Data Buku
Judul : Chairil
Anwar Pelopor Angkatan 45
Penulis : H. B. Jassin
Cetakan : VII,
1985 (cet. I, 1956)
Penerbit : PT.
Gunung Agung, Jakarta
Tebal : 184
halaman
Gambar kulit dan
penata wajah : AMA
Beberapa sajak hasil
terjemahan Chairil Anwar dalam Chairil
Anwar Pelopor Angkatan 45.
(Tapi
sebelumnya, kita nikmati dulu “satu-satunya” sajak Chairil Anwar yang ditulis
dalam bahasa Belanda: Catastrophe, hlm.
63)
Catastrophe
Hun
vijver werd moeras,
Rust
werd gevaar,
En
nymphen zonken
Zwaar
toen zij niet
Meer
zwemmen konden.
Het
bleekgroen riet
Week,
door zwart poelgewas
Verstikt
en overwoekerd,
Van
de verwaasde oev’ren.
Toen
enklen boven dreven,
Gezwollen
als verworgden,
De
heren los,
Doken
die overleefden
Dieper
in het bos.
Maar
steeds naar de ramp getrokken
Zagen
zij and’re doden
Die
niet verdronken:
Zij
die niet vloden
Liggend
in ‘t slib, de voeten
Domplend
in drabbig water,
Een
prooi voor iedren sater,
Wiens
bronst hen komt bezoeken.
Jakarta, 23 September 1945
* Dari Seruan Nusa. Memperingati berdirinya I Tahun K.R.I.S. Oktober
1945-1946, Yogyakarta, hal. 19.
Huesca
Jiwa
di dunia yang hilang jiwa
Jiwa
sayang, kenangan padamu
Adalah
derita di sisiku,
Bayangan
yang bikin tinjauan beku.
Angin
bangkit ketika senja,
Ngingatkan
musim gugur akan tiba.
Aku
cemas bisa kehilangan kau,
Aku
cemas pada kecemasanku.
Di
batu penghabisan ke Huesca,
Pagar
penghabisan dari kebanggaan kita,
Kenanglah,
sayang, dengan mesra
Kau
kubayangkan di sisiku ada.
Dan
jika untung malang menghamparkan
Aku
dalam kuburan dangkal.
Ingatlah
sebisamu segala yang baik
Dan
cintaku yang kekal.
(diterjemahkan
dari puisi John Cornford, Huesca)
Jenak Berbenar
Yang
kini entah di mana di dunia nangis,
tidak
berpijakan di dunia nangis,
nangiskan
aku
Yang
kini entah di mana tertawa dalam malam,
tidak
berpijakan tertawa dalam malam,
mentertawakan
aku
Yang
kini entah di mana di dunia berjalan,
tidak
berpijakan di dunia berjalan,
datang
padaku
Yang
kini entah di mana di dunia mati
tidak
berpijakan di dunia mati
pandang
aku.
(diterjemahkan
dari puisi R.M. Rilke, Ernste Stunde)
Mirliton
Kawan,
jika usia kelak
meloncer
kita sampai habis-habisan,
jika
seluruh tubuh, pehong lagi bengkok,
hanya
encok tinggal menentu kemudi,
menyerah
: “Sampai sini sajalah”,
akan
menyingkirkah kita bertambur bisu
mencari
jalan belakang
kawan?
Ini
tersurat juga bagi pengantin pilihan:
sekeras
batu laun ‘kan terkikis,
dan
ini karkas, barang sewaan,
meninggalkan
kita, tidak lagi memaling –
Cukup!
Berkeras sampai gerum penghabisan
kawan
(diterjemahkan
dari puisi E. Du Perron, Mirliton)
Musim Gugur
Tuhan
: sampai waktu. Musim panas begitu megah
Lindungkan
bayanganmu pada jarum hari
dan
atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan
buahan penghabisan biar matang
beri
padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan
mereka ke kemurnian dan buru jadi
gula
penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang
kini tidak berumah, tidakkan menegak tiang
Yang
kini sendiri, ‘kan lama tinggal sendiri,
‘kan
berjaga, membaca, menyurat panjang sekali,
dan
akan pulang balik melalu gang
berjalan
gelisah, jika daunan mengalun pergi.
(diterjemahkan
dari puisi R.M. Rilke, Herbsttag)
Datang Dara, Hilang Dara
“Dara,
dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak,
aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara,
rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak,
aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.”
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.”
“Dara,
dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa!
Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah,
laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang
tidak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara,
di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Malam
kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
(diterjemahkan
dari puisi Hsu Chih-Mo, A Song of the Sea)
Fragmen
Tiada
lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Dudukkan
diri beristirahat, tahanlah dada yang menyesak
Lihat
ke luar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela
Atau
nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding pemberian
teman-teman
kita.
atau
kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,
jatuhnya
pulau Ikinawa. Atau berdiam saja
Kita
saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,
Mega
dikemudikan angin
-
Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita …
Melupakan
dan mengenang –
Kau asing, aku asing,
Dipertemukan
oleh jalan yang tidak pernah bersilang
Kau
menatap, aku menatap
Kebuntuan
rahsia yang kita bawa masing-masing
Kau
pernah melihat pantai, melihat laut, melihat gunung?
Lupa diri
terlambung tinggi?
Dan
juga
diangkat
dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain
mengungsi
dari kota satu ke kota lain? Aku
sekarang
jalan dengan 1 ½ rabu.
Dan
Pernah
percaya pada kemutlakan soal …
Tapi
adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlekas
datang siang? Adakah –
Mari
cintaku
Demi
Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Bercerita
tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;
Papar-jemur
kalbu, terangkan jalan darah kita
Hitung
dengan teliti kekalahan, hitung dengan
teliti
kemenangan. Aku sudah saksikan
Senja
kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan juga turut tersedu
membekukan
berpuluh nabi, hilang mimpi, dalam kuburnya.
Sekali
kugenggam Waktu, Keluasan di tangan lain
Tapi
kucampur baurkan hingga hilang tuju.
Aku
bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cium
matanya,
kucup rambutnya, isap dadanya jadi
gersang.
Kau
cintaku
Melenggang
diselubungi kabut dan caya, benda yang tidak menyata
Tukang
tadah segala yang kurampas, kaki tangan tuhan –
Berceritalah
cintaku bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa
kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
dari
kecemasan sampai ke istirahat-dalam-kecemasan;
cerita
surya berhawa pahit. Kita bercerita begini –
Tapi
sudah tiba waktu pergi, dan aku akan pergi
Dan
apa yang kita pikirkan, lupakan, kenangkan, rahsiakan
Yang
bukan-penyair tidak ambil bagian.
(diterjemahkan
dari puisi Conrad Aiken, Preludes to Attitude)
Lagu Orang Usiran
Misalkan,
kota ini punya penduduk sepuluh juta
Ada yang
tinggal dalam gedung, ada yang tinggal dalam gua
Tapi tidak
ada tempat buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat buat kita
Pernah kita
punya negri, dan terkenang rayu
Lihat dalam
peta,akan kau ketemu di situ
Sekarang kita
tidak bisa ke situ, sayangku, sekarang kita tidak bisa ke situ
Di taman
kuburan ada sebatang pohon berdiri
Tumbuh segar
saban kali musim semi
Pasjalan
lama tidak bisa tiru, sayangku, pasjalan lama tidak bisa tiru
Tuan Konsol
hantam meja dan berkata:
“Kalau tidak
punya pasjalan, kau resmi tidak ada.”
Tapi kita
masih hidup saja, sayangku, tapi kita masih hidup saja.
Datang pada
satu panitia, aku ditawarkan korsi
Dengan
hormat aku diminta supaya datang setahun lagi
Tapi ke mana
kita pergi ini hari, sayangku, ke mana kita pergi ini hari.
Tiba di satu
rapat umum; pembicara berdiri dan kata:
“Jika mereka
boleh masuk, mereka colong beras kita.”
Dia
bicarakan kau dan aku, sayangku, dia bicarakan kau dan aku.
Kukira
kudengar halilintar di langit membelah
Adalah Hitler
di Eropah yang bilang: “Mereka mesti punah.”
Ah, kitalah
yang dimaksudnya, sayangku, ah kitalah yang dimaksudnya.
Kulihat
anjing kecil dalam baju panas terjaga
Kulihat
pintu terbuka dan kucing masuk begitu saja
Tapi bukan
Yahudi Jerman, sayangku, tapi bukan Yahudi Jerman.
Turun ke
pelabuhan dan aku pergi berdiri ke tepi
Kelihatan
ikan-ikan berenang merdeka sekali
Cuma sepuluh
kaki dari aku, sayangku, cuma sepuluh kaki dari aku.
Jalan lalu
hutan, terlihat burung-burung di pohon
Tidak punya
ahli-politik bernyanyi ria mereka konon
Mereka
bukanlah para manusia, sayangku, mereka bukanlah para manusia.
Kumimpi
melihat gedung yang bertingkat seribu
Berjendela
seribu dan berpintu seribu
Tidak ada
satupun kita punya, sayangku, tidak ada satupun kita punya.
Berdiri di
alun-alun besar ditimpa salju
Sepuluh ribu
serdadu berbaris datang dan lalu
Mereka
mencari kau dan aku, sayangku, mereka mencari kau dan aku.
(diterjemahkan
dari puisi W.H. Auden, Song XXVIII)
*
ada dua versi terjemahan Song XXVIII
dengan redaksi yang sedikit berbeda di buku ini.
Biar Malam
Biar
malam kini lalu,
cinta,
tapi mimpi masih ganggu
yang
bawa kita bersama sekamar
tinggi
seperti gua dan sebisu
stasion
akhir yang dingin
di
malam itu banyak berjejer siur katil-katil
Kita
terbaring dalam sebuah
yang
paling jauh terpencil.
Bisikan
kita tidak pacu waktu
kita
berciuman, aku gembira
atas
segala tingkahmu,
sungguhpun
yang lain di sisiku
dengan
mata berisi dendam
dan
tangan lesu jatuh
melihat
dari ranjang.
Apakah
dosa, apakah salah
kecemasan
berlimpah sesal
yang
jadikan aku korban
kau
lantas lakukan dengan tidak sangsi
apa
yang tidak bakal aku setuju?
dengan
lembut kau ceritakan
kau
sudah terima orang lain
dan
penuh sedih merasa
aku
orang ketiga dan lantas jalan
(diterjemahkan
dari puisi W.H. Auden, Song IV. Terjemahan puisi ini tidak
dijuduli oleh Chairil Anwar)
Hari Akhir
Olanda di Jawa
oleh
Sentot
Mau
terus kau menginjaki kami
Hatimu
menulang karna uang
Kau,
tuli ‘kan tuntutan hak dan rasa
Menghasut
kelembutan jadi kekerasan?
Maka
kami bercontoh ke kerbo
Yang
jemu diejek, lalu meruncing tanduk
Melambung
penunggangnya bengis ke atas
Lantas
kakinya kasar menghantam penyet.
Maka
api perang membakar ladangmu
Gunung
serta lembah menghawa dendam
Asap
mengepul dari tiap kediamanmu
Angkasa
bergetar pekikan bunuh.
Maka
telinga kami ‘kan merasa nikmat
Mendengarkan
raung-tukikan bini-binimu
Kami
‘kan bertepuk bergembira
Berjejer
melihati mampusnya kekuasaanmu.
Maka
anak-anakmu ‘kan kami sembelih
Anak-anak
kami bergelimang di darah mereka
Supaya
utang yang berabad lama
Begitu
berlipat terbayar kembali.
Dan
jika metari turun di barat
Samar
agak di belakang uapan darah
Dia
menerima erangan mati
Sebagai
tanda pisah penghabisan dari Olanda.
Dan
jika pelikat malam
Menyelimuti
alam yang sedang berasap
Anjing
utan mengais antara ungguk mayat
Merobek,
menghisap, menggerutu …..
Maka
putri-putrimu ‘kan kami larikan
Dan
segala dara kami miliki
Kami
beristirahat di dada putih mereka
Letih
membunuh, letih berperang.
Dan
jika segala penodaan ‘lah kami lakukan
Kami
capek memeluk-cium
Kami
sudah kenyang enek
Hati
oleh dendam, tubuh oleh napsu,
Maka
kami ‘kan ria berpesta
Seruan
pertama : “Kita beruntung!”
Seruan
kedua : “Pada Isa Kristus!”
Teguk
penghabisan : “Pada Tuhan Olanda!”
Dan
jika metari naik di timur
Berlutut
tiap ‘rang Jawa depan Mohammad
Karna
dibebaskan bangsa yang terlembut
Dari
kongkongan anjing-anjing Kristen.
(Disalin-terjemahkan
dari Multatuli, Max Havelaar)
P. P. C.
Tinggal,
Clary. Tidak ‘ku mengucap selamat.
Nanti
kelihatan tolol, juga biar datang dari hati
Sudah
kau jual dirimu. Jangan lagi beruwet
Tentang
apapun : manusia memang penghiba hati.
Rumahmu
kecil dulu. Tuanmu datang membesarkan,
Hartanya
tidak bakal putusnya, menurut cerita.
Kau
terpandang sampai nafasnya penghabisan.
Kau
berjiwa kecil. Nah! Inilah yang sebenarnya.
Badanmu
menapsukan. Kau betina jelita.
Kau
lahirkan anak manis buat tuanmu.
Kau
tak bisa berlepas, tapi toh bersetia saja.
Kau
disegani, tetap terjaga namamu.
Tinggal,
Clary. Dengan aku kau tidak ‘kan bertemu
Kau
‘ku jauhi, sampai dalam mimpi.
Ah!
Impian sebelum kita bertemu.
Kau
tetap kau. Aku padamu menista saja.
(diterjemahkan
dari puisi E. Du Perron, P. P. C.)
Somewhere
Mungkin
sekarang kita berkawan dan
besok
boleh jadi semua terlupa
baik
kau padaku, persenan lebih dari semusti
bayu
mengusap, selempap setawar sedingin
Aku
toh ‘kan kembali seperti sebelum
mengenal
kau, tapi jenak ini
‘ku
mau percaya teras kecil ini
adalah
Dunia, malahan batas Dunia.
Tumpukkanlah
segalanya atas
bahwa
aku kawanmu dan kau kawanku –
langit
berwarna kelabu, bayangkanlah dia merah
seperti
dulu lagi di Italia.
Kita
bersatu tapi sama tahu dan sadar:
Suatu
kata lebih ringan dari bulu merpati;
kataku
“cinta”, tapi ‘ku kan lupa
pernah
kau bilang : “Ah, cuma sekali mencinta?”
Jangan
jadi pusing kerna nyaris-bercintaan ini
semua
‘kan lupa kalau apa yang terbedah,
sehabis
perjuangan, sembuh atau terkatup lagi.
Aku
toh menyebut “cinta”. Tidak kayak dulu-dulu
juga
bukan yang sekali! Ini bukan terpaan.
Jaman
masih bergedoncak segila bisa,
udara
pucat dan bersedih terhampar:
‘ku
mainkan kata yang dulu mengharu
dalam
persahabatan padamu pengisi hampa.
(diterjemahkan
dari puisi berbahasa Belanda E. Du
Perron, Somewhere)
Hari Tua
Tetaplah
padaku juita, sebab api makin mati
Anjingku
dan aku sudah tua, ketuaan bakal mengelana
Lelaki
bernapsu teruna bikin mengkilang pencaran air terbang
sangat
kaku akan bakal mencinta
untuk
maju, terlalu beku bercinta
Kuambil
buku dan dekatkan diri pada dian
Bolak
balik lembaran kuning lama; dari menit ke menit
Jam
berdetik kena kalbuku; sebuah kawat kering
Bergerak
Aku
tidak kuasa layari lautanmu, aku tidak kuasa edari
Ladangmu,
juga pegununganmu, juga lembahmu
Tidak
bakal lagi, juga tidak pertarungan nun di sana
Di
mana perwira muda kumpulkan lagi barisan yang pecah
Hanya
tinggal tenang sedangkan pikiranku mengenangkan
Keindahan nyala/api
dari keindahan
(diterjemahkan
Chairil, yang menurut H. B. Jassin, tidak jelas oleh penyair mana, tapi salinan
sajak dari bahasa aslinya ada)
Gerontion
Inilah
aku, pak tua dalam bulan gersang
sedang
dibaca oleh anak muda, ketika menanti hujan.
Aku
tidak berada pada pagar hangat
Juga
tidak terbenam hingga lutut dalam rawa garam,
mengayunkan
pedang pandak.
Digigit
lalar, berkelahi.
Rumahku
adalah
(terjemahan
sajak ini tidak selesai, baru 7 baris, dari sajak T.S. Eliot, Gerontion)
Sonnet
Tidak
apa yang diberi gampang saja. Undang-undang mesti kita cari
Gedong-gedong
besar berdesak-desakan dalam metari
Dan
di belakangnya terjalani jeriji
Jauh
tersembunyi gubuk dan teratak keji
Tidak
apapun bisa menentukan nasib kita;
hanya
tubuh berpasti; si besar dan si kecil rata-rata
mencoba
bertambah naik; deretan rumah sakit saja
memperingatkan
bahwa kita semua berderajat sama.
Siapapun,
juga polisi, tetap menyayangi anak-anak:
mereka
ceritakan tentang masa sebelum para perwira
mengenal
sepi serta kehabisan langkah
(tiga
baris lagi belum diterjemahkan, dari sajak W.H.
Auden, Sonnet, terjemahan ke
bahasa belanda oleh Van der Plas, dalam buku I Hear America Singing, dari bahasa Belanda lah Chairil
menerjemahkan)
Song XI
Letakkan,
cintaku, kepalamu yang terkantuk
Pada
lenganku yang tidak setia
Bukankah
jaman dan demam membakar
Keindahan
yang dipercaya
dari
masa kanak, di negeri mimpi –
kuburan
saban kali tunjukkan
bahwa
sang anak hidupnya pendek,
tapi
biarlah sampai pagi
dalam
pelukanku kau baring
sebagai
insan hidup: usiamu terbatas
dan
juga punya salah, tapi ah, bagiku
jelita
yang sempurna.
Tubuh
jiwa lepas kewajiban
jika
mereka yang berkasihan
terhampar
di lembah ajaib Venus
dalam
deru, sudah mulai biasa saja;
maka
dikirimkannyalah wajah impian
(6
baris dari kuplet ini dan 2 kuplet lagi belum diterjemahkan, Song XI, W.H. Auden)
Tentang
Chairil Anwar
Chairil
Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Berpendidikan MULO (tidak tamat). Pernah
menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949) dan redaktur
Gema Suasana (1949). Kumpulan sajaknya, Deru
Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan
Yang Terampas dan yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950).
Chairil Anwar dianggap pelopor angkatan 45. Ia meninggal di Jakarta, 28 april
1949. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia. Dan hari lahirnya sebagai Hari Puisi Indonesia.
Catatan
Lain
Buku yang patut dimiliki oleh pecinta sajak Chairil Anwar. Banyak mengungkap selak-beluk sajak-sajak Chairil.
Misalnya, akan kita peroleh keterangan tentang sajak “Aku” yang terkenal itu,
hal 170: “Sajak ini punya dua nama. Yang asli ialah “Aku”. Nama sajak itu
dirobah oleh Pusat Kebudayaan jadi “Semangat”, untuk menyesuaikannya dengan
semangat zaman, supaya lolos dari sensur. “Aku” mempunyai interpretasi
individualistis, sedang “Semangat” bisa dipertanggung-jawabkan sebagai
perjuangan kolektif. Sajak ini buat pertama kali diperkenalkan oleh Chairil
Anwar dalam pertemuan Angkatan Muda di Pusat Kebudayaan bulan Juli 1943 dan
kemudian dimuat dengan kepala “Semangat” dalam ……..”
H.B. Jassin juga bicara tentang
plagiat-nya Chairil Anwar. Di satu bagian kita akan ketemu tulisan ini, (hlm.
41): “Timbul pertanyaan apakah sebabnya Chairil sampai melakukan plagiat?
Apakah plagiat hobbinya? Ataukah ia menganggap orang Indonesia cukup bodoh
untuk tidak akan pernah menemukan plagiatnya? Plagiatnya yang menggemparkan
ialah “Datang Dara Hilang Dara”, yaitu terjemahan dari sajak Hsu Chih-Mo,
beberapa bulan sebelum ia meninggal. Ini bisa diterangkan disebabkan karena
penyakitnya yang banyak makan ongkos untuk pembayaran dokter. Kira-kira waktu
inilah pula ia mengumumkan di bawah namanya sajak-sajak “Fragmen” dan
“Krawang-Bekasi”. Saudara bertanya: mengapa dia tidak menyerahkan sajak-sajak
itu sebagai terjemahan kepada redaksi majalah? – Tidak akan diterima saudara.
Majalah-majalah kebanjiran oleh sajak-sajak yang asli dan terjemahan jarang
diterima, atau kalau diterima lama sekali baru dimuat dan honorariumnyapun
kurang dari honorarium sajak asli. Dan penyair begitu memerlukan uang dan
segera untuk pengobatan penyakitnya. Sangat prosais alasan ini saudara, tapi
begitulah.”
Lanjut, H.B. Jassin di hlm. 45 : “Sekarang hanya tinggal
pertanyaan: Apakah hukuman sejarah pada penyair Chairil Anwar yang diakui telah
membarui kesusastraan Indonesia tapi di samping itu telah melakukan kesalahan
plagiat? Apakah karena plagiat beberapa sajak, semua sajaknya yang aslipun
harus dianggap tidak lagi bernilai? Dan apakah karena itu harus dicopot
predikat pelopor angkatan ’45?//Ini pertanyaan yang penting bagi para ahli
hukum dan para moralis yang dalam hal ini diharap tidak melupakan faktor
manusia dan keadaan.”
Dalam pada itu, H. B. Jassin juga pernah menyelidik.
Apakah sajak “Nisan” yang ditulis bulan Oktober 1942 adalah sajaknya yang
pertama? Tulis H. B. Jassin, di halaman 11: “Hal ini pernah saya tanyakan pada
penyair dan menurut keterangannya perhatiannya kepada kesusastraan sudah mulai
sejak ia duduk di bangku sekolah rendah dan dia sudah lebih dulu membuat
sajak-sajak corak Pujangga Baru, tapi karena tidak memuaskannya lalu
dibuangnya.”
Dalam buku ini, terkait dengan sajak Chairil yang
berbahasa Belanda, H. B. Jassin menulis: “Dalam cetakan ini saya sertakan pula
sajak dalam bahasa Belanda “Catastrophe”, yang memakai nama Chairil Anwar,
bertanggal: Jakarta, 23 September 1945. Sajak ini mula-mula pernah saya dapat,
diguntingkan oleh seorang teman dari sebuah majalah yang tidak diingatnya
namanya. Kemudian saya mendapat salinannya dari John. M. Echols dari Cornell
University, yang menyalinnya dari majalah Seruan
Nusa. Saya ragu-ragu tentang keaslian sajak ini, karena jiwa dan
semangatnya serta tema dan lukisannya lain sekali dari umumnya puisi Chairil
Anwar.” Di bagian lain, pernyataan ini diulangi lagi, hlm. 173: “Sajak ini
ditemukan oleh J. M. Echols dari Cornell University, tatkala dia dalam tahun
1956 datang di Indonesia dan antara lain mengumpulkan majalah-majalah lama
untuk keperluan universitas itu. Saya belum dapat memastikan apakah sajak ini
sajak asli, meskipun di bawahnya dibubuhi nama Chairil Anwar. Jiwanya lain
sekali dari umumnya puisi Chairil Anwar, demikian juga tema dan lukisan.”
Menurut saya, satu-satunya alasan kenapa H. B. Jassin
tetap memuat sajak ini meskipun jiwa dan semangatnya berbeda dari kebanyakan
sajak Chairil, ya karena alasan yang saya paparkan di paragraf sebelumnya:
bahwa Chairil pernah juga menulis sajak yang bercorak lain, corak Pujangga
Baru. Atau barangkali, patut juga direnungkan, jangan-jangan ada orang lain
yang memiliki nama yang sama, Chairil Anwar. Hehe.
Dalam buku ini ada juga istilah saduran. Sajak Chairil
yang dianggap saduran antara lain sajak “Kepada Peminta-minta”. James S. Holmes
pernah mensejajarkan sajak itu dengan sajak yang berjudul Tot Den Arme karya Willem Elsschot. Hasilnya menunjukkan bahwa dari
20 baris sajak Chairil ada 16 yang sama dengan sajak Elsschot yang terdiri dari
24 baris, meskipun tidak dalam urutan yang sama. (baca hlm. 34). Pun sajak
“Krawang-Bekasi” yang merupakan saduran dari sajak Archibald MacLeish, “The
Young Dead Soldiers”.
H. B.
Jassin juga meneliti sajak-sajak asli Chairil yang mendapat pengaruh dari
penyair lain. Sajak “Catetan Th. 1946” dikatakan dipengaruhi sajak Inggris yang
berjudul “War Poet” karya Donald Bain. Tulis H. B. Jassin (hlm. 35):
“Perbandingan menurut sistem Holmes yaitu dengan memberi nomor-nomor, memberi
kesimpulan kepada saya bahwa 6 dari 12 baris sajak Chairil menyerupai 6 baris
sajak Bain yang terdiri dari 8 baris.//Secara kongkrit perbandingan di sini
antara yang diambil dan punya sendiri paro-paro dan saya cenderung untuk
menggolongkannya pada sajak asli yang mendapat pengaruh dari Bain.” Sajak
“Kepada Kawan” mendapat pengaruh bersama dari 6 sajak Marsman dan 1 sajak
Slauerhoff. Kata Jassin, pengaruh itu kelihatan dalam semangat, penggunaan
kata-kata dan perbandingan-perbandingan (hlm. 175). Sajak “Orang Berdua”
dipengaruhi (atau menurut bahasa Jassin: adalah sajak asli yang keras
dipengaruhi, hlm. 48) sajak Marsman “De Gescheidenen”. Sajak “Rumahku”,
termasuk unik, mula-mula dianggap saduran dari sajak Slauerhoff yang berjudul
“Woninglooze”. Namun di cetakan ketiga, digolongkan sajak asli yang
dipengaruhi. Meskipun 6 dari 12 baris sajak “Rumahku” sama dengan “Woninglooze”
namun sebagaimana perkataan Mundingsari yang diamini Jassin, sajak Slaurhoff
menggambarkan fatalism, sedang Chairil menonjolkan keyakinan yang kuat. Inilah
yang membuat yakin Jassin menempatkannya sebagai sajak asli yang dipengaruhi.
Dalam buku ini, Jassin tidak hanya menunjukkan, tapi juga
memuat sajak-sajak yang merupakan sumber terjemahan atau saduran atau pengaruh
atau yang disinyalir berisi pengaruh, dalam bahasa aslinya. Kebanyakan bahasa
Belanda, yang bahasa Inggris hanya “Preludes to Attitude” karya Conrad Aiken
dan “The Young Dead Soldiers” karya Archibald MacLeish. Pengaruh-pengaruh kecil
pun bahkan dikemukakan juga oleh Jassin dalam bukunya itu. Misalnya ia menulis,
menjelang akhir 1963, ada seorang wartawan dan pengarang muda asal Makassar,
bernama A. Rosadi Sani, mengirim sajak Ezra Pound bersama terjemahannya, yang
menurut perasaannya ada persamaan dengan sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”.
Judul aslinya “A Pact”, dikutip dari The Pocket Book Verse, sebuah antologi
yang disunting oleh Oscar Williams. Terjemahannya sebagai berikut:
Persetujuan
Kubikin persetujuan dengan kau, Walt Whitman
Aku sudah menyia-nyiakan kau cukup lama
Aku datang padamu seperti bocah yang dewasa
Yang punya bapa dengan hati yang membatu
Aku sudah cukup lama sekarang membikin persahabatan
Kiranya kau yang telah mematahkan ranting-ranting muda
Kini tiba waktunya untuk berbagi
Kita punya satu zat satu urat
Biarkan dia bersatu dengan kita.
Komentar Jassin, memang ada
persamaan ide dan persamaan nafas, namun sajak Chairil dianggap memiliki
semangat, suasana, ungkapan, dan berdiri dengan keistimewaan sendiri. “Pengaruh
Pound? – Memang. Dalam beberapa ungkapan. Plagiat? – Bukan.” kata Jasssin.
Kemudian ada juga yang menyandingkan sajak Chairil
“Cintaku Jauh di Pulau” dengan sajak Lorca berjudul “Cordoba”. Buyung Saleh
menyebut sebagai memindahkan lingkungan suasana. Tapi Jassin berkata bahwa
suasana dan pengerjaannya lain sekali meski kalau dideretkan kuplet demi kuplet
dan baris demi baris ada kesamaan. Kesan persamaan yang menyolok terlihat di
baris 11 pada kedua sajak. Kata Chairil, “Amboi! Jalan sudah bertahun-tahun
kutempuh!” dan pada Lorca: ”Wahai! Amat panjangnya jalan!. Kata Jassin, di sini
ada persamaan yang aneh karena nyata sangat kebetulannya (hlm. 30). Berikut dikutipkan
“Cordoba”, dari bungarampai Puisi Dunia I
terjemahan Taslim Ali.
Cordoba
Cordoba
Sayup-sayup dan sepi
Kudaku Zanggi, bulan purnama,
Dan buah zaitun di kantong pelana
Walau kukenal jaring jalannya,
Berasa, tak lagi kucapai Cordoba.
Memutus padang, menjuang angin
Kudaku Zanggi, pulan purnama.
Maut mengeram, mengintai di depan
dari Menara kota Cordoba
Wahai! Amat panjangnya jalan!
Wahai, Zanggi, kuda perwira.
Bila disergap maut di jalan:
Raib di mata gerbang Cordoba
Cordoba,
Sayup-sayup dan sepi
Mantab gan kumpulan puisi terkenalnya:
BalasHapusSimak juga Koleksi Pantun:
-----------------------------------
Koleksi Pantun Jenaka Guyonan|
Pantun Jenaka Lucu Gokil|
Pantun Jenaka Tema Cinta|
Pantun Tahun Baru Terbaru|
Kumpulan Pantun Nasehat Edisi Dalang|
Pantun Nasehat Edisi Dalang|
Pantun Agama Religi Islam|
Pantun Agama Islam Terbaru|
Contoh Pantun Agama Terbaru |
Perbedaan Pantun, Karmina, Talibun|
Pantun Jenaka Lucu Gokil