Data buku kumpulan puisi
Judul : Siti Surabaya dan Kisah Para
Pendatang
Penulis : F. Aziz Manna
Cetakan : I, November 2010
Penerbit : Diamond, Surabaya, bekerjasama
dengan FS3LP, GAPUS, CeRCS, DKJT, FIB Universitas Airlangga
ISBN:
978-602-96494-3-7.
Tebal : 116 halaman
(73 judul puisi)
Editor :
Ribut Wijoto, Indra Tjahyadi
Gambar
sampul : Petan karya Liem Keng (alm)
Cover buku
dan layout : Ganjar Ahadiyat
Pengantar :
Nu’man “Zeus” Anggoro
Beberapa pilihan puisi F. Aziz Manna dalam Siti Surabaya dan Kisah Para
Pendatang
Ingatan
Perjalanan
kereta tidak bersama mereka
tapi mereka bersama berada dalam kereta
(Afrizal Malna)
perjalanan
ini kian membingungkan, mereka bilang telah
bangkit dan berjalan
jauh selama 100 tahun tapi kami tak
melihat kaki-kaki
beranjak, hanya pemandangan silih berganti:
pepohonan, sawah,
ladang, sungai, jembatan, perumahan,
pabrik, perkantoran,
tembok-tembok semuanya hanya jadi
perbincangan, lewat
begitu saja, jalanan tidak bersama kami
padahal kami bersama
berada dalam perjalanan, suara-suara
kami juga
membingungkan, antara bunyi klakson, cerobong
dan gesekan besi,
mulut-mulut berkembang biak, bertingkahan
untuk jadi dominan,
kami yang datang selalu jadi penumpang
dan tak ada yang mau
turun, tak ada yang mau menyentuh
tanah, kami, para
penumpang itu, ingin selamanya duduk di
kursi di atas lantai
besi melupakan perjalanan dalam perjalanan
Kota
yang Bunuh Diri
mal-mal
dibangun di bawah reruntuhan kampung, real estate dan
apartemen
menancap dalam pecahan batu nisan, kota kami tumbuh
melebihi
kemampuan kami, membuat tembok-temboknya sendiri,
seperti
kekasih yang menyimpan foto orang lain, kami di pinggiran
bukan
karena tak diinginkan tapi kota tak lagi punya titik tengah:
ruang yang
seharusnya dihuni-penuhi sejarah pikiran, hanya
berkubang
otot dan kemaluan, bulan lebih cantik dari neon dan
mercury,
listrik memalsukan tubuhmu, membuat elektronika lebih
dipercaya
dari perbenturan kepala, kota kami tumbuh di luar impian
kami
seperti peta yang menghapus dirinya sendiri
Mempelai
kami pernah
jatuh cinta dan pada saat itu apa yang kami rasa
seluruhnya
semerbak bunga tapi saat kami putuskan menikah,
dunia
beralih rupa, penuh tembok dan gunting, memagari dan
memangkas
ranjang bunga pengantin kami, taman cinta kami
ditumbuhi
kegersangan, kami baru sadar ternyata cinta saja
tak cukup
bagi hidup, harus ada siasat, tawar menawar, dan
sedikit
kecurangan, dunia terlalu sibuk bagi perkawinan, meski
kami pernah
jatuh cinta tapi dunia kian praktis, hidup kian bengis
Kau
Bilang, Katamu
/1/
kau bilang
tak ada lagi puisi, kau bilang kata telah dikekang, dijerat
dianyam
jadi barang kerajinan, kau bilang bahasa hanya seorang
tawanan
dank au bilang tak ada yang menarik lagi pada puisi, kau
bilang
puisi yang lahir dari bibir si mahir, si lihai, si ahli, si tukang
jahit hanya
menawarkan baju dari potongan kain perca, baju-
baju yang
hanya pantas bagi tubuh langsing manekin, kau bilang
bukan tubuh
manusia, bukan tubuh kita, kau bilang
/2/
membeli
buku puisi kini, katamu, seperti mengumpulkan kertas
bekas,
katamu, membacanya seperti berjalan dalam plasa
tanpa uang,
katamu, hanya membuat capek dan mual, katamu,
seperti
ditipu gadis ayu, katamu, yang mengaku perawan tapi
dadanya
penuh cupang, katamu, seperti pendoa yang
ditinggalkan
pendengarnya, katamu, sepertinya tak perlu lagi
puisi,
katamu, sebab tak ada lagi obat dalam puisi, katamu,
sebab kata
telah lenyap dari kertasnya, katamu, sebab kertas
jadi topeng
bahasa, katamu, topeng kertas bahasa yang
menutupi
kata, katamu
Roda
roda
berputar demikian liar, lingkar-melingkar, gila-menggila, roda
tar-berputar
di tubuh kami, sar-berpusar di otak kami, roda,
membelit
diri kami, roda, melilit hidup kami, roda, membekas-gurat
di kening
kami, di perut kami, roda, jelma jalan usia, roda, tumbuh
melingkar,
roda, membelukar, roda, liar seperti ular, roda,
menyimpan
lobang jebakan, roda, mengancam leher kami, roda,
menderu
napas kami, roda, mengguruh hendak runtuh, roda,
laju-berpacu,
roda, buru-memburu, roda, ngilu, roda, ini waktu,
roda, ngilu
Taman
Ketabang
di taman
ketabang, kita bercakap tentang hari-hari yang lewat
sementara
orang-orang di sekitar semakin erat berpelukan atau
khusyu’
mananti kambangan kail bergerak digondol ikan, kita
mengurai
waktu di antara orang-orang yang berusaha keras
menangkap
waktu, mengabadikannya dalam kekinian, kita
melompat
dari kemarin ke kemarinnya lagi, mengeker-eker
kubang
kenangan, ada jam dimana kita bertengkar tentang
cat rumah
yang nampak muram, ada juga detik ketika kita saling
tersenyum
membayangkan anak-anak kita tumbuh menjadi
orang-orang
berdasi dan bekursi, namun sebelum tuntas
segala yang
melintas di atas kepala dan percakapan kita, kau
tiba-tiba
berkata: meski banyak orang dan pohonan di taman
ini, meski
banyak impian dan harapan berlompatan, namun
entah
mengapa aku merasa sendiri, sepi dan sunyi, kau tahu,
cuaca di
tempatku, beberapa waktu ini dilikut kabut, seperti
hatiku,
beberapa cermin yang terpasang di kamar enggan
memantulkan
bayangan, bahkan, kertas-kertas yang biasa
kutulisi
puisi, lembab, tak mau terbuka lagi, seperti pikiranku,
sampaikan
maafku pada anakmu ketika ia memejamkan mata,
atas
malam-malam panjang yang hilang darinya, karena kau
sedang
mendendang kidung tidur buatku, tapi percayalah, tiap
linang air
mataku adalah sebuah rindu padamu, meski aku tahu,
aku telah
kehilanganmu sejak awal pertemuan
Orang-orang
Kampung
/1/
kami tidur
dengan impian terpotong, tubuh kami menggigil oleh
bunyi
sendiri dalam pelukan sprei yang lengket, kerisik daun
mangga jadi
begitu menakutkan seperti masa lalu yang
menghardik,
mata kami menutup tapi pikiran kami dibawa lari
kenangan,
kenyataan yang tidak nyata, kegaiban yang
mengada,
kami di ambang tidur dan jaga
/2/
kami mulai
mengalami gangguan pada pikiran, kami
menceracau
tentang keburukan para tetangga, ada seorang
yang pernah
begitu bersemangat berkhotbah tiba-tiba berlaku
buruk pada
anak kami, menodai anak kami hingga mengancam
hidup
generasi kami, ada para pengurus yang awalnya suka
menata
namun akhirnya memerintah dan memaksa, hingga
para
saudara kami yang tidak lagi peduli
/3/
malam itu
pukul 1 kami mencoba menjaga gerak tubuh tapi
mimpi
membuat ceracau kian kacau: wajan-panci-kereweng-
baki
melayang dari dalam rumah ke luar melewati tembok ke
jalanan,
kami menangis dalam hati, lihatlah, ibu kami bakal
mati karena
ngenes, tak bisa sabar dan tak bisa kuat menahan
beban
cobaan, kami ingin kembali normal dan bercengkerama
dengan
wajar kepada saudara-saudara kami kepada para
tetangga
penghuni kampung kami kepada seluruh penghuni
bumi, kami
tak ingin menyapa dengan senyum bercampur
tangis
bercampur meringis bercampur teriakan bercampur
dendang
bercampur rintihan bercampur umpatan bercampur
joget
bercampur tatap liar yang kosong, kami akan menjadi
orang yang
paling berdosa dan bersalah jika ada satu bagian
dari diri
yang mengalami kegilaan
/4/
tuhan,
selama ini kami memang tidak pernah melibatkanmu
dalam
persoalan kerena kami merasa tidak begitu pantas
memintamu
untuk turut campur, kami orang asing bagimu tapi
saat ini
orang asing ini telah jadi tawanan keadaan, terkalahkan
dan butuh
bantuan sedang bantuan seluruhnya telah
menghilang,
kaulah satu-satunya, kami hanya ingin satu hal:
jika memang
keputusanmu mengambil hidup kami, ambillah
cepat tapi
jika keputusanmu masih memberi waktu, biarkan
kami
sembuh, bernapas lepas seperti orang-orang bebas,
tolong
jangan gantung hidup kami antara sadar dan gila
Indische
/i/
perkebunan
tua itu menarik mimpiku
pada sebuah
cermin buram, di sana
harum embun
daun teh
manis tebu
dan daun sereh
lalu kutanya
milik
siapa?
/ii/
ayahku
seorang yang jauh
bahkan
perkutut itu pun tak tahu
tapi ibuku
berdiam saja
bukan
siapa-siapa
dan
perkutut pun tahu
darimana
datangnya, di sana
harum embun
daun teh
manis tebu
dan daun sereh
lalu
kutanya milik siapa?
/iii/
kemiripan
kami tertanam di tanah
burung-burung
sahabatku
kebun tebu
tempat bermainku
tapi kau
seperti tak menyahutku
seperti tak
memandangku
lalu siapa
yang membunuh?
Montase
Kota Mati
/1/
di pagi
muram menikam
pintu,
kelambu dan lampu masih menyala
dalam kamar
jejak hujan
dalam dada
jejak kenangan
ingatanku
berlubang
/2/
terlihat
leher bumi yang retak
laut
mengirimkan air matanya
ke serambi
jantungku
lama sudah
tak terdengar
ketuk pintu
di ruang tidurku
/3/
dari
jendela itu terpandang rintik hujan
kelopak
basah
daun
jantung patah
dan sebuah
payung
tertinggal
sendirian
/4/
o, kenangan
hujan dalam
dekapan
kadang
muncul kadang tenggelam
di mataku
menggenang
gemuruh adzan
/5/
hujan pun
jatuh di kepala
susut di
hitam rambut
tiris di
garis alis
tumpah di
air mata
/6/
aku pun
menulis kisah pada wajah mungil bunga
pada
televisi dan majalah pada seluruh peta kota
dan di
sana, di sudut entah dimana, hujan
dan aku tak
pernah ada
/7/
sementara,
tak ada lagi musik indah
orang-orang
berderap dalam teriak
seperti
ingin hidup seperti ingin mati
seperti
warna kopi
/8/
sekawanan
gelombang berderap
menerobos
gerbang kota
di pusat
pusar air
setangkai
bunga
patah
makan
terasa sakit
dan kau
entah kemana
/9/
nyawa
melengkung dalam ombak
menancap
dalam karang
mengendap
dalam kehijauan
pekiknya
melulur di
jantung kota
/10/
musim
mengamuk
mengasingkan
kenangan
dari ruang
tunggu
matamu dan
pintu nasib itu
mengembunkan
seluruh pikiranku
/11/
hujan
bukanlah air
bukanlah
petir
bukanlah
geludug
bukanlah
mendung tebal
awan hitam,
bukanlah …
tuhan, kota
terus bimbang
/12/
lalu titik
menitik
entah terus
entah putus
kata kata
dalam haus
/13/
di tikungan
jalan itu
masih
tergambar cinta
dan lembut
suara, ketika
gerimis
pecah
bayang
berbayang
aku kau
tanggalkan
/14/
seorang
anak adalah perahu penyelamat
di musim
hujan, seorang tua
kini dengan
bunga
di sudut
taman kota
/15/
daun-daun
melayang
kabut tebal
mengembang
limbung
mengambang
di sungai
panjang
bayi mati
terbuang
/16/
di taman
makam kota terbaca kisah
ribuan
orang bergerak dalam perang
(antara
impian dan dendam) payung-payung hitam
meninggalkan
masa depan
waktu hanya
hitungan, kota hanya sebutan
/17/
waktu
jalan
penuh hujan
si tua
muram berjalan
berkerudung
kenangan
hitam
/18/
dan kota
penuh awan
penuh
gemuruh penuh ledakan
penuh wajah
ketakutan
ciumlah aku
maka kau kutinggalkan
menyusuri
reruntuhan kota lama
Surabaya
Utara
/19/
aku
berjalan di rawa-rawa mati
apakah yang
mungkin
selain kata
dan cinta
sedang
tubuhku penjara
dan wajahmu
terlampau berbahaya
/20/
kota-kota
halte
mulut-mulut
menganga
seorang
orang menggenggam detik jam
antara
pergi dan mati
/21/
aku terus
berjalan
di rawa
mati, 100 nyawa tercekam
dan sejarah
dirobohkan, bekasnya
jadi lobang
penuh kutukan
/22/
orang-orang
berkumpul membicarakanmu
tapi bahasa
hanya bergetar di mulut sendiri
waktu telah
retak, memusat di tubuh ini
tapi kenapa
kau lari, lari dariku
/23/
aku pun
tenggelam di rawa mati
pintu
menghadapku
sekaligus
menghadapmu
tapi siapa,
yang tiba-tiba saja, merobohkannya?
/24/
seperti
kekosongan
kota ini
tak bisa dibingkai
seperti
puisi atau komposisi bunyi-bunyi
kota ini
tak mau ditafsiri
/25/
maka jangan
kau cinta mereka
yang
berhasrat tinggal bersama
seperti
hujan datang
dan pergi
Gerbang
Kota yang Dirobohkan
Malam Hujan
Paska Wonokromo Dibakar
/26/
dalam
sebuah bait suci
adzan
melengking putih
membisikkan
sesuatu
yang
seluruhnya sia-sia
/27/
ini malam
kelam
mencekam
lubang
hujan di jantung karang
/28/
antara
mendung dan kembang celung
angin
tertikam, lanskap garis hujan
di tengah
ruang kosong
malam
/29/
beberapa
cahaya dinyalakan
beberapa
kepala bertopi lebar
beberapa
jauh di tengah lautan
dengan doa
dalam hujan
/30/
rumah dalam
lingkar mawar
sehabis
hujan
sehabis:
tuhan apakah yang kau inginkan?
jalan
terjal, pintu, aku, dan bayangan
menjauh
/31/
seberkas
bunga plastik
aspal
selepas hujan
angin
bergetar mengikuti bayangan
seorang tua
dalam wajah ketakutan
/32/
dalam
sisa-sisa hujan
hanya
seorang pejalan
hanya angin
malam
hanya
kekosongan
wajahmu
begitu muram
/33/
seperti
cintaku
dunia akan
menjadi masuk akal
jika memang
kau berkehendak
hujan
menerjemahkan gebalau
/34/
dan bila
kerinduan bersayap
ke jendela
kamar tentu akan terbang
untuk
menculikmu saat ini
sebab
langit berdusta dengan bahasa cuaca
/35/
waktu telah
menetes di balik awan
membentuk
danau di dadaku
di dasarnya
jantungku
membatu
/36/
kenangan
hanya kaca yang lekas pecah
ketika
hujan tak hendak selesai
dan kau
berpaling, pulang
dalam diam
/37/
kota telah
berlayar dalam gelombang
dan cerita
tinggal gesekan biola
lalu bagaimana
kusembahyangkan
kenangan
cintaku padamu
/38/
pintu
terbakar dan
aku telah
sampai pada titik
dimana
cinta tak mungkin lagi dimulai
seperti
kopiku yang kian pahit
kota kian
gelap
Semakin
hidup
semakin susah
apalagi di
surabaya
tanam padi
tumbuh pagar besi
tanam
jagung tumbuh gedung
sepetak
tanah
harganya
naudzubillah
padahal itu
hanya untuk kuburanku
apalagi
untuk rumahku?
tempat
menyetubuhi istriku
dan
melahirkan anak-anakku
masyaallah
dunia sudah
jungkir balik
buat rumah
dibikin susah
buat mall
malah dipermudah
kalau mau
kelon
apa harus
di etalase dan ditonton?
kalau sudah
begini
berakpun
jadi susah
bukan tak
ada tempatnya
atau mahal
harganya
tapi memang
tak ada
yang bisa
dikeluarkan
dari dubur
ini cuman kentut
itupun
sudah tercemar timbal
baunya
minta ampun kawan
bikin
perempuan tak mau buka kutang
ealah!
sampeyan masih nulis puisi ta?
ya,
setidak-tidaknya untuk membujuk
hidup biar
tidak kepalang buruk
dan cacing
dalam perut bisa sedikit nurut
meski
jarang dikasih makan
ya, memang
aku bicara kelewat muram
seperti
malam tak pernah terang
dan kamar
hanya dihuni cucian
tapi semua
perlu dicuci bukan?
juga mulut
yang kacau ini
otak yang
pelo ini
karena
hidup memang kian semerawut
lihat saja,
di jalan banyak tilangan
eh,
pencurian malah tak hilang-hilang
apa
sampeyan masih baca puisi?
ya, setidak-tidaknya
masih ada langit biru
dan embun
subuh itu obat
mujarab
penghilang kalut dan sakit perut
ah, maaf
kalau bicaraku ngawur dan ngelantur
bukannya
aku protes, ngamuk atau kecewa
pada nasib
yang tak berubah
atau
pemerintah yang diam saja
tidak kawan
aku tidak
sedang melawan
perlawanan
hanya bagi
yang gelap pikiran
yang tak
punya pilihan jalan keluar
yang hanya
bisa menyalahkan orang
tidak kawan
aku tidak
sedang membangkang
aku hanya sekedar
ingin melupakan
kehidupan
hidup yang
kian susah
apalagi di
Surabaya
Tentang F. Aziz Manna
F. Aziz Manna adalah alumnus Tambak Beras Jombang,
aktor, mantan ketua Teater GAPUS Surabaya, aktivis Forum Studi Sastra dan Seni
Luar Pagar (FS3LP). Menyelesaikan studi sejarahnya di Unair. Juga pernah
menjadi koordinator bidang sastra dewan kesenian Surabaya. Puisinya tersebar di
berbagai media massa dan antologi puisi bersama, juga pernah disiarkan radio
suara Jerman, Deuchte Welle. Berdomisili di Tropodo I No. 302 Waru Sidoarjo
61256.
Catatan Lain
Kumpulan puisi ini terbagi atas dua bagian, yaitu Siti
Surabaya (15 puisi) dan Kisah Para
Pendatang (58 puisi). Kebanyakan puisinya bertipografi paragrafik. Mungkin
ada sekitar 62 judul, hanya sembilan puisi yang nampak seperti puisi pada
umumnya. Saya pikir, seluruh buku ini memusat pada sajak yang berjudul Siti Surabaya. Sebuah sajak panjang
penuh pergulatan: siti adalah city dan
city adalah siti//siti bergelut dengan city, city berebut merenggut siti,
kata satu bagian dari sajak itu. Sebuah sajak yang mengingatkan pada Pengakuan Pariyem, karya Linus Suryadi,
barangkali, sebab ternyata saya tak pernah baca Pengakuan Pariyem, tapi saat membaca Siti Surabaya pikiran saya
langsung tertuju pada masterpiece Linus tersebut. Keterhubungan itu,
barangkali, karena kemiripan dalam pengungkapan erotikanya, bukan dari latar
budayanya. Barangkali. Tapi entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar