Data buku kumpulan puisi
Judul : Mata yang Memberi
Penulis : Azhar
Cetakan : I, September 2005
Penerbit : Bukupop, Jakarta.
Tebal : vi + 54 halaman; 11 x 17,7 cm (53 puisi)
ISBN : 979-99370-8-6
Perwajahan : Radite C.
Baskoro
Rancangan sampul :
Yonas Sestakresna
Beberapa pilihan puisi Azhar dalam Mata
yang Memberi
Siul
Hujan
Aku pun bersiul
menahan dingin hujan
Tapi sesaat kerna
gubuk-gubuk
memantulkan kepedihan
Lalu kucumbu kesan
rumahku
yang kena gusuran
dan kubur saudaraku
yang hilang bagi
jalanan
hujan senja pun
berhenti perlahan-lahan
Dan kunikmati wajahmu
pada mataku
Tapi peluit kereta
menyulutkan sendu
dalam riuh suara-suara
di dalam dan di atas
gerbong tua
Sajak
Kerinduan
Menatap tubuh renta di
ambang maut
Betapa nikmat nafas
yang terpaut
Tapi maut jalan
keabadian
Tempat catatan hidup
dibagikan
Allah, Engkau tempat
bergantungnya segala sesuatu
Tak ada seorang pun
yang setara denganMu
Di tanganMu kekuasaan
atas segala sesuatu
Menemui Engkau adalah
kerinduan
bagi setiap nafas
berbalut iman
Hati pun menyeru-nyeru
Allah yang Maha Suci
cukuplah Engkau
menjadi penolong kami
Mata
yang Memberi
Halo, Tuhan
Telah Kau perindah
matanya
dengan cahaya bulan
Mata yang menyayangiku
Mata yang menyentuh
hatiku
Halo…
Kutahu tak ada sahutan
Tapi Kau Maha
mendengarkan
Terimalah doaku untuk
matanya
Mata yang mau menerima
kekurangan dan
kelebihan
Mata yang
menggembirakan
Mata yang memahami
kesederhanaan
Lagu
Perjalanan
Musim penghujan akan
meninggalkan kenangan
Mendekatkan kita pada
gerbang langit
Tanah subur di halaman
setia menangkap daun
tak terkait
Kita pun menangkap
tanda-tanda zaman
yang diwarnai
pengkhianatan
Ada kesenyapan dan
keriuhan
menyelinap di kalbu
yang berbulan
Ada juga keperihan
Tapi tak mengubur
keyakinan
Dengan sujud cinta
Dengan air mata
kita melayarkan iman
kepada-Nya
Keberangkatan
alangkah senyapnya
cuaca
ketika keberangkatan
sebuah keranda
dan gerimis berhenti
jua
sebelum iringan itu
tiba
kita pun berkaca di
beranda
pada jam yang berkedip
tak terduga
lalu memandang dunia
fana
ah, alangkah
singkatnya saat-saat kita
Aku
Pinjam Nama Aku dariMu
aku pinjam nama Aku
dariMu
dengan kerendahan
hatiku
bumiMu tak bisa
memuatMu
langitMu tak bisa
memuatMu
tapi semua yang ada di
langit
dan dibumi selalu
meminta kepadaMu
Allah, biarlah hatiku
bisa memuatMu
Jalan
Pos
Di jalan pos aku
melintas
Ada hidup yang keras
Aku ingat pada
Pramoedya Ananta Toer
yang mencatat nestapa
di Buru
Aku ingat pada Rendra
yang mengajak pelacur
Jakarta bersatu
Aku ingat pada Leo
Kristi
yang melantunkan
nelayan yang tak kembali
Aku ingat pada rezim
tirani
yang bikin sengsara
anak negeri
Aku ingat para
penganggur
di tanah yang subur
Tuhan, di tanah
merdeka ini
jangan biarkan tirani
kembali
Sajak
untuk Presiden
Yang mulia,
angin di stasiun tua
beda dengan angin
istana
di sini bau keringat
penumpang dan kuli
di bawa angin ke sana
dan kemari
dibawa angin pula
wangi parfum murah
yang dipakai Sumirah
yang menunggu kereta
yang terlambat tiba
yang rindu ibunya yang
miskin di desa
setelah lama jadi pelacur
di Jakarta
di bangku panjang
duduk pula
pak guru tua yang
menunggu cucunya
yang putus sekolah
karena tidak ada biaya
dan ingin kerja di
Jakarta
karena tidak ada
pabrik di desa
sawah dan kebun di
sana
sudah jadi milik orang
kaya di kota
di sudut stasiun tua
berdiri anak muda
yang baru bebas dari
penjara
dan bingung mau ke
mana
bapak dan ibunya sudah
tiada
rumahnya kena gusuran
dan jadi jalan
dengan nama seorang
pahlawan
inilah potret anak
bangsa
di tanah airnya yang
kaya
sementara
cukong-cukong lama berjaya
merampok hutan raya
dan para koruptor tak
ditembak mati
hingga lahir duka di
sajak ini
Lagu
untuk Ibu
Hari ini aku ingin
menggambar lautan kasih
sayangmu. Tapi penaku
buntu
Di kepalaku masih
tergambar iringan
perahu doamu untukku
Dalam kegelapan kau
beri aku suluh
Topan telah kau tembus
tanpa keluh
Angin pantai dari
matamu menyapaku
Bersyukur aku dalam
cahaya rindu
Ibu, tak sanggup
tanganku menjelajahi
lautan kasih sayangmu
Ridhomu terpahat di
jantungku
Doamu menurunkan
keharuan di mataku
Catatan
Hidup
Sunyi berbaring di
kalbuku
Gema ayat-Mu yang
melintas
Menyalangkan kembali
mataku
Melawan ombak yang
keras
Kupetik angin dari
mata ibuku
Aku simpan di
jantungku
Kelak ingin kubagi
pada pacarku
yang membawa bulan
untukku
Angin dan bulan akan kusimpan
buat bekal keturunan
di perjalanan
Memang harus ada yang
dipahatkan
sebelum ruh
meninggalkan badan
Konspirasi
Para Maling
inilah negeri yang
lama dibikin malu
ketika hukum bisa
dibeli setiap waktu
para maling leluasa
berkonspirasi
dan terjadi banjir
bandang korupsi
di bulan Mei yang
berhujan
topeng-topeng terbuka
mulai bernyanyi
di tengah busung lapar
anak negeri
ini bukan negeri
dongeng yang tanpa hutang
rumah-rumah
peribadatan beragam dan panjang
tapi begitu lama
kebusukan terjaga
dari senja ke senja
inilah negeriku
negeri yang lama
dibikin pilu
Lagu
Tanah Kemarau
matahari menyengatkan
kegelisahan
di atas ladang
kerinduan
burung-burung
memekikkan pedih
di dahan-dahan letih
melawan kemarau dengan
perih
tapi kesabaran harus
berulang
agar harapan tak lekas
hilang
bajak dan sapi di
kandang
dijaga dengan sayang
duhai, ibu
harapan dan kasih
sayang
modalku untuk berjuang
Kasidah
Hidup
dengan belasungkawa
atas cahaya
yang pernah terbenam
di pesisir kalbu
aku bersimpuh merajut
helai-helai asma-Mu
demikian cinta terasa
dekat
hilang penat
demikian hari pun
terasa fana
kereta ajal mendekat
jua
alangkah mesra,
alangkah mesra
jika cinta ini terus
dijaga
dan kubuat hati jadi
kerajaan
keindahan dan kasih
memandang semesta
mesjid kehidupan
dengan hati putih!
Litani
Beribu harap di dada
Menghambur pada-Mu
semata
Dari matahari ke
matahari
Kian susut halaman
usia diri
O, Allah!
Aku tak akan lari
Walau terjerat dalam
duri
Seluruh cinta, seluruh
usia
Tumpah memeluk sabda
Memelihara sujud diri
Kereta ajal masih
menanti
Rindu
Sajadah
Aku ingin pulang, ibu
Sudah kutempuh
perjalanan berdebu
Derita yang kutangkap
di perjalanan
menjadi catatan dalam
batinku
Serigala dan keranda
sampai juga lindap di
mata
Dada didera rindu
sajadah
Sujud ruh yang pasrah
Hidup memang ternoda
Tapi geliat ruh ingin
tak percuma
Sekata dalam cinta
Sehati sujud setia
Tentang Azhar
Azhar ….. ?
Catatan
Lain
Benar-benar tak ada keterangan tentang siapa penulis kumpulan ini.
Azhar. Sempat terbaca buku Yusmar Yusuf, Melayu
Juwita (Renjis Riau Sebingkai Perisa), yang ada menyinggung nama Azhar.
Seorang budayawan Riau. Tapi yang ini pun sebenarnya bernama Al Azhar. Dicari
di google, malah terkait terkelindan dengan nama universitas terkenal di Kairo,
Mesir itu. Puisi-puisi di kumpulan ini juga tak menyinggung apapun terkait
Riau. Entah lanskap, budaya atau nama seseorang yang merujuk pada Riau.
Akhirnya saya menyerah. Biarlah ini menjadi rahasia penerbit dan orang-orang
yang terlibat. Barangkali ada yang tahu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar