingga tidak
menuntut pendekatan berdasarkan kronologi tahun penciptaan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar