Data buku kumpulan puisi
Judul : Melintas Mega Jingga
Penulis : Helwatin
Najwa
Cetakan : I, Januari 2015
Penerbit : Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) Kotabaru bekerjasama dengan
SMKN 1
Kotabaru.
Tebal : xx + 96 halaman (80 puisi)
ISBN :
978-602-1048-08-5
Editor : Akhmad Sekhu
(sekaligus menulis pengantar)
Photo cover : M.Z.
Ambia Samawi
Desain cover & isi
: Rony, Sosiawan Leak
Beberapa pilihan puisi Helwatin Najwa dalam Melintas
Mega Jingga
Sebuah
Sungai di Belakang Rumah
Sungai Benawa di
belakang rumahku
Airnya bening tempat
minum mandi dan cuci
Di kanan kiri
tertambat lanting-lanting berjamban
Anak tangga berkelok
menjadi jembatannya
Pohon lua dan rumpun
bambu menghias tepinya
Kadangkala orang-orang
dari bukit lewat membawa rakit
Berlapis-lapis penuh
buah dan sayuran
Ada tapir di belakang
rumahku penahan arusnya
yang keruh kala air di
gunung meratus meluap
yang katanya membawa
buaya besar dalam raba*nya
Sungai Benawa di
belakang rumahku
Sesekali kotor oleh
limbah pabrik getah dari hulu sungai
Namun aliran hitam dan
bau itu tidak terasa mengganggu
Masih ada bagian lain
yang tetap jernih untuk direnangi
Setiap hari aku mandi,
bermain mencari udang di sela lanting
agar pandai berenang
dan tahan menyelam
Sampai gemeletuk dagu
dan bibir membiru
Sampai kakiku digigit
buntal
Sungai Benawa di
belakang rumahku
Kini engkau tak jernih
lagi
Tak kulihat anak-anak
berenang dan bermain di airmu
Lanting berjamban tak
lagi penuh canda
Bergoyang lemah dalam
riak sepimu
Lengkung mengering di
atas airmu yang dangkal
Dihiasi sisa keramba
yang koyak terdampar sunyi
Sungai Benawa di
belakang rumahku
Apakah luapan air dari
gunung sudah tak mampu lagi kau tahan
Hingga tebingmu tergerus
arus sisakan tojolan akar-akar pohon lua
Dan rumpun bambu lirih
senandungkan duka
Hutan munti hutan
bungur tak lagi mampu menjagamu
Bahkan meratus pun tak
peduli denganmu
Tapi wangi aroma lua’mu
masih dapat kuhirup
Tali tambatanmu masih
dapat kugenggam erat
Saat kakiku menapak
tangga menuju lantingmu
Saat airmu sejuk membasuh
wajahku
Saat aku sadar bahwa
aku tetap cinta padamu
Barabai,
Oktober 2008
*
raba = sampah yang hanyut terbawa banjir
Untuk
Sumiati
Katakan padanya kita
boleh bermimpi
Karena tidak ada yang
mampu mencuri mimpi-mimpi kita
Karena pekatnya malam
telah membungkusnya rapat-rapat
Bahkan sinar bulan pun
tak mampu untuk menyingkapnya
Katakan padanya kita
boleh bermimpi
Kotabaru,
4 November 2010
Kotabaru
Kotaku
Semburat jingga sunset
di hamparan
biru gelombang pasang
desau angin
menggelitik layar kapal-kapal
yang tertambat di
ujung dermaga
burung-burung camar
bergegas terbang
menjemput rindu dalam
sarang
awan yang berarak di
lingkup gunung
menebal samarkan
bentuk lekuknya
hutan-hutan mulai
lenyap sebentuk demi sebentuk
sementara dari daratan
kota terlihat gemerlap lampu
laksana riasan
perempuan yang bersiap pergi ke pesta
Kotabaru di ambang
senja
engkau sungguh cantik
Namun penuh misteri
Kotabaru,
Mei 2007
Kotabaru
Aku berjalan ke tepi
laut
Masih banyak anak
kecil berenangan
Di alunan ombak
Jerit canda
Derai tawa
Mewarnai sore yang
damai
Nun di sana berpuluh
kapal nelayan
Melempar sauh
Menambatkan diri di
dasar lautmu
Melabuhkan doa
Membongkar muatan
Masih banyak harapan
yang
Disandarkan padamu
Kotabaru
Kotabaru,
Juni 2008
Palestina
Palestina, Palestina
Negeri para nabi
berjuang menegakkan agama
Tempat indah kenangan
berjuta umat
Tempat beragam doa dan
sujud
Begitu buruk nasibmu
Luluh lantak oleh
keserakahan dan kesombongan manusia
Tangisan dan darah
yang tertumpah
Tak bermakna di mata
si pongah
Ratapan ibu yang
kehilangan anak
Rintihan istri yang
kehilangan suami
Jeritan manusia atas
kemanusiaan yang mati
Adalah yang berdengung
dari reruntuhan gedung
Berkepulan dari
ledakan mesiu
Berlompatan dari
pecahan mortir
Tuhan, hanya kuasa-Mu
yang dapat menghentikan semua itu
Kotabaru,
Desember 2008
Langitku
Engkau jauh di atas
sana
terpisah dalam ruang
dan waktu
terperangkap dalam
putaran bumi
anganku mengembara
pesonamu membius kalbu
melenakanku
seperti sebuah
keajaiban
yang mengisi aliran
darahku
duhai langitku
atas nama titahmu yang
membahana
biarkan aku berkubang
pesta
biarkan aku mabuk
dalam tuak rasa
biarkan aku puas
memandang raut wajahmu
sampai akhirnya
misteri ini
terkuak nyata
Kotabaru,
29 Januari 2011
Muara
Uri
Meratus seperti
rangkaian mangkuk tertelungkup
Walau dikepung
lubang-lubang tambang
Di kakinya masih
mengalir air yang jernih
Di tanahnya emas masih
berpendaran
Penduduknya masih
bersahaja dengan payung parabola di
pekarangan rumah
Setia berladang
bercocok tanam menunggu panen kelapa sawit
Sebagian berlalu
lalang mengendarai sepeda motor dan mobil
Mengangkut hasil kebun
ke pasar-pasar desa
Di pinggang terselip
parang, di punggung menggantung
senapan
Namun betapa enteng
lambaian tangan dan senyum yang
terkembang
Sebuah keramahan purba
Hampang,
2 November 2014
Nelayan
Sarantiung
Hempasan ombak di
pantai Sarantiung
mengoyak karang,
mengikis pasir
bakau-bakau pun
bergegas menepi
nun jauh di sana
barisan bagan nelayan menebar jala-jala harap
di ujung tiang-tiang
pancang
tegar dalam badai
angin dan gulungan gelombang
sungguh hidup adalah
sebuah pertarungan
dalam garis nasib yang
tak menentu
namun alam semakin tak
bersahabat
semakin tak tertebak
saat anak istri
menunggu di gubuk berderit oleh angin
saat BBM melambung
tinggi
saat mimpi tak lagi
sempat hadir dalam tidurmu
saat semua harap tak
lagi dapat berharap apa-apa
nelayan Sarantiung
tetap mengulur tali perahu
dan menebar jala di
laut
Kotabaru,
Mei 2006
Masih
Terlalu Jauh
Aku tergugu
mencari-Mu
sekelebatan asa
namun tak mampu untuk meminta
sebuah pertemuan
sebab masih banyak
yang terserak
masih terlalu jauh
dan jurang begitu
dalam untuk diseberangi
biar dari sisi tebing
ku memandang siluet
raut wajah suci-Mu
biar dari ujung hari
ku menikmati hangat
pagi
cahaya mata-Mu
Kotabaru,
Mei 2008
Surat
Cinta dalam Suara Hati
Anak-anakku yang jauh
di pulau,
Salam rindu yang
teramat dalam untuk kalian. Beberapa waktu
kita tidak bisa
bertemu. Hanya suaramu kudengar lewat alat
komunikasi yang tidak
pernah jauh dari genggamanku. Aku
tahu semua itu
tidaklah cukup untukmu, juga untukku.
Membayangkan kilau
matamu, air mataku menetes. Saat ini
tidak ada kata yang
mampu mengungkapkan perasaan ibu.
Membuatku merenung dan
berpikir. Mungkin yang selama ini
aku kerjakan membuat
kalian merasa susah dan sakit hati.
Mungkin semua yang
telah aku berikan belum memenuhi
kebutuhan kalian.
Bejanamu belum terisi penuh ataukah
terlalu penuh hingga
isinya meluap. Untuk itu kumohon
berikanlah maafmu.
Anak-anakku tercinta,
Suatu saat aku
berharap engkau mengerti, bahwa dalam
kehidupan ini
menentukan pilihan berarti juga telah
menentukan konsekuensi.
Terkadang pilihan itu menjadi
sebuah labirin yang
menyesatkan. Tidak tahu ke mana jalan
keluar. Berputar-putar
pada satu titik yang sama. Di setiap sisi
menjulang dinding-dinding
berpola sama. Hingga terpaku,
hanya mampu memandang
ke atas. Mencari arah dari gugusan
bintang di atas sana
yang akhir-akhir ini sering tak nampak,
tertutup awan hitam.
Menggumpal seperti jelaga. Sesekali
sekilas kilat
menyambar tapi hujan tak juga meluruh. Sekejap
cahaya melenyap
secepat datangnya. Bisik-bisikan memohon,
teriakan, bahkan
amukan tak mampu menyingkap hitamnya
awan penghalang
pandang.
Anak-anakku sayang,
Saat mengawali tahun
ajaran baru, kalian aku tinggalkan untuk
menjalani pelatihan.
Saat kalian ulangan, kalian aku tinggalkan
untuk mengikuti
sarasehan. Saat mengikuti try out,
kalian aku
tinggalkan untuk workshop. Saat belajar, kalian aku
tinggalkan
untuk hadiri seminar.
Saat Ujian Nasional sudah begitu dekat,
kalian aku tinggalkan
untuk memasuki diklat. Bila kalian
tawuran, untuk apa aku
pelatihan? Bila kalian kurang ajar,
untuk apa aku seminar?
Bila kalian tak lulus ujian, untuk apa
semua sertifikat yang
aku dapat?
Anak-anakku sayang,
Saat ini bukan hanya
kalian yang jauh dari ibu dan bapak. Ada
banyak anak-anak yang
terpaksa ditinggalkan untuk tujuan
yang sampai saat ini
belum kami pahami benar. Karena mutu
kalian belum standar
maka kami harus belajar. Mendapatkan
pencerahan agar
menjadi orang yang professional. Untuk lebih
mengerti dan memahami,
supaya bisa memberikan yang
terbaik untuk kalian.
Rupanya pelatihan dan musyawarah yang
sering kami ikuti
belum maksimal membantu kami membina
kalian. Sering hanya
jadi ajang mengumpulkan kami untuk
mengejar target proyek
orang-orang berkuasa di atas sana.
Tidak ada yang bisa
dibawa pulang sebagai oleh-oleh manis
untukmu, selain
setumpuk fotocopi dan selembar sertifikat.
terkadang jadi klop
dengan tambahan uang beramplop.
Anak-anakku sayang,
Bersabarlah, seperti
aku juga bersabar. Jangan nakal dan
cerewet. Bila pulang
nanti, mungkin oleh-oleh dari sini bisa
membuatmu senang.
Teruslah giat belajar, kejar cita-citamu.
Raih dengan ilmu dan
amalmu. Kami hanya mampu
memberikan dorongan
semangat padamu. Sebodoh apapun
kami tidak akan
menghambat gerak langkahmu. Sehebat
apapun ilmu kami,
bukan penentu masa depanmu. Berjuanglah
kalian dengan merdeka.
Doa restu kami di setiap langkahmu.
Peluk ciumku untuk
kalian.
Dari ibumu,
Helwatin Najwa
(23.00 Wita, Minggu
malam, saat sudah seminggu
kutinggalkan kalian
dan tak bisa cepat pulang karena tugas
baru telah menanti)
Dimensi
Warna
Sekian lama kita
melukiskan perjalanan
Pada binar-binar
bintang malam
Kejap-kejap indah
menjadi warnanya
Mungkin akan tercipta
sebuah puisi
Atau bait syair
tentang sekeping hati
Di antara awan kubaca
pesan
Dalam aksara putih
bersih
Yang luruh
Meniti bianglala
Kita sering tak
sepaham
Tentang bentuk awan
Apalagi bila
jelaga-jelaga cuaca tak bersahabat
Tidaklah mudah bagiku,
juga bagimu
Bila harus menapikan
makna setiap pertemuan
Bukan karena kita
memaksakan hati
Bukan pula karena
janji
Tapi lantaran kita
mengerti tentang warna
Banjarbaru,
11 Oktober 2013
Cerita
buat Anakku
Di tempat ini berpuluh
tahun yang lalu
Ada pohon-pohon tumbuh
di sini
Batangnya sangat besar
dan sangat tinggi
Sehingga begitu sulit
utnuk melihat puncaknya
Pada siang hari tempat
ini sangat sejuk
Hamparan rumput tinggi
di bawahnya tempat kami bermain
Pergi dan pulang
sekolah lewati jalan setapak di sela pohon-
pohon
Apalagi bila seusai
hujan berlomba kami untuk sampai di sini
Mengai-ngais rumput
masuk semak mencari-cari sesuatu
Bila angin bertiup
deras kami bergegas ke bawah pohon
Berebut menanti buah
yang jatuh
Pada malam hari pulang
dan pergi mengaji
Juga lewat jalan
setapak di bawah pohon
Kakak membawa suluh
bambu berjalan di depan
Di belakang kami
beriring mendekap kitab
Kadang dia nakal
berlari meninggalkan
Kami pun berhamburan
di kegelapan
Takut akan hantu dundun yang berdiam
Di atas pohon kasturi
Hiii
Barabai,
Oktober 2008
Daun
Doa
helai hidup berserat
warna pelangi
tengadah di awal hari
menanti sinar
menanak harapan baru
basah embun disentuh
angin
memberi segar wangi
pagi
setelah lelap dalam
mimpi malam
sejenak merunduk
takzim
mengingat hari-hari
yang penat
dalam debu hitam
jalanan
bersiap menjemput
keriuhan
berbagi harap di dahan
reranting
mencoba luruh dalam
doa
Kotabaru,
Oktober 2008
Cukuplah
Bagiku
Setujuh lapisan langit
kata-kata
Seluapan samudra
kata-kata
Sebarisan gunung
kata-kata
Mampukah ungkapkan
segala rasa
Selaksa makna
Sejuta luka
Sorot kelam matamu
Getar di ujung
genggaman
Lirih suara menyapa
Cukuplah bagiku
Wahai perindu perindu
malam yang kelu di sudut kota
Jangan pernah kau
tengok putaran waktu di dinding
Usah kau bolak balik
almanak lama
Ambil sauh dan kayuh
perahumu
Secepat aliran darah
di jantungmu
Ke dermaga sejati
Di
Lintasan Kota, Februari 2009
Cahaya
Seketika malam
beranjak larut
ada geliat merasuk
dalam dering hati
bersama suara angin
di pucuk-pucuk pohon
melabuhkan kata yang
tak kumengerti
cahaya redup mata pisau
berkarat di
pertengahan usia
mengiris luka
mengoyak kulit
mengilu tulang
Tuhan, dalam
perjalanan ini
terlalu banyak malam
yang tak terjaga
terlalu banyak siang
yang tak termaknai
aku menadah pada-Mu
untuk selembar ampunan
untuk sekeping belas
kasihan
untuk sebutir makna
kerinduan
atas waktu yang
tersia-sia
atas kalbu yang
tergalau
dalam hidupku
Kotabaru,
September 2008
Suatu
Subuh di Penyeberangan
Gelombang riuh memecah
buih di haluan
Putih di alunan ombak
Bayang memanjang
Pulau laut bersaput
mega
Wangi laut asin di
ujung kibasan kerudung malam
Bening embun di
bulu-bulu mata
Diam-diam meluruh
Dalam angin sejuk
membelai
Menghantar kejenuhan
Melepas kepenatan
Menjangkar kelesuan
Kantuk yang tersisa di
temali penyeberangan
Tersentak di
lengkingan peluit kapal
Aku pulang!
Aku pun tahu
Dari balik punggungmu
sebentar lagi matahari akan muncul
Kotabaru,
Januari 2009
Sang
Pencinta
I
dari tetirah kalbu
bulan malam tenggelam
pucat menyinari surga
para bidadari yang
gelisah
sayap-sayapnya pasrah
dengan bibir yang
basah
berserah
menyerah
2
di ketinggian aku
melihat petak-petak tanah
di deretan rumah
di sela pohon yang
rebah
pasrah pada kehendak
bumi
udara berbisa
melumpuhkan pandanganku
3
O, dahan-dahan yang
bergetar
bertasbih kepada sang
pencinta
4
kepada yang terhormat
pemilik api di ujung
sana
biarkan nyalanya
sampai
ke teras rumahku
5
beribu kunang-kunang
gemerlap di dalam
kelam
menuntunku menujumu
Kotabaru,
Desember 2014
Tentang Helwatin Najwa
Helwatin Najwa lahir di Munti Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, 15 Mei
1967. Lulus S1 jurusan Bahasa dan Sastra FKIP Unlam dan sedang berjuang
menyelesaikan paska-sarjananya di universitas yang sama. Sejak 1993-sekarang,
bertugas sebagai guru bahasa di SMKN 1 Kotabaru, juga mengajar di Bahasa
Indonesia di STAI Darul Ulum Kotabaru. Sejak 2000 mengasuh Sanggar Sastra Siswa
Indonesia (SSSI) Kotabaru, yang pada 2012 menerbitkan antologi siswa berjudul Haru Biru Kotabaru. Berkiprah di Dewan
Kesenian Kabupaten (DKD) Kotabaru periode 2008-2013. Puisinya tersebar di berbagai
antologi bersama, kebanyakan di antologi Aruh Sastra Kalsel. Terakhir
melebarkan sayap dengan ikut bergabung di antologi Memo untuk Presiden (2014).
Catatan
Lain
Buku ini saya beli hari Minggu pagi menjelang siang, 1 Februari 2015 di
acara Banjarbaru Book Fair 2015. Malamnya saya kebut menulis supaya sempat
dimasukkan dalam bulan ini. Padahal Malam minggunya ngebut menulis roh terasing
– Arahmaiani, Minggu siang (ba’da Zuhur) ngebut menulis Kota Tanpa Bunga –
Bambang Widiatmoko dan malamnya, ba’da Isya menulis Melintas Mega Jingga –
Helwatin Najwa hingga jam 12.00 malam. Menggunakan power of kepepet kali ini.
Padahal badan lagi demam. Bulan yang melelahkan. Rasanya bulan ini banyak
tersedot untuk menulis Dongeng-dongeng Tua – Iyut Fitra. Padahal Melintas Mega
Jingga tak masuk hitungan untuk bisa menyapa kita bulan Februari ini. Tapi
itulah takdir, kita sering tak tahu apa yang terjadi meskipun itu di
detik-detik akhir. Salam puisi.
Terima kasih sudah mempublis buku ini. 2018 insya Allah akan meluncur antologi kedua 'Wangi Hutan Selepas Hujan"
BalasHapus