Senin, 02 Februari 2015

Arahmaiani: ROH TERASING




Data buku kumpulan puisi

Judul : Roh Terasing
Penulis : Arahmaiani
Cetakan : I, Februari 2004
Penerbit : Bentang Budaya, Yogyakarta.
Tebal : xx + 161 halaman (94 puisi)
ISBN : 979-3062-63-0
Perancang sampul : Buldanul Khuri
Gambar sampul : Arahmaiani
Pemeriksa aksara : Winarti
Penata aksara : Agus W.
Prolog : St. Sunardi

Roh Terasing terdiri dari  empat bagian, yaitu Meninggalkan Rumah (19 puisi), Dalam Perjalanan (29 puisi), Waktu Sendiri (26 puisi) dan Ketika Ingin Pulang (20 puisi)

Setiap kali kubuka mata/Selalu kulihat tanah di bawah sini, langit di atas sana/Setiap kali aku tertawa/Selalu diikuti tetes airmata

 (Sajak Daun Nangka dan Pintu-pintu Terbuka, Arahmaiani)

Beberapa pilihan puisi Arahmaiani dalam Roh Terasing

Komposisi

Tadi malam
Mentari musim semi
Menyusup ke dalam mimpi
Menyinari kamarku
Gelap berdebu

Sinar merayapi
Kelokan-kelokan renungan
Di relung-relung kokoh sejarah
Catatan peristiwa-peristiwa

Impianku memasung tubuh
Di ruang tak bertepi
Ingatan masa lalu
Terbang
Melayang
Lintasi Pasifik – Atlantik
Pentatonik – diatonik
Pagoda – piramida

Tubuhku tergeletak
Tak berdaya
Didera rindu
Berlumut dan berdebu

Jerit kereta malam di Amsterdam
Ciptakan satu komposisi
Nada sepi
Merobek lamunan
Tirai penglihatan

Amsterdam, 1992



Kidung Kelengangan

Lirih. Lirih
Suara cinta di sebrang sana
Lirih gema do’a
Dendangkan kidung surga itu
Di sini. Di sini
Pada batas sadar
Aku mengembara
Dari satu cerita ke satu cerita
Mencari awal pangkal kefanaan
Kerajaan damai abadi
Terpijak kaki ini pada kerikil-kerikil padas
Daya adalah daya
Penguasa punya cerita

Bandung, 1983


Jejak Kaki

Ada hutan lebat tak tertembus
Di sisinya ada sungai
Kecil dan berbatu

Jejak-jejak kaki tergambar di tanah
Orang-orang pergi ke lain arah

Sydney, 1985


Poesie Progressie

Di dunia edan
Pemikiran rasio diberhalakan
Teknologi diimani
Progresi kata kunci
Puisi mati

Penyair
Sakit jiwa
Seperti Hamlet
Ditinggal mati bapak
Dikhianati ibunda

Hamburg, 1992


Wajah Cinta Sebenarnya

Cintaku dihadapkan pada seribu muka
Pada mata, pada jemari
Ikal rambut, gelombang laut
Hati resah, jiwa gelisah
Warna gelap. Wanita
Dan lelaki tentu saja

Gairahnya terbang
Menyanyi di antara hati sunyi
Lelah perlu istirah

Cintaku pemberontak
Cintaku bau wiski
Cintaku banjir besar
Cintaku petaka:
Ingin merangkulmu!
(Koyak dan bunuhlah aku
Kasih aku waktu
Jadi satu sama kamu)

Apa wajah cinta
Wajahnya tikaman bola mata
Wajahnya sentuhan
Wajahnya pengakuan
Wajahnya ketidak-tahuan
Wajahnya tak terekam
Bermacam-macam

Bandung, 1983


Daun Nangka dan Pintu-pintu Terbuka

Sehelai daun nangka jatuh ke kepala
Apakah kegilaan ini nyata?

Pintu-pintu terbelah
Jendela kaca pecah
Kurobek dada
Kuperlihatkan isinya

Inilah aku darah yang berasal dari tanah
Roh yang rindu
Tersesat di lautan galau
Tak berurut tak ada petunjuk

Pintu-pintu rumah terbuka semua
Segala angin jahat, syahwat
Menyerbu, menyeru, bersatu
Menjadi sebongkah batu

Inilah aku: setitik nurani
Dalam kacau porak poranda
Gelap napsu getir kuatir
Harus mengabdi kepada waktu

Tuanku, bisakah nasib ini kuperangkap
Dan kujebloskan ke dalam kebohongan pengkhianatan?
Atau kupercayakan pada ombak
Yang menerpa pantai karang?

(Wajahnya tak kelihatan
Namun degupnya selalu terasakan)

Bagaimana mungkin aku bisa melarikan diri
Menjelmakan hakikat kesesatan bersekutu dengan setan
Dan membawa panji-panji pernyataan:
Bahwa di alam ini tidak ada Tuhan

Aku teringat cerita panjang
Tentang awal kehidupan
Aku bertanya:
Apakah makna penciptaan?

Adalah gairahku, minat yang terbangkitkan
Ketika menyaksikan kilap sebilah pedang teramat tajam
Merah seciprat darah di lantai marmer mewah
Dan hewan-hewan melakukan persetubuhan

Hasratku bergejolak, mengombak, beriak, berteriak:
Oi, lahirkan kenikmatan-kenikmatan
Sebagai anak-anak dari persekutuan
Antara malaikat dan setan!

Telah diciptakan dua kekuatan
Dua saling berlawanan, saling melengkapi
Untuk membangkitkan keinsyafan
Menyadarkan kemanusiaan

Setiap kali kubuka mata
Selalu kulihat tanah di bawah sini, langit di atas sana
Setiap kali aku tertawa
Selalu diikuti tetes airmata

Kesetiaan mengharukan
Tunjukkan aku pada kenyataan
Kokohkan aku pada janji
Dan robohkan aku apabila mengingkari

Telah diciptakan matahari & bulan, daratan & lautan
Laki-laki & perempuan, kawan & lawan, ketertiban & kekacauan
Jadi satu dan sebadan
Dalam segala tindak dan kejadian

Tuanku,
Dapatkah angin dirobah arah tiaupannya?
Dapatkah hati disembunyikan dalam almari?
Dan lalu dikunci?

Di ambang setiap pintu terbuka
Iblis-iblis berdiri menjulurkan lidahnya
Matanya menelanjangiku
Cakarnya mengoyak keyakinanku

Siapakah sebenarnya kamu?
Siapakah sebenarnya aku?

Sungai membelah hutan
Cinta menunjukkan jalan
Sekalipun aral akan tetap datang
Cemas menghadang dan iman guncang

Dari buah asalnya biji
Dari mentari datangnya api
Bagaimana berhadapan dengan siluman
Adalah rahasia kedaulatan diri

Bagaimana memutuskan kebergantungan
Adalah makna kemerdekaan

II

Halilintar menyambar-nyambar
Kilat berkelebat
Aku tergetar
Tubuh terkapar

Bangkit! Bangkit!
Bangkitlah kesadaran
Bangkitkan diri dari kelemahan
Bangkitkan diri dari impotensi

Bangkit engkau penghuni surga
Bangkit engkau penghuni neraka
Bangkit dan uji kebenaran
Bangkit dan wujudkan cita-cita
Biarkan pertentangan datang
Biarkan keterbatasan menunjukkan kekuatan
Hadirkan kebencian
Dan cinta kasih akan memperlihatkan kekuasaan

Hadirkan pengkhianatan
Dan kesetiaan akan menjadi keindahan
Hadirkan penderitaan
Dan kita akan mengerti kebahagiaan

Memang hidup bukan bunga cempaka
Bukan rumah yang hangat
Di mana ibu dan bapak selalu ada
Ataupun rangkaian pelukan tak berkeputusan

Bukan lodong yang diledakkan dekat lebaran
Itu sensasi, kata lain puas diri
Bukan pula pelor-pelor yang ditembakkan pada tawanan
Itu eksekusi, kata lain penganiayaan

Ya, keberadaan biarkan bicara atas namanya sendiri
Ya, rahasia penciptaan bukan untuk dicari
Tetapi untuk diungkapkan
Lewat kesadaran diri

Aku tak pernah ingat kapan aku dilahirkan
Aku tak pernah bertatap muka dengan Adam
Aku tak pernah ingat dari mana aku datang
Hanya kurasakan rindu yang tak berkeputusan

Rindu yang membawa aku ke rumah-rumah gelap
Namun terbuka semua pintu-pintunya
Membawa aku pada duka cita, amarah, dan dendam
Curiga tidak percaya, kecut dan takut, gerah gelisah

Dan sakitnya terpisah
Di mana matahari garang memanggang dan tak pernah tenggelam
Rindu yang dahaga
Rindu yang sakit jiwanya

Tuanku,
Apakah peredaran matahari dapat dihentikan?
Apakah dalam gelap harus selalu tersesat?
Tidak bisa selamat?

Aku ingin meniti pelangi dan memamah matahari
Ah, alangkah sulitnya mengikuti gerak api
Sebab empat penjuru angin selalu terbuka lebar-lebar
pintu-pintunya
Di mana aku berdiri angin menerpa pada setiap sisi

Pada langit kelam munculnya bintang
Dalam gelap adanya hati yang tetap

Hitunglah degup jantung
Dan ulang dan ulang
Dan ulang
Maka setan takkan berani datang
Bergeraklah berputar
Ciptakan pagar
Karena tak sselamanya dalam gelap
Harus selalu tersesat

Awan hitam lebur menjadi hujan
Kokok ayam menjadi peringatan pagi kan menjelang
Bahwa manusia mampu melakukan perubahan dan
mengolah mekanisme pertahanan
Ditegaskan dan disampaikan

Kalau ada gelap, ada terang
Aka ketetapan, ada perubahan
Ada perangkap, ada pembebasan
Ada sikap, ada jalan

Tak usah,
Tak usah ditanyakan di mana Tuhan
Tapi bunuhlah benih-benih pengkhianatan
Kuburkan dalam iman

Telah diciptakan kegembiraan dan kegundahan
Kewajaran dan keanehan, keyakinan dan keraguan
Dalam dinamika daur ulang
Berulang dan berulang
Di peringkat atas letaknya pusat kekuasaan
Di bawah sumber pemberontakan
Berulang dan berulang bertukaran

Daun-daun kering berjatuhan
Menjadi humus dan menyuburkan
Dalam hening aku tersadarkan:
Hidup tak perlu dilakoni
Apabila sia-sia belaka
Cinta tak dipelihara
Tak ada maknanya

Inilah aku:
Kegelisahan dalam kental kekecewaan
Berusaha membidik makna
Hidup teramat purba
Hidup duka
Hidup cedera
Hidup kita

Sekalaras, 1987


Tubuhku Merindukan Tubuhmu

Ini tubuh
Siapa punya?
Aku terperangkap di dalamnya
Mengeja belulang
Membaca daging dan darah
Melapal saraf

Tubuhku
Satu unit organ
Mengeluarkan cairan
Menyedot cairan
Berdenyut
Diam

Menangis
Mengembang kempis
Gerah
Bergairah
Lelah
Dan menjadi tua

Tubuhku
Dipasung waktu
Diikat aturan alam
Sendiri
Bergerak
Dalam isolasi

Tubuhku
Buah kehidupan
Dari benih tertanam
Rasakan
hangat menyusur
Sekujur
Jatuhan keringat

Pori-pori
terbuka
Lajur urat nadi seperti renda
Merentang dan berkelok
Di rimbunan bulu rambut
Rasakan gelombang hangat
Gairah birahi

Tubuhku
Sepenggal pernyataan
Sebutir tanda
Setitik air
Sebuah kenyataan
Merindukan tubuhmu

Yogyakarta, 2002


Cita-cita

Waktu kecil aku ditanya
Cita-citaku apa
Kubilang mau jadi nabi
Bapak bilang: tidak bisa!
Anak perempuan boleh meraih cita-cita
Mencari ilmu ke Roma atau ke Cina
Mendapat gelar terhormat
Kemuliaan
Tapi bukan sebagai nabi
Itu hanya untuk anak lelaki

Sesudah dewasa
Aku ditanya
Kapan akan berkeluarga
Dan aku bilang: kapan-kapan saja
Sebab keinginanku untuk jadi nabi
Dan boleh mendapat wahyu
Belum juga sirna
Kalaupun aku harus punya lelaki
Mestilah ia seseorang yang
Ingin jadi tuhan

Yogyakarta, 2002


Kenangan

Dulu,
Bapakku menanamkan do’a
Tanah hitam
Tumbuh jadi piramida

Ibuku meniup mantra
Sungai lengang
Membuat ikan-ikan menari
Ganggang bersinar terang

Bintang-bintang dirajut
Langit disulam
Benangnya berjurai ke bumi
Menyentuh dedaunan

Bapak
Menatahkan nyanyian di batu
Debunya berterbangan
Jadi kunang-kunang

Amsterdam, 1992


Percakapan Seorang Kelana dengan O

Kelana :      Engkau diam memaku
                   Bicara lewat mata
                   Membuat aku terpana
                   Membuat aku lupa
                   Siapa diriku adanya

                   Engkau memancarkan wibawa
                   Selalu berdo’a dan memuja
                   Membuat aku segan
                   Takut melakukan kesalahan

                   Engkau si pemilik cinta
                   Adalah seumpama rahim Bunda
                   Membuat aku terharu
                   Titikkan airmata

                   Aku tak kuasa memalingkan muka
                   Tak kuasa menahan degup jantung
                   Ingin mengetahui
                   Siapakah tuanku sebenarnya

                   (Suburlah, subur pohon kebajikan
                   Gemburlah, gembur persemaian keindahan
                   Sang pujangga harus berani menelanjangi
                   kenyataan)

O :              Aku adalah batu
                   Beribu api
                   Berbapak air
                   Tempatku di rimba belantara
                   Balaku srigala dan singa
                   Tungganganku burung garuda

                   Aku tapa brata
                   Aku jiwanmukta
                   Aku sejumlah senjata
                   Aku musuh para kurawa
                   Aku adalah gagasan
                   Aku adalah perbuatan
                   Aku melakukan pembunuhan

                   Aku mengukir takdir
                   Aku menatah salib
                   Aku menguntai karma
                   Aku mewarnai padma

                   Aku delapan jalan semesta
                   Aku jalannya matahari
                   Aku jalannya bulan
                   Aku jalannya bintang
                   Aku jalannya angin
                   Aku jalannya mendung
                   Aku jalannya api
                   Aku jalannya samudra
                   Aku jalannya bumi

Kelana :      Tuanku
                   Lewat kehadiranmu aku mengerti
                   Aku melihat
                   Kebahagiaan menampakkan diri
                   Dialah purnama di malam gulita
                   Dialah sekuntum bunga di padang ilalang
                   Tak terangkum dalam kata
                   Tak terungkap oleh suara
                   Gerak ataupun warna

                   Aku sang musafir
                   Telah meninggalkan dzikir
                   Menjadi seorang kafir
                   Sebab kerinduan tak tertahankan
                   Ingin bertemu
                   Mengabdi kepada Tuanku kebenaran

                   Aku hanya debu
                   Terlilit kebodohan dan nafsu
                   Ingin bertanya
                   Apakah sebab Tuan bicara kepada hamba?

                   (Mengalirlah, mengalir air kehidupan
                   Hanyutlah, hanyut mendung kematian
                   Sang pujangga harus berjuang demi kebenaran)

O :              Aku datang tak ada yang menitah
                   Aku pergi bukan karena diperintah
                   Sebab aku kemandirian
                   Yang menggariskan batas-batas
                   Kejahatan dan kebajikan
                   Kepalsuan dan keabsahan
                   Kesucian dan noda
                   Kebajikan dan dosa

                   Aku merambah hutan
                   Membuka jalan
                   Mengumpulkan bahan
                   Mendirikan bangunan
                   Membuat pintu dan jendela
                   Memegang kuncinya
                   Menyimpan harta peninggalan para raja
                   Mengetahui lorong-lorong rahasia

                   Kuwujudkan diriku
                   Kujadikan engkau sekutuku
                   Sebab engkau berani
                   Tanggalkan seluruh pakaian
                   Engkau tega matikan raga
                   Engkau kuat hidup di antara mayat
                   Engkau sadar dunia ini kegilaan belaka

Kelana :      Tuanku,
                   Rasa ini hanya satu
                   Tunggal walau terlihat seribu
                   Jernih bagai tirta
                   Manis bagai madu

                   Aku pengembara
                   Meninggalkan teman dan saudara
                   Hayati jalan tercela
                   Sebab dikuasai cinta birahi
                   Ingin menyetubuhi ilmu pengetahuan
                   Dan beranak pinak kebajikan

                   Aku setitik air di tengah samudra
                   Mencoba menemukan jati diri
                   Rahasia hati
                   Sekali lagi hendak bertanya
                   Kalau tuanku telah menyatakan
                   Ini sebuah persekutuan
                   Lalu apa yang hendak kita lakukan?

                   (Bersinarlah, bersinar mentari sukama
                   Berkobarlah, berkobar api jiwa
                   Sang pujangga harus berkorban dan jujur pada
                   suratan)

O :              Aku penebar benang sutra
                   Engkau penenunnya
                   Aku kata
                   Engkau lidahnya
                   Aku nada
                   Engkau musiknya
                   Aku gerak
                   Engkau penarinya
                   Aku warna
                   Engkau pelukisnya
                   Aku dara jelita
                   Engkau jejakanya
                   Aku Ratu
                   Engkau abdi setia

Kaliurang, 1990


Sajak Tiga Peringatan

Terhimpit kemiskinan dan penindasan
Manusia akan berusaha menjawabnya

Apabila Negara bijaksana
Menyediakan lowongan kerja dan kesempatan bicara
Juga orang kaya mau membagikan sebagian hartanya
Kedamaian akan terjaga

Namun apabila tak ada yang peduli
Dan orang-orang papa dicekik kemelaratan
Ditekan kehinaan
Hidup sudah pasti akan jadi neraka bagi siapa saja

Tak usah kaget dan kecewa
Apabila menyaksikan pemuda tamatan SLA
Menggorong leher tetangganya yang kaya
Ataupun mendapati perawan
Menjajakan tubuhnya di jalan raya

Tak usah marah dan terluka
Apabila melihat orang-orang melibatkan diri
Ke dalam pemerasan dan penipuan
Mempertaruhkan miliknya dalam perjudian
Ataupun melilit dirinya dengan hutang-hutang

Juga tak perlu merasa heran dan teraniaya
Apabila orang-orang menjadi liar tak mematuhi aturan
Lalu menjadi ganas seperti binatang
Dan akhirnya melakukan pemberontakan

Jakarta, 1989


Puisi Hati

Perempuan berkaca mata
Menyanyi sendiri
Di dalam hati
Musiknya detak jantungnya

Perempuan berkaca mata
Berpuisi sendiri
Di dalam hati
Kata-katanya derita

Sydney, 1986


Duka Kaca

Sayup gamelan mengantar legong
Desirkan nyanyian ketiadaan
Tentang masa kecil yang haru
Tentang ingat wajah nenek ketus
Tiap tarian kakek di puncak malam
Waktu aku berdiri di ambang bimbang
Pada mangkuk yang berjajar di bale
Mengusir dingin alas tanpa kasut
Muka beringas ngeri
Wajah itu kini tak pernah pergi
Di muka bertaring benci
Terornya melilit langkahku
Pada tiap lamunan
Melayangkan duka
Duka kayu mengkilat
Duka kursi rotan
Duka bilik gedek
Duka suplir mungil merunduk
Duka tegar kaca patri
Pada tiap detak kelengangan
Puluh tahun. Lalu
Tapi duka itu terpatri
Di kaca dan lampu rumahku

Bandung, 1983


Amsterdam Blues

Di rambutku kusut
Bertebar rasa takut
Bergelinjang mengerang
Sepanjang malam
Berselimut gemerlap lampu

Kekasihku,
Hujan dingin turun
Basahi kepedihanku yang batu
Cucurannya aliri
Kesepian beku
Di kanal-kanal dosa
Gang-gang sempit kejahatan bisu
Jatuh
Sebagai butir-butir air mata
Di bata-bata tua
Berkilau
Bercahaya
Dalam gelap makna cinta

Aku melaju di atas sepeda reyotku
Menentang sunyi
Melawan sepi
Tembus langit-langit berdebu
Menuju kamu

Amsterdam, 1992


“Un-Known Territory”

Telah kujalani
Hal pantas dan tidak pantas
Melawan aturan
Melanggar larangan
Menyalahgunakan pikiran
Meninggalkan agama
Melupakan Tuhan

Aku menggadaikan
Keyakinan
Dan kupertaruhkan
Dalam perjudian kehidupan
Aku tidak pernah menang
Aku terlunta
Diombang-ambing tanda tanya

Waktu berjalan
Merayapi pikiran dan tubuhku
Yang kerap bimbang
Mengabur-baur segala dugaan
Mengaduk campur
Pola dan tanda
Mengacau birama

Kuhapus segala nama
Kubuang segala rambu
Kusapu segala hiasan
Kupupus segala warna
Kusenyapkan segala nada
Kuhancurkan segala rupa
Kuenyahkan segala tanya

Tiada pahala
Tiada dosa
Tiada kebaikan
Tiada keburukan
Tiada benar
Tiada salah
Tiada yang tiada

Teritori yang tak kukenali
Membentang di cakrawala
Kosong dan sunyi
Tidak tahu aku sedih atau bahagia
Hanya satu hal yang kutahu
Aku butuh kamu
Wajah Tuhanku

Yogyakarta, 2002


Wajahmu

Aku berdiri di persimpangan
Aku menoleh
Ke kanan
Lalu ke kiri
Tak begitu paham
Arah mana harus berjalan

Kamu
Hadir tak terduga
Wajahmu bercahaya
Lingkaran surya
Kala aku tersesat
Dan terperangkap!

Dunia cuma bayang-bayang belaka
Tetapi aku kerap terkesima
Terjebak dalam pesona
Kecemasan
Keinginan dicinta
Dan mencintai

Duduk bersisian
Dalam diam
Kata lenyap
Kau dan aku hanyut
Pada sebuah sungai tak bertepi
Tenang dan dalam

Hidup cuma sementara
Namun aku sering terpana
Terjerat dalam harapan
Kegembiraan
Kesedihan
Dan rasa takut

Entah sampai kapan
Kau akan duduk dalam diam
Hilang bentuk
Hilang rupa
Menyatu dalam gelombang
Meninggalkan fana

Seperti labirin
Jalan hidup tak lurus
Kau terjebak di dalamnya
Engkau dan aku
Mengaliri
Keindahannya

Yogyakarta, 2002


Tentang Arahmaiani
Arahmaiani lahir di Bandung, 21 Mei 1961. Mulai menulis puisi sejak 1983. Juga menulis esai seni dan budaya. Dua kali diundang membacakan puisi di Festival Puisi Winternachten di Den Haag. Ia juga dikenal sebagai perupa dan seniman performans.


Catatan Lain
Saya kenal nama ini, Arahmaiani, saat Hajri tergopoh-gopoh datang ke kos saya di Karang Malang D. 29 (mungkin sekitar tahun 2000-2002). Rupanya ia sedang mencari artikel senirupa yang ditulis oleh orang ini. Saya kadang beli Kompas Minggu secara eceran. Dan itu yang disasar Hajri untuk dijadikan kliping. Saya membatin: nama orang ini aneh juga.
          Di lain kesempatan, pada sebuah diskusi di Bentara Budaya Yogyakarta, 28 September 2002, dalam sebuah acara bertajuk Rupa Puisi Rupa, untuk merayakan Made Wianta, saya mungkin hadir. Lho kok pakai kata mungkin? Ya, karena saya masih menyimpan makalah diskusinya. Nah, di makalah itulah untuk pertama kalinya saya melihat foto Arahmaiani. Di makalah itu terkumpul tulisan Afrizal Malna, Saut Situmorang dan Sindhunata. Di bagian tulisan Sindhunatalah muncul fotonya. Sindhunata menulis sebuah tulisan dengan judul Satu Muka Satu Kalimat, Kata-kata di Dahi Arahmaiani. Di foto itu terlihat Made Wianta sedang menulis puisi di dahi Arahmaiani. Menurut Sindhunata, saat itu Wianta berucap: “Melihat kalian semua, mendadak datang di kepala saya kata-kata Satu Muka Satu Kalimat.” Dan begitulah, dengan spidol biru, di dahi Arahmaiani tertulis puisi “Satu Muka Satu Kalimat.”
            Oya, kumpulan puisi yang dipersembahkan untuk Agni Malagina itu, tak ada satupun ditemukan puisi yang berjudul Roh Terasing. Sederhananya, judul kumpulan itu tidak diambil dari puisi-puisi yang ada di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar