Data buku kumpulan puisi
Judul : Perahu di Atas Sajadah
Penulis : Isbedy
Stiawan ZS
Cetakan : I, Oktober 2006
Penerbit : Bukupop,
Jakarta
Tebal : xii + 84 halaman (35 judul puisi)
ISBN : 979-1012-07-5
Gambar sampul
: David
Beberapa pilihan puisi Isbedy
Stiawan ZS dalam Perahu di Atas Sajadah
Laut
Membawa Jasadku
laut
membawa jasadku
ke
malam-malam pekat. ke makam-makam sunyi
ditanamkan,
menyimpan riuh jam
tanah
basah, melumpurkan langkah
yang
terhenti di gerbang-Mu
aku pun tersedu.
hujan turun
mengabarkan
ketajaman pisau
dan laut
tak henti membawa jasadku
ke
makam-makam sunyi-Mu
untuk
ditanamkan
o aku
sendiri dalam kematian ini
di semesta
sempurna tiadaku
Dunia
dalam Lipatan Sajadah
terlipat
dalam sajadah
duniaku
yang rempah
lalu apa
peduliku
pada segala
warna
jika sekali
peluk
lekat-retak
dunia
kini aku
mengembara
dengan
selembar sajadah
menyusuri
taman-taman
mengecap
senyum
selaksa
ratu menawan
maka
kuremuk-redam
dunia dalam
lipatan sajadah
lautan yang
membuncah
bukit-bukit
belah
disambar
Cahaya
aku tafakur
tersungkur
Kubangun
Sejuta Sujud
Di mana
kusimpan syahwat
Hingga
padamu aku khianat?
Kini aku
kembali ke kalimat-kalimat
Membaca dan
mengingat
Setiap
surat demi surat
Yang
mengajarkan rahasia
Juga
patahan jalan
Dari seribu
alpa
Kubangun
sejuta sujud
Dan
keluasan sesal
Aku
tersedu, tumpah:
Airmataku
jadi lautan
Kubikin
perahu
Dengan
darahku
Di laut
sunyi malam ini
Aku
layarkan
Mendedah
ombak
Menikam
angin
Kubakar
seribu alpaku
Syahwat
kutenggelamkan
Jadi buih
Perahuku
penuh sayap
Tak singgah
di pulau itu
Tapi
terbang. Aku terbang
Melebihi
gunung
Lampaui
awan
Lebih jauh
dari pesawat terbang
Tak jatuh.
Tak terbakar
Terus
menaik
Ke langit
Perahuku
terbakar
Tubuhku
menegar
Bercahaya-cahaya
: Aku lupa
segala syahwat
yang selama
ini buatku khianat
Gurun,
Darah, Badai
akan ke
mana? setiap langkah menuju gurun terbentang, pasir-pasir
beterbangan.
membuat matamu lelap. padahal telah ratusan orang
dikubur di
sini. gurun menjelma jadi sungai. bersanding dengan
eufrat dan
tigris. tapi, jangan basuh tubuhmu di sini: warna airnya
telah
berubah merah
akankah
gurun ini kembali jadi padang karbala? anak-anak yang
terluka
atau mati di jalan-jalan, perempuan-perempuan malang terkapar,
para lelaki
tak menahu berserakan
kabil! kabil!
telah
kautumpahkan darah di gurun ini lagi
jadi jagal
dalam gemuruh badai peradaban
Memandang
Dermaga
dari tengah
laut
telah
kulihat (biarpun samar) dermaga
bagiku
menjejakkan langkah, tanah
di mana
asalku memulai
laut demi
laut
menggairahkan
tangga usia
dari asam
garam semesta
dari tengah
laut
telah jelas
(biarpun kecil) dermaga
merajah
kelopak mataku
Belum
Kukenal Warna Pantai
setelah
sampai
ombak di
pantai
perahu pun
mencari
singgah
pelaut akan turun
mencium pasir
mencecap air
kau tahu
rasa asin?
bahkan
sudah
berkali
kuinjak pantai
belum juga
kukenal
warna pasir
rasa pantai
pelaut akan turun
mencium pasir
mencecap air
kau kenal
warna
pantai?
: perahu
pun ragu …
Perahu
Meninggalkan Pantai
(1)
kembali
meninggalkan pantai, selagi angin diam
dan malam
curam. arahkan kemudi, pancangkan
layar.
ombak berbuncah buang tuah. ini waktu
perahu
makin laju. melambai dalam kenang
jauh di
balik pulau, kau menunggu. akulah
pengantin
yang lama merindu pelaminan
“duhai
pantai yang menyimpan tasbih
jangan
panggil lagi pelayar ini kembali
sebelum
habis laut kulayari,” bisik perahu
perahu
meninggalkan pantai malam ini
dan akan
kembali esok pagi
ketika
fajar bangun dari bolamatamu
yang
menawan
(2)
perahu pun
sampai
pada
capaimu
hening
waktu
bening lautmu
gelombang
berbuncah
dalam
jiwaku
pada
keluasan
tiada lagi
nama-nama
yang
kutulis di pantai,
di pasir,
di bakau-bakau
pada
pelayaran ini
aku telah
melipat badai
sebagai
biji-biji tasbih
dalam
kantung jubahku
engkau
maha-laut
bagiku
berlayar
malam-malam
…
(3)
perahu tua
yang tertambat itu kini menjelma dalam tidurku
ketika
malam berbintang. aku pun menuruni pasir pantai
yang kau
hamparkan berabad-abad. “segeralah naik
sebelum
banjir datang,” ajakmu.
aku
terpesona pada parasmu. malam dicahayai purnama
sewaktu aku
buru perahumu, sebelum pantai
pasang.
sebelum banjir itu datang …
kutinggalkan
pantai dengan segala kecupan. aku pun
mengaliri
laut ke dalam gelombangmu
“kaulah
laut yang selalu datang dalam mimpiku
membawa
perahu dan seribu pulau,” kataku
sambil
mengeringkan lautku dalam diri!
perahu tua
yang dulu tertambat itu menjelma
dalam
diriku. malam kini berdegup di hatiku.
(4)
perahu yang
kurindu kini telah berlayar. pantai jadi
kian hening
di dalam lembaran peta masa silam
yang
kurajah dengan bismillah
aku pun
jadi piatu di ujung pasir pantai ini
menanti
perahu lain tiba
membawa
pesanmu
bertahun-tahun
aku menunggu
bertahun-tahun
pula aku rindu
pada
mahakasih-lautmu
beri aku
sebuah perahu
untuk
mendedah rahasia pesanmu
(5)
jangan
hitung berapa gigil kukalungkan di jubahku
bila kau
akan ganti dengan sorbanmu
lalu
kurangkai kabut yang lelap di pantai ini
jadi perahu
menyeberangi laut mahaluasmu
kuburu nuh,
ibrahim, dan isa
yang
dikejar-kejar pengkhianat
kucari
namaku dalam diri para nabi
sampai usai
di diri muhammad
aku kini
telah sampai
ke
kedalaman laut-Mu
(6)
hanya pada
keluasan laut
aku bisa
tahu batas pantai
maka
kularungi perahu dalam diri
menyerpihi
badai demi badai
kulupakan
pasir yang telah menumbuhkan bakau,
juga bekas
telapak kakiku yang terluka
sepanjang
pantai:
senja tadi
lalu
kutandai bekas luka itu sebelum malam
menggelepar
dalam jaringmu
dan laut
melipat tubuhku
serupa
memeram anak kepompong
menggeliat
pada sabda-Mu
(7)
ku tak
pernah takut ketika perahu ini
membawaku
ke dalam paling malam
sebab di
tanganku seribu tasbih
menguntai
namanamamu
yang
kupetik dari pohon jiwa
sudah
kuselesaikan percintaanku pada pantai,
pada pasir,
pada lumpur, dan ilalang
kini
giliranku menuju pulau jauh
melipat
laut hingga jadi zikirku
subhanallah!
aku jadi
imam bagi diriku
di atas
perahu ini
menerima
titah
langkahku
yang patah
(8)
sudah lama
tak kulihat iringan panjang
melintas
pantai yang luka ini
malam
perih, langit payung hitam
dalam
gerimis yang tajam
perahu tua
yang tersimpan dalam kitab
masih setia
menunggu di dekat bongkahan batu
tapi tiada
lagi lelaki tua yang selalu melambai
dan menarik
iringan panjang itu berlayar
segalanya
sunyi
malam mati
di bawah
gerimis yang belati
hidup
menjadi terlunta
di pantai
tak bernama
menatap
rahasia segara
“arungkan
perahu tua itu,
arungkan.
sekali lagi
sebelum
banjir melumat,” kata anak itu
pantai pun
kembali sepi
laut pun
penuh lelampu
(9)
akulah pelayar yang baru selesai
meredamkan badai hingga perahu
kembali
melarung ke
laut paling sunyi. di kepalaku langit
membentang, bintang-bintang
mencahayai
perjalananku
selesai sudah kuredakan badai yang datang
sejak perahu meninggalkan
pantai.
malam bersinar. perahuku menjelma kupu-kupu,
sayapnya ditumbuhi
cahaya.
kubiarkan terbang ke langit yang warna.
membawa tubuhku pula…
pantai yang kutinggalkan meranggas bakau
dari payau
ini kularungkan
perahu
menuju pulaumu yang sunyi. kubangun
firdaus di
sana seperti adam
pertama
kali merindu kekasih
seperti hawa sebelum terlunta
mengunyah sepanjang masa!
dikawal
oleh angin yang lunglai aku
mengendarai perahu sampai
masuk ke
dalam igaumu. mengadukan segala
kenangan luka di pantai:
“ini perahu baruku bikinan nuh, izinkan
aku melaut …”
(10)
perahu yang
tertambat di bukit tua itu kini menghanyut
ke dalam
malamku. “hai
orang
berselimut. bangun dan melautlah, selagi angin
pantai dan ombak tak
berbadai,”
bisikmu. aku pun bangun lalu menuju perahu
yang sekejap lagi
meninggalkan
pantai.
inilah
pelayaran malamku sekali lagi. yang jauh. sudah
berapa pulau kulintasi,
sudah
berapa kedalaman kurenangi. aku kini makin
mencapai adamu. dalam zikir
aku mabuk.
laut membuncah di dalam tarikan napasku.
aku
mencari, kau menjumpa.
dari
pelayaran malam yang kelam, tak habis-habis
kulafaskan segala dermagamu.
“wahai
orang berselimut, bangun dan berlayarlah.
lepaskan pakaian tidurmu,
selimut
yang membuatmu mendengkur,” bisikmu
berlayarlah ke keluasan
lautku.
malam akan selalu menjagamu. layar akan
melindungimu. lafaskan segala
nama dari
dalam hatimu
jangan
ingin berhenti. berlayarlah, berlayar!
laut akan
membawamu kembali ke pantai. ke bukit tua
yang jauh
tempat
perahumu melepas sauh
Dari
Sebuah Sajadah
dari sebuah
sajadah ini
aku baca
rahasia demi rahasia
cinta kita.
di hatiku yang
selalu
terbuka, kutulis
sisa
perjalanan
o kekasih,
telah kukirim
berbagai
kenangan
hingga yang
ada hanya wajahmu
tergambar
di sajadah ini
lalu
bagaimana mungkin kupilih
selain kau
untuk kuimani
dalam
perjalanan usia ini?
Aku
Berlayar
aku
berlayar bersama matahari ke dalam
sajadahku.
inilah perjalananku yang
sunyi
setelah bertahun-tahun matahari
mengendaraiku
ke kampung-kampung biru
ke
padang-padang tanpa nama!
aku kini
berlayar bersama matahari
dan
berlabuh ke dermagamu yang
sunyi, aku
menangisi lautan:
di
gelombang yang tak pernah bisa
kumaknai,
hanya kudapati sisa
keningku
bersujud di sana
aku kini
berlayar. jauh di balik
sunyi
malam, kutinggalkan lelapku
dan
mengayuh ke dermagamu
yang selalu
terjaga
Khalwat
I
Lalu sunyi
jam berpacu
dalam dada
mengekalkan
hujan dan debu
di setiap
sajadah
Dan
matahari pun pecah
berlumpur
di wajah semesta
yang dingin
menerima tibaku
dari
perjalanan jauh
Tak pernah
suci dadaku
karena
hujan debu begitu setia
maka aku
pun terus menerus bercintaan dengan-Mu
untuk
sebuah kerinduan
II
kuhamparkan
sajadah panjang
di bumi-Mu
yang telanjang
menyatukan
suara dan hati
dalam detak
waktu-Mu yang pasti
sebab
gemuruh bumi
senantiasa
mendedah langkah
yang kerap
ragu menuju-Mu
Allah,
kekalkan!
III
bumi pun
diam berputar
ketika
kusampai di mihrab-Mu
hanya laut
dalam dada
bernyanyi
untuk pantai dan
pasir-pasir
IV
Kurebahkan
matahari di pangkuan
lantas
pikuk ribuan kota padam. aku
mengaji
kesunyian, aku menggali
denyut
matahari
Tidurlah
tidur di dalam waktu
o ribuan
kota yang pikuk!
V
Kuredamkan
gemuruh angin
Dan malam
sunyi menafasi nama-Mu
Cahaya
cahaya cahaya
Peluklah
dadaku
Yang masih
setia dengan gelap
Kemudian
luluhkan
Sehabis
debu terakhir
VI
Tak pernah
terbayang debu dalam dada
karena itu
aku tak ingin
berhenti
khalwat di dalam jam
demi jam
yang riuh berputar
Mana
angin-Mu
ya Allah?
(dadaku
telah sesak oleh debu!)
VII
kurekam
burung malam yang
rindu
salju. tapi ranting dunia
talah lama
patah dibantai beton dan baja
dan ribuan
pabrik. aku merekamnya
dalam batin
yang pecah
VIII
di
pemakaman
jamkota
kaku. Dan kudengar
arwah pun
bertasbih atas nama kefanaan
di sini
begitu terang kalam-Mu
mengajarkan
nama-nama Abadi
IX
Inilah
bahasa-Mu
Alif, ba,
ta!
Ya Rabbi,
aku ingin belajar membaca semesta
dengan
menyebut asma-Mu aku mengaji
rahasia
demi rahasia sampai ya
Begitu
dekat jarak-Mu
seperti
napas dan raga:
aku tak
bisa sembunyi
….
XVIII
Aku membaca
bahasa rahasia-Mu
Aku membaca
bahasa sunyi-Mu
Aku membaca
bahasa langit-Mu
Aku membaca
bahasa tanah-Mu
Aku membaca
bahasa api-Mu
Aku membaca
bahasa air-Mu
Aku membaca
bahasa malaikat-Mu
Aku membaca
bahasa nabi-Mu
Aku membaca
bahasa kitab-Mu
Aku membaca
bahasa manusia-Mu
Aku membaca
bahasa hewan-Mu
Tapi tak
habis-habis aku membaca-Mu!
XXIV
di batas
pertempuran
tak ada
yang kalah tak ada yang menang
tanah telah
berhenti membantai
sebab
hadiah ini hari ialah kasih-Mu
yang
kupungut di setiap sajadah
dunia yang
basah oleh tangisku
XXIX
mengulang-ulang
nama-Mu
akhirnya
aku lebur juga
hingga
namaku hilang …
tinggal
kini jasadku
yang Kau
tandu
XXX
sampai pada
puncak pendakian
aku tak
berani lagi menaiki tangga-Mu
aku masih
gagu ya Rabbi
ayatayat-Mu
belum khatam kukaji
Tentang Isbedy Stiawan ZS
Isbedy Stiawan ZS, lahir di
Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1958. Berkhidmat di Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Lampung. Kumpulan puisinya antara lain: Membaca Bahasa Sunyi, Lukisan Ombak, Kembali Ziarah, Daun-Daun Tadarus,
Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan (2001), Aku Tandai Tahi
Lalatmu (2003), Menampar Angin
(2003), Kota Cahaya – 100 puisi
pilihan (2005). Kumpulan cerpennya Ziarah
Ayah (2003), Bulan Kembali Rebah di
Meja Diggers (2004), Dawai Kembali
Berdenting (2004), Perempuan Sunyi (2004),
Selembut Angin Setajam Ranting
(2005), Seandainya Kau Jadi Ikan
(2005), Hanya untuk Satu Nama (2005).
Catatan Lain
Buku koleksi penyair Y.S. Agus Suseno ini terbagi
atas dua kumpulan, yaitu Perahu (12
puisi) dan Di Atas Sajadah (23
puisi). Penyair Isbedy sendiri memberi sedikit pengantar dalam kumpulannya ini.
Judulnya: Dengan Perahu Kulayari Sajadah.
Katanya, “Maka betapapun puisi-puisi saya
(juga) mengikuti fenomena yang (terus) berubah itu, akan tetapi sebagai muslim
saya tetap rindu mengekspresikan “kerinduan Illahi” itu ke dalam puisi-puisi
saya. Dengan begitu, saya pun dapat berkaca. Puisi-puisi islami, bagi saya,
adalah tausiah; setidaknya untuk diri saya pribadi.”
Makasih postingannya, sangan membantu untuk tugas saya, saya jadi bisa belajar tanpa punya bukunya,,,
BalasHapusBoleh kita saling follow?
ya, sama-sama. Tapi memiliki bukunya jelas lebih baik, untuk memperoleh gambaran yang utuh, meskipun banyak di antaranya hanya beredar di kalangan tertentu atau numpang mampir sebentar di toko buku. Boleh. Salam puisi.
Hapuspermisi mau share yaaachhh
BalasHapusYup, lanjut... :)
Hapus