Data buku kumpulan puisi
Judul : Hari dan Hara
Penulis : Subagio Sastrowardojo
Cetakan : I, 1982
Penerbit : PN Balai Pustaka, Jakarta.
Tebal : 69 halaman
(41 puisi)
Perancang
kulit : Hanung Sunarmono
Ilustrasi
kulit dan dalam : Adjie Soesanto
Beberapa
pilihan puisi Subagio Sastrowardojo dalam
Hari dan Hara
Matinya
Seorang Penyair
napas
begitu tipis seperti kaca
jangan
dipecahkan dengan berkata-kata
keheningan
jadi pengiring paling setia
bagi kelana
di kelam buta
hari
kemarin sudah tiada
betapa lama
sebelum rela
membunuh
api kenang menyala
di luar
keramahan kamar telah terkubur sisa mimpi
hilang
nanar
tanpa sesal
sosok setubuh dengan sepi
terbaring
di dataran asing
juga langit
kelihatan lain
rumah-rumah
redup tanpa jendela
tapi dengan
tidak menanya
dicium
tanah lekat di tangannya
belahan
benua ini sebagian dari nasibnya
dia tak
kembali ke pantai tua
rindu lama
tidak lagi bergejolak
demam yang
diidap sudah reda
detik-detik
kini lebih berarti
daripada
terus mencari
di balik
ufuk pasir melebar
telah habis
basah air menghibur
sampai puas
digosokkan tubuhnya
ke bumi
bisu
penyair
meraba permukaan hari
di sini
geraknya berhenti
di ambang
gurun tak bertepi
dalam
perkawinan dengan sunyi
dia tidak
sanggup lagi bernyanyi
ketika
napas putus mengalir
di udara
bergema pekik terakir
Perempuan
yang Berumah di Tepi Pantai
bunga yang
kusenangi kupasang di jendela
daun pintu
terbuka
kursi
lengang dekat meja
lagi
kupanggil namanya di lorong rata
menjauh
langkah tergesa
bergema
hampa
lampu di
kamar tetap menyala
tumpah di
pangkuan surat lama
lonceng
mati di angka tiga
masih yakin
dia ada
tinggal aku
diam terjaga
pagi rebah
di pinggir desa
sinar hari
membelah ruang
rumah
kosong nampak tua
hiasan
dinding tanpa guna
di pantai
kembali surut air kelam
ke lubuk
laut entah di mana
betapa
dalam sunyi menikam
tikar
pandan terhampar di lantai
sandal
sepasang tak terpakai
kopi di
cangkir belum tersentuh
berapa lama
harus bersimpuh
menanti
sapa di mulut pintu
ucapan
salam kepadaku
semua sudah
bersih di dalam
pakaian
putih terlipat di tilam
badan siap
menyambut dia yang diharap
ingin diri
meniarap lata
berteriak
seru mari
tapi setiap
terbilang kata
bayangan
hening lari
tubuhku
rumah yang butuh dihuni
suasana
hampa damba akan isi
air tenang
menangis di rongga sunyi
apatah
kehadiran tanpa dihadiri
kemanusiaan
minta saksi
lonceng
bergoyang sebelum mati
telah
kusisir rambutku kusut
kaca bening
tergantung di sudut
asal saja
pecah hening ini
dibawa
berbincang sepanjang pagi
atau diam
pandang-memandang mengajuk hati
tamu, datanglah
datang
seandainya
datang, aduh
kubasuh
kakinya sambil berdendang
kusupkan
nasi dengan tangan sendiri
kesendirian
begitu ngeri
setiap dia
memalingkan wajahnya ke mari
aku akan
memekik girang ya aku di sini
tak
terlarai aku dan dia
darat dan
laut saling memadai
hamba dan
tuan berkait abadi
sudah
terdengar ombak berdebur di karang
sayup-sayup
memanggil suara tersayang
lekas ke
pantai aku menjelang
Upacara
ajarilah
bagaimana menjadi tua
terkuak
gapura kesadaran
sehingga
tampil kerajaan dalam
tenunan
kata mantra
yang
kuhamparkan pada hari-hari besar
di bendul
pura
adalah
untuk menyambut tamu turun tangga
jika
berkenan tiba
apakah
sempat memberi tanda
dengan
kelining lonceng genta
di kuil
pedanda
di halaman
yang tersapu bersih
dengan
tubuh putih
aku menanti
di bawah cemara
aku boneka
yang butuh dihidupi
bukankah
kesetiaan dan kesabaran sebagian
dari
upacara
bulan yang
berlayar di puncak batu candi
adalah
pengawal gawat
yang
memungkinkan lakon terjadi
di manakah
teluk sunyi yang tidak disinggahi
air di mana
pun suci
juga yang
terpercik di korban bunga melati
setetes
dari telaga purba yang sakti
sebelum ini
kutanggalkan keinginan satu per satu
jiwa murni
timbul dari siksaan sakit dan ngeri
pengabdian menuntut
penderitaan yang dicari sendiri
aku telah
membasuh di pemandian tirtasari
dan merasa
tak bersalah seperti anak kembali
manusia
selalu tinggal sebatang kara
tanggung
jawab tertimpa pada seorang diri
nyawa yang
yatim minta dipelihara
saudara
kandung yang lahir sebelum dan sesudahku
bahkan
bunda yang teringat mukanya dalam lamunan
tinggal
terkurung dalam pengasingan masing-masing
nasib
terkungkung dalam penjara sepi
ketakutan
tidak datang dari maut yang tiba-tiba hadir
melainkan
dari pedih yang tak kunjung berakir
jadikan aku
anak emas
yang tak
lepas dari hati
adakah
angan-angan yang lebih manis
daripada
mengatasi kecemasan
dan bisa
berlaku sebagai jantan
terlimpah
kasih kepada laki-laki gemilang
bagimu aku
putra pahlawan
yang berani
lebur dengan bayangan hilang
ketika api
hari mati
aku menari
sebagai wayang
mengikut
getar langkah dewa
satu gerak
tubuh kembar
tingkah
gending tabuh kebyar
desah napas
mengembus seirama
dari
pembakaran jenasah menyala merah sekar padma
Leiden
30/10/78 (Malam pk. 20.15)
pada
ketinggian usia
mimpi mulai
pucat
daerah
tandus menapak ke pinggir kota
jejak di
pasir tak nampak
kenangan
habis tersadap dari dada
membeku
darah kata
anak yang
baru lahir
masih
mengenalnya sebagai sajak
orang lain
membiarkannya tergeletak
di antara
buku-buku tak terbaca
barangkali hanya
Shakespeare sempat menyimak
tetapi dia
pun kini sudah tak ada
Paris
19/10/78 (Malam pk. 3.15)
sudah
beberapa hari ini
telah putus
tali pusat
maka kabur
gambar kenangan
kumakan
bubur perpisahan
dan aku
melayang tanpa pedoman
di belakang
layar kayon
yang
kaupasang
sebelum
gamelan dibunyikan
dari jauh
ini
aku tak
tahu
lakon apa
yang kaudirikan
buat
malammu sendiri
tapi yang
kaudengar pasti
menurut
kabar cuaca di tv
di Paris
ini turun hujan mawar
Leeuwarden
13/11/78 (Malam pk. 3)
mengalir
arus malam
sehingga
tenggelam badan
tak
tertinggal kesan
dari puncak
hulu
mata air
menunjukkan jari
ke mana
muara berhenti
teluk buntu
sudah tentu
sebelum
terbuka ketelanjangan pagi
laut tak
terinjak
teduh
sendiri
tergoncang
sepenuh hari
menetes air
kelam
tertahan di
telapak
menampa
tanpa gumam
Paradise
Regained
hari yang
mempesona
betapa
hampa cita
tembikar
retak di bawah rabaan jari
jam terlalu
deras
insin saja
dilepaskan dari pergelangan
lantas
lekas menembus ruang malam
yang cerah
intinya
di mana
bersinar cahaya di langit angan
dan tak
hangus muka oleh usia
langkah
mengalah
dan berita
pertama terdengar dari sumbernya
yang asli
kuncup muda
terpetik dari ranting
lalu
membuka bunga sajak
kehadirannya
merdu seperti lonceng
lembah
meriah
sungguh
firdusi
tak kelak
tak ketika
semerbak
abadi
Sajak
Sejenak
tamu
masih ada
yang mau singgah
di pondok
tua – kesan sesal
gamit
rindu, gores duka
biar
terbuka pintu muka
buat tamu
tak terduga
siapa akan
mengajak berbicara –
rumput,
batu, matahari
arti kabur
di pudar hari
di bawah
jenjang berdiri bayang
di tangan
pisau belati
tiba ia
menoleh memperhati
Panji
Lanang Kelana
di ruang
sunyi
di tengah
dada
ada
lengking
ada sakit
berhenti
bunyi jeram di bukit
istana
sudah kosong
di antara
tiang batu rindu terbaring
darah
mengental
masih
nyaring tuntutan tanah
dari mana
berasal
dan bila
kembali
taruhan
yang salah
telah
membuat diri mengembara
bayangan
rumah surut di cakrawala
pada wajah
silih berganti
belum
bertemu apa yang dicari
topeng-topeng
bisu
mengubur
sisa haru
di balik
dinding
betapa
larut sinar hari
raut muka
makin kejam
sosok asing
hanya mau ramah semalam
kelana
terkutuk tergolek di pinggir kota
(yang bukan
punya dia)
sudah lama
dia tidak bersolek
menyayangi
rupa di kaca
hidupnya
tidak untuk siapa
hanya untuk
dirinya dia berada
jadi kabur
garis pinta
dia tidak
lagi punya apa
warisan
yang masih ada
tinggal
coretan mesum di kamarnya
gambar semu
yang kabur artinya
dia tidak
menyesal
bahwa dia
tinggal di bawah hujan bintang
dan
berjalan sebagai pangeran
yang memburu
dan diburu kasih sayang
dia masih
membutuhkan bukti
bahwa dia
pernah di sini
bayang diri
terlempar di layar kenangan
dan disiksa
di sana kekal
dari pola
ramuan nada
ingin
didengarnya kata-kata
lagu tidak
bisa sempurna
tanpa
terjalin suara manusia
bahasa
merdu itu yang begitu dikenalnya
bicaralah
kirana madu kusuma
di tengah
kehampaan ditangkapnya gema
hati
melekat pada gejala yang diraba
jari
gemetar mengusut makna pada tubuh mempesona
nestapa
tumbuh dari bercumbu dengan dunia
dewi, di
matamu membujuk nikmat sorga
yang
memberinya keberanian
menempuh
kegelapan
adalah
benih
yang mau
membenam ke perut malam
kalau tiada
napsu
apakah
mungkin dia pahlawan
menapak
benua tanpa kawan
pada batas
pajar
bakal
ditemuinya kepuasan
pengalaman
perawan
yang
menyimpan rahasia tak terjamah
mengapa
tidak dihisapnya segera
sampai
tetes getah penghabisan
terkam
sebelum kesempatan luput dari tangan
serta hidup
susut oleh usia
di mulut
masih titik air selera
sudah
sekian saat
dia
menunggu dekat kayu membara
dan melihat
pijar terbasmi
lalu
menyala berulang kali
bulan tua
terasing di gurun pasir
dan dia
seperti anjing
menggonggong
mengusir sunyi
tidurnya
diganggu oleh mimpi yang sama
nyawa laki
dikejar dendam berahi
sejak
termakan buah terlarang
ladang lama
tinggal gersang
di dada
telanjang
tersurat
nasib petualang
selepas
rindu merundung kekosongan baru
tidak setia
jiwa jalang
Tembang
Pangkur
ketika
didendangkannya lagu yang dipelajarinya
dari orang
tua
bidadari
pada mendengar dari balik dinding
dan
nenekmoyang yang pernah tinggal di bumi
diam
tepekur
sudah lama
dia tidak menyanyi tembang pangkur
laut lalu
berhenti di titik nadir
dan kijang
berdebar mulai minum dari pangkal telaga
angin
kembali ke hutan purba
kota
terbakar sudah hilang asapnya
mengapa
harus terus mendendam
di teras
alam merelung kedamaian
Di
Dalam Dada
jika
dibelah dadaku
akan nampak
semua yang diangan
ada gunung
ada lembah
ada pohon
di pinggir sawah
jalan
setapak menuju ke rumah
tapi ada
juga kota lama
dengan
gedung runtuh
dan langit
terbakar merah
ada juga
hutan rimba
tempat
nyawa tersesat
terbayang
di dalam
lengking
rusa yang lari terluka
sudah
berkumandang sebelum sempat bersuara
kalau alam
tak terangkum dalam dada
bagaimana
kata seakan terbit dari tiada
tangan akan
hampa meraih ke udara
Hari
dan Hara
pada
pertemuan begini mesra
tugas kita
hanya mengalami
tanpa
berkata-kata
dan
membiarkan air liur mengaliri kulit ari
(ah, betapa
sakit cinta menusuk hati)
kita
tinggal mengalami
tapi tanpa
bergumam
tanpa
mencatat kejadian sehari
bahkan
tanpa mengulum dendang sajak
hanya
mengalami
berdua kita
terbuang ke benua asing
kini apa
lagi yang tersisa
daripada
membuat diri terbiasa
kepada
kehadiran saat ini
sudah
terbasuh dendam dari dada
tak perlu
kita berpaling
atau
menanti kapan akan dipanggil kembali
ruang kamar
melingkup
dan tangan
terlalu sibuk membagi kartu di meja
permainan
nasib antara kita
telah
kulalui hutan belantara
sekedar
sampai kepada penjelmaan ini
berupa
ketelanjanganmu yang rela kujamah
jiwa yang
sendiri
membutuhkan
tubuh yang ramah
apakah kau
sendiri tak ngeri
berbaring
seorang diri di ranjang
biarkan aku
jadi anjing setia
yang
menjaga kemanusiaanmu
terbujur ke
seberang malam
aku ingin
jiwamu tenteram
tibamu di
balik kelambu
tidak
begitu kentara
apakah kau
kukenal atau orang asing
selalu ada
batas pemisah
antara
nyawa dengan nyawa
yang
membedakan laki dan betina
tetapi
sebelum menyingkir malam dari jendela
telah
kutembus tirai keramat
ayam jantan
berkokok di kebon tetangga
betapa
nyaring terdengar
selama kita
masih sempat berbicara
perkawinan
kita belum sempurna
dalam
terkenang kita hanya mengambang
belum
tenggelam ke pusat nikmat
luluh dalam
paduan irama
jadi diam
semua nada
yang
tertampung hanya hening
hening lena
tak berisarat
terdampar
di tilam terakir
harus kita
putuskan hubungan sejarah
seperti
dulu pada awal musim
(di gugusan
sorga yang pernah tenggelam)
kita tampil
sebagai anak bugil
yang lupa
akan kebengalan hari silam
di sini
masih mutlak kebebasan
curahkan
diri sepenuhnya dalam pelukan
amboi, gila
kita mengigal
sampai terasa
degup tunggal
air dalam
membangkitkan
gairahku lama diam
apa saja
kini tak kutempuh
mahluk
kerdil yang biasa takut
rela lenyap
ke laut tubuhmu
sekedar
menikmati kelakian yang penuh
tak ada
yang haram
buat nyawa
disiksa asmara
maut, aku
tidak lagi pengecut
malam
sebagai bukit hitam
menghunjam
ke dada
apa kau
masih bisa tidur
di tengah
kegelapan mengancam
tidakkah
nampak akir menjelang
pada tapak
kaki menghilang
peganglah
erat tanganku menggapai
tinggal kau
satu-satunya yang bisa kusentuh
sedang
hasrat hidup masih penuh
di antara
empat dinding
aku belajar
berdiam diri
dan
mematikan kata di kening
mimpi
rahasia terbenam di sanubari
sehabis
gerhana
bulan hamil
dengan benih kenangan
yang menua
aku yakin
dalam
tubuhmu tertawan segenap nasibku
hidup
tersita
ketika
kutengok dalam kaca
kulihat kau
terbayang di muka
raut wajah
yang sama
dan lekuk
bibir itu diremas cinta
letih debar
jantung yang seirama
telah
bertukar dua nyawa
kita tidak
berbeda
berpadu
susu dan dada
di balik
pesona
aku tidak
mencari makna
di luar
kamar pengenalan serba samar
tetapi
sebelum tumbang semua lambang
ingin
kurenggut kehadiranmu membekas di tikar
sudah
tersirat sinar pagi di gapura
dekat
gerbang diriku segera dinanti
* di
dalam nitologi Hindu Hari-Hara adalah personifikasi dewata dalam bentuk
setengah laki-laki setengah perempuan
Sajak
yang Tak Peduli
sajak yang
dewasa
sudah tak
peduli
apakah aku
menangis atau ketawa
di muka
cermin
aku tak
mengenal lagi
ia bayangan
siapa
setiap
hendak kutangkap
ia lolos
dari dekap
tak mau
menampung rasa
di luar
jamah
ia sebagian
dari semesta
satu dengan
suara manusia
setelah ia
dewasa
aku tak
punya kuasa
maka
kubiarkan dia berjalan merdeka
Tentang Subagio
Sastrowardojo
Subagio
Sastrowardojo lahir di Madiun, pada 1 Februari 1924. Karirnya di dunia seni
dimulai pada zaman revolusi dengan menyanyi dan melukis. Baru tahun limapuluhan
mulai menulis cerpen, sajak dan esai. Ia sempat memperdalam pengetahuannya
dalam bidang sastra dan teater di Yale University. Dan saat ini (maksudnya
sekitar tahun terbit buku ini, 1975), ia tinggal di Adelaide, Australia,
mengajar bahasa dan sastra Indonesia di sana. Kumpulan puisinya, Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Hari
dan Hara (1982).
Kumpulan cerpennya Kejantanan di Sumbing
(1965). Esainya Bakat Alam dan
Intelektualisme (1972) dan Sosok
Pribadi dalam Sajak (1980).
Catatan Lain
Hari
dan Hara, yang merupakan koleksi Perpustarda Prov.
Kalsel ini, pernah terbit di bawah judul Buku Harian pada tahun 1979. Terdiri dari dua kumpulan sajak, yaitu Buku Harian (21
sajak) dan Hari dan Hara (20
sajak). Oleh penerbit disebutkan bahwa kumpulan ini
merupakan refleksi batin dan tanggapan hidup sang penyair selama
persinggahannya di Australia dan Eropah. Buku yang saya pegang, sebenarnya,
hilang bagian akhirnya, bagian yang memuat puisi berjudul hari dan hara. Lalu saya cari buku satunya lagi di perpustakaan.
Sial, hilang juga! Lalu saya cari di internet, hanya ketemu informasi bahwa
puisi tersebut memakan 4 halaman buku. Jadi jumlah halaman yang saya cantumkan
di sini hanya berdasarkan perkiraan daftar isi ditambah 4 halaman itu. Adapun
puisi hari dan hara saya ambil dari
kumpulan Dan Kematian Makin Akrab,
Pilihan sajaknya yang berjumlah seratus, terbitan Grasindo tahun 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar