Data buku kumpulan puisi
Judul : Gendang Pengembara
Penulis : Leon Agusta
Penerbit : Pustaka Eidos
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : x + 235 halaman (173 puisi)
ISBN :
978-979-12442-53-4
Penyunting :
Damhuri Muhammad
Perancang sampul
: Ricky Hayanto
Tata letak :
Hari Ambari
Foto profil :
dm.photowork
Kumpulan puisi Gendang Pengembara terdiri dari 2
bagian, yaitu Dalam Kabut Purba (86 puisi) dan Yang
Selalu Kembali (87 puisi).
Beberapa pilihan puisi Leon Agusta dalam Dalam Kabut
Purba
Kenapa tak Pulang, Sayang?
buat Ibunda
Hijaunya wajah danau kita adalah rindu, sayang
Hijaunya daun-daunan rindunya perawan muda
Bisik-bisik di tepian bila hari naik senja
Kampung kita kian tahun kian lengang
Entahlah. Mana yang pergi tak ada yang pulang
Ke manakah gerangan lajang-lajang kita menghilang
Semarak kampung di rembang petang?
Mereka hilang bersama debu perang saudara
Yang tak pulang ditelan hutan
Yang pulang berterbangan
Anakku bilang: bumi luas tempatku tualang
Rinduku pun kelabu, Ibu
Tapi empedu di kerongkongan
Ibu pun takkan kenal wajahku sekarang
Tak akan ada yang tanyakan anakmu, Ibu
Kalau pun pulang takkan dipinang
Karena kertas kuning, kata-kata yang berjaga
Takkan dikerling karena bukan logam menguning
Di Hari Raya, di hari rindu beralun-alun
Jari Upik, ai, lentiknya memetik inai
Selendangnya lepas terkibas angin, Ibu?
Ah, salamkulah itu.
1962
Di Tengah Jalan
Sayup-sayup terdengar panggilan ke ujung jalan
Di tiap tikungan nisan bertebaran
Orang-orang mengabarkan berita peperangan
Sayup-sayup terdengar suara kereta penghabisan
Gerbong-gerbong dikosongkan tinggal muatan kematian
Di tengah jalan terdengar lolongan bersahutan
Pekanbaru, Oktober, 1964
Dalam Kabut Hitam
: Soe Hok Gie
Malam-malam gemetar. Jauh-jauh renungan luluh
Dari gelanggang menggigil suara memanggil
Laksanakanlah renungan. Tanggungjawab keyakinan
Kemudian pagi
Bergumul dalam kabut bergumpal-gumpal
Dan harap mengapung ke langit jauh
Dan keringat mengering ke bumi keras
Demikianlah gelisah telah lama menggoda
Genta terus berkelenengan. Klenengan gelisah
Gemanya mencari ketentraman yang tak jumpa
Tidak pada bumi, pada tanahair, pada hati yang indah
Juga tidak pada pikiran yang bebas dan samadi
Ketika kabut menghitam bergumpal-gumpal
Jakarta, September 1966
Ya, Kita Memerlukan Seorang Kekasih
Bila sungai-sungai bermuara ke lautan
Laut manakah muara bagi sungai dalam hatiku
Bila burung-burung terbang bebas di cakrawala
Manakah cakrawala tempat mengembangkan sayap
Bagi rindu yang menggelepar dalam dadaku
Bila taman-taman pun juga punya pengasuh
Siapakah pengasuh jiwaku yang buncah ini?
Ya, kita memerlukan seorang kekasih
Hatinya bagai lautan dadanya cakrawala
Budinya lembut buat mengasuh dan menjinakkan
Ya, kita memerlukan seorang kekasih untuk
menemani kita membaca kisah-kisah
menampung kecewa dan meredakan gelisah
membukakan pintu di malam larut
Bila angin berlari pepohonan melambaikan jari-jarinya
Siapakah yang melambai bila aku sedang berkelana
Akar pohon-pohon berpegang erat pada tanah dan batu
Tapi jiwaku yang gamang ke manakah hendak berpegang
Akan terkatungkah aku, mencari atau menunggu
Kamarku yang suram merindukan seorang tamu
Ya, kita memerlukan seorang kekasih
Lengan-lengan yang membelai, memagut jadi satu
Menyalakan lampu, mendoa dan menyulam impian
Malaikat-malaikat sorga pun melayang rendah
Ketika Tuhan merestui satu percintaan
Hingga bumi pun simpati, turut serta orang-orang lalu
Sebab demikianlah alam, Tuhan telah ciptakan
1967
Mengembara
Dengan mesra kusandang dosa itu
Sudah diamanatkan bagiku: mengembara
Bagi hasratku yang berjalan jauh
Hingga sudah biasa aku berpisah
Nafas damai dan tidur yang nikmat
Khianat diterima tanpa kesumat
Kini aku
Menghempas sendiri
Loncat dan terusir dari segala dekapan
Setelah amanat diterima: mengembara
Penjara Tanah Merah
Pekanbaru, 1970
Surat-surat buat Lisa Agusta
1
Malam temaram tanpa angin
Sunyi tergenang di seluruh dataran
Begitu tenang, ketika kudengar kembali
pesanmu sebelum pamit dari kunjungan
menjelang senja:
tulislah
dan kembali
bacalah
tentang kisah-kisah yang terpendam di jalan buntu
tentang nafas yang reda sehabis kecewa
tentang segala yang tak sempat mencatatkannya
yang sesekali melintas samar
bagai jalinan bayang-bayang di siang lengang
tercelup warna hitam keabuan
Ya
Serasa masih ada yang dapat ditiupkan
Pada kejauhan masing-masing, ketiadaan kita
Sebab belum ada jawaban
Di manakah kita telah bertanya
Sebab kita belum mengerti
Sebab kita belum sampai
dalam saat-saat yang teduh
Dan di tembok-tembok yang utuh
Di atas gugus-gugus yang dipertahankan
Awan tergantung beku bersama malam hari
Setelah kembali membacanya, kugoresi
yang harus dilupakan
Belenggu kenangan memabukkan
Belenggu kemanjaan, atau impian
mengambang ke dunia impian yang menjauh
Sebab bila seketika langit merendah
Bumi pun kembali mendebarkan hidup
Busur-busur pun bergetar gempita
terbangkan panah-panah kilatan cahaya
Menembus awan tergantung beku
Menembus malam hari
Menembus rahasia waktu yang diperebutkan
Sementara kita pun ditinggal dan meninggalkan
Mengenang dan dilupakan
Sebelum fana jadi abadi
2
Lisa. Bukan semata nasib yang memisah
Tapi adalah keliaranku semata
Sedang kau begitu jinak
Kelelahan dan kehinaan hidupku
Kau rangkul tanpa memberi tara
Hingga aku terpaut pada belenggu
keselarasanmu dalam derita
Kini, dalam tak bisa saling menyatukan sunyi
Kita pun jadi tergoda – mungkin
untuk cemas atau mengutuki
Inilah bahasa rindu percintaan kita
Bahasa sepi yang nakal
Gendangnya menikam-nikam
Kemboja di halaman rumah kita dulu
Ditanamnya bukan buat perpisahan atau menunggu
Kini jadinya begini:
Semuanya tak lagi melengkapkan kita
Kemboja di halaman, kebuh cengkeh di belakang
Menjadi pohon airmata
3
(Api menjilat-jilat dalam mimpiku
hingga aku terbangun
bantal di kepalaku terbakar)
Kabut jatuh dalam jiwaku yang kosong
Hujan tengah malam mulai reda, ketika padaku
mimpi itu mulai menggoda
menampar jantungku jadi gempar
Kilatan warna hitam putih saling melebur
mengendap ke dalam arus menunggu pagi
Selengkapnya adalah nyanyian duka semata
Bergetar pada tonggak-tonggak kenangan padamu
Jejaknya membekam senantiasa
Penuh aneka permainan
Antara purnama yang kukejar
dan bayang-bayang yang mengejarku
4
Memang tak perlu saling membujuk lagi
Namun adalah rasa kehilangan
Atas pertemuan yang tak tersesalkan
dunia yang tak tertinggalkan
perpisahan yang tak terucapkan
Berapa kali purnama datang
Kuhitung dengan nafas semakin dingin
Udara kian renggang dalam terali besi
Diamkanlah segala sedih pada yang lain
Jika pun sempat janji sudah tiada
Sebelum lengkap pesona
Khianat sudah sedia
Sebelum terbuka suara
Pengembara sudah sampai, di sana
Penjara Tanah Merah
Pekanbaru, 1970
Dengan Temanku Alex
Dingin menyusup tajam
Menembus rabuku basah mengerang
Tak ada album
Atau catatan kenang-kenangan
Hanya ada tembok, jeruji dan kunci
Menangislah tapi jangan meratap, Alex
Neraka atau sorga datang menggoda
Di sini dunia bukan kita yang memberi tara
Namun, masih saja tak terdamaikan
Sonder pilihan, awal dan akhir, manusia
bersuara. Kemudian menjelmakan nyanyian
Diam-diam. Tanpa seorang pun dapat hentikan
Penjara Tanah Merah
Pekanbaru, 1970
Seruling Kapal
Hanya cinta juga yang menuntun mereka dalam kegelapan
Ketika tiba-tiba lampu-lampu menyala dan seruling kapal
berbunyi menandakan akan berangkat, mereka terkejut
Kegugupan menekan keduanya dengan rasa bergegas
Tak sempat mereka ucapkan sebuah sajak perpisahan
Tak sempat mereka siapkan. Dalam sinar mata keduanya
tak ada janji atau harapan; juga tak ada sedih atas
kenang-kenangan, hanya maut yang dapat membacanya
Bintang-bintang pun kian hijau. Agaknya mereka memerlukan
seorang saksi, mereka tak membikin persetujuan apa-apa
Orang jauh itu, yang datang membawa cinta dan harapannya
tak tahu apa-apa atas perpisahan yang dijemputnya
1972
Perbedaan
Semua yang kini kau sebut ketiadaan, tuan
di sanalah sesuatu bagi hidupku
Semua yang kau lewatkan tanpa menoleh, sayang
di sanalah aku duduk dan mengintipmu
Semua yang kau ucapkan berulang-ulang, saudara
itulah yang tak dapat aku yakini
Semua yang kau bisikkan dengan perlahan, sahabat
itulah yang bagiku paling mengerikan
Tapi aku tak sanggup kehilangan engkau
Meskipun engkau sisihkan aku
Perkenalan dengan engkau kecemasan selalu
Maut pun takkan menebus kebimbanganku
1973
Kepada Latiff Mohidin
Tanpa memberi kabar
Yang terbang telah mendarat
Tanpa memberi kabar
Pengembara sudah berangkat
Rindunya di Vientianne
Nostalgianya di Bukittinggi
Malamnya di Frankfurt
Gairahnya di Seoul
Sepinya Sungai Mekong
Gelisahnya di New York
Tangisnya terpendam di hutan-hutan
Darah dan keringatnya Kuala Lumpur
Kuala Lumpur, oh Kuala Lumpur
Kuala Lumpur, Juli 1974
Lintasan Kenangan
Di Schiphol suatu pagi
Musim bunga bagai perawan mandi
Ia tertegun lama, merasakan sepi
di lintasan bentangan kenangan
Ayahnya seorang pergerakan di zaman kolonial
Mati ditembak 8 Agustus 1960
Puluhan peluru muntah di kepala dan tubuhnya
Ketika persaudaraan diperangi sampai ke desa-desa
Di sebuah desa di pinggir danau yang lengang
Kata orang waktu itu terjadi pemberontakan
Melintasi ladang-ladang kincir angin Amsterdam
Lelaki itu ingin ia bersama ayahnya. Ingin membaca
cahaya matanya menyaksikan dunia lain
Setelah perjalanan mimpi mencapai kemerdekaan
Di Keukenhoff dia gumamkan lagi sebuah nama
Aroma bunga tulip menyiangi tubuhnya
Kabut memutih memandikan langkah
Pengembara melintas di alam kenangan
1977
Soneta Perpisahan
Di luar villa berkilauan cahaya perbukitan
Topan turun menjelang pagi di Monterey
Pantai dan laut berkisah lewat gelombang
Ungkapan bimbang terus menggapai
Kita digenggam maut yang mengintai
Gapai luput, desah tumpah di pasir
Mimpi pecah dalam kebisuan
Kita rebah bagai bangkai laba-laba
Rembang pucat membiaskan kelipan
Pada laut bulan berhenti berkaca
Dalam angan pisah menderu berkejaran
Sebelum lidah jadi belati, Eliza
Berikanlah senyummu pada gurun-gurun kehilangan
Yang menelan bintang-bintang dengan sepinya
Santa Cruz, 1978
Ode buat Proklamator
Bertahun setelah kepergiannya kurindukan dia kembali
Dengan gelombang semangat halilintar dilahirkannya sebuah
negeri
Dalam lumpur dan lumut, dengan api menyapu kelam
Menjadi untaian permata hijau di bentangan cahaya abadi
Yang senantiasa membuatnya tak pernah berhenti bermimpi
Menguak kabut gelita mendung, menerjang benteng demi
benteng
Membalikkan arah topan, menjelmakan impian demi impian
17 Agustus 1945
mereka tandatangani naskah itu
Mereka memancang
tiang bendera, mengubah nama pada peta
Berjaga membacakan
sejarah, mengganti bahasa pada buku
Meniup terompet
dengan selaksa nada kebangkitan sukma
Kini kita ikut membubuhkan nama di atas bengkalainya
Meruntuhkan sambil mencari, daftar mimpi membelit bulan
Perang saudara mengundang musnah, dendam tidur di
hutan-hutan
Di sawah teruka dan sakti, di bawah langit negeriku
Kata jadi pasir di bibir pantai, oh, lidahku yang
terjepit
Derap suara yang gempita cuma bertahan atau menerkam
Ya, walau tak mudah, kurindukan semangatnya kembali.
Bersama gemuruh cinta yang membangunkan sejuta rajawali
Tak mengelak dalam bercumbu, biar di ranjang bara membatu
Tak berdalih pada kekasih, biar berbisa perih di rabu
Berlapis cemas menggunung sesal mutiara matanya tak pudar
Bagi negeriku, bermimpi di bawah bayangan burung garuda.
1979
Beberapa pilihan puisi Leon Agusta dalam Yang Selalu
Kembali
Maninjau, 1990
Terbaca namamu
Angin
menjatuhkannya
Di atas daun
Di pinggir rimba
Luka negeri yang
ditinggalkan
Bergulir
Dalam bias
cahaya danau
Dalam desau daun
pepohonan
Bukit-bukit
tampak ringkih
Lantunan pantun
semakin perih
Ombak pecah di
langit
Batu pucat
Menunggu mimpi
dikuburkan
1990
Gendang Pengembara
: Soeryo Adiwibowo
Sudah sejauh
mana pengembaraan kita, cintaku
Negeri-negeri
tua sudah kita lintasi. Antara hamparan
rimba kita
temukan gua-gua, seperti tertera pada peta
Kota-kota nenek
moyang tak pernah tua, tak pernah tua
Selalu dipuja
dalam lagu dan kenangan masa kanak
Gedung-gedung
baru menggapai langit, ada pula sisa-sisa
pemusnahan.
Cerita zaman, prahara berdatangan dan berlalu
Segera setelah
senja, sayangku, kita bisa istirahat
Menjemput cerita
baru, menyanyikan senandung pengembara
Kita berada di
negeri yang sudah lama kehilangan malam
Mendung punya
ceritanya sendiri, menghentak jantung
Langit tersedu
dalam kesepian yang renta.
Saksikanlah
Orang-orang
berkelompok, melupakan nama masing-masing
Mereka adalah
kafilah, jemaah pengungsi kehilangan tujuan
Sepanjang
perjalanan mereka bertemu berhala-berhala baja
Mereka tak henti
mengutuknya, sampai ke dalam mimpi
Dalam kumandang
lagu yang membuat mereka kesurupan
“Kami tak berani
hidup lagi, ya Tuhan.
Berilah kami
malam bagi segala malam
Biar mentari tak
terbit lagi”
Mereka melolong,
sampai jadi tuli, ada yang jadi buta
Mari berpuasa,
cintaku, dan panjatkan doa buat mereka
Setiap berbuka
kita makan tubuh sendiri sambil bercinta
Diiringi
kumandang dukana lagu kafilah pengembara
“Bagaimana harus
kupikul dosa pada rakyatku?”
Pertanyaan itu semata
kegilaan
Igauan dalam
kesurupan
Sebab seperti
kau tahu, cintaku
Kita tak punya
rakyat laiknya raja-raja atau pun penguasa
Kita sudah
menyaksikan derita para jemaah
Kemudian jadi
penghuni gua di tepi rimba dekat kota lama
Di mana kita
bercinta eengan mimpi dan gema-gema
Sama seperti
dulu, saat pertama kali kita berjumpa
Sebelum kita
mendengar senandung pengembara dinyanyikan
Dengan mahaduka
oleh kafilah yang putus asa
Sementara kita
tak penah berhenti bercinta, sayang
Masih akan terus
berpuasa dan berdoa. Menjelang maut
Setiap berbuka
kita makan lagi tubuh kita sendiri
Karena hanya
dengan demikian kita merasakan hidup
dan cinta
seadanya, sentana gendang pengembara
Jakarta, 2006
Elegi Desember 2004
Dalam tsunami
ini ya Allah
Doa manakah
gerangan yang harus kami lafazkan?
Ketika topan
samudera menghempas bergelombang
Menggulung
hari-hari kami dalam simpul mahaduka
Kami seperti si
bisu tuli, hanya bisa terbata
Mengeja
mukjizatMu dengan gundah gulana
Ya, Allah
Ingatkan kami
kembali akan cahaya-Mu
Ingatkan pula
kami rahasia bahasa-Mu
Untuk mengarungi
lautan duka sedalam ini
Perkenankanlah
2004
Nyanyikanlah Sebuah Lagu, Harvey*
Bayangan hitam
berkelebat, di Amboina
Salib memerah,
Golgota, betapa jauhnya
Bagi siapa doa
Dalam sengketa?
Dengan nama Allah,
maka kasih penuh ampunan
Dengan nama
Allah, maha kasih berlimpah sayang:
Kembalikan damai
pada jantung kami, darah,
dan nafas kami,
yang sesak dalam kepulan amarah
Tampak marah,
cahaya merah tumpah dalam senja
Kaki langit
menjauh, raib melintas perbatasan siang
Nyanyikanlah
sebuah lagu, Harvey
senggang sejenak,
lagi sejenak lagi, ah teruskan
Terimalah malam,
terimalah Tuhan, yang selalu
Membujuk agar
terus berjalan dalam nyanyian
Dalam paduan
suara dukamu, oh Amboina
Senja seperti
terbakar tampak gaduh
Terjerembab
dalam dukamu Amboina
Tersungkur dalam
rapuhnya ajal, pesta dajal
Sunyi bergegas
di jalan-jalan, lorong-lorong
Hitam hutan
meranggas, juga bakau
Burung-burung
meracau di pasir
Mayat menjadi
arca, melahirkan tanda
Lihatlah, dalam
kaca juga terbaca
Kenapa Tuhan, ya
kenapa
Adakah
kemenangan menjanjikan kesucian
Bagi amarah
tangan penggenggam pedang
Nyanyikanlah
sebuah lagu, Harvey
Bagi Amboina,
dalam duka cintanya
1999
* Harvey Malaiholo, penyanyi asal
Maluku
Buku Harian
1
Di Greater Kailash
selalu terdengar
Asia menyanyi
derita adalah
ibadah
gemanya
menghilangkan asal suara
di Agra, dengan
Taj Mahal
Shah Jehan
mengabadikan agungnya cinta
memahatkan
berlian di pusara kekasihnya
dukanya
mewariskan mukjizat
karena demi
cinta perbudakan pun dimaafkan
penyanyi jalanan
berkisah panjang
tak berhenti
meratap diiringi kecapi
keindahan
bangkit dari pelukan sang maut
2
Di Asia yang
renta
manusia menjelma
jadi pabrik-pabrik beragama
tak peduli pada
teka-teki bencana, banal dan penuh
keluhan: cinta tetap
saja angkuh, meski duka bisa agung
dan lihatlah,
Calcuta tak mau disapa, “Oh, Calcuta”
malam menggeliat
di Broadway, “Oh, Calcuta”
jeritan
keperihan melaju di atas panggung suram dengan
bintang-bintang
bugil yang tak berhenti menari, menyanyi
menjerit dan
menangis, “Oh, Calcuta”
nyanyian itu
terus menderu, terbanting dalam sepi
malam-malam beku
oleh salju dan menghilang ditelan
hutan
gedung-gedung belantara Manhattan
di manakah cinta
bagimu, New York?
Pertanyaan
hanyalah igauan dari kesunyian
New York lebih
mengerikan
3
Di Jakarta
gedung-gedung
pun menjelma jadi pohon raksasa
Megapolitan
hanyalah nama lain dari keangkuhan
di sini
anak-anak muda, anak-anak remaja, anak-anak tua
anak-anak tua bangka,
anak-anak jompo, mabuk
Kunang-kunang
terbius lampu-lampu
siang dan
lampu-lampu malam
mereka menjalar
bagai ular, jumpalitan bagai ular
menggerayangi toko-toko
kelontong dan elektronika
menerjunkan diri
ke dalam tas-tas plastik
melagukan beribu
mimpi dalam bahasa asing
lainnya lumat
ditelan boneka-boneka plastik
buatan Jepang,
direbus dan dibakar di dalamnya
memacetkan jalan
raya 40 jam dalam sehari.
1981
Kita Kian Jauh Tersesat
Kau ingat bila
malam ia datang mengisahkan berbagai mimpi
Sepanjang siang
ia menyaksikan dunia yang seperti mimpi
Pesan utama ditayangkan
dalam iklan para tengkulak
Berita
sehari-hari jadi selingan, lelucon para tengkulak
Kau ingat
malamnya ia melihat lebih dulu baru bermimpi
Sewaktu terjaga
semua kisah menjadi apa yang kita alami
Pesan utama
zaman ini disampaikan iklan para tengkulak
Berita tentang
peristiwa hanya selingan, canda para tengkulak
Sesekali dengan
rasa hampa, kita mengingatnya kembali
Dengan rasa
terkucil dan teraniaya silih berganti
Pesan utama
digelarkan dalam iklan para tengkulak
Berita bencana
hanya selingan, guyon para tengkulak
Kita merasa kian
tersesat, terhina dalam kesepian
Membaca dan
menulis, menulis dan membaca
Agama-agama baru
usianya setahun jagung
2007
Struga
Hai, Waktu
Tunjukkan
alamatnya kepadaku
Agar kusiapkan
rencana arah langkahku
Kisah yang putus
di Struga
Menunggu yang
nyaris mustahil
Semenanjung
putih masih teduh di akhir musim
Di Moskow,
beruang merah semakin limbung
Leyla terbang
dengan sayap kata-kata
Melintas
Macedonia
Doanya topan
menderu
Menyerbu sejuta
alamat
Sampai ke sorga
Danau Ohrid
berkilau di bawah langit Agustus
Meriam penanda
watas waspada berjaga
Memisah rindu
Leyla pada Albania
Di seberang sana
Struga,
Macedonia, masih tercatat di atas peta
Walau waktu
kuburkan alamat dalam catatan
Sepanjang sungai
Ohrid, di hamparan padang
Di tanah kapur
tersisa jejak kuda Alexander Agung
Kesultanan
Ottoman, warisannya disucikan
Dalam telaga doa
dan zikir pasir
Waktuku tak
mungkin sampai
Struga
Macedonia
Semenanjung
putih
Menggali hujan
airmata
Menjadi senyuman
Masihkan Leyla
Di sana?
2008
Dari Pisau Mana?
Kita pepohonan
berpelukan
Penuh penyakit
dan kotoran
Sesekali aku
sempat mimpi jadi orang suci
Ya, Tuhan.
Apakah Kau juga kesepian?
Manakah lebih
indah, cinta atau puisi?
Memudar dalam
khayalan atau bisa abadi
Antara kutuk dan
kealpaan ihwal
Tak pernah bisa
mengelak perangkap
Antara alur
kisah dan tipu daya
Mungkinkah ada
isyarat? Tapi luka tiba
Sebelum terbaca
Dari pisau mana
datangnya tikam
05.03.2010
Sajak Pertama
(sebuah paduan suara)
dalam gelap kau
ciptakan air maka air pun ada
dalam gelap kau
ciptakan tanah maka tanah pun ada
dalam gelap kau
ciptakan tanaman maka tanaman pun ada
dalam gelap kau
ciptakan hewan maka hewan pun ada
dalam gelap kau
ciptakan bintang maka bintang pun ada
dalam gelap kau
ciptakan matahari maka matahari pun ada
dalam gelap kau
ciptakan bulan maka bulan pun ada
dalam gelap kau
ciptakan batu maka batu pun ada
dalam gelap kau
ciptakan waktu maka waktu pun ada
dalam gelap kau
ciptakan angin maka angin pun ada
dalam gelap kau
ciptakan sunyi maka sunyi pun ada
dalam gelap kau
ciptakan malaikat maka malaikat pun ada
dalam gelap kau
ciptakan setan maka setan pun ada
dalam gelap kau
ciptakan Adam maka Adam pun ada
dari kelam kau
lemparkan aku
ke dalam kelam
kau lemparkan aku
dalam kelam
kulihat kau
dalam sunyi
kudengar kau
dalam aku di
mana aku kau?
dalam aku kau ada
dalam aku air ada
dalam aku batu ada
dalam aku kelam ada
dalam aku terang ada
dalam aku tanah ada
dalam aku sunyi ada
dalam aku bunyi ada
dalam aku bisu ada
dalam aku diam ada
dalam aku gerak ada
dalam aku kita ada
dalam ada di
mana aku?
dalam kau di
mana aku?
dalam kau siapa
aku?
di luar waktu?
sebelum waktu
di dalam waktu
sesudah waktu,
hanya kau, hanya kau, hanya kau, dalam
gelap
dalam rahasia
Cipta
?
1986
SAJAK
PERTAMA dipergelarkan oleh satu grup tadarus bersama sajak-sajak penyair lain
dalam “Tadarus Puisi Bulan Suci” 23-24 Mei 1986 (14-15 Ramadhan 1406-H)
Perjalanan Senjakala
1
Rinduku tersesat
dalam kehilangan, kenangan sebuah kota
Yang namanya
kupanggil dengan nyanyian dan kata-kata cinta
Orang-orang pun
menyebutnya seperti dalam nyanyianku
Padang Kota
Tercinta
Angin gersang
sudah lama berhembus tanpa tujuan
Debu merasuk ke
kepala, khalayak jadi pelupa
Kini tak
terdengar lagi panggilan nama kecintaan
Bunga-bunga
runduk di bawah langit kota kesayangan
Kekasihku sudah
lama tak lagi mengenal rindu
2
Seseorang
berseru dan memanggil dengan nama lain
Suaranya seperti
bersabda. Khalayak terperangah
Burung-burung
berhamburan bertabrakan
Kupu-kupu
berlindung di bawah warna merah flamboyan
Di sebuah taman
sehabis membersihkan sayapnya
Senja merayap
pergi sebagaimana datangnya
Orang-orang
berjalan merunduk ikut panggilan adzan
Ada yang
terjerembab dan hanyut dalam sungai deritanya
Kotaku,
kesayanganku. Apa kabar percintaan kita?
3
Dari jendela
gubuknya nelayan menatap hamparan samudera
Tuhan
mengisyaratkan pertarungan dalam sembarang cuaca
Ikan tak punya
sayap untuk terbang sendiri ke dalam dapur
Pada gulungan
gelombang bergetaran pesan nenek moyang
Di dasarnya
terpendam rahasia samudera yang mengerikan
4
Memang pernah
ada kisah sebuah nama
Kesempurnaan
yang disucikan oleh cinta
Cinta agung
diingkari
Tersebab bicara
dengan bahasa bunga-bunga
Sampai waktu,
ketika dingin nafsu
5
Kata-kata terasa
kian renta dalam gumam si pengembara
Dalam mata
terpejam, mimpi lama beralun lebih nyata
Jejak
menghilang. Alamat lama pun tak jua bersua
Berbaring
menatap langit, terhampar, kota cahaya maha ajaib
Bintang-bintang
berkilauan menulis nama-nama kecintaan
Bangkit dari
bawah debu, mandi di kolam terangnya rembulan
6
Di sana tertera
peta
Di langit
berlapis, di rumah gemintang
Tersimpan puisi
kota kecintaan
Terselip dalam
dendang si pengembara
Kian sepi
Kian menyanyi
Jkt, 05.08.09
Nashar
Lahir ke dalam
perut kanvas
Ia takkan
merusak bingkai
Rumahnya sendiri
Digalinya warna
dari gua-gua laut
Dari pantai
siang ke malam kecintaan
Garis-garis
meliuk pintas memintas
Hingga bumi
terangkat jauh
Langit merendah
turun
Lepas dari
perangkap nasibnya
Di kakinya
beribu gunung runtuh
Menimbun
kota-kota angkuh
Gunung dan kota
lain terus menjadi
Dibersitkan
lidah api
Dari ujung
jarinya
1984
Prosesi
Bagaimana
berakhirnya senyap?
Orang-orang tak
lagi saling memandang
Berkata-kata
tapi tak saling mendengar
Merayap menuju
senja masing-masing
2011
Tentang Leon
Agusta
Leon
Agusta lahir di dusun Sigiran, pinggir danau Maninjau, pada 5 Agustus 1938.
Berhenti menjadi pegawai pemerintah selepas menandatangani Manifesto Kebudayaan
(1964). Atas dakwaan pasal 107 KUHP, dari Januari hingga Juli 1970 menjalani
hukuman di penjara Tanah Merah, Pekanbaru. Sejumlah sajak selama di penjara
dimuat di Horison edisi Desember 1970. Peristiwa Malari (1974) sempat pula ia
ditahan di Padang. Setelah mengikuti International Writing Program di Iowa City
(1976), ia mengembara ke sejumlah Negara Asia, Amerika dan Eropa.
Catatan Lain
Sebagaimana
buku ini, yang sunyi dari pengantar, komentar teman, tulisan apresiasi, maka
begitu pun di catatan kali ini. Bertahun-tahun lewat telah saya pendam nama
penyair ini di benak remaja saya, mungkin lewat buku Pamusuk Eneste? Dan
sekarang baru saya lihat puisi-puisinya. Foto si penyair di sampul belakang,
dengan rambut tebal yang nyaris putih semua, alis dan kumis yang juga tebal,
sebagian juga memutih, kacamata bergagang tebal, dan kerut-kerut ketuaan:
adalah penanda baru yang mungkin kekal. Oya, saya tak punya informasi akurat,
tapi beberapa sajak di kumpulan ini menyinggung-nyinggung tentang “perang
saudara” (yang saya duga terkait PRRI?), sepertinya penyair memiliki ingatan
menyayat yang bersifat personal tentang masalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar