Data buku kumpulan puisi
Judul : Tikar Pandan
Penulis : Ibramsyah
Amandit
Cetakan : I, Juni 2013
Penerbit : UPT Taman Budaya Kalsel bekerja sama
dengan Penerbit Pustaka Banua, Banjarmasin
Tebal : xxii + 164 halaman (76 judul puisi)
ISBN : 978-602-1585-00-9
Desain
sampul dan Lay Out: Tim Pustaka Banua
Pengantar :
H. Adjim Arijadi
Esai :
Sainul Hermawan, Hamberan Syahbana, Korrie Layun Rampan
Beberapa pilihan puisi
Ibramsyah Amandit dalam Tikar Pandan
Lumpuh
di
saat-saat lumpuhku
aku mendengar
amarah sebatang tongkat dahan jambu
di tanganku
ia mencaci
arti hidupku, katanya:
perbuatlah
segera ganti darahmu
semerah
darah Tuhanmu!
hanya
lantaran takdirku saja
maka
nasibku beserta orang lumpuh sepertimu!
padahal aku
mau jauhi penyair …
tahu kau,
siapa penyair di mataku?
cuma
seorang pesolek
tukang rias
sekarang
sibuk menyisir rambut Fir’aun
di negeri
Fir’aun
Tamban,
13.1.2011
Sosok
bila kau
lahir menjadi penyair;
anakku,
jangan tidur!
terimalah
beban sejarahmu
di sepasang
bibir
kicaukan burung
syorga
berbaur
gemuruh neraka
karena
ucapanmu milik abad akan datang
jangan
baringkan lidah di ilalang rebah
katakanlah
…
hanya
dirimu yang menaklukkanmu
bukan si
burung beo …
Tamban,
14.1.2011
Sketsa
Sketsa itu
semakin terbaca
menjadi
relief
menukik
dalam
menoreh
batu kehidupan
di 69 tahun
usia perjalanan
di kali
kedua stroke melumpuhkan
Tadi 29
September
Pada malam
Sabtu
antara
setengah tiga dini hari
isyaratnya
datang dalam mimpi
Pengantar
kulihat berjejer
mengingatkan
para pelayat
melepas
seorang yang wafat
Setiap
orang kuberi salam
namun
selalu membungkam
tak
siapapun memberi reaksi
Padahal aku
akan pergi
sambil
membawa sesal
dengan
pakaian kotor tersisa noda
dalam
ngiang ilir-ilir yang menggema
“belimbing”
belum kugenggam
Buat
membilas pakaian diri
Begitu
kejadian yang nampak
mungkin
kembang tidur
tak perlu
tafsir
mungkin
juga ruh-ruh ingin berbagi rasa
mungkin
Chairil mungkin Burhanuddin Soebely
sebab
seputar tanggal itu hidupnya diakhiri
Tamban,
30 September 2012
Doa
Sepotong Kata
Demi
sepotong kata
kutolak
hujan kuusir awan
sebisa-bisa
aku bertahan
Demi
sepotong kata
kudepak
bumi berkah sesaji
biarkan
diri kemarau zaman
Demi
sepotong kata
dalam bisik
hatiku nan perahu
mendayungkan
rahmat bagi negerimu
Amin
Tamban,
20 November 2009
Syahwat
Puisi
Puisi-puisiku
lahir dari kemarahan istri
diriku
lumpuh
tapi diatur
bandel sekali
Bukan
impoten
aku ini
bangun tengah malam hingga pagi
tapi bukan
menjamah istri
Ah,
pikiranku bernapsu-napsu
tapi bagi
puisi-puisi yang belum jadi
Tamban,
24/9/2012
Aset
Modal
penyair adalah tangan untuk menulis
selebihnya
sisa suara agar lantang baca puisi
Lupakanlah
derita lumpuh
tak guna
mengenang ruang UGD
atau pispot
di tempat tidur
berminggu-minggu
menyantap nasi bubur
makanan
hambar seperti hidung kucing
punggung
linu-linu membatu es
baru tahu
nikmat hidup setalah badan dibalik tangan
perawat
Jangan
berikan rasa kasihanmu kepada penyair!
caci ia
bila berhenti nulis puisi
mustahil
jadi arwah pada jantung berdenyut
tolol
terlanjut wafat dalam diri padahal napas belum pergi
Hai,
penyair lumpuh
Berteriaklah,
berteriak!
Tamban,
23/9/2012
Zero
Di
lingkaran kehidupan
aku putus
kegiatan
Di
lingkaran pergaulan
aku asyik
memangku tangan
Di
lingkaran waktu sehari
kulepas
kupu-kupu menari
Di lingkaran
percakapan
hatiku
bersahutan
Di
lingkaran perasaan
pagi esok
aku berkain kafan
Di
lingkaran nasib
aku
digantung tuhan
Tamban,
2012
Guru
Ajarilah
muridmu, kerja
ajari kasih
sayang
suruh mengeja
namanya
bin serta
binti orang tuanya
di hadapanmu
berulang-ulang
agar ia
sanggup mempertaruhkannya
Ajari
tambak ikan piaraan
kandang
unggas
sawah dan
ladang
agar tahu
lelah perih hidup bertani
tunjukkan
langit kosong:
sebelum ia
berencana pengembalaan umat
atau
melepas berat beban keluarganya
Tapi jangan
ajari rupa-rupa lezat panganan
menu biasa
hidup enak “bersantan”
pola-pola
dandanan
pabrik
gincu
jenis
pewarna kuku
atau tunjuk
penampilan
nanti ia
mahir akrobatik kepalsuan
Maka
terimalah jatah dosamu, hai guru;
kelak bila
lahir seorang oportunis dari kelasmu!
yang buta
realita rakyat lapar,
yang
dirundung derita, tangis dan sengsara.
Ajarkan
pula puisi-puisi belati
bukan sajak
puja-puji…
supaya
berani ia menusuk penjahat negeri.
Tamban,
27 Januari 2011.
Kasidah
Batang Tenggelam
Wahai yang
bersuka di padang ilalang
wahai yang
bertirah di sarang miang
wahai yang
berduka di batu karang
berair mata
cuka meragi sahang
Wahai yang
bernasab ke kulit bawang
jangkar
takdir di gantung ruang
telisik
jalan ke arena juang
Kudrah
Iradah menata sempat sempitmu
pupuskan
kata kepada-Nya
berserah
diri dalam Dia
Tamban,
4 Mei 2012
Sanzen
Di Kyoto;
musim panas…
aku
memasuki biara Myoshinji
jumpa guru Zen
Goto Roshi;
“Apa niatmu datang ke sini
ke kuil Pikiran Bagus ini?”
Sanzen,
kataku
Beri hamba
konsultasi meditasi
pikiran
kusut tak terurai
dada sesak,
napas sakit, paduka!
Hamba dari
negeri jambrut khatulistiwa
yang tanah
subur, gemah ripah loh jinawi
hamparan
lahan ijo royo-royo
sayang
kurang tata, tidak tentram jauh sejahtera
seperti
bonsai Take Kengai adalah kemiskinan negeri
air terjun
riah di sana sini
perih pedih
menusuk hati
airmata
sembilu jatuh airmata keluh kami
Negeri kami
bukan negeri matahari sakura
kemajuan
adalah fakta kebenaran
bukan
basa-basi kemunafikan
negeri
manipulasi citra
dan dusta
Di kuil Myoshinji
‘kan kuhapus debu-debu diri
intan
kemilaukan pikiran
pohon
bodhikan tubuhku
belah
jiwaku seribu, sejuta, dua ratus jutakan
gelora
semangatku bagi anak bangsa
di kuil Myoshinji
guru Goto Rosho pesan:
“Selesai sarapan cepat cuci tangan
agar pagar tidak kekenyangan makan
tanaman!”
Myoshinji –
kuil Pikiran Bagus
aku konsultasi
meditasi
seharusnya jadi
lelaki sejati…
Tamban,
15 Februari 2011
Catatan
Perkawinan Seorang Kawan
Seperti
jalan Habil dan Kabil kau goyang di bawah makam
duka
saudaranya menggugurkan gunung-gunung
kau tikam
sebait sabda. Di atas karang kembang bersemi
juga
Namun
hatimu terang. Di batu itu
Pijar cinta
pertamamu
Tamban,
Maret 1982
Madu
dan Batu
Ketakutanku
pada pengertian dan ilmu
apa mencair
seperti madu
atau
membatu?
Bila tangan
selesai menjuarai puisi
langit
terbit membintang pagi
Bila
khusyuk menimbang laba-rugi
Rumput
larut menyusur kali
Aku
menjerit-jerit meraih tepi
Tamban,
29 April 2012
Mamang
Borneo*
Aku mencari
pepunden cinta tanah Borneo
mencari pemilik
makna otot rimba
saat ini mamang buli ke risau
kebawa-bawa
kepada ikau…
Iyu, beh; ikau uluh
Siang, uluh Naju, uluh Busang
uluh Benuaq, uluh Punan, uluh Penyabung,
uluh Bahau, uluh Kenyah, uluh Manyan
uluh Bawu, uluh Ot Danum, uluh Lawangan
uluh Tabayan, uluh Kahayan, uluh Kutai
uluh Bakumpai, uluh Ngawa
si kuweh-kuweh uluh
Ngaju kanih…
Risau yaku buli kepada rimba, hutan ulin,
hutan ramin
kapuk meranti
keruing
ken kuweh ikau cari jihi hama betang
huma peleh peteh, sandung semayam tulang-tulang
Ken kuweh tancap kayu pelawan
sanggai lunuk upacara tewah
Rimba awen meranggas-ranggas
pagar banua hilang batas
tiada halat
sasangga wisa, hilang arifnya!
Kudengar isyarat bahaya dari gurun-gunung:
“Ihdzar al jidaar, ihdzaar al jidaar!”
Awas dinding. Awas dinding!
Namun tiap
jengkal tanah Borneo gerbang peluang
kaki tangan
jerat masuk menginjak-injak
senyum jebak
rayu menembak-nembak
halimatek lintah lunak menghisap-hisap
Aku mencari
pepunden cinta tanah Borneo
mencari pemilik
makna otot rimba
dari perih
luka-luka daging jantung banua
Sebuas-buas
binatang tidak di rimba
sebuas-buas
siapa ia binatang kota
Segarang-garang
raung bukan singa
segarang-garang
raung ia uang kuasa
Konglomerat
habitat apa kuku tajam taring merunjam-runjam
sorot mata
ke lapis-lapis bumi paling dalam
Wariskan
jurang menganga;
kawah kubur rakyat anak banua
banjir menerjang desa-desa, membelah-belah kota
melindas sawah kebun dan pematang
Sebuas-buas
siapa ia binatang kota?
segarang-garang
apa raung ia uang kuasa?
Kita, kita,
kita …
inilah kita
jadi reruntuhan peristiwa
Kita, kita,
kita …
inilah kita
tak kuasa berkata jida!
Hai Dayak,
pewaris Diraja Bunu
Putera-putera
kekasih raja Jata, raja Sangiang
Habiskah
sudah tewah Balaku Untung?
“Duhai
Rahyang Hatala Langit;
tunjukkan pepunden
tanah Borneo
pemilik makna
otot rimba
tunjukkan enzim
kekuatan tubuh Kalimantan
zat hidup
pengetahuan Borneo
tunjukkan apa-bagaimana-siapa-mengapa
di Borneo!
Kudengar dari gurun-gurun berdesauan suara
lembut
wari’u al lushuut
wari’u al lushuut
wari’u al lushuut
Usir maling
maling itu, usir maling maling itu
Usir maling
maling itu!
Tamban,
8 Mei 2011
*
dibacakan saat Dialog Borneo-Kalimantan, di Samarinda, Kalimantan Timur, 13-15
Juli 2011
Tikar
Pandan
Akhirnya
aku ke titik nadir
pada
kesunyian mimpi-mimpi
angin yang
luruh
sepi sekali
tak ada
desiran yang tersisa
Karpet yang
bermahligai
menyambut
raja-raja muda
yang
menggadang-gadang pemangku syahwat
berenang di
secawan tuak
syukurilah
aku
karena
dapat pergi
enyah dari
kemabukan jamur ini;
topeng-topeng
budaya itu,
atribut,
mahligai,
paduka,
yang
terhormat,
pencapaian
puncak-puncak fiktif
bual
kemuliaan mereka
nasib-nasib
rakyat yang tersentak
dari
kesuburan di tanah kelahiran
Oo,
sempurnakanlah mangkuk air tawar ini
yang
terkapar di tikar pandan
tanpa
keadaan
tak dengan
keadaan
di antara
keadaan-keadaan
waktu pun
tak berwaktu
di sana di
sini ialah tak di mana-mana
Tikar
pandan, di tikar pandan
kududuki
karpet Tuhan
Tamban,
13/12/2010
Belajar
Puisi
Orang-orang
mau susah;
-
kerja
berat bikin puisi
Tahu
manusia tidak mencukupi
dimintanya
lambang-lambang flora dan fauna
lende laut
dan bongkah tanah ikut memberkati
Mereka
bukan lagi pembaca mantra lama
petapa pada
sisi fisika atau metafisika
yang
mengawal batas sadar dan mimpi;
-
siap-siap
selesai dan setengah jadi khayal kenyal
kesumba bumi
yang
mengerja segala ajaib
dan
kebolehan membongkar kata
menggantung
bintang dalam kulit telur naga
Di
gudang-gudang arang malam menggores batu
kutemui
faham segala diam
tapi jeram
gemercik gerak
segala imam
adalah tegak
dera waktu
lari ke muka
Aku
menggigil di kuala
di
sungai-sungai yang melipat langit
menghanyut
sempoyongan kantuk malam menggigit
Tamban-UM,
Oktober 1979
Jalan
Puisi
Puisi
perjalanan mikraj;
jalan naik
menuju Allah
meniti asma,
sifat, af’alullah
Lama diri
bersimbah
panas serta
berbasah-basah
tunduk tengadah
pulang ke diri
nyatanya tak
siapa pemilik apa
Puisiku
perjalanan mikraj;
jalan pupus
di dalam Allah
hilang panas
hilang basah
punah diri
dalam Allah
suara jiwa
mengkalamullah
Puisiku
perjalanan mikraj;
jalan pulang
dari Allah dengan Allah
ulat kepompong
berubah polah
sukma terbang
selendang kiswah
Puisiku
perjalanan mikraj;
turun di
pintu-pintu rumah
sudah
bersayap puisi amanah
kata-kata
rahmat – petuah
Tamban,
3/11/2012
Tentang Ibramsyah Amandit
Ibramsyah Amandit bin H. Lawier, lahir
di desa Tabihi Kanan,
Kelurahan Karang Jawa, Kecamatan Padang Batung, Kandangan, Kab. Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, 9 Agustus 1943. Di usia tujuh tahun (1950), ayahnya yang
merupakan anggota polisi tentara di kesatuan markas ALRI Divisi IV Pertahanan
Kalimantan, memboyong keluarganya bermukin di bantaran Sungai Barito, Tamban.
Di situ ayahnya diangkat sebagai wakil komandan peleton CTN. Alumnus IKIP
Negeri Yogyakarta, sampai tingkat Sarjana Muda, 1971. Esai dan puisi tersebar
di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Tinggal di Desa Sidorejo
Kilometer 7 RT V Nomor 129, Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala.
Catatan Lain
Kalau ada penyair yang makin tua makin
“beringas”, maka Iberamsyah Amandit salah satunya. (yang seorang lagi penyair
Arsyad Indradi). Keberingasan itu terutama terasa pada sajak-sajaknya, padahal
dua kali penyair ini diserang stroke dan opname di rumah sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar