Data buku kumpulan puisi
Judul : Dongeng dari Utara
Penulis : Made
Adnyana Ole
Cetakan : I, Mei 2014
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta
Tebal : xiii + 112 halaman (57 puisi)
ISBN : 978-979-99838-9-3
Penyunting : Raudal
Tanjung Banua
Desain isi dan cover :
Frame-art
Gambar cover : Polenk
Rediasa
Dongeng dari Utara terbagi atas 3 bagian menurut tahun
penciptaan, yaitu 2007-2012 (7 puisi), 1996-2006 (29 puisi) dan 1986-1995 (21
puisi)
Beberapa pilihan puisi Made Adnyana Ole dalam Dongeng dari Utara
Si Tua Penyadap Tuak
Penyadap atau pemabuk, segalanya tak terduga
Si tua itu hanya minum pada setiap hari yang
dini
dari sadapan embun sisa-sisa usia
Tuang, Kekasih, tuanglah!
Hempaskan dahagaku
Setelah kudaki tiga ratus ribu pohon lontar
Tiga ratus ribu lagi batang sagu
dan tiga ratus ribu kelapa di tebing curam
pada lintas angin
pantai-pantai yang
terlupa
Tuang lagi, larutkan kering usiaku
Seteguk nyeri di ujung ginjal
tak akan membuatku terhuyung
karena maut sudah kerap kusaksikan
saat kutundukkan puncak pohon
yang dicintai langit
dan bintang siang
terjatuh di mataku
Si tua itu sangat paham arti tubuh yang
terlepas
dari tanah atau roh
yang khilaf
Ketika elang liar menyapa di sela udara
dan tangan ramping serangga pohon
meraba pundak tanpa kata
Tuang lagi, Kekasih, tuanglah!
Sekerat usia tak akan tandas, meski segala
alas
ditingkap ke seluruh
arah
Karena telah kukenal beratus ribu pohon
ketinggian
Ingin kukenal juga beratus ribu jurang tanpa
akar
2006
Dongeng dari Utara
Di utara, Ibu
Kebun kaktus, hutan bersuara liar
Punggung bukit hitam. Orang-orang Atas
memburu
titik lampu
Sembunyi seperti bintang sesat
di atas langit jatuh, puing kota
yang mati dini hari
Lalu
membusuk
di
mulut ular!
Suara liar, hutan kaktus
Maka simpan suaramu, Ibu!
di goa mati
di tapal batas paling
tipis
antara daun peneduh, kayu asam yang rindang
dan kampung pelacur
Simpan suaramu!
Desis ular, lolong anjing
atau
raung hewan piaraan
di
rumah kesayangan peri kota
Senantiasa memburu tumbal
Untuk menyambung pita tenggorokannya
yang terputus
usai mimpi besar,
tadi malam
Di utara, kita terkenang
Dulu, kebun anggur, rambatan hati petani
Di sisi telaga bening. Ada air terjun
bisu
tanpa riak
Ular-ular jinak memperlihatkan pelangi
Ekornya yang runcing
memanggil
bidadari
Di utara, Ibu
laut kini menganga
seperti kuali
lubang matahari
tempat indah
bagi ikan-ikan kecil
bunuh diri!
2003
Jalan Subak yang Menanjak
Jalan subak
Jauh menanjak
Meminang air di sangkar awan
Yang dijaga pawang
muda
Pada jaman kilau
cuaca
Sedang taman padi yang selalu berbunga
dan isak penyesalan burung-burung
Kini terperangkap dalam bingkai lukisan
Lalu apa gunanya menangkar musim
dalam upacara
kesuburan?
Bahkan perjalanan menemu bulan
telah menyibak kerumun bintang
Dengan kerlip emas
yang telah berabad-abad menemu mimpi
dalam genggaman musim demi musim
Tapi jalan subak
yang deras oleh
kesetiaan rumput
Jauh menanjak
Mengabulkan luka
dan riak perih lagu
air
dalam parit darahku sejati
Sebagaimana tangis pada awalnya pecah
1997
Desa Palasari, Jembrana
Segala kesejukan terbendung di sini
Waduk bundar bulan
Menganga seluas
pikiran!
Terbendung di sini,
Seragam darah yang jemu. Beragam doa yang tak
jemu
Ketika bukit kecil
menyematkan air
pada dinding-dinding
teguh
tubuh si petani
Seragam darah. Beragam doa.
Upacara meminang air digelar
Bersama seluruh joli, umbul-umbul
Dan tetabuh bunga-bunga
Suara jernih azan senja
dan kidung warga sari
dan nyanyian
kebaktian di gereja tua
Saling peluk. Saling menanamkan getaran rindu
Di lahan senja yang mengarung hingga bukit
kelapa
Di mana tuhan,
Di mana air kehidupan dilahirkan?
Di sini. Segala kesejukan terbendung di sini,
di tengah anak-anak liar bermain lumpur
Di bawah satu langit
yang mereka bayangkan
sebagai ibu
2000
Lumbung Kencana
Kujunjung harapan
Memasuki lumbung kencana
Lewat denting piring kaca
Gemericik tuak dan lumpur kental
Dari kerlip derita
Cahaya hidup yang bening
Mengalirkan senyum kita
Ke tengah gaduh pesta para hama
Kita mabuk kegelapan; tergoyah!
Di mana keagungan ditancapkan
Pada masa yang mana
Hidup lebih berharga?
Tajam kerling mimpi
Memanjat tangga bambu, sisa jejak ibu
Kau menanak doa dalam cahaya jiwa
Aku mabuk kenangan. Terbenam
dalam binar harapan
Napas hidup terbenam
dalam lumbung
kenangan
Kujunjung doa
Memasuki lumbung kencana
Karena ditolaknya benih nasibku
Diserapnya bias anganku
Kita mabuk doa, sambil menduga-duga
Kapan kebanggaan
dipanen bersama-sama
1996
Keluarga Penuntun Sapi
- sumberkima, gerokgak
Mari
kuceritakan kisah si lelaki penuntun sapi:
Suatu senja di tepi laut, ia meninggalkan
senja dan laut
tapi tak bisa memisahkan lebam dan asin dari
tubuhnya
Seekor sapi, hanya seekor, diikatkan pada jari
termanis
Lalu ia melangkah ke rumah. Melangkah dengan
satu jari
terkoyak, yang tak mungkin dirajutnya kembali
“Istriku, bagaimana aku bisa menuntunmu dalam
rumah
Dalam tali ikatan yang aus ditiup usia,
sedangkan angin
berkejaran tak putus-putus,”
Mari
kuceritakan kisah istri si penuntun sapi:
Suatu malam di rumah garam
ia menghitung malam dan menidurkan rumah
tapi tak bisa mengumpulkan angka pecahan dari
kepalanya
Sepotong suami, hanya sepotong, dibangunkan
dari tidurnya
lalu ia melangkah menuruni tangga pasir. Ia takut
pada uap basah
ia takut membangunkan rumah dari akar yang
lemah
“Anakku, jangan meminta terlalu limpah, saat
tidur
Saat mimpimu terputus, sedangkan malam
memintal gelap
tak putus-putus,”
Mari
kuceritakan kisah anak-anak si penuntun sapi:
Suatu pagi di sisi matahari dan sela cahaya,
Mereka benamkan pagi, matahari dan cahaya, di
tengah laut
tapi tak bisa mendapatkan riang saat tubuh
mereka menjelma
jadi garam
“Ibu, telah kubenamkan sapi itu, ketika
ikatannya terputus
Sedangkan laut bergelora, tak putus-putus,”
Apakah
akan Engkau paksa aku bercerita sampai kisah itu berakhir?
Maaf,
jangan paksa aku memulai!
2006
Dendang Denpasar
Mimpimu,
Denpasar
Membuatku
terjaga!
Di atas kota yang segar
dalam putaran seribu
bulan
terus saja berbiak
Namun waktu dan rasa kehilangan
mengalir ke dalam kubur cahaya. Dan mimpiku
tertidur di atas gelap jalanan
Aku terjaga, namun tersesat dalam dendang
keramaian
jiwa sendiri, tempat dari mana kudengar jerit
terpatah
rasa napas paling
liat
menjelma patung tanah
Lebur diguyur hujan
atau angin kering menyihirnya jadi debu
Patung tanah masa silam
kenangan tak terjaga. Liar dan kesepian
Merangkak. Menggapai diri yang meluncur
di balik cermin kusam
menjelma mimpi.
Menara mimpi-mimpi
Dan aku terjaga!
Adalah harapan mendekat
pada cinta yang lebih berjiwa
Bersama napas dewa-dewi, janur paling belia
dan
kidung puja yang abadi
Bawalah
mimpiku juga, Denpasar
Biarkan
aku tetap terjaga!
1996
Sampek Ing Tay dari
Banyuning
terkenang: wayan sujana
jedur
Kau tutup usia
seperti kaubuka drama cinta itu
dengan kerendahan hati
serta kata maaf yang
sangat merdu
Lalu, seluruh tirai digantungkan di tiang
latar
Tali-temali direntangkan dengan tarikan napas
yang hangat oleh malam
yang bernas oleh tatap mata
dan drama cinta ini pun dialirkan ke batas
pagi
Selembar demi selembar tirai diturunkan
Pada lembar pertama, ada kolam mungil
di tengahnya selalu kaubayangkan sepasang
bangau
membagi serpih ikan dan serangga yang tak
berdaya
Lembar ketujuh, sebuah sekolah kecil
di dalamnya
kaubayangkan sekotak cinta
dan sekeranjang ilmu
untuk memberi nilai pada kematian
Lembar keduabelas, seonggok kuburan
di lubangnya yang
gelap kaubayangkan
sepasang kupu-kupu
memadu cinta sebelum
mengarung langit menuju sorga
Tapi pada lembar hidupmu, ada drama kecil
di panggung yang luas
kau membagi serpih ikan
kepada anak-anak
yang akan terus
meminta sepanjang terang
Maka lupakan teka-teki cinta itu, Sampek!
Sebab seluruh hidup adalah tipuan
semua gerak adalah penyamaran
Bahkan sebelum cerita dikarang dengan pikiran
sehat
Sebelum drama ditulis dengan alur bersih dan
hati gembira
Apakah kau temukan sepasang kupu-kupu
Terbang dari kuburmu. Lalu melayang di langit
biru?
Sementara drama cinta yang kaubuka
dengan kerendahan hati
dan kata maaf yang sangat merdu
Tak akan pernah berakhir
Sebab akhir usia adalah awal dari drama cinta
Yang biru
Yang haru
Sepanjang waktu
2012
Tilas Penyeberangan
Orang-orang Suci di Selat Bali
Kijang
Air:
Hanya kijang ramping yang tahu cara berenang
seringan ranting
ke pulau hutan di
seberang
Maka, tunggu senja merah saga
langit awan tembikar. Tunggu, tunggu,
getar seratus kijang menuntun Kita
Tapi Kita; Si Konon dan Si Lampau
sesungguhnya tak pernah tahu tentang jejak
yang selalu hilang
dihapus air atau
dipagut ular laut
Ketika usia hanya akan berubah menjadi kelak
dan setiap pesisi di sebuah pulau mesti selalu
diberi nama
dengan pongah, untuk sebuah ingatan yang
enyah.
Hanya Kijang, Mpu! Kijang air
Ia selalu menetaskan jejak di bibir ombak,
usai peram
pada senja, di rawa
dan muara
Maka, Selat Bali jadi ringkas seperti parit
landai
sedangkan terumbu di
balik batu
masih setia
menyimpan lidah garam
Naik, naik ke punggungku. Sebuah pulau
mendekat
dengan penghuni macan kerdil dan manusia lumut
mungkin tanpa Tuhan. Tapi mereka memuji segala
rahasia
seperti puji besar kepada Tuhan. Naik, naik ke
punggungku
Tak perlu mengayuh kayu apung
dengan mantera
mujarab
atau kitab ajar dari
Gunung Semeru
karena setiap siasat
akan selalu menguap di setiap selat
Karena setiap selat akan selalu tega memasang
arus pemisah
untuk siapa pun yang
berada di seberang
atau siapa pun yang
merasa berada di seberang
Tapi di mana batas sebuah daratan
Jika kijang tak berkenan memberi nama
bagi setiap pulau
yang telah lama menjadi rumah?
Pulau
Hutan:
Rumah yang tumbuh kemudian. Dari pohon
dan batu-batu tebing
Adalah tempat terhormat segala penat
Tidur, tidurlah. Setengah kerjap saja pada
mata yang dalam
Selalu punya arti bagi hari-hari yang
dirayakan setiap pagi
Lalu, di sebuah tapal yang samar
Kalian disambut!
Sembilan puluh bocah dengan sembilan puluh
kasta berbeda
(tapi dengan warna hari tua yang serupa)
mengibarkan seutas perca selendang
yang dirajut setiap
malam
dari serat daun
pandan
sambil menabur pudak seladang-ladang
dan tangan yang dikibaskan ke udara
seperti menerbangkan rasa sakit ke segala arah
Di gerbang tanpa pintu
Ada sepasang penjor dari bambu tulang
Pucuk
lengkung yang oleng dan rapuh
dihias janur
disumpang bunga pengantin
Batang
lurus yang kuat dan matang
dibenamkan
sedalam-dalamnya
ke liang tanah
Kalian disambut dalam hutan gemah yang basah
Buka, buka tangan kalian. Palawija menyembul
di tanah datar,
palagantung menggelinding di lereng pangkung
segala gurih daun, segala ranting rambat,
segala batang berbuku
menawarkan rupa pada tangan terbuka: Yang
meminta
atau memberi!
Apakah yang ingin kalian selamatkan
Di sebuah pulau yang tak pernah dimiliki
dan tak pernah diberi
nama
oleh siapa pun yang
setia
menjadi penghuni
sepanjang hidup
atau sepanjang mati?
Kalian pun terpental! Tapi tak pernah bisa
bertolak
untuk kembali ke asal sarang
Karena kijang air. Dan segala yang dulu
ramping
sudah begitu lama menetap jadi gembala
di pulau hijau yang membuat kaki jadi tambun
dan tangan yang payah melambaikan usianya
ke semak-semak
Maka, tinggal, tinggallah kalian di sini!
Lepaskan Tuhan dari kepala dengan anggukan
sempurna
Karena tempat yang terlalu suci terkadang
membuat kami alpa
kepada waktu yang senantiasa luang
Jukung
Labu:
Empat ratus tahun kemudian
Kau diusir dari perang suci yang tak pernah
dirancang
bahkan dalam rapat paling gelap sekalipun
Maka, keluarkan dagingnya, Dang Hyang!
Sebutir labu dengan cangkang yang matang
bisa begitu ringan
Untuk membawamu ke arus timur
ke satu daratan dengan tiga gunung api dan
empat danau
di mana kelak empat istrimu
(mungkin ditambah dua
atau tiga dayang
dengan tugas seperti
seorang istri)
menurunkan anak-pinak dengan warna darah
berbeda
Apakah yang ingin kalian ajarkan
Di sebuah pulau dengan beratus-ratus perempuan
petani
Yang berkali-kali mendinginkan lahar gunung
api
dengan tiupan kecil
siul kecil
jadi humus dan lumut
biru
di kebun datar
pakis payung?
Karena selalu saja akan begitu, Dang Hyang!
Buku ajar yang menebar di tengah daratan
tercabik seperti kue
labu
di tengah keluarga
besar yang tak begitu riang
Sebelum sempat disalin menjadi puisi suci
atau jadi mantera di
tengah pesta anak-anak
yang setiap pagi
kehilangan nenek moyang
2008
Kiasan Diri
Apa yang dicari dalam kegilaan,
Kiasan diri: doa atau sajak?
Setelah gelap yang pejam,
Nasib terbaring
Berharap kata jadi suara
Lalu bunga mekar, benih sejati,
dan tunas menyala
di bawah langit yang menyala
di mana berkumpul pasir hari
dan nama. Belajar terbang
Sebelum getar pada dada
Dan mimpi melambaikan cahaya
kepada nasibku di hening malam
Aku silau dalam gelap
Tubuh kepada bayang-bayang
Apa yang dicari dalam kegilaan,
Kiasan diri: tubuh atau rupa?
Setelah bisu yang pejam,
Segalanya serupa!
1994
Rahasia Doa
Hasrat berontak yang terpendam
Bagai sesat angin buta
Terasa, kau telah aduk sunyi-Ku
Senantiasa berhembus lirih
tangis air, kembang doa, puntung dupa
Bintang padam di lubang luka jiwa
Pudar. Terjatuh dari cerlang yang purba
tempat darah menyekat roh-Ku
Hasrat berontak yang terpendam itu
Sekelam nyeri dendam
Sesenyap senja tanpa cahaya
Namun terasa, kau telah isap sepi-Ku
Hingga bisu menjadi rahasia
Doa penghabisan atau rasa putus asa
Roh-Ku mengelupas dari sarangnya
1993
Pura Besakih
Altar pura di lereng gunung tandus
Meluncurkan gairah nyanyian angsa putih
Ke lembah dingin pedusunan hening
Om, Besakih! Om, Besakih!
Pucak meru runcing tusuk langit-langit suaraku
yang merambat pelan
Yang merangkak bagai raksasa mengayun bulan
Mengayun bulan di tengah pulau terang
Tusuk langit-langit suaraku!
Biar hening tumpah
dan pulau para Dewa menghisap napas pedusunan
Sepanjang tegaknya kayu tua dan lembut ijuk
hitam
Selama tangga batu melangkah, dan nyanyian
angsa putih
Menyembelih kulit tangankku
yang apalah daya, tak
sampai memeluk gunung
tapi tiada henti
melontarkan mekar bunga
Om, Besakih! Om, Besakih!
Kujaga nyala dupa. Kuhirup dingin tirta
Kukenang kelahiran. Kujaga kanak-kanak
Ketika mata air di bumi memberi dahaga
kepada rusa liar. Dahaga doa dan permainan
abadi
Maka anak-anak bersimpuh di atas batu beku
Nyanyiannya mendaki gunung. Hasratnya yang
liar
Menyelam ke dalam hati kita, seperti getar
genta
Yang berpusing di langit, tapi bergema di ulu
hati
Om, Besakih!
Kekenang kelahiran. Kutangkar sejarah.
Tapi tak kusangkarkan permainan kanak-kanak
Ketika altar pura di lereng gunung tandus
Meluncurkan gairah nyanyian angsa putih
Ke lembah pedusunan hening. Tempat kita lahir!
1997
Seorang
Penyair di Desa Tembok
-
widyazid soethama
Di Desa Tembok,
semesta tua
Kau yakin benar
tentang pagi yang terbit
tiba-tiba dari sebuah
kebun dengan pucuk karang
yang tumbuh di setiap malam
Kau yakin benar
tentang kering yang
membuat daun jadi cahaya
Apakah kau telah
mendaki terlalu jauh
ke julang lebam,
punggung hitam pemetik batu?
Ingat, puisi kadang
bisa membantu
dengan sebait hujan
dan sebaris serangga
Tapi kau harus turun
ke rahim tanah, tanpa kata
Mencari sungai yang tenggelam
arus yang terseret dan lenyap di bawah pasir
Karena di Desa Tembok,
katamu
akal dari ketuaan
semesta akan memberi denyut
bagi jiwa yang belia,
di antara keterjagaan
dan mimpi yang terjaga
Apakah kau telah
bermimpi terlalu dalam
di ceruk nanar, mata
merah penanam batang tuak?
Lihat, gadis bening
itu mengalihkan pinggulnya
ke tepi sumur curam,
ke dasar harap paling gelap
Tapi memalingkan mata
ke ujung laut paling jauh
Berharap mendapatkan
matahari
yang berbeda dari mata milik ibunya
Di Desa Tembok,
semesta huyung
Kau menemukan kumpulan
lelaki bernyanyi lirih
dari pengeras suara
yang oleng mabuk arak
Yang petani menjual
sampiran
Si penjual air menanam
makna
Dan pengeras suara itu
tetap saja oleng
kali ini ditimpa angin
dari barat
Tapi kau yakin benar
ruang kosong yang sesak
memberi cinta dan keseluruhan
2006
Mimpi
Buruk Layonsari bagi Nasib Buruk Jayaprana
kautulis sebisanya
dengan getah ranting
anggur
di rawa, di rawa
Percintaan singkat:
embun yang menggantung di ujung daun
sekejap moksah,
sebelum pagi mengerjapkan cahaya
Tak ada yang
kebetulan, Layonsari!
Ketika pertemuan
ditulis di pasar pengap ini. Begitu sesak
keinginan dan
pemberian. Tanpa perkenalan lazim,
orang-orang saling
membeli hidup, buah semak
dan gurat tangan. Juga
dongeng. Juga ramalan basi
Tapi dua orang
bertemu, Kau dan Aku
Saling menawarkan
cinta
Bekal lahir yang
diberikan ibu dari rahimnya
Kauumumkan sekenanya
dengan lontar undangan
yang sobek
di bahtera, di bahtera
Pesta temu sekampung
tamu: doa bagi dua belia
Berkat dan restu bagi
segala yang dipanggil ibu
yang menyambungkan
ransum suci dari meja perjamuan
ke meja pembuahan, dan
kelahiran, dan pertemuan,
dan seterusnya.
Kesetiaan yang penuh. Cemburu yang seluruh.
Tapi ini titah: pupuh
manis gurulagu, lirik yang tandfus
terdengar jauh ke
celah terumbu yang koyak. Pohon pun sendu
ikan menyimpan lapar,
bukan karena cinta yang kenyal,
atau maut
yang enggan. Tapi
nasib yang teraba jauh ke sebalik akar
meminta diri untuk
ditolak
Tapi tidak kautolak!
kaubaca sekedarnya
dengan mata tajam
keris tembaga
di buritan, di buritan
Mimpi buruk dan
kenyataan yang buruk: hujan deras
di balik bantal
banjir bandang dari
kisi tikar. Menggulungkan segenap rumah
menghanyutkan segala
diri yang terjemur di ujung pagar
Segala ketelanjangan!
Lalu Naga Gombang,
setarikan nafas tengah
malam, mengibaskan ekor di perut bumi
Hingga jalan panas itu
terbelah. Jantungku terguncang
Ranjang pengantin
dalam bahtera yang oleng itu pun tergerus
ke tepi kamar
Selalu ada yang abadi,
Layonsari!
Kelak mimpi terpujimu
terlekat pada geligi fosil utuh
macan bali
Di Teluk Terima
Di Teluk Terima, atau
pada teluh masa kini
malam ke 1001 triliun,
setelah waktu dihitung mundur
dari mata cerlang
jarum hari yang patah
di ruang tengah pesta
perkawinan
Seorang istri, dengan
gelang benang kecemasan
di pergelangan tulang
rawan, tidak selalu akan paham
cara menghitung
dengan fasih nasib
cantik yang berwajah sedih
Ia tidak selalu akan
mengerti kitab burung dan buku angkasa
Bintang pagi berasap.
Atau suara serak induk gagak
Segalanya memiliki
tanda-tanda
Tapi ia dimiliki
tanda-tanda
Maka jangan pergi,
Jayaprana!
Jangan menghunus
perjanjian
Dengan dua lawan
sekaligus: Raja dan Pengantin
Kadang segala yang
masuk ke hutan
dari jalan rawa lumpur
panas
akan meninggalkan
jejak buruk yang melekat
pada mata kiri kaki
sendiri
Jangan berperang, jika
tak bisa kautebak dengan cermat
lolong kerang, peluit
aba-aba atau lengkin serigala
yang menguntit dari
punggung tipis si pencatat arah
Jangan berperang di
hutan, jika tak bisa kaurasa bau dinginnya
(Tapi mimpi bisa abai.
Titah tidak
I Nyoman Jayaprana tak
berhak memilih
Ia dipilih!)
kauikuti sepenuhnya
dengan langkah derap
sepasang kuda
di pesisi, di pesisi
Perang kesetiaan:
hutan semak bali barat, jalak putih
jambul hati,
dan pohon jati jurang.
Segala onak di kakimu
bukan musuh seratus buyut
ia menunggu dalam
sunyi selalu, ia menunggu maut yang bodoh
dari panglima yang
diperbudak utang budi. Dan Kekasih,
Kekasih yang menanti,
sudah melepas kau pergi, sejak dulu
Apakah mimpi buruk dan
tangis pagi seorang perempuan
akan kaukenang
ssebagai bekal jalan yang tak habis-habis?
Tak ada jalan untuk
kembali, Jayaprana!
Di depan, segala hari
yang lewat adalah jebakan tak tertebak
adalah kabar tak
terbaca
Seorang patik dengan
wajah halus rasa sayang seorang ayah
Menyandarkan nasib
buruknya kepadamu
Kau diijinkan menolak
dengan bisik lembut
pakis sayur. Atau getar panjang
rumput pedang
Tapi tidak kautolak!
kaututup serapatnya
dengan tirai sobek
yang tak lagi putih
di nganga, di nganga
Hidup tak pernah
singkat: mimpi buruk seorang perempuan
Tak memberi jalan
mati. Tak juga beri jalan kembali
2007
Pasar
Sayur Fatuleu
Hari pasaran tiba,
setelah seminggu beta bekerja
patah jagung, petik
sayur, dan halau babi
tanpa lupa menghapal
lagu untuk pesta di hari Minggu
Setelah seminggu beta
bekerja, hari pasaran tiba
Beta hanya pajang
sayur-sayur, sedikit buah mengkal
beberapa botol madu
batu, dan sekadar umbi-umbian
Kambing beta banyak,
babi ada, apalagi sapi gemuk
Tapi daging hanya
untuk Tuhan. Beta hanya minta sisa
pada hari bahagia di
tengah upacara bersama
2012
Tentang Made Adnyana Ole
Made Adnyana Ole lahir di Marga, Tabanan, Bali. Sempat bergabung di
Komunitas Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali, dan mendirikan Yayasan Selakunda di
Tabanan. Puisi dan cerpennya dimuat di berbagai media massa dan antologi
bersama. Kumpulan cerpennya Padi Dumadi
(Arti Foundation, 2007) mengantarkannya memperoleh penghargaan Widya Pataka di
bidang penulisan dari Gubernur Bali. Selama 15 tahun di Kelompok Media Bali
Post sebelum memutuskan menjadi penulis lepas. Kini tinggal di Singaraja dan
membangun komunitas penulisan kreatif di sana.
Catatan
Lain
Halaman persembahan buku ini berbunyi begini :
“Kepada buah hatiku, Putu Putik Padi/dan
bundanya, Kadek Sonia Piscayanti/beserta
para petani Bali, para pencipta lumbung kencana”
Penyair menulis
pengantar yang isinya antara lain menyatakan bahwa ia melewati tiga alam
berbeda yang mempengaruhi proses kreatifnya dalam menulis puisi . Pertama alam
pertanian di Tabanan, di mana ia lahir dan mengecap masa remaja. Kedua, alam
perkotaaan Denpasar, di mana ia menyerap pengetahuan, menggelandang, dan
bersenang-senang. Ketiga, alam pesisir Singaraja, di mana ia bekerja seraya
serius, membiayai hidup dan menabung materi. Dikatakan: Tabanan relatif dingin,
Denpasar gerah, Singaraja panas. Tabanan agraris, Denpasar urban, Singaraja
maritim.
Nah, saat puisi dalam
rentang yang panjang itu dibukukan, penyair sadar: ternyata idiom, kosakata dan
metafor yang mendominasi berasal dari alam agraris, bahkan pada puisi-puisi
yang lahir ketika ia tinggal di alam urban dan alam maritim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar