Data buku kumpulan puisi
Judul : Pembebasan
Pertama, Kumpulan 1942-1948.
Penulis : Amal Hamzah
Cetakan : 1979 (terbit pertama: 1949)
Penerbit : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah,
Jakarta.
Keterangan
tambahan: Tidak Diperdagangkan, diterbitkan kembali seijin PN Balai Pustaka, BP
No. 1687.
Tebal : 184 halaman
(43 puisi)
Halaman
persembahan : Untuk AMIR HAMZAH yang tidak mempunyai kuburan diberikan buku ini
sebagai kenangan.
Pembebasan Pertama terbagi atas 4 bagian, yaitu Romance (20 puisi), Sine Nomine (23 puisi), Skets
(3 cerpen, 3 naskah drama), Roman (1 roman,
judul: Suwarsih)
Beberapa pilihan puisi Amal Hamzah dalam Romance
Senyap
Hatiku kini tiada bernyanyi
Riang gembira laku dulu
Lama bisikan telah dinanti
Kabur mata dalam menunggu
Rupanya hatiku laksana telaga
Kering timpas di musim kemarau
Di sinar panas surya mendera
Tinggal air berasa payau
Sekali-sekali dicoba berdendang
Lagu lama selang terkenang
Tapi nyanyi tiada merupa
Kesan hati yang menderita.
Senyap saja hatiku kini
Laksana pohon calang telanjang
Tegak lurus seperti mati
Di samar sinar hati petang.
Sunyi
Duduk aku di muka jendela
Memandang sayu ke atas langit
Mengemas cahaya purnama raya
Ditambah permai lentera alit.
Malam turun menyejuki bumi
Badanku lemah habis bekerja
Duduk sebentar bersenang diri
Melihat ke bulan berlayar sentosa.
Daun pohon di muka kamarku
Berkilau-kilau ditimpa cahaya bayu
Bergerak perlahan disayang bayu
Pulang bermain dari segara
Sunyi senyap tiada suara
Merusak aman damai malam
Hanya hatiku sedikit berkata
Melihat keindahan sekitar alam
Hatiku kecil lalu menangis
Terisak-isak tiada tertahan
Memikirkan diri bagai tertindas
Tiada teman tempat berkesan …
Laut
Berdiri aku di tepi pantai
Memandang lepas ke tengah laut
Ombak pulang memecah berderai
Ke ribaaan pasir rindu berpaut.
Ombak datang bergulung-gulung
Balik kembali ke tengah segara
Aku takjub terdiri termenung
Beginilah rupanya permainan masa
……………………………………….
Hatiku juga seperti dia
Bergelombang-gelombang memecah ke pantai
Arus suka, beralih duka
Payah mendapat perasaan damai …..
Arus
Berkayuh aku
di segara hidup,
alun air pelan semata
biduk melancar ria gembira
Pukulan kayuh tiada bersuara
Pada perahu muat seorang.
Sekali terbentur perahuku
Pada dara kucindan mata
Aku tersentak, sedar jaga
Kayuh terletak diambil segera.
Bermain kami di tempat ramai
Sampan berjalan berdekat-dekatan
Berjumpa kawan kata membelai
Lebih dalam tak diacuhkan
Kawanku rupanya lekas penjemu
Dalam asyik mereguk restu
Ia menarik diri
Meninggalkan daku.
Tinggal awak berkayuh seorang
Dalam gelora hidup mengamuk
Biduk menepis susunan karang
Nyaris sampan hancur remuk.
Kayuh kutinggalkan
Badan kuletakkan
Dalam sampan muat seorang…
Maju sampanku, maju
Ke mana saja engkau mahu
Mendarat ataupun karam
Serupa saja pada hatiku…
Musik di Waktu Malam
Di atas mejaku bertumpuk buku
Pekerjaan sehari-hari
Mencari ilmu menambah budi.
Kawanku setia, kawanku berkata
Kawanku karib, bukan manusia …
Suatu malam beta bertekun
Membaca kitab penuh bertimbun
Lupa segala di pagi hari
Waktu di kantor menjadi kuli
Segala susah sedih
Pada malam pecah berbuih
Aku rindukan malam bagia
Tempatku membaca dengan sentosa …
Pancaran Hidup
Di pagi hari
Aku berangkat bekerja
Tampak olehku seorang laki-laki
Mengorek-ngorek tong mencari nasi.
Sepintas hatiku sedih
Terasa miskin badan sendiri
Di tengah kekayaan negeri raya
Awak menjadi perminta-minta.
Lalu mataku menoleh ke padanya
Tampak tegap-teguh semata
Tiada cacat membuat celaka.
Hatiku marah:
Orang begini tak perlu dikasihani
Di dunia Allah penuh rezeki
Ia tinggal bermalas diri.
Dara
Dara, bawakan beta
ke dadamu melengkung
supaya kutahu mengecap untung.
Gadis, pelukkan daku ke bibirmu delima
agar dapat merasa bagia.
Adakah yang lebih indah, o kawan
dari bentuk gadis rupawan?
Hidup tiada sempurna
Aku dan dia mesti bersama …
Kenangan
Putusnya tali kasih kita, adikku
manis, datangnya dengan tiba-tiba, laksana pencuri di tengah malam.
Seketika lama engkau tayang aku di
irama kasihmu, aduh, lupa beta pada segala, karena berlayar di alun asmara.
Mengapatah demikian, Hatiku, kurang
cukupkah kasihku padamu maka engkau rentapkan kebat ini?
Hatiku sendu berluka parah karena
rentapan tanganmu halus. Bagaimana pun aku menekan luka itu lamun darah menitik
juga dari padanya, setetes demi setetes, merah rona, mengingatkan ku pada warna
Kasih.
Kucari lupa, tetapi di manakah aku
akan dapati dia? Karena hatiku penuh dengan wajahmu? Sastra pujangga, sajak
seni sedih, di musik yang menggetarkan jiwa, di hiruk-pikuk dunia, semua tiada
berkuasa melupakan aku pada engkau … malahan hatiku kecil bertambah meronta,
menangis pedih, karena kesunyian tiada tertahan.
Di
mana kala hatiku sembuh dari luka ini, Rinduku, bekasnya tetap akan tinggal
mengingatkan aku pada kasihmu… perduli apa aku karena kasihmu tiada lama?
Apakah lama? Apakah tiada lama? Bukankah kasihmu telah membukakan Dunia Baru
pada hidupku yang sebelum itu tak pernah kukecap? Tiada selalu lama itu membawa
bahagia. Sesaat saja dapat pada masanya menguasai kehidupan kita yang akan
datang. Dan saat kasihmu yang telah engkau anugerahkan padaku akan aku
genggam-teguh, akan aku simpan sebagai pemberian kudus yang penghabisan kali
dari padamu padaku. Dan biarpun hatiku sesudah ini takkan dapat lagi bernyanyi
ria, mataku tak dapat lagi berbinar terang, tetapi dia tahu, bahwa dulu dia ada
juga bernyanyi ria, mataku ada juga berbinar terang … dan semuanya ini
datangnya dari Seruling Kasihmu yang engkau lagukan semasa itu untukku…
Meskipun
irama itu sekarang telah lama lenyap disawang lapang dan engkau takkan lagi
melagukan Seruling Kasih ini untukku tetapi di hatiku irama itu tetap tinggal
dibebat oleh sutera merah merona darah dari kasihku…
Dan
putusnya tali ini hanya dapat, bila rumput hijau telah menyelubungi tubuhku dan
kemboja bunga menaungi tempatku berhenti…
Beberapa pilihan puisi Amal Hamzah dalam Sine Nomine
Melaut Benciku
melaut benciku terhadap manusia
melaut pula benciku terhadap ku sendiri
karena dalam kelakuan mereka
terlihat olehku prangaiku asli
menjilat!
menipu!
membohong!
memeras!
kelakuan dibuat-buat supaya
perut kosong gendut seperti tong!
mulut ketawa:
tampak gigi
kuning
tak pernah digosok,
bau mulut busuk bagai bangkai!
bah!
inikah yang dinamakan dunia!
dunia yang penuh tipu-cedera!
kalau boleh kupinta dulu
aku tak usah lahir ke dunia-tipu
tapi malang!
aku lahir bukan kehendakku!
dalam pelukan cinta berahi
tumbuh benih membusuk diri.
tercampak ke dunia
sebagai hasil nafsu kedua!
bah!
kalau boleh kupinta dulu
jangan badan datang ke mari!
Tiada Mengatasi
semua barang
dapat dibeli dengan wang!
dengan wang dibeli buku
dengan wang berlaku segala sesuatu!
buku
sabun
baju
perempuan!
totok
indo
cina
indonesia!
kasih tiada
kasih bergantung pada kantung!
semua segala dalam dunia
semua ada mempunyai harga.
siapa kaya
teruntuk padanya segala-gala.
dia dapat segala manusia!
Bunga
Bangsa
Kata Nippon : Nippon Indonesia sama-sama
Kata Nippon : Dai Tooa
Kata Nippon : Asia Raya
Kata Nippon : Kemakmuran bersama
Kata pengkhianat bangsa : Saya bikin propaganda
Kembali
engkau
setengah
telanjang
lebih
sedikit
dari
binatang.
Tubuh
penuh cacat
borok-kudis.
Pandang
tiada
seperti
manusia
lagi.
Dulu
engkau
perajurit
ekonomi
engkau
bunga bangsa
kata mereka
yang
menjerit-jerit
di Ikada.
Sekarang
engkau kembali.
Di mana
mereka
yang
menyanjung
membujuk
dikau
masuklah
menjadi
perajurit
ekonomi?
Di Siam
Di Burma
Di Malaya
Di
Cochin-China
Ribuan
temanmu mati.
Singapura,
ratusan
gadis-juru-rawat
melarat,
melontekan
diri.
Yang
berteriak
di Taman
Raden Saleh,
Ikada,
telah lama
lupa.
Waktu
berangkat:
nyanyian
musik
serta
pekikan:
hidup
perajurit
ekonomi!
Waktu
kembali?
Di mana
pekikan,
di mana
musik?
di mana si
pengkhianat bangsa?
Lingkaran
Gila
Reni,
Engkau ini
terlalu idealistis
ini dunia
bukan swarga
seperti engkau
mimpikan
dari dinding
kamarmu
empat segi.
Aku lecuti
engkau
dengan
perkataan
pedas,
pedas,
aku benci
melihat
orang yang
mau melambung tinggi
tinggalkan
kenyataan:
dunia
neraka!
Swarga?
Tidak ada!
Juga tidak
nirwana
ciptaan
sang Buddha!
Ini hidup
perjuangan
antara si
lemah
dan si kuat
antara si
miskin
dan si
kaya!
Kasihan?
Kasihan
juga maya!
Kasihan
hanya
untuk
propaganda
Kalau
kasihan:
angkat
orang
yang
bergelimpangan
di jalanan
beratus-ratus
mati
setiap
hari…………..
Ini dunia
racun
Engkau
racun
Aku racun
Aku dan
engkau sama-sama meracun
Lalu gila
kita meringis:
Inilah
bahagia utama …….
(Dalam hati
sama-sama kita ogah
percaya!)
Reni,
Ini hidup
viceuse cirkel
Baik dan
buruk
Bertaut
mulut
Tidak dapat
dipisahkan.
Sebetulnya
semua
orang sudah
gila
dunia gila
engkau, aku
gila
propesor-propesor
kita
juga gila
biarpun dia
mau mengajarkan kita
filsafat
kuna!
Tidak ada
harga…………..
Konsekwensi
ini pikiran
bunuh diri
bunuh diri
-- kata S.
T. A. –
tapi celaka
sampai di
sini
aku belum
berani!
Masih juga
mau
dengar
ocehan
dari
mulutmu
penuh
racun!
Celaka………..
Kesombongan
wah!
manusia
sombong pernah berkata
“badan kami
ini dapat mati
tapi jiwa
kami baka selama!”
aku tiada
perduli!
satu
padaku:
hari yang
kuhadapi
akan
kureguk sepuas-puasnya!
R!
Sekali
menikmati keindahanmu,
Sudah itu
pergi darimu ………..
Aku tak
dapat lama
Cinta pada
wanita!
Hidupku
singkat!
Kenikmatan
hendak kuperlipat,
Tidak
perduli kelat!
Seperibu
sekonde
Hendak
kuperebutkan
R!
Meminta
kasih?
Aku tak
mau!
Kasih akan
kurampas, kurampok!
Jangan
percaya mulutku manis!
Semua
perkataanku bohong belaka.
Aku ini
penipu besar
Penipu
engkau, penipu aku.
Aku ini
setan dan dewa sekali.
Tempatku
suarga dan neraka-api!
Sembrono
bukan aku
tak tahu
bahwa
lereng ngarai itu amat curam
dan rintis
di situ sempit serta lincir.
bila
terpeleset kakiku
tubuh ini
tiada berguna lagi
rangka
hidup menunggu mati…….
tapi aku
orang sembrono
bermain
bersenda dengan neraka!
kurangkum
neraka bermulut api
kuterjang
sekali segala ajaran suci!
kutukar
bahagia sebentar
dengan
swarga dijanjikan nanti.
Nafsu
itu Tuhan
untuk
h. b. jassin
berbisik
iblis dalam hatiku
darahku
keras mengalir,
jantungku
keras berdenyut!
memercit
peluh di dahiku
peperangan
budi dan nafsu
sedang
berlaku.
aduh engkau
yang berkuasa
yang
disebut orang beriman
tuhan.
kehendakmukah
ini
manusia itu
tak kuasa
menahan nafsu?
kami tiada
lebih dari binatang.
dalam musim
berpasang
menerjang
ripuk segala halang!
oh!
segala
adat-istiadat dan didikan
sepuhan
belaka,
tipu!
tiada kuasa
menahan nafsu ……..
Aku
Contra Hidup
- sandiwara
tragis –
beribukali
aku tobat
beribu kali
pula aku turutkan nafsuku
aku ini
manusia
menipu diri
sendiri
atau
mestikan demikian
mestikah
kuhirup
air hidup
sekelat-kelatnya?
kerongkonganku
pahit!
kelat!
kelat!
air! air!
bawakan aku
air!
Aku
Hendak Kemana?
kami dalam
dunia ini
seperti
dalam paya besar
berputar-putar
ribuan tahun
-- siapa
yang tahu berapa lamanya sudah? –
mengedari
matahari ……………
kami
manusia ini
telah
ribuan tahun pula
berputar-putar
dalam paya
hati
sendiri, makin lama makin payau
-- sampai
mana akhirnya? –
dan aku,
dalam diriku,
-- terjadi
dari elemen yang empat –
ada pula
paya semacam itu:
kotor,
hijau, apak dan bau ………
dalam hidupku
yang muda ini
bertimbun
telah bangkai-bangkai
bekas
kekejian perjalanan hidupku,
dan aku
berputar-putar di sana
seperti
orang gila, menganggap bahwa
payaku
kecil ini adalah paya
sebesar-besar,
dan seindah-indahnya ……
di luar
payaku ini
ada paya
dunia: luas dan besar dan permai,
setiap hari
berganti warna dan harum,
karena daya
hidup tersimpul di dalamnya.
sedang aku
dalam ketengikan payaku sendiri
menyangka
paya besar itu
busuk pula
seperti payaku ……….
aku hendak
ke mana? …………..
Pagi
Azan
Mu’alim sunyi membumbung
di suasana
pagi hari mendung
memanggil
ummat berhening diri
sujud
khidmat pada ilahi.
aku
tergolek di tempat tidurku
menghempas
badan kanan dan kiri
mengenang
nasib tak pernah bertuju
hampir
bertuju kulepaskan mesti.
sejuk sedap
suara seruan
menghimbau
engkau di langit tinggi
sekejap
lenyap segala deritaan
dalam
mendengar pujaan seni
tergenang
melimpah kedua mataku
mendengar
suara mu’alim sunyi
di atas
menara tegak berdiri
menyeru
allah di waktu pagi.
ingin aku
menjadi suara
di pagi waktu
menjelang hari
naik
meninggi ke cerpu ilahi ………..
Hatiku,
hatiku,
kalau lemah
merapuh gelas,
kalau
keras, menyama baja ……..
Tentang Amal Hamzah
Amal Hamzah disebut-sebut sebagai adiknya
penyair Amir Hamzah, lahir di Binjai, Langkat, 31 Agustus 1922. Bukunya Pembebasan Pertama (1949) dan Buku dan Penulis (1950), berisi
kritik-kritiknya terhadap beberapa roman dan drama Indonesia.
Catatan Lain
Sebenarnya, tak ada biografi Amal Hamzah di
buku ini. Saya harus membolak-balik buku Ajip Rosidi yang berjudul Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia
(penerbit Binacipta, Bandung, cetakan V, 1991). Namun, Amal Hamzah telah
diperkenalkan dalam kanon sastra waktu zaman saya sekolah dulu, terutama lewat
sajak Pancaran Hidup dan Melaut Benciku.
Ajip
Rosidi menulis begini (hal. 76): “…… dalam sajak-sajaknya yang pertama
menunjukkan pengaruh abangnya, terutama dalam gaya dan pengucapan. Ia kemudian
tertarik oleh teosofi dan pengarang India Rabindranath Tagore. Ia menerjemahkan
beberapa buah karya Tagore, yang pernah mendapat hadiah Nobel 1913, antaranya
karya utamanya Gitanyali
(1947).//Amal mulai menulis di jaman Jepang, ketika mana ia kehilangan
kepercayaan kepada manusia. Ia menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis.
Juga dalam sandiwara-sandiwara dan cerita atau sketsa yang ditulisnya,
sensualisme sangat kentara. Ia tampaknya mau menjadi nihilis yang mencampakkan
segala nilai dan berkehendak mereguk hidup sepuas-puasnya tanpa mengindahkan
acuan-acuan moral dan agama lagi. Sajak-sajak dan karangan-karangan lainnya
kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Pembebasan Pertama (1949).”
Kalau
menurut pandangan saya sendiri, saya pikir, kalau disebut kasar dan
naturalistis mungkin iya, tapi saya lebih suka menyebutnya blak-blakan. Tapi untuk mengarah ke nihilis, saya pikir tidak juga.
Amal hanya memotret realitas paling menyakitkan dari jiwa-jiwa manusia. Seperti
kata sajaknya “Nafsu Itu Tuhan”, ini adalah
peperangan budi dan nafsu.
Pada sajak “Aku Hendak Ke Mana”, ia juga berhasil membuat jarak. Kebanyakan
sajak yang lugas itu menggunakan kata ganti orang pertama. Jadi kelihatan
seperti pandangan pribadi. Ya, bagi saya, inilah sajak yang jujur. Bukankah
pada manusia diilhamkan kebaikan dan kebusukan. Amal Hamzah dengan sangat baik
memotret kebusukannya sendiri, yang tak lain adalah juga kebusukan manusia. Sajak-sajaknya
yang lugas banyak termuat di sub-kumpulan Sine
Nomine. Namun di sub-kumpulan itu juga ada sajak “Pagi” yang begitu lembut.
Namun,
bagian yang saya suka dari buku ini adalah romannya. Berjudul Suwarsih, dan
diberi embel-embel: Roman Ambruknya Sebuah Rumah Tangga. Roman yang selesai di
Jakarta, dan dikerjakan dari Januari sd 3 Pebruari 1945 itu, mengasyikkan saya.
Saya yang jarang membaca roman ini, (karena zaman sekolah tak pernah ada kewajiban
membaca roman), terangguk-angguk menikmati jalannya cerita. Benar-benar di bawa
ke kehidupan jaman itu, jaman peralihan, jaman yang berubah cepat. Mungkin saya
harus lebih banyak membaca novel lagi. Biar punya pembanding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar