Data buku kumpulan puisi
Judul : Roh Terasing
Penulis : Arahmaiani
Cetakan : I, Februari 2004
Penerbit : Bentang Budaya, Yogyakarta.
Tebal : xx + 161
halaman (94 puisi)
ISBN : 979-3062-63-0
Perancang sampul :
Buldanul Khuri
Gambar sampul : Arahmaiani
Pemeriksa aksara :
Winarti
Penata aksara : Agus
W.
Prolog : St. Sunardi
Roh Terasing terdiri dari
empat bagian, yaitu Meninggalkan
Rumah (19 puisi), Dalam Perjalanan
(29 puisi), Waktu Sendiri (26 puisi)
dan Ketika Ingin Pulang (20 puisi)
“Setiap kali kubuka mata/Selalu kulihat tanah di bawah sini, langit di
atas sana/Setiap kali aku tertawa/Selalu diikuti tetes airmata”
(Sajak Daun Nangka dan Pintu-pintu Terbuka, Arahmaiani)
Beberapa pilihan puisi Arahmaiani
dalam Roh Terasing
Komposisi
Tadi malam
Mentari musim semi
Menyusup ke dalam
mimpi
Menyinari kamarku
Gelap berdebu
Sinar merayapi
Kelokan-kelokan
renungan
Di relung-relung kokoh
sejarah
Catatan
peristiwa-peristiwa
Impianku memasung
tubuh
Di ruang tak bertepi
Ingatan masa lalu
Terbang
Melayang
Lintasi Pasifik –
Atlantik
Pentatonik – diatonik
Pagoda – piramida
Tubuhku tergeletak
Tak berdaya
Didera rindu
Berlumut dan berdebu
Jerit kereta malam di
Amsterdam
Ciptakan satu
komposisi
Nada sepi
Merobek lamunan
Tirai penglihatan
Amsterdam,
1992
Kidung
Kelengangan
Lirih. Lirih
Suara cinta di sebrang
sana
Lirih gema do’a
Dendangkan kidung
surga itu
Di sini. Di sini
Pada batas sadar
Aku mengembara
Dari satu cerita ke
satu cerita
Mencari awal pangkal
kefanaan
Kerajaan damai abadi
Terpijak kaki ini pada
kerikil-kerikil padas
Daya adalah daya
Penguasa punya cerita
Bandung,
1983
Jejak
Kaki
Ada hutan lebat tak
tertembus
Di sisinya ada sungai
Kecil dan berbatu
Jejak-jejak kaki
tergambar di tanah
Orang-orang pergi ke
lain arah
Sydney,
1985
Poesie
Progressie
Di dunia edan
Pemikiran rasio
diberhalakan
Teknologi diimani
Progresi kata kunci
Puisi mati
Penyair
Sakit jiwa
Seperti Hamlet
Ditinggal mati bapak
Dikhianati ibunda
Hamburg,
1992
Wajah
Cinta Sebenarnya
Cintaku dihadapkan
pada seribu muka
Pada mata, pada jemari
Ikal rambut, gelombang
laut
Hati resah, jiwa
gelisah
Warna gelap. Wanita
Dan lelaki tentu saja
Gairahnya terbang
Menyanyi di antara
hati sunyi
Lelah perlu istirah
Cintaku pemberontak
Cintaku bau wiski
Cintaku banjir besar
Cintaku petaka:
Ingin merangkulmu!
(Koyak dan bunuhlah
aku
Kasih aku waktu
Jadi satu sama kamu)
Apa wajah cinta
Wajahnya tikaman bola
mata
Wajahnya sentuhan
Wajahnya pengakuan
Wajahnya
ketidak-tahuan
Wajahnya tak terekam
Bermacam-macam
Bandung,
1983
Daun
Nangka dan Pintu-pintu Terbuka
Sehelai daun nangka
jatuh ke kepala
Apakah kegilaan ini
nyata?
Pintu-pintu terbelah
Jendela kaca pecah
Kurobek dada
Kuperlihatkan isinya
Inilah aku darah yang
berasal dari tanah
Roh yang rindu
Tersesat di lautan
galau
Tak berurut tak ada
petunjuk
Pintu-pintu rumah
terbuka semua
Segala angin jahat,
syahwat
Menyerbu, menyeru,
bersatu
Menjadi sebongkah batu
Inilah aku: setitik
nurani
Dalam kacau porak
poranda
Gelap napsu getir
kuatir
Harus mengabdi kepada
waktu
Tuanku, bisakah nasib
ini kuperangkap
Dan kujebloskan ke
dalam kebohongan pengkhianatan?
Atau kupercayakan pada
ombak
Yang menerpa pantai
karang?
(Wajahnya tak
kelihatan
Namun degupnya selalu
terasakan)
Bagaimana mungkin aku
bisa melarikan diri
Menjelmakan hakikat
kesesatan bersekutu dengan setan
Dan membawa
panji-panji pernyataan:
Bahwa di alam ini
tidak ada Tuhan
Aku teringat cerita
panjang
Tentang awal kehidupan
Aku bertanya:
Apakah makna
penciptaan?
Adalah gairahku, minat
yang terbangkitkan
Ketika menyaksikan
kilap sebilah pedang teramat tajam
Merah seciprat darah
di lantai marmer mewah
Dan hewan-hewan
melakukan persetubuhan
Hasratku bergejolak,
mengombak, beriak, berteriak:
Oi, lahirkan
kenikmatan-kenikmatan
Sebagai anak-anak dari
persekutuan
Antara malaikat dan
setan!
Telah diciptakan dua
kekuatan
Dua saling berlawanan,
saling melengkapi
Untuk membangkitkan
keinsyafan
Menyadarkan
kemanusiaan
Setiap kali kubuka
mata
Selalu kulihat tanah
di bawah sini, langit di atas sana
Setiap kali aku
tertawa
Selalu diikuti tetes
airmata
Kesetiaan mengharukan
Tunjukkan aku pada
kenyataan
Kokohkan aku pada
janji
Dan robohkan aku
apabila mengingkari
Telah diciptakan
matahari & bulan, daratan & lautan
Laki-laki &
perempuan, kawan & lawan, ketertiban & kekacauan
Jadi satu dan sebadan
Dalam segala tindak
dan kejadian
Tuanku,
Dapatkah angin dirobah
arah tiaupannya?
Dapatkah hati
disembunyikan dalam almari?
Dan lalu dikunci?
Di ambang setiap pintu
terbuka
Iblis-iblis berdiri
menjulurkan lidahnya
Matanya menelanjangiku
Cakarnya mengoyak
keyakinanku
Siapakah sebenarnya
kamu?
Siapakah sebenarnya
aku?
Sungai membelah hutan
Cinta menunjukkan
jalan
Sekalipun aral akan
tetap datang
Cemas menghadang dan
iman guncang
Dari buah asalnya biji
Dari mentari datangnya
api
Bagaimana berhadapan
dengan siluman
Adalah rahasia
kedaulatan diri
Bagaimana memutuskan
kebergantungan
Adalah makna
kemerdekaan
II
Halilintar
menyambar-nyambar
Kilat berkelebat
Aku tergetar
Tubuh terkapar
Bangkit! Bangkit!
Bangkitlah kesadaran
Bangkitkan diri dari
kelemahan
Bangkitkan diri dari
impotensi
Bangkit engkau
penghuni surga
Bangkit engkau
penghuni neraka
Bangkit dan uji
kebenaran
Bangkit dan wujudkan
cita-cita
Biarkan pertentangan
datang
Biarkan keterbatasan
menunjukkan kekuatan
Hadirkan kebencian
Dan cinta kasih akan
memperlihatkan kekuasaan
Hadirkan pengkhianatan
Dan kesetiaan akan
menjadi keindahan
Hadirkan penderitaan
Dan kita akan mengerti
kebahagiaan
Memang hidup bukan
bunga cempaka
Bukan rumah yang
hangat
Di mana ibu dan bapak
selalu ada
Ataupun rangkaian
pelukan tak berkeputusan
Bukan lodong yang
diledakkan dekat lebaran
Itu sensasi, kata lain
puas diri
Bukan pula pelor-pelor
yang ditembakkan pada tawanan
Itu eksekusi, kata
lain penganiayaan
Ya, keberadaan biarkan
bicara atas namanya sendiri
Ya, rahasia penciptaan
bukan untuk dicari
Tetapi untuk
diungkapkan
Lewat kesadaran diri
Aku tak pernah ingat
kapan aku dilahirkan
Aku tak pernah
bertatap muka dengan Adam
Aku tak pernah ingat
dari mana aku datang
Hanya kurasakan rindu
yang tak berkeputusan
Rindu yang membawa aku
ke rumah-rumah gelap
Namun terbuka semua
pintu-pintunya
Membawa aku pada duka
cita, amarah, dan dendam
Curiga tidak percaya,
kecut dan takut, gerah gelisah
Dan sakitnya terpisah
Di mana matahari
garang memanggang dan tak pernah tenggelam
Rindu yang dahaga
Rindu yang sakit
jiwanya
Tuanku,
Apakah peredaran
matahari dapat dihentikan?
Apakah dalam gelap
harus selalu tersesat?
Tidak bisa selamat?
Aku ingin meniti
pelangi dan memamah matahari
Ah, alangkah sulitnya
mengikuti gerak api
Sebab empat penjuru
angin selalu terbuka lebar-lebar
pintu-pintunya
Di mana aku berdiri
angin menerpa pada setiap sisi
Pada langit kelam
munculnya bintang
Dalam gelap adanya
hati yang tetap
Hitunglah degup
jantung
Dan ulang dan ulang
Dan ulang
Maka setan takkan
berani datang
Bergeraklah berputar
Ciptakan pagar
Karena tak sselamanya
dalam gelap
Harus selalu tersesat
Awan hitam lebur
menjadi hujan
Kokok ayam menjadi
peringatan pagi kan menjelang
Bahwa manusia mampu
melakukan perubahan dan
mengolah mekanisme pertahanan
Ditegaskan dan
disampaikan
Kalau ada gelap, ada
terang
Aka ketetapan, ada
perubahan
Ada perangkap, ada
pembebasan
Ada sikap, ada jalan
Tak usah,
Tak usah ditanyakan di
mana Tuhan
Tapi bunuhlah
benih-benih pengkhianatan
Kuburkan dalam iman
Telah diciptakan
kegembiraan dan kegundahan
Kewajaran dan
keanehan, keyakinan dan keraguan
Dalam dinamika daur
ulang
Berulang dan berulang
Di peringkat atas
letaknya pusat kekuasaan
Di bawah sumber
pemberontakan
Berulang dan berulang
bertukaran
Daun-daun kering
berjatuhan
Menjadi humus dan
menyuburkan
Dalam hening aku
tersadarkan:
Hidup tak perlu
dilakoni
Apabila sia-sia belaka
Cinta tak dipelihara
Tak ada maknanya
Inilah aku:
Kegelisahan dalam
kental kekecewaan
Berusaha membidik
makna
Hidup teramat purba
Hidup duka
Hidup cedera
Hidup kita
Sekalaras,
1987
Tubuhku
Merindukan Tubuhmu
Ini tubuh
Siapa punya?
Aku terperangkap di
dalamnya
Mengeja belulang
Membaca daging dan
darah
Melapal saraf
Tubuhku
Satu unit organ
Mengeluarkan cairan
Menyedot cairan
Berdenyut
Diam
Menangis
Mengembang kempis
Gerah
Bergairah
Lelah
Dan menjadi tua
Tubuhku
Dipasung waktu
Diikat aturan alam
Sendiri
Bergerak
Dalam isolasi
Tubuhku
Buah kehidupan
Dari benih tertanam
Rasakan
hangat menyusur
Sekujur
Jatuhan keringat
Pori-pori
terbuka
Lajur urat nadi
seperti renda
Merentang dan berkelok
Di rimbunan bulu
rambut
Rasakan gelombang
hangat
Gairah birahi
Tubuhku
Sepenggal pernyataan
Sebutir tanda
Setitik air
Sebuah kenyataan
Merindukan tubuhmu
Yogyakarta,
2002
Cita-cita
Waktu kecil aku
ditanya
Cita-citaku apa
Kubilang mau jadi nabi
Bapak bilang: tidak
bisa!
Anak perempuan boleh
meraih cita-cita
Mencari ilmu ke Roma
atau ke Cina
Mendapat gelar
terhormat
Kemuliaan
Tapi bukan sebagai
nabi
Itu hanya untuk anak
lelaki
Sesudah dewasa
Aku ditanya
Kapan akan berkeluarga
Dan aku bilang:
kapan-kapan saja
Sebab keinginanku
untuk jadi nabi
Dan boleh mendapat
wahyu
Belum juga sirna
Kalaupun aku harus
punya lelaki
Mestilah ia seseorang
yang
Ingin jadi tuhan
Yogyakarta,
2002
Kenangan
Dulu,
Bapakku menanamkan
do’a
Tanah hitam
Tumbuh jadi piramida
Ibuku meniup mantra
Sungai lengang
Membuat ikan-ikan
menari
Ganggang bersinar
terang
Bintang-bintang
dirajut
Langit disulam
Benangnya berjurai ke
bumi
Menyentuh dedaunan
Bapak
Menatahkan nyanyian di
batu
Debunya berterbangan
Jadi kunang-kunang
Amsterdam,
1992
Percakapan
Seorang Kelana dengan O
Kelana : Engkau diam memaku
Bicara lewat
mata
Membuat aku
terpana
Membuat aku lupa
Siapa diriku
adanya
Engkau
memancarkan wibawa
Selalu berdo’a
dan memuja
Membuat aku
segan
Takut melakukan
kesalahan
Engkau si
pemilik cinta
Adalah seumpama
rahim Bunda
Membuat aku
terharu
Titikkan airmata
Aku tak kuasa
memalingkan muka
Tak kuasa
menahan degup jantung
Ingin mengetahui
Siapakah tuanku
sebenarnya
(Suburlah, subur
pohon kebajikan
Gemburlah,
gembur persemaian keindahan
Sang pujangga
harus berani menelanjangi
kenyataan)
O : Aku adalah batu
Beribu api
Berbapak air
Tempatku di
rimba belantara
Balaku srigala
dan singa
Tungganganku
burung garuda
Aku tapa brata
Aku jiwanmukta
Aku sejumlah
senjata
Aku musuh para
kurawa
Aku adalah
gagasan
Aku adalah
perbuatan
Aku melakukan
pembunuhan
Aku mengukir
takdir
Aku menatah
salib
Aku menguntai
karma
Aku mewarnai
padma
Aku delapan
jalan semesta
Aku jalannya
matahari
Aku jalannya
bulan
Aku jalannya
bintang
Aku jalannya
angin
Aku jalannya
mendung
Aku jalannya api
Aku jalannya
samudra
Aku jalannya
bumi
Kelana : Tuanku
Lewat
kehadiranmu aku mengerti
Aku melihat
Kebahagiaan
menampakkan diri
Dialah purnama
di malam gulita
Dialah sekuntum
bunga di padang ilalang
Tak terangkum
dalam kata
Tak terungkap
oleh suara
Gerak ataupun
warna
Aku sang musafir
Telah
meninggalkan dzikir
Menjadi seorang
kafir
Sebab kerinduan
tak tertahankan
Ingin bertemu
Mengabdi kepada
Tuanku kebenaran
Aku hanya debu
Terlilit
kebodohan dan nafsu
Ingin bertanya
Apakah sebab
Tuan bicara kepada hamba?
(Mengalirlah,
mengalir air kehidupan
Hanyutlah,
hanyut mendung kematian
Sang pujangga
harus berjuang demi kebenaran)
O : Aku datang tak ada
yang menitah
Aku pergi bukan
karena diperintah
Sebab aku
kemandirian
Yang
menggariskan batas-batas
Kejahatan dan
kebajikan
Kepalsuan dan
keabsahan
Kesucian dan
noda
Kebajikan dan
dosa
Aku merambah
hutan
Membuka jalan
Mengumpulkan
bahan
Mendirikan
bangunan
Membuat pintu
dan jendela
Memegang
kuncinya
Menyimpan harta
peninggalan para raja
Mengetahui
lorong-lorong rahasia
Kuwujudkan
diriku
Kujadikan engkau
sekutuku
Sebab engkau
berani
Tanggalkan seluruh
pakaian
Engkau tega
matikan raga
Engkau kuat
hidup di antara mayat
Engkau sadar
dunia ini kegilaan belaka
Kelana : Tuanku,
Rasa ini hanya
satu
Tunggal walau
terlihat seribu
Jernih bagai
tirta
Manis bagai madu
Aku pengembara
Meninggalkan teman
dan saudara
Hayati jalan
tercela
Sebab dikuasai
cinta birahi
Ingin
menyetubuhi ilmu pengetahuan
Dan beranak
pinak kebajikan
Aku setitik air
di tengah samudra
Mencoba
menemukan jati diri
Rahasia hati
Sekali lagi
hendak bertanya
Kalau tuanku telah
menyatakan
Ini sebuah
persekutuan
Lalu apa yang
hendak kita lakukan?
(Bersinarlah,
bersinar mentari sukama
Berkobarlah,
berkobar api jiwa
Sang pujangga
harus berkorban dan jujur pada
suratan)
O : Aku penebar benang
sutra
Engkau
penenunnya
Aku kata
Engkau lidahnya
Aku nada
Engkau musiknya
Aku gerak
Engkau penarinya
Aku warna
Engkau
pelukisnya
Aku dara jelita
Engkau jejakanya
Aku Ratu
Engkau abdi
setia
Kaliurang,
1990
Sajak
Tiga Peringatan
Terhimpit kemiskinan
dan penindasan
Manusia akan berusaha
menjawabnya
Apabila Negara
bijaksana
Menyediakan lowongan
kerja dan kesempatan bicara
Juga orang kaya mau
membagikan sebagian hartanya
Kedamaian akan terjaga
Namun apabila tak ada
yang peduli
Dan orang-orang papa
dicekik kemelaratan
Ditekan kehinaan
Hidup sudah pasti akan
jadi neraka bagi siapa saja
Tak usah kaget dan
kecewa
Apabila menyaksikan
pemuda tamatan SLA
Menggorong leher
tetangganya yang kaya
Ataupun mendapati
perawan
Menjajakan tubuhnya di
jalan raya
Tak usah marah dan
terluka
Apabila melihat
orang-orang melibatkan diri
Ke dalam pemerasan dan
penipuan
Mempertaruhkan
miliknya dalam perjudian
Ataupun melilit
dirinya dengan hutang-hutang
Juga tak perlu merasa
heran dan teraniaya
Apabila orang-orang
menjadi liar tak mematuhi aturan
Lalu menjadi ganas
seperti binatang
Dan akhirnya melakukan
pemberontakan
Jakarta,
1989
Puisi Hati
Perempuan berkaca mata
Menyanyi sendiri
Di dalam hati
Musiknya detak jantungnya
Perempuan berkaca mata
Berpuisi sendiri
Di dalam hati
Kata-katanya derita
Sydney,
1986
Duka Kaca
Sayup gamelan mengantar legong
Desirkan nyanyian ketiadaan
Tentang masa kecil yang haru
Tentang ingat wajah nenek ketus
Tiap tarian kakek di puncak malam
Waktu aku berdiri di ambang bimbang
Pada mangkuk yang berjajar di bale
Mengusir dingin alas tanpa kasut
Muka beringas ngeri
Wajah itu kini tak pernah pergi
Di muka bertaring benci
Terornya melilit langkahku
Pada tiap lamunan
Melayangkan duka
Duka kayu mengkilat
Duka kursi rotan
Duka bilik gedek
Duka suplir mungil merunduk
Duka tegar kaca patri
Pada tiap detak kelengangan
Puluh tahun. Lalu
Tapi duka itu terpatri
Di kaca dan lampu rumahku
Bandung,
1983
Amsterdam Blues
Di rambutku kusut
Bertebar rasa takut
Bergelinjang mengerang
Sepanjang malam
Berselimut gemerlap lampu
Kekasihku,
Hujan dingin turun
Basahi kepedihanku yang batu
Cucurannya aliri
Kesepian beku
Di kanal-kanal dosa
Gang-gang sempit kejahatan bisu
Jatuh
Sebagai butir-butir air mata
Di bata-bata tua
Berkilau
Bercahaya
Dalam gelap makna cinta
Aku melaju di atas sepeda reyotku
Menentang sunyi
Melawan sepi
Tembus langit-langit berdebu
Menuju kamu
Amsterdam,
1992
“Un-Known
Territory”
Telah kujalani
Hal pantas dan tidak
pantas
Melawan aturan
Melanggar larangan
Menyalahgunakan
pikiran
Meninggalkan agama
Melupakan Tuhan
Aku menggadaikan
Keyakinan
Dan kupertaruhkan
Dalam perjudian
kehidupan
Aku tidak pernah
menang
Aku terlunta
Diombang-ambing tanda
tanya
Waktu berjalan
Merayapi pikiran dan
tubuhku
Yang kerap bimbang
Mengabur-baur segala
dugaan
Mengaduk campur
Pola dan tanda
Mengacau birama
Kuhapus segala nama
Kubuang segala rambu
Kusapu segala hiasan
Kupupus segala warna
Kusenyapkan segala
nada
Kuhancurkan segala
rupa
Kuenyahkan segala
tanya
Tiada pahala
Tiada dosa
Tiada kebaikan
Tiada keburukan
Tiada benar
Tiada salah
Tiada yang tiada
Teritori yang tak
kukenali
Membentang di
cakrawala
Kosong dan sunyi
Tidak tahu aku sedih
atau bahagia
Hanya satu hal yang
kutahu
Aku butuh kamu
Wajah Tuhanku
Yogyakarta,
2002
Wajahmu
Aku berdiri di
persimpangan
Aku menoleh
Ke kanan
Lalu ke kiri
Tak begitu paham
Arah mana harus
berjalan
Kamu
Hadir tak terduga
Wajahmu bercahaya
Lingkaran surya
Kala aku tersesat
Dan terperangkap!
Dunia cuma
bayang-bayang belaka
Tetapi aku kerap
terkesima
Terjebak dalam pesona
Kecemasan
Keinginan dicinta
Dan mencintai
Duduk bersisian
Dalam diam
Kata lenyap
Kau dan aku hanyut
Pada sebuah sungai tak
bertepi
Tenang dan dalam
Hidup cuma sementara
Namun aku sering
terpana
Terjerat dalam harapan
Kegembiraan
Kesedihan
Dan rasa takut
Entah sampai kapan
Kau akan duduk dalam
diam
Hilang bentuk
Hilang rupa
Menyatu dalam
gelombang
Meninggalkan fana
Seperti labirin
Jalan hidup tak lurus
Kau terjebak di
dalamnya
Engkau dan aku
Mengaliri
Keindahannya
Yogyakarta,
2002
Tentang Arahmaiani
Arahmaiani lahir di Bandung, 21 Mei 1961. Mulai menulis puisi sejak 1983.
Juga menulis esai seni dan budaya. Dua kali diundang membacakan puisi di
Festival Puisi Winternachten di Den Haag. Ia juga dikenal sebagai perupa dan
seniman performans.
Catatan
Lain
Saya kenal nama ini, Arahmaiani, saat Hajri
tergopoh-gopoh datang ke kos saya di Karang Malang D. 29 (mungkin sekitar tahun
2000-2002). Rupanya ia sedang mencari artikel senirupa yang ditulis oleh orang
ini. Saya kadang beli Kompas Minggu secara eceran. Dan itu yang disasar Hajri untuk dijadikan
kliping. Saya membatin: nama orang ini aneh juga.
Di lain kesempatan,
pada sebuah diskusi di Bentara Budaya Yogyakarta, 28 September 2002, dalam
sebuah acara bertajuk Rupa Puisi Rupa,
untuk merayakan Made Wianta, saya mungkin hadir. Lho kok pakai kata mungkin?
Ya, karena saya masih menyimpan makalah diskusinya. Nah, di makalah itulah
untuk pertama kalinya saya melihat foto Arahmaiani. Di makalah itu terkumpul
tulisan Afrizal Malna, Saut Situmorang dan Sindhunata. Di bagian tulisan
Sindhunatalah muncul fotonya. Sindhunata menulis sebuah tulisan dengan judul Satu Muka Satu Kalimat, Kata-kata di Dahi
Arahmaiani. Di foto itu terlihat Made Wianta sedang menulis puisi di dahi
Arahmaiani. Menurut Sindhunata, saat itu Wianta berucap: “Melihat kalian semua,
mendadak datang di kepala saya kata-kata Satu Muka Satu Kalimat.” Dan
begitulah, dengan spidol biru, di dahi Arahmaiani tertulis puisi “Satu Muka
Satu Kalimat.”
Oya, kumpulan puisi
yang dipersembahkan untuk Agni Malagina itu, tak ada satupun ditemukan puisi
yang berjudul Roh Terasing. Sederhananya, judul kumpulan itu tidak diambil dari
puisi-puisi yang ada di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar