Judul : Madah Kelana
Penulis : Sanoesi Pane
Cetakan : 1978 (terbit pertama: 1931)
Penerbit : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah,
Jakarta.
Keterangan
tambahan: Tidak Diperdagangkan, diterbitkan kembali seijin PN Balai Pustaka, BP
No. 528.
Tebal : 62 halaman
(50 puisi)
Beberapa
pilihan puisi Sanoesi Pane dalam Madah Kelana
Dibawa Gelombang
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu
Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad;
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi, yang kecil amat.
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin didaun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun,
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu
Awan
Awan datang melayang perlahan,
Serasa bermimpi, serasa berangan,
Bertambah lama, lupa di diri,
Bertambah halus, akhirnya seri,
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru-gemilang.
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teduh tenang.
Teratai
Kepada Ki Adjar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh
sekuntum bunga teratai:
Tersembunyi
kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun
berseri Laksmi mengarang:
Biarpun
ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun Indonesia,
Biar
sedikit penjaga taman.
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat,
Engkaupun
turut menjaga Zaman.
Sajak
O, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.
Seperti matari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.
Tanah Bahagia
Bawa daku ke negara sana, tempat bah’gia
Ke tanah yang subur, dipanasi kasih cinta.
Dilangiti biru yang suci, harapan cita,
Dikelilingi pegunungan damai mulia.
Bawa daku ke benua termenung berangan,
Ke tanah tasik kesucian memerak silau,
Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau,
Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan.
Ingin jiwa pergi ke sana tidak terkata:
Hatiku dibelah sengsara setiap hati,
Keluh kesah tidak berhenti sebentar jua.
O, tanah bah’gia, bersinar emas permata,
Dalam dukacita engkau mematahari.
Pabila gerang tiba waktu bersua?
Betapa Kami Tidakkan Suka
Betapa sari
Tidakkan kembang,
Melihat terang
Simata hari.
Betapa kami
Tidakkan suka,
Memandang muka
Sijantung hati.
Arjuna
Kepada R. P. Mr. Singgih
Aku merasa tenaga baru
Memenuhi
jiwa dan tubuhku;
Hatiku
rindu ke padang Kuru,
Tempat berjuang, perang selalu.
Aku merasa bagai Pamadi,
Setelah
mendengar sabda Guru,
Nerendra
Krisjna, di ksetra Kuru:
Bernyala ke dewan dalam hati.
Tidak ada yang dapat melingtang
Pada
jalan menuju maksudku:
Menang
berjuang bagi Ratuku
Mahkota nanti di balik bintang
Laksmi
letakkan d’atas kepalam
Sedang
bernyanyi segala dewa.
Kepada Krisjna
Aku berdiri sebatang kara,
Tidak
berteman, tidak berkawan.
Tangan tertadah k’atas udara.
Jiwa
menjerit disayat rawan.
Hatiku kosong, tanganku hampa,
Tidak
ada yang sudah tercapai:
Aku bermimpi di dalam tapa.
Mengingat
untung termenung lalai.
O, Krisjna tiadakanlah kembali
Titah
yang dulu menyuruh daku
Meniup
suling di tanah airku.
Biarkan daku sekali lagi.
Jatuh
ke dalam jurang gulita,
Supaya
lupa, tidak bercita.
Taj Mahal
Kepada “Anjasmara”
Dalam Taj Mahal, ratu astana,
Putih
dan permai: pantun pualam
Termenung diam di tepi Jamna
Di
atas makam Ardjumand Begam,
Yang beradu di sisi Syah Jahan,
Pengasih,
bernyanyi megah mulia
Dalam malam tiada berpadan,
Menerangkan
cinta akan dunia,
Di sana, dalam duka nestapa,
Aku
merasa seorang peminta
Di
depan gapura kasih cinta,
Jiwa menjerit, di cakra duka
Ah,
Kekasihku, memanggil tuan.
Hanya
Jamna membalas seruan.
Penyanyi
Pujangga, kalau ajal sudahlah sampai,
Engkau menutup mata di dalam damai,
Sebab mengetahui terang rahasia alam,
Engkau, yang bermahkota susunan ilham.
O, Pujangga, kalau dunia gundah gulana,
Engkau bersila, jiwa tersenyum jua,
Sebab merasa kegemetaran nyawa dunia,
Engkau, Penyanyi lagu mulia.
Lautan Waktu
Jiwaku
talah lama merenang lautan waktu dan aku berhenti,
membiarkan diriku dipermainkan gelombang.
Aku
bermimpi dibawa arus ke darat sejahtera di bawah langit
bertabur bintang.
Mata
kubuka: awan mengandung guruh berkumpul di langit.
Badai
turun dan setinggi gunung gelombang naik, mengem-
pas-empaskan daku seperti tempurung.
Tangan
kukembangkan dan mulai lagi mengharung laut,
sebatang kara dalam ‘alam tidak berwatas.
Doa
O,
Kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku.
Sudah
bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari.
O,
Kekasihku, turunkan rahmatmu ke dalam taman hatiku.
Bunga
kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara
dengan cinta berahi.
O,
Kekasihku, buat jiwaku bersinar-sinar!
O,
Keindahan, jiwaku rindu siang dan malam, hendak me-
mandang cantik parasmu.
Datanglah
tuan dari belakang pegunungan dalam ribaan pagi
tersenyum.
O,
beri daku tenaga, supaya aku bisa bersama tuan melayang
sebagai garuda menuju kebiruan langit
nilakandi.
Kecapi
O,
Kekasih, dunia hiru-biru.
Kita
duduk berdua saja, terasing dari yang lain.
Biarkan
daku membunyikan kecapi dan berceritera dengan
bernyanyi.
Siapa
tahu ada orang yang berjuang yang rindu kepada
kedamaian dan keteduh-tenangan.
Ia
mendengar beberapa lagu dan ia terkadang menyanyikan-
nya dalam malam duka nestapa.
O,
Adinda, barangkali ia teringat akan kekasihnya dan pan-
tunku menghiburkan hatinya.
Bimbang
Aku
duduk dalam kesunyian jiwaku dan mencoba membu-
nyikan lagu pada kecapi. Ah, tiada suara yang
keluar dan
aku menundukkan kepala, termenung akan tanah
air menge-
luarkan lagu yang tidak menyambung waktu silam.
Adinda
datang dan berkata dengan suara penuh duka,
“Mengapa
Tuan termenung saja, tidak membunyikan lagu
penghibur hati? Sudah lama cantingku berhenti,
tidak sanggup
melukis tenunanku, karena engkau tidak kudengar
membunyi-
kan kecapi.”
Aku
mengangkat kepada dan memandang dia dengan mata
murung caya.
“Aduh,
Adinda, hatiku lemah mendengar suara yang tidak
sepadan dengan kehijauan tanah airku.”
Syiwa-Nataraja
Kepada R. Soeratmaka
Pada perjalananku melalui Langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan
bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam
dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termasyhur, aku
melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam
berkilat-kilat.
Astana Rawana sebagai bulan purnama raya.
Dan di negara Godawari dan Krisjna, Nataraja,
Mahadewa sebagai Penari, Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputra,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura.
Mediadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang,
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam,
dipandang
Kuruksetra. Aku berada di Sarnath Negara,
Tempat Buda pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna,
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak
terkata.
Dalam taman dan astana Taj Mahal, Mutiara
Timur,
Tempat Syah Jahan dan Mumtaz-i-Mahal bersanding
berkubur,
Aku bermimpi mengenang cinta.
O,
jiwa India
Kupandag gilang-gemilang, kurasa mahamulia.
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku sejurus lama,
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang,
bernyala-nyala.
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam
Samadi,
Dalam candi Kencana, yang berdiri di jantung
hati
Tanah Hindustan.
Aku
terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani denga mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina: Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum
punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya.
Di Indonesia, tanah airku,
Natesa
berdiri
Di atas buta, tangan kanan memegang gendang,
kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan,
tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya:
angan-angan
Keindahan.
Genta
candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian, tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak
terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut
bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada
sunyi
Dari memenuhi seantero dunia, Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang benderang dan
alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.
Tiap
alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang, machluk yang indah permai, yang
gilang-gemilang
Masuk ke dalam, keluar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara alam yang silang
bersilang.
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang.
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka
Nestapa,”
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang
diberi
Dari luar, apa yang kau pandang terjadi
sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti, semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar
Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya.
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya.
Dibikinnya sendiri. Api memusnakan kebatannya.
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia
terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuara
terang,
Tetapi belum ia merdeka, berkali-kali lagi.
Ia msuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan
nyata.”
Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat ‘ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka.
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang
mata
Yang demikian rupanya itu di alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati,
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero
dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam
semata.
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian alam berhenti beredar memberi hormat.
Jiwanya makin lama makin lebar dan pada saat
Ia berdiri dari kalbu hati dunia, segala alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
dirinya: Ia satu dengan Nataraja, Mahadewa,
Ialah dia: seseorang yang mencari sudah
merdeka!
“O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari
candi
Ke candi, dari negeri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang
dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum
pernah
Bisa diobati,barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah’gia berada dalam hatimu. Satuilah.
Tari segala alam, masukilah Api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya jadi Syiwa-Nataraja.”
Mencari
Aku mencari
Di kebun India,
Aku pesiar
Di kebun Junani,
Aku berjalan
Di tanah Roma,
Aku mengembara
Di benua Barat,
Segala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca,
Segala filsafat
Sudah kuperiksa.
Akhirnya ‘ku sampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.
Di sana Bahagia
Sudah lama
Menanti daku.
Tentang Sanoesi Pane
Sanoesi Pane (1905-1968)
dikatakan mula-mula menulis sajak-sajak yang dimuat dalam majalah-majalah di
Jakarta dan Padang. Buku pertamanya Pancaran
Cinta (1926), disusul Puspa Mega
(1927), dan terakhir Madah Kelana
(1931). Juga mengarang buku Sandyakala
Ning Majapahit, Kertadjaja dan Manusia
Baru.
Catatan Lain
Milik Departemen P dan K/Tidak diperdagangkan.
Demikian bunyi serangkai kata yang dibingkai kotak persegi di pojok atas
halaman judul buku ini. Yang saya pegang cetakan tahun 1978, jika menemukan
yang lebih tua lagi, pasti memilih “Madah Kelana” yang lebih tua. Sewaktu dulu
menemukan Puspa Mega di Perpustakaan, buku ini belum saya temukan. Ketemu
baru-baru saja dan begitu ketemu langsung pinjam yang ini. Yang berbeda hanya
penulisan nama, sudah disempurnakan ejaannya: Sanusi Pane. Tapi di blog ini,
saya tetap menggunakan ejaan lama, Sanoesi Pane, biar klop dengan buku Puspa
Mega. “Buku Madah Kelana ini berasal dari terbitan Balai Pustaka di masa
lampau. Kami terbitkan kembali untuk menambah pengertian dan apresiasi terhadap
sastra masa lalu.” Demikian tulis pengantar buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar