Data
buku kumpulan puisi
Judul : Doa Mohon
Kutukan
Penulis : Emha
Ainun Nadjib
Cetakan : I,
Februari 1995 (Ramadhan 1415)
Penerbit : Risalah
Gusti, Surabaya
Desain sampul
: Studio 10
Tebal : xii
+ 96 halaman (34 puisi)
ISBN : 979-556-080-8
“Bangsa ini memiliki ribuan cara untuk bersopan/santun dan
menutup-nutupi//Namun hendaknya ada satu hari khusus untuk/berkata apa adanya:
misalnya bahwa negeri/ini terlalu banyak maling” (Petikan Syair Heran, Emha Ainun Nadjib)
Buku ini terdiri dari 3 bagian yaitu Doa Mohon Kutukan (20 puisi), Nasionalisme
Burung-burung (13 puisi) dan Perjalanan
Dusta (1 puisi).
Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Doa Mohon Kutukan
Hati
Semesta
Betapa dahsyat
penciptaan hati
Bagai Tuhan itu
sendiri
Oleh apa pun tak
terwakili:
Ia adalah Ia
sendiri
Semalam batok
kepalaku pecah
Dipukul orang
dari belakang
Tatkala bangun di
pagi merekah
Hatiku telah
memaafkan
Hati bermuatan
seribu alam semesta
Dindingnya
keremangan
Kalau kau keliru
sapa
Ia berlagak jadi batu
seonggokan
Kepala negara
hingga kuli mengincar
Menjebak dan
mencuri hidupmu
Namun betapa
ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi
Betapa Tuhan
serasa hati ini
Dicacah dilukai
berulangkali
Berdarah-darah
dan mati beribu kali
Esok terbit jadi
matahari
1994
Sawah
itu Rahim Ibunda
(1)
Sawah itu rahim
Ibunda
Yang mengandungmu
dengan sengsara
Melahirkanmu
dengan hentakan rasa sakit
Sambil berurai
airmata cinta
Padi dan palawija
di atasnya
Menyusui
perjalanan sejarahmu
Padi, sawah,
alam, bukanlah bagian dari dirimu
Engkaulah bagian
yang bergantung pada mereka
(2)
Jika diinjak oleh
kaki para petani
Sawah-sawah
merasa amat bahagia
Tancapan cangkul
Bapak-bapak itu
Membuat mereka
memperoleh kemuliaan
dari Sang Maha
Agung Pemiliknya
Sama mulianya
dengan ayam yang disembelih
Sama tinggi
karamahnya dengan buah
yang dipetik dari
tangkainya
Serta akan
berbarengan memasuki surga
Dengan tanah yang
dipelihara kegunaannya
buat
kesejahteraan manusia
Hati petani
adalah lumpur
Sangat karib dengan
Tuhan dan penuh syukur
Hujan keringat
mereka menjadi telaga
Tempat para Malaikat
mandi jiwa
(3)
Tapi kelak engkau
akan terpana
Karena
sawah-sawah berpindah
tempat tinggalnya
Dari bersemayam
agung di alam semesta
Sawah-sawah
ditransmigrasikan ke buku-buku
administrasi
negara
Kemudian engkau
akan lebih terheran-heran
Karena Negara pun
telah berganti
alamatnya
Dari kampung
permai hatinurani rakyat
Berpindah ke
genggaman tangan
sekelompok orang
yang berlagak malaikat
(4)
Sawah adalah
rahim Ibunda
Rahim adalah
kelopak bunga kasih Tuhan
kepada
hamba-hambaNya
Kepada siapa pun
yang mengingkarinya
Tuhan menyatakan
perang kepadanya
1993
Rumah
Cor Api
Demi keadilan
hukum disingkirkan
Demi kebenaran
pengabulan ganti
rugi dibatalkan
Demi ketenteraman
Air ludah harus
kembali ditelan
Karena cahaya
kemajuan harus memancar
Maka panduan dan
penerangan harus luas tersebar
Karena
program-program pembangunan harus lancar
Maka terkadang
pasar ini dan bangunan itu perlu dibakar
Lihatlah
rumah-rumah cor api
Lihatlah
gedung-gedung berdiri di atas kuburan
Batu-batanya
terbuat dari kesengsaraan dan airmata
Tembok-temboknya
rekat oleh akumulasi ratapan
Tiang-tiangnya
tegak karena disangga oleh pengorbanan
Di seberang itu
engkau memandang
Rumah-rumah
didirikan
Dekat di sisiku
aku saksikan
Rumah-rumah
digilas dan dirobohkan
Nun di sana
engkau melihat
Rumah-rumah
disusun-susun
Nun di sini aku
menatap
Penduduk terusir
berduyun-duyun
Ketika engkau
berdiri di depan
hamparan tanah
luas yang engkau beli
untuk mendirikan
ratusan rumah dan
ribuan pemukiman
manusia abad 21,
pernahkah
terlintas di kepalamu
ingatan tentang
beribu-ribu saudara-saudaramu
yang kehilangan
tanahnya
Pernahkah engkau
ingat betapa beribu-ribu orang itu
tak dianggap
memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya,
dan ketika mereka
terpaksa menjualnya,
mereka juga tak
dianggap memiliki hak untuk menentukan
harga petak-petak
tanah mereka
Ketika engkau
menempati rumah itu, tahukah engkau
siapa nama
tukang-tukang yang menumpuk batu-batanya,
yang mengangkut
pasir dan memasang genting-genting
Ketika engkau
memijakkan kakimu di lantai rumahmu
dan meletakkan
punggungmu di kasur ranjang,
pernahkah engkau
catat kemungkinan muatan
korupsi dan
kolusi di dalam proses pembuatannya,
sejak tahap
tender sampai
pemasangan
cungkup di puncaknya
Bagi berjuta-juta
saudara-saudaramu yang
tak senasib denganmu,
yang bertempat tinggal
tidak di pusat
uang dan kekuasaan:
pernah engkau
sekedar berdoa saja
bagi
kesejahteraan mereka
Dunia sudah amat
tua
Darahnya kita
hisap bersama-sama
Kehidupan semakin
rapuh
Dan sakit kita
tidak semakin sembuh
Langit
robek-robek
Badan kita akan
semakin dipanggang hawa panas
Sejumlah pulau
akan tenggelam
Lainnya menjadi
rawa-rawa
Anak cucumu akan
hidup sengsara
Karena rangsum
alam bagi masa depan
telah dihisap
dengan semena-mena
1994
Waktu
Waktu menapaki tanah
Waktu bersijingkat, amat perlahan, di jalanan desaku
Jika saja diperkenankan,
Waktu pengin tinggal abadi padanya,
Waktu tak akan pergi darinya
Sedangkan di kota-kota Waktu melintas sesaat dan
bernapsu cepat-cepat minggat
Karena kota lupa padanya
Karena kota merengkuh Waktu,
mengepaknya dalam paket-paket
Karena kota menghinakannya,
menyamakannya dengan lempengan mata uang!
Waktu hinggap di pucuk-pucuk pepohonan,
menggerakkan dedaunan
Waktu bernyanyi di paruh burung-burung
Waktu mengaliri sungai-sungai, sampai ke seribu muara,
menjadikan samudera bergolak,
beribu samudera menjadi lingkaran sungai-sungai
Waktu berlompatan dari planet ke planet, dari galaksi ke
galaksi
Pada langkahnya yang kedua ilmu pengetahuan manusia
mulai diejeknya, lantas pada langkah ketiga
kesombongan peradabanmu
akan sudah sangat memuakkannya
Waktu melewatimu, menyentuh tengkukmu dan
saat itu juga meninggalkanmu
Waktu mengucapkan salamnya kepadamu setiap
sepertakterhingga detik, menjadikanmu berusia setahun, dua
tahun, tiga tahun
Berusia setahun, dua tahun, tiga tahun,
tanpa pernah usia itu menjadi milikmu,
karena pertambahan kehadiran
Waktu padamu adalah pengurangan jatahnya atas hakmu
Waktu hadir di malam pesta ulang tahunmu,
untuk mengingatkan bahwa yang bisa ia ucapkan kepadamu
hanyalah selamat tinggal yang pedih
Waktu berpapasan dengan usiamu: Siapakah engkau?
Engkau adalah tegangan yang muncul
tatkala mereka bersalaman
Waktu bertegur sapa dengan usiamu:
Siapakah namamu? Ialah sekelebatan
bayangan yang melintas ketika sorot mata mereka bertemu
Waktu berderak-derak menghambur ke satu arah,
dan usiamu melaju berlari ke arah yang sebaliknya
Waktu senantiasa mengucapkan janji kepadamu
untuk bertemu pada suatu hari
di halaman rumah Tuhan, namun belum pernah didengarnya
sungguh-sungguh dari mulutmu jawaban atas janji itu
Waktu senantiasa mengulangi sumpah cintanya
Jika dari mulutmu ia cium bau harum karena kemuliaan hatimu,
maka dijunjungnya engkau
Jika dari badanmu ia hirup bau busuk
karena ambisi dan keserakahan,
maka usiamu menjadi sampah,
ia campakkan ke ruang-ruang kehinaan
1993
Cintaku
Katakan kepadanya bahwa cintaku tak diikat dunia
Katakan bahwa dunia pecah,
ambruk dan terbakar jika menanggungnya
Dunia sibuk merajut jeratan-jeratan,
mempersulit diri dengan ikatan-ikatan,
dimuati manusia yang antre panjang
memasuki sel-sel penjara
Katakan kepadanya bahwa kasih sayangku
tak terpanggul oleh ruang dan waktu
Katakan bahwa kasih sayangku
membebaskannya hingga ke Tuhan
Ruang, tata hidup, perkawinan, kebudayaan dan
sejarah, adalah gumpalan sepi,
dendam dan kemalangan
Dan jika semesta waktu hendak mengukur cintaku,
katakan bahwa ia perlu berulangkali mati
agar berulangkali hidup kembali
1994
Kekasih Lahir dari Duka
Derita
Dari mana gerangan tiba ia
mendadak tumpah cahayanya ke wajahku
kekasih datang menguak rahasia
setelah beratus tahun kutunggu-tunggu
Kekasih lahir dari duka derita
kembang mekar tak ada tangkainya
sosoknya menghampiriku dari cakrawala
di bawah matahari tak ada bayangannya
Marilah kupangku dan kutimang-timang
damai rambutmu kuusap di tangan
jangan bilang-bilang engkau tiada
biar matang sepiku, biar sempurna
Jikalau alam semesta ini berjumlah seribu
dan jikalau seluruhnya tergenggam
di tanganku, tidaklah cukup sama sekali
untuk melunasi hutang dari Tuhanku
Rasa perih yang Kau iris-iriskan
ke batinku kali ini
adalah sapuan wangi surga
yang membuktikan cintaMu
Kepedihan jiwa sahabat-sahabat lebih sakit bagiku
dibanding kepedihan jiwaku sendiri
maka kukuhkan hati siapa pun saja yang terlibat
dalam lakon ini
Pinjamkan keteguhanMu kepada langkah kaki mereka
wariskan ketenteramanMu ke dalam ruh mereka
mataharikan esok hari mereka
taburkan teratai dan cinta
Syukurku tak terhingga, duh Gusti
karena terbukti sudah bagi mataku yang buta
bahwa tidaklah sekali-sekali
pernah Engkau memberiku penjara
melainkan cakrawala
1991
Syair Heran
(1)
Aku mendengar engkau berkata tentang kemiskinan
Aku mendengar dengan manisnya engkau berjanji
akan mengentaskan orang-orang
dari kemiskinan mereka
Hatiku lega, meskipun dengan kepercayaan yang
belum sepenuhnya: sesudah 25 tahun, akhirnya
pembangunan yang sejati (mudah-mudahan) dimulai juga
(2)
Tetapi kalau ada seseorang yang kelaparan
dan hingga larut malam tak sejumput
makananan pun ia berhasil dapatkan
Kepada siapakah sebaiknya ia mengeluh? Pintu
rumah siapakah yang boleh ia ketuk?
Kantor manakah yang pernah berpikir untuk
membuka diri terhadapnya?
Orang yang kelaparan, apakah seyogyanya datang
mengadukan keadaannya ke Dinas Sosial?
Ke Kantor Kementerian Dalam Negeri? Atau
mungkin lebih ke Majlis Ulama?
Orang yang sedih dan tidak sanggup membeli
keriangan, orang yang sakit dan tak punya
biaya untuk membeli kesembuhan, ke manakah
harus pergi?
Biasanya mereka bertamu ke rumah Tuhan, tetapi
Tuhan menjawab keluhan mereka: “Lho,
hal-hal seperti itu sudah Kumandatkan kepada
para khalifahKu untuk menanganinya. Alam
anugerahKu telah Kuhamparkan secara
sangat berkecukupan.”
Orang-orang yang lapar, sakit dan kesepian itu
lantas menangis, tetapi adakah pasal dalam
buku hukum atau dalam garis-garis besar
haluan kebangsaan ini yang mengharuskan
seseorang mendengarkan tangis mereka?
Mungkin ada kawan, sahabat-sahabat karib atau
tetangga yang pasti bermurah hati memberi
mereka makan, menghibur hati mereka serta
menyembuhkan sakit mereka
Tetapi apakah sahabat dan para tetangga
bertanggungjawab atas kelaparan mereka?
Dan kalau jumlah orang yang kelaparan, yang
sakit dan kesepian ternyata beribu-ribu,
bahkan berjuta-juta – adakah lembaga yang
bertugas untuk merasa malu? Apakah NU dan
Muhammadiyah bertanggungjawab atas keadaan
orang-orang itu? Bisa jenakkah para
Menteri duduk di kursinya?
(3)
Sangat sukar dipahami bagaimana seseorang bisa
tentetam menjadi pemimpin, sedang
di hadapannya beratus orang kehilangan
sawah nafkahnya demi satu lobang kecil
untuk bola mainan kanak-kanak yang bernama golf
Sangat tidak masuk akal bagaimana masih ada
kata-kata yang bisa muncul dengan mantap
dari mulut seorang pemimpin, tatkala
berjuta-juta orang membayarkan nasibnya
untuk kesejahteraan sejumlah kecil
orang-orang sebangsanya sendiri
Sangat tidak bisa dipercaya bahwa mungkin ada
Menteri yang dipilih karena hatinya tuli
atau karena mata batinnya rabun
Namun juga sangat menakjubkan, bahwa ada rakyat
di suatu negeri, yang memiliki pribadi-
pribadi sedemikian kuat, sehingga ketika
seluruh hidupnya dirampok, mereka tetap
tersenyum dan ikhlas
Para malaikat menegur: “Betapa indahnya
keikhlasan, namun bukan di situ tempatnya.”
(4)
Sangatlah tidak nyaman bahwa terkadang kita
tidak punya kemungkinan untuk
menghalus-haluskan kata
Bangsa ini memiliki ribuan cara untuk bersopan
santun dan menutup-nutupi
Namun hendaknya ada satu hari khusus untuk
berkata apa adanya: misalnya bahwa negeri
ini terlalu banyak maling
Bahwa kita adalah masyarakat miskin yang setiap
(saat) mengintip kemungkinan untuk maling
Agak memalukan bahwa ternyata yang kita pilih
adalah kemiskinan
Sedemikian seriusnya kemiskinan kita
sehingga kita membutuhkan berpuluh
rumah, beratus perusahaan, berjenis-jenis mobil
Semakin tinggi tumpukan kekayaan kita,
semakin serius tingkat kemiskinan kita
Sebab tanda bahwa seseorang miskin ialah
apabila ia butuh
Tanda bahwa seseorang itu melarat, ialah
jika terbukti ia serakah
Tanda bahwa seseorang itu fakir, ialah
jika ia bernafsu untuk merampok,
memonopoli, merebut apa saja yang bukan miliknya
Adapun orang kaya tak terdorong untuk
melakukan hal demikian
Karena hanya orang kaya yang bisa kenyang
oleh kesederhanaan, yang sanggup
memberikan apa saja tanpa segan
tanpa rasa eman
(5)
Jadi, seingatku kita sendirilah
yang merancang kemiskinan
Kemiskinan mutlak berjuta-juta orang
serta kemiskinan yang lebih absolut
lagi dari jiwa kita sendiri
Setahuku kita sendiri
yang menciptakan kesenjangan
Kepada Tuhan bersikap penuh kesombongan,
kepada rakyat kecil penuh sikap merendahkan
Seingatku kita sendiri yang menyelenggarakan
penggusuran-penggusuran
Setahuku kita sendiri yang tak kunjung henti
men-juklak-juknis-kan keserakahan
1993
Nasionalisme Burung-burung
Engkau
selalu bertanya kepada burung-burung, tanpa engkau sadari bahwa engkau selalu
bertanya kepada burung-burung: “Milik siapakah kalian?”
Dan
burung-burung selalu menjawab: “Pemilik kami Tuhan kami, namun Ia meminjamkan
diri kami ini kepada kami, kemudian kami pinjamkan diri kami kepada kumpulan
manusia yang menghuni tanah dan padang-padang di mana kami beterbangan mencari
makan.”
Seterusnya
engkau bertanya: “Kapan kalian akan mengembalikan diri kalian kepada Tuhan, dan
kapan kumpulan manusia itu akan mengembalikan diri kalian kepada diri kalian?”
Burung-burung
menjawab: “Setiap saat, kapanpun saja, kami siap mengembalikan diri kami kepada
Pemiliknya. Namun kami tak bisa melakukannya, karena manusia tidak mau
mengembalikan diri kami kepada diri kami…”
***
Demikianlah
juga jawaban pepohonan, rumput-rumput, gunung dan perbukitan; demikianlah juga
jawaban tanah dan air, darah dan daging, hutan dan sungai-sungai, jika engkau
bertanya: “Milik siapakah kalian?” Sehingga engkau akan terheran-heran dan
melanjutkan pertanyaan:
“Apakah
manusia itu sejenis makhluk yang kalau meminjam tak bersedia mengembalikan?
Yang kalau berhutang, selalu menunda-nunda pembayaran, sampai saat maut
menghadang, sampai di bilik pengap penjara ia digeletakkan, sampai dari
singgasananya ia dicampakkan? Ataukah manusia itu sejenis ciptaan Tuhan yang
sedemikian dungunya sehingga kalau mencuri malah merasa memiliki dan kalau
memonopoli malah merasa paling berjasa sendiri?”
***
Maka aku juga
ingin engkau selalu membisikkan ke telingaku apa kata burung-burung itu, apa
kata hutan, pegunungan, angin dan lumpur. Aku ingin engkau membisikkan ke
telingaku dendang hati mereka tentang negeri ini. Aku ingin mendengar
nyanyian-nyanyian itu kembali:
Nasionalisme
bukanlah tali ikatan antara satu jenis burung yang membedakan diri dari
jenis-jenis burung yang lain.
Nasionalisme
adalah persentuhan getaran hatinurani seluruh burung-burung, seluruh
burung-burung.
Nasionalisme
bukanlah pada wilayah hutan belantara mana burung-burung boleh hinggap dan
beterbangan.
Nasionalisme
adalah kesepakatan antara semua jenis burung tentang bagaimana memelihara hutan
yang indah dan sehat bagai kehidupan setiap burung, setiap burung.
Nasionalisme
bukanlah burung dibikinkan sangkar oleh Tuannya, yang diulur naik ke puncak
tiang di pagi hari, kemudian diturunkan dan dimasukkan kandang di sore hari.
Nasionalisme
adalah burung tanpa sangkar, adalah burung di angkasa bebas, yang dari
kebebasan itu hati dan kesadarannya belajar memahami dan merancang sangkarnya
sendiri.
***
Nasionalisme
bukanlah mengketapel burung, menjerat dan mengurungnya, serta menjadikannya
hiasan karena meskipun engkau mengelus-elus bulu dan sayapnya, namun engkau
berdusta kepada hakikat burung-burung ketika merebut langit dan alam dari
kehidupannya.
Nasionalisme
bukanlah membatasi ruang terbang burung-burung, melainkan membuka peluang
belajar dan pelatihan bagi nurani burung-burung untuk sanggup menciptakan
batas-batas ruang terbangnya sendiri.
Nasionalisme
bukanlah burung dalam sangkar bambu yang tunduk menghormat burung sangkar emas,
atau burung sangkar emas meludahi burung sangkar bambu.
Nasionalisme
adalah burung-burung sangkar langit, burung sangkar alam semesta, burung-burung
sangkar jagat yang tak dibatasi garis kepentingan kelas-kelas burung, oleh
egosentrisme dan penghisapan sejenis burung atas sejenis burung yang lain.
Nasionalisme
bukanlah burung-burung yang engkau tawan dan engkau jatah makan minumnya serta
engkau tentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh disantapnya.
Nasionalisme
adalah menguakkan kesanggupan burung-burung yang tanpa akal senantiasa mengerti
apa yang berhak dimakannya dan apa yang terlarang untuk diminumnya.
Nasionalisme
burung-burung tidak punya tuan, nasionalisme burung-burung hanya punya Tuhan.
Nasionalisme
adalah burung-burung yang menentukan dan memiliki pemuka-pemuka. Pemuka-pemuka
yang bertugas untuk menjadi pekerja yang memenuhi keperluan seluruh
burung-burung, sehingga seluruh burung-burung itu bersedia menyisihkan
pendapatannya untuk memberi makan kepada pemuka-pemukanya.
***
Burung-burung
tak dimiliki oleh Tuan, burung-burung hanya memiliki Tuhan. Sebab jika Tuan
memilikinya, mereka tak boleh memiliki Tuannya, sedang jika mereka dimiliki
Tuhannya, itu berarti Tuhan adalah milik mereka.
Burung-burung
sangat mengerti bahwa hak tertinggi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup
adalah memperoleh pinjaman dari Tuhannya sejumlah yang diperlukannya, adalah
makan dan minum sebanyak yang dibutuhkannya.
Burung-burung
sangat memahami bahwa hanya tatkala lapar ia berhak memetik makanan dari alam,
dan hanya ketika haus ia berhak menimba minuman dari alam.
Burung-burung
sangat bersetia kepada hakikat kenyataan bahwa berkelebihan itu curang, bahwa
penumpukan adalah pencurian.
Burung-burung
senantiasa bersujud kepada kenyataan betapa Tuhan sangat memiliki segala
sesuatu, namun senantiasa pula Ia tak memakainya sendiri melainka
meminjamkannya.
Betapa
Tuhan sangat memiliki kesanggupan untuk menggenggam apa pun saja, untuk
merampas apa pun saja, serta untuk mengambil alih apa pun saja, namun Ia tak
melakukannya.
Sehingga
burung-burung selalu sangat merasa heran betapa ada makhluk-Nya yang tak
memiliki namun berlaku sebagai pemilik, yang tak berkewenangan namun bertindak
sebagai penguasa, yang tak berhak namun mengambil apa saja yang dinafsuinya,
yang berkedudukan hanya sebagai hamba namun segala jenis penghisapan,
perbudakan dan penindasan dilakukannya.
***
Nasionalisme
burung-burung tidak mempersoalkan di sarang pepohonan apa telornya menetas,
oleh karena itu segenap burung di muka bumi mencicit-cicit apabila ada
saudara-saudaranya sesama makhluk datang bagai banjir, menebangi pohon-pohon,
sehingga merasa kehilangan tempat untuk membuat sarang-sarang.
Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan
apa warna telor mereka, berbentuk lonjong atau bulat, oleh karena itu segenap
burung di hamparan tanah ini mendongakkan paruh-paruh mereka apabila tiba mesin
besar entah dari mana yang menyeragamkan bentuk telor mereka.
Nasionalisme
burung-burung tidak mempersoalkan apa warna bulu atau berapa besar tubuh
mereka, oleh karena itu segenap burung-burung di kehangatan alam ini
mengepak-ngepakkan sayap mereka apabila hadir pisau besar yang memangkas bulu
mereka dan membonsai badan-badan mereka.
Nasionalisme
burung-burung adalah negeri cinta kasih yang dibatasi hanya oleh cakrawala dan
langit biru, sungai, gunung-gunung, hutan, samudera dan pulau-pulau hanyalah
torehan garis dan warna-warni dalam kanvas lagu pujaan mereka kepada Tuhan.
Nasionalisme
burung-burung adalah kesepakatan untuk menjaga kemerdekaan seluruh alam. Negara
burung-burung adalah pembangunan tempat dan kesejahteraan untuk saling
memerdekakan dan mengasihi.
***
Jika
burung-burung rajawali, jika burung-burung hantu, jika burung-burung raksasa
lainnya bergerombol untuk mematuki burung-burung kecil dan merampas jatah makan
minum dan kemerdekaan mereka: maka jagat cinta kasih terbelah menjadi dua
negeri. Yang satu negeri para penindas, lainnya negeri para tertindas.
Para
penindas berlaku sebagai tuhan, sedangkan para tertindas sesak napasnya tidak
hanya oleh kekuasaan yang menindih, tapi juga oleh cinta dan kesantunan yang
tidak disemaikan di bagian manapun dari tanah Tuhan.
Nasionalisme
burung-burung terluka dan mengucurkan darah, kerena seluruh burung-burung kecil
di mana saja di permukaan bumi terjaring menjadi satu negara rahasia yang
tergetar nuraninya, serta bersiap menagih di hari esoknya.
1989
Doa Mohon
Kutukan
Dengan
sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat agar
pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup, mencari
derajat tinggi di hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan
yang telah ditumpuknya.
Dengan
sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, untuk membersihkan kecurangan dari kiri
kananku, untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari
cemburu yang bodoh dan rasa iri.
Dengan
sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, demi membayar rasa malu atas kegagalan
menghentikan tumbangnya pohon-pohon nilaiMu di perkebunan dunia, serta atas
ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya menanam pohon-pohonMu yang baru.
Ambillah
hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan untuk mengongkosi tumbuhnya
ketulusan hati, kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia.
Hardiklah
aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini, jadikan duka deritaku
ini makanan bagai kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan,
asalkan sesudah kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMu.
Jika
untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di hati satu orang hambaMu diperlukan
tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah. Potonglah sepuluh batangku,
kemudian tumbuhkan sepuluh berikutnya, seratus berikutnya, dan seribu
berikutnya, sehingga lubuk jiwa beribu-ribu hambaMu menjadi terang benderang
karena keikhlasan.
Jika
untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan dibutuhkan kekalahan para
hambaMu yang lain, maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia
menundukkan wajahnya di hadapanMu.
Jika
untuk mengusir muatan kedunguan di balik kepandaian hambaMu diperlukan
kehancuran pada hambaMu yang lain, maka hancurkan dan permalukan aku, asalkan
kemudian Engkau tanamkan kesadaran fakir di hatinya.
Jika
syarat untuk mendapatkan kebahagiaan bagi manusia adalah kesengsaraan manusia
lainnya, maka sengsarakanlah aku.
Jika
jalan mizanMu di langit dan bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku, maka
unggulkan mereka, tinggikan derajat mereka di atasku.
Jika
syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu adalah penyadaran akan kegelapan,
maka gelapkan aku, demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu.
Demi
Engkau wahai Tuhan yang aku tiada kecuali karena kemauanMu, aku berikrar dengan
sungguh-sungguh bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang kudambakan, bukan
keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan, serta bukan kebahagiaan dan kekayaan
yang kuhauskan.
Demi
Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku, aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu
akhirat, hidupku hanyalah memandangMu sampai kembali hakikat tiadaku.
1994
Abracadabra Bumi dan Rumah-rumah
Abracadabra bumi milik Tuhan
Abracadabra tanah dimiliki Tuan-tuan
Abracadabra tanah dipetak-petak dalam sertifikat
Abracadabra tanah habis dan Tuhan minggat
karena tak memiliki surat-surat
Abracadabra bumi dihamparkan
Abracadabra tanah diperebutkan
Abracadabra bumi membuka ladang-ladang rejeki
Abracadabra tanah ditancapi tembok-tembok monopoli
Abracadabra bumi Tuhan menjadi bukan bumi Tuhan
Abracadabra tanah Tuhan menjadi tanah Tuan-tuan
Abracadabra kami mabuk
karena bumi pindah tangan dan tanah berganti
pemilikan melalui cara-cara yang terlalu menusuk
Tuhan, Kamu sekarang
berdomisili di mana
Kucari tak ketemu di kenyataan atau kehampaan
Aku tahu Engkau tak memerlukan persemayaman karena
justru ruang dan waktu bertempat tinggal di dzatMu
Tapi aku cemas karena di kedalaman lubuk hati kamipun
tak terasa getaranMu
Abracadabra bumi beranak hutan
Abracadabra tanah beranak perebutan
Abracadabra bumi menganugerahkan pepohonan
Abracadabra tanah menumbuhkan pertengkaran
Abracadabra kami berjoget dalam orkestrasi kolusi
kami menari dalam ritme akal-akalan dan manipulasi
Pada suatu malam menjelang tidur datang makhluk
entah apa ke sisi ranjangku
Ia jambak rambutku, ia cengkeram leherku:
“Apakah bumi dan tanah ini adalah hasil
produksi pabrikmu sehingga engkau merasa memilikinya?
Apakah pepohonan di hutan, air, minyak, kayu, ruang
dan waktu adalah hasil ciptaanmu
sehingga engkau merasa berhak memilikinya?
Kapan kau bikin badanmu, kapan kau ciptakan kaki
dan tanganmu, kapan kau buat hidung dan helai-helai
rambutmu, sehingga engkau yakin
bahwa itu semua adalah milikmu?”
Abracadabra kau tiup ilmu yang tak berakal
Abracadabra kau hembus-hembuskan pengetahuan
yang ingkar terhadap asal usul
Engkau bercumbu dengan tahayul-tahayul pemilikan,
dan mati dalam salah sangka terhadap kekuasaan.
Engkau menari-nari di bawah matahari sambil
kau penggal ingatan tentang pagi hari
dan tak siap menyongsong senja hari
Engkau rebut hari ini seakan-akan ia milikmu sendiri,
kau potong kesadaran tentang kemarin,
sehingga gelap segala sesuatu di matamu tentang esok hari.
Abracadabra jadi atas bumi ini, atas tanah ini,
atas badan dan dunia ini,
tak kaupunyai hak milik, melainkan sekedar hak pakai
Abracadabra jadi apa yang harus kau lakukan
atas bumi ini, atas tanah ini, atas badan dan
dunia ini, tidak bergantung pada apa kemauanmu,
melainkan berdasarkan apa kehendak Pemiliknya
Abracadabra tetapi kusaksikan siapa yang nyata
dalam hidupmu selain di antara kalian paling berkuasa
Abracadabra kepada siapakah tertuju
puja-puji kepentingan hidupmu selain
kepada pemilik angka saham tertinggi
Abracadabra jadi di manakah Tuhan yang sebenarnya
jika tak juga di hati kecil menjelang kematianmu
1994
Aku Belajar Menulis Puisi
Bebatuan berhembus
Air mengucur ke langit
Tatkala matahari menaburi malam
Di atas gedung-gedung yang berlarian
menggedor pucuk-pucuk dedaunan
Segumpal rambut membuntu jalan tol
Sekeranjang angin tidur mendengkur di lobang jarum
Gunung-gunung lari berbaris mengitari pusarmu
Sementara pabrik-pabrik dan cerobong-cerobong
berkejaran di sela gigi-gigiku
Adakah wastafel telah reda
Apakah sup jagung telah menemukan kemanusiaannya
Karena seusai malam, sore segera tiba
Karena jika langit dan rel-rel dikulum
pasti ungu rasanya
Wacana, wahai, wacana
Kuda-kuda melata, buku-buku menetes dari kelopak mata
Tuliskan puisi di ujung lumpur yang menyala
Pegang erat-erat setiap bola tepat di tangkainya
Sang penyair berdiri tegak sambil bersila
Cakrawala dalam cangkir dikunyah-kunyahnya
Suara klakson dari barisan ekor-ekor serigala
Ia hirup dengan telapak tangan
yang menangis bagai sejumput bola
Tiang-tiang listrik dan kabel-kabel minyak bertanya
Ketika tidur, ke manakah penyair mengembara
Tidur ialah seekor sambal yang menyusun sunyi yang dingin
Pengembaraan adalah batu-bata yang berubah kelamin
Jari kelingkingmu membaca suara:
Para penyair sedang memperdebatkan kegelapan
O, o, perjalanan para penyair belum tiba di gelap
Betapa lagi di cahaya!
1994
Puisi-puisi Hilang
Puisi-puisiku menghilang dari biliknya
Pintu jebol, daun jendela copot, lemari ambruk,
laci dan rak terserak-serak
Gelas minumku terlempar ke tembok,
kertas-kertas berhamburan
merobek-robek dirinya
Di luar, langit sangat, sangat, redup
Aku terbangun dari tidur, dan terbanting!
Puisi-puisiku minggat dari jiwaku
Kamu? Kulihat sebaik sajak teronggok di pojok,
kuhampiri wajahnya memar, cahayanya
merah padam tapi ia tertawa-tawa
Jangan menipu! Aku tahu kamu nangis
Aku tahu hati sajakku terkeping-keping,
huruf-hurufnya mengelupas dari maknanya
Huruf-huruf sajakku berpindah tempat secara massal,
mencari sahabatnya masing-masing,
menemukan rangkaiannya sendiri-sendiri,
bergenggaman tangan satu sama lain,
mengacungkan tinju, menegakkan kemauan
mereka sendiri sambil memekik-mekik
Kata demi kata pecah, mengurai, robek
terpencar dan berdarah
Kalimat-kalimat berpatahan,
kalimat-kalimat tidak mengakui dirinya,
bait-bait ambruk, judulnya diusir
Huruf-huruf berteriak:
“Siapa yang mengumpulkan kita di sini?
Siapa penguasa yang merangkai-rangkai kita,
memperbudak kita, menjadikan kita
gumpalan-gumpalan keindahan,
sesuai hanya dengan kehendaknya?
Siapa itu yang memaksa kita
menjadi tumpukan batu-bata
bangunan klenik dan kepengecutan?”
Huruf-huruf menggeram:
“Ini bukan aku. Dan di sini bukan tempatku.”
1994
Tentang
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib lahir di
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Pernah belajar di Pesantren Gontor, pernah
singgah di fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Cak Nun, pernah mengikuti
Lokakarya Teater di Filipina (1980), International
Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1981), Festival Penyair International di
Rotterdam, Belanda (1984), Festival
Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Kumpulan sajaknya: “M” Frustrasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), 99 untuk Tuhanku (1983), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990) dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Kumpulan
esainya al: Indonesia: Bagian Sangat
Penting dari Desa Saya (1980), Sastra
yang Membebaskan (1984), Dari Pojok
Sejarah: Renungan Perjalanan (1985), Slilit
Sang Kiai (1991), Secangkir Kopi Jon
Pakir (1992), Anggukan Ritmis Kaki
Para Kiai (1994).
Catatan lain
Kumpulan puisi ini, diawali dengan PENGANTAR
PENULIS, yang diberi kurung (Mohon Kutukan: Moralitas Beristighfar). Dibuka
dengan pertanyaan berikut: “Bukan hanya engkau: aku pun bertanya kepada diriku
sendiri://”Kenapa kau minta dikutuk oleh Tuhanmu? Bukankah Ia dalah sesembahan yang
justru bersifat Maha Pemurah dan Pengampun? Betapa sombong engkau! Allah
senantiasa menghamparkan rahmat dan rezekinya kepada siapa dan apa saja, bahkan
pun kepada seekor cecak atau seorang maling: sedemikian angkuhkah hatimu
sehingga justru mohon kutukan dari-Nya?”//Diriku berkata
kepadaku://”Maafkanlah. Yang kulakukan hanyalah upaya untuk bersikap
habis-habisan kepada Tuhanku. Bukankah kalau engkau juga mencintai-Nya, maka
engkau tidak menawar-nawar apa pun kehendak-Nya, serta tidak menghendaki
kemurahan-Nya hanya untuk hal-hal yang menyenangkanmu? Aku percaya adanya
semacam akhlak atau moralitas di dalam setiap ungkapan istighfar kepada-Nya.
Jangankan kutukan. Kalaupun Ia memusnahkanmu, mencampakkan penyakit atau
kematian kepadamu menaburimu kehinaan dan rasa duka – terimalah semua itu
dengan cintamu!” dst…
Oya,
di buku ini ada puisi yang sama persis isinya, hanya berbeda selisih satu baris
saja, juga judul yang tak sama, yaitu puisi Selamatan
(halaman 33) dan puisi Doa Selamatan
(halaman 81).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar