Data buku kumpulan puisi
Judul : Ular dan Kabut, Sadjak-sadjak 1970 -
1972
Penulis : Ajip Rosidi
Tjetakan : I, Djanuari 1973
Penerbitan
chusus : Budaja Djaja,
Dewan Kesenian Djakarta
Tebal : 63 halaman (55 puisi)
Rentjana
kulit oleh : A. Wakidjan
Beberapa pilihan puisi Ajip Rosidi dalam Ular dan Kabut
(catatan:
penulisan menggunakan ejaan lama, sesuai buku)
Ular
Ular jang
mendesis merisik, dengan warna kulit indah
mengedjarku,
bahkan sampai dalam mimpi.
Berhenti! kataku.
Dan ia menatap patuh, namun gelisah
Tiba-tiba
kubatja: namamu terukir pada lidahnja yang terdjulur
merah.
1971
Kabut
Jang putih
menjilaukan adalah kabut
Jang
mengurungku dalam samar adalah kabut
Jang
mendinding menghalang langkah adalah kabut
Jang hadir
tak terdjamah adalah kabut
Jang
bergetar tak terdengar adalah kabut
Jang diam,
jang rahasia, jang tak pasti
adalah
kabut.
1972
Sebuah
Parabel
Buat
Dan & Arlene
Orang-orang
mendaki gunung, memahat batu
dan pulang
sendja hari;
orang-orang
berlajar ke laut, menangkap ikan
dan pulang
sehabis badai;
orang-orang
berangkat ke hutan, menebang kaju
dan pulang
dengan beban jang berat;
dan
orang-orang masuk kota, mendjerat angan-angan
tak
seorangpun pulang kembali.
1972
Pada
Suatu Saat, di Dunia
mengikuti
sebuah sadjak R.M. Rilke
Di suatu
tempat, entah di mana, di dunia
seseorang
menunggumu, berdo’a
seperti
do’a jang biasa kauutjapkan sehabis salat
Pada suatu
saat, entah pabila, di dunia
seseorang
merindukanmu, berdjaga-djaga
seperti
malam-malammu jang berlalu sangat lambat
Seseorang
menunggu, merindu, berdjaga dan berdo’a
di suatu
tempat, pada setiap saat
seperti
engkau, selalu.
1972
Drama
Kabuki
I
Siapa main
dalam Sukeroku lakon kabuki?
Siapa jang
berperan djadi Agemaki?
Semua tak
ada jang kukenal. Namun kuhapal tanganmu
Menating
potji teh-hidjau harum mewangi.
II
Tatkala
lajar turun, malam telah larut
Kita
berkedjaran dengan waktu kian mentjiut
Kugenggam
tanganmu dingin. Siapa masih bitjara?
Jang
menempias renjai hanjalah angin.
Antara kita bukan siapa.
1970
Seekor
Badjing di Mount Vernon
Seekor
badjing
tjelingukan
kiri-kanan
di kebun
Mount Vernon
peninggalan
George Washington
ditonton
para pengundjung
mendjelang
petang
achir
musimpanas jang pandjang
Para
pendjaga
membiarkannja
merasa aman
berlari
sepandjang rumputan
Tak ada
badjing betina
tapi ia
merasa senang
di taman
jang tenang
tjelingukan
kiri-kanan
melintasi
rumputan
melintasi
waktu
tiba di
keabadian kenang
karena di
sini
masalampau
djadi bagian hakiki
dari
masakini
Sungai
Potomac tak beriak
memberi
kesaksian sedjarah
tentang
arti rumah
jang
mendjadi tempat ziarah
orang-orang
jang sedjenak ingin mendjenguk
masalampau
jang indah
dari
djendela masakini jang sibuk
1972
Kepada
Rodin
Kautjintai
manusia-manusia
penuh mas’alah
jang
melangkah, tertegun ragu, tengadah
hidup dalam
himpitan. warga-warga calais
jang
sia-sia melepaskan diri
dari
persoalan.
Kautjintai
manusia-manusia
jang selalu sungguh
jang
terkulai dalam napsu, menggeliat berat
dalam ilusi
jang hebat. Bahkan malaikat
kaubuat
terdjerat dalam persoalan
manusiawi.
Kautangkap
dalam djenak jang tepat
mendjelma
mendjadi hidup
jang
menumbuhkan kesadaran: Bahwa tak sanggup
kendati
hanja lari
ke dalam
kemutlakan
diri
sendiri.
1972
Pelukis
Affandi di Pasar Vittoria
Dengan
djaket hitam
dan topi
merah dari wolita
ia
berdjalan menjelinap
sambil
makan buah tjeri
di Pasar
Vittoria, Roma,
bulan Djuni
1972.
Hari masih
pagi.
Seorang
pedagang memberi salam
karena
mengia ia orang Tjina:
dipudjinja
Mao
dengan
ibudjari diatjungkan tinggi.
Affandi
tertawa, dan dengan djenaka
ditawarnja
sehelai djas musimdingin
dengan
harga jang dibanting.
Tapi
pedagang Italia
memberi
salam bukan mau rugi
dia hanja
tertawa dan berkata:
“Tjina
tidak baik
djika
menawar serendah itu!”
dan
ditundjukkannja kelingking kiri.
Affandi hanja
tertawa
karena ia
bukan Tjina.
1972
Hamlet
Jang waswas selalu, itulah aku
jang gamang selalu, akulah itu
Ja Hamlet
kusuka: dialah gambaran djiwaku
jang selalu
waswas dan ragu. Membiarkan kau
mengembara
dalam mimpi jang risau
Kutemukan
pada Olivier, kegamangan falsafi
dunia jang
muram dan masa depan jang suram
tapi
kulihat ketjerahan intelegensi
seorang
muda jang terlalu dekat kepada alam
Hamlet.
Hamletku, ia datang kepadamu
menatap
fana atas segala jang kudjamah: tahu
bahwa hidup
melangkah atas ketakpastian
jang
terkadang menentukan Kepastian.
Aku pasrah
1972
Tokyo
Mendjelang Tengah Malam
Aku
berlari-lari menempuh waktu jang hampir luput
Djandji ke
Osaka, tapi di sini masih tersangkut:
Menokok-nokok
lantai subway dengan tumit sepatu
Memelasi
pemuda-pemuda mabuk sake terdampar di Sindjuku
Bagai
terdjaga dari mimpi aku tiba-tiba djadi mengerti
Kedjemuanmu
akan hidup rutin jang serba-duniawi:
Bajang-bajangmu
melintas-lintas dalam gerimis tak kundjung habis
Lenjap dalam
deras lalulintas kota raksasa jang kaku menghantu.
1970
Manila,
Musimpanas 1970
Tjahaja
benderang, musik merdu dan para remadja tertawa bahagia
Kusaksikan
belaka dalam ketenangan sendja Taman Luneta;
Tjahaja
remang, musik brisik dan teriakan-teriakan histeris jang buas
Kusaksikan
sendiri dalam keriuhan klub-klub malam sepandjang
Roxas
Angin
sedjuk, pohon hidjau, alam ‘nak masuk dalam dada jang djadi
lapang
Kuhirup
diam-diam sambil merenungi danau Taal terhampar tenang;
Udara
busuk, gedung-gedung tua dan sampah tertimbun di sudut-
sudut gang gelap
Kusimakkan
dengan getir sepandjang Santa Cruz jang pengap.
Rumah-rumah
indah, kebun-kebun luas dan kemewahan di daerah
Mapati
Pertjakapan-pertjakapan
pandjang, seekor andjing galak tiba-tiba
menjalak terdjaga
Kegelisahan
dan harapan jang mengambang akan datangnja satu
revolusi
Semua
kulihat dan kusimakkan selama seminggu di Manila.
1970
Hutan
Wassenaar
Lindap bajangan pohonan
betapa bening mata memandang
Terhampar
baka
segala
rahasia
manusia
jang purba
Karena waktu
terpaku di situ
untuk selamanja
Lindung bajangan pohonan
betapa djernih tawa jang lantang
Kata-kata
tertjapak terang
di awang-awang
musimpanas jang
lengang
Karena waktu
terpaku di situ
Untuk selamanja
1972
Pasar
Minggu di Roma
Ke pasar
ini manusia mengalir, lalu pergi
melintas
ruang dan waktu jang njaris terdjaring
dalam
keisengan harapan, dalam hidup ini
jang lahir
dan mati, ambil djalan masing-masing.
1972
Angka-angka
dan Tanda-tanda
buat
Anwar
Dalam penerbangan
menudju Phoenix
stewardess
bertanja: “Di mana tuan akan turun?”
dan orang
tua renta di sebelahku mengangkat katjamata:
“Tak tahu
di mana. Tolong lihat
barangkali dalam
tiket ada tertjatat.”
Perdjalanan
dari satu ke lain tempat
dari kota
ke kota: selalu sama. Bagaikan
si orang
tua jang tak tahu lagi mau ke mana.
Semuanja
sudah terserah, diatur dalam atjara:
huruf-huruf,
angka-angka dan tanda-tanda
jang tak
semuanja dapat kupahami.
“Tolong
lihat
dalam tiket
semuanja sudah ditjatat.”
Lalu akupun
tidur
karena
semuanja toh sudah diatur.
1972
New
York, Musimpanas 1972
Tak ada jang hendak dibuat
aku hanja duduk dan melihat:
Orang berpasangan,
duduk-duduk atau berdjalan
asjik berbitjara, tertawa,
bertjiuman
menikmati kebahagiaan
hingga tandas
dalam hidup-serba-terbatas
jang tak pernah merasa
puas
Tak ada jang ambil peduli
pada seorang asing jang termenung sunji
sepandjang pagi
Di sini matahari terbit
tapi entah di mana
Di sini matahari terbenam
tapi entah di mana
Sinarnja tak pernah tiba
di bumi
tersangkut di
gedung-gedung tinggi
Di sini hidup keras dan liat
besipun luluh dan tjair
tapi hati tak pernah tjadi
terharu
melihat nasib malang
ajahbunda
terdampar dalam sepi jang
ngilu
menanti-nanti achir usia
Dan pada malam hari
orang-orang megap-megap
mentjari
entah apa, entah bagaimana
lalu tiba-tiba berteriak
memanggil dirinja sendiri
jang djauh tersembunji
dalam kesibukan rutin
sehari-hari
Ada jang bernjanji
suaranya parau dan redup
menjenandungkan kerisauan
hidup
jang dalam lara dan dukana
penuh gairah dan warna
jang memberi arti
akan setiap hembusan udara
jang dia hirup
Ada jang berdjalan
ah, mereka selalu
berdjalan dan selalu bergegas
hendak menangkap setiap
saat jang melintas
untuk membuatnja abadi
terpaku dalam kefanaan
waktu
agar mendjadi bukti
kehadirannja
dalam hidup jang singkat
ini
1972
Sendja
di Kelantan
Antara Kota
Bharu dan Pasir Mas
sungai
Kelantan mengalir tjemas.
Garis-garis
terang di kakilangit jang sajup
pertanda
dunia lain jang mau hidup!
Sendja
merah di tanah Kelantan jang hidjau
membangkitkan
mimpi-mimpi kedjajaan masalampau
memandang
ke depan: djandji kebesaran
begitu
dekat, seolah ‘kan mudah terdjangkau.
Antara Kota
Bharu dan Pasir Mas
Sungai
Kelantan mengalir tjemas.
1971
Tentang Ajip Rosidi
Ajib Rosidi lahir 31 Januari 1938 di Jatiwangi,
Majalengka, Jawa Barat. Sejak SMP Ajip sudah menekuni dunia penulisan
dan penerbitan. Ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh
Pelajar (1953-1955). Pada tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan
Sunda; Pemimpin redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979);
Pendiri penerbit Pustaka Jaya (1971); Menjabat sebagai Ketua Dewan
Kesenian Jakarta (1972-1981). Ajip yang tidak pernah menamatkan pendidikan SMA-nya itu pernah
menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran, Bandung
(1967); Pengajar tamu di Osaka Gaikokugo Daikagu, Osaka, Jepang (1981); Guru
Besar Luar Biasa pada Tenri Daigaku, Nara (1983-1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku,
Kyoto (1983-1996). Saat
meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Unpad, Ajip Rosidi berujar, "Memajukan
Kebudayaan Sunda Bukan Provinsialistis". Untuk melihat daftar karya-karyanya, silakan baca postingan “Pantun
Anak Ayam”.
Catatan Lain
Di Perpustakaan Provinsi Kalsel, ada
tiga buku di bawah judul Ular dan Kabut
ini. Ketiganya berbeda tahun cetakan, dan tentu berbeda pula gambar sampulnya.
Cetakan II, diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1975 dan cetakan IV, terbit
tahun 1983 (kalau tak salah ingat). Hanya cetakan I yang memakai ejaan lama,
dan karena alasan itu saya memilihnya. Dan sialnya, saya menemukan halaman
tergunting, yaitu halaman 21/22. Bagian tengah buku, yaitu halaman 31 sd 34
juga menghilang entah ke mana. Tapi saya pikir, kegembiraan yang diberikan buku
tua kumal ini sulit digambarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar