Data buku kumpulan puisi
Judul : Maliun Hawa, Sajak-sajak 1998 - 2006
Penulis : Ahmad Faisal Imron
Penerbit : Komunitas Malaikat, Bandung.
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : ix + 113 halaman (56 puisi)
ISBN : 978-979-16522-0-9
Editor : Acep Zamzam Noor
Desain cover : Cev Abeng
Lukisan cover : Ahmad Faisal Imron
Foto : Gus Bebeng
Tata letak : Roh Anna
Beberapa pilihan puisi Ahmad Faisal Imron dalam Maliun
Hawa
Maliun Hawa
setelah itu
kau datang padaku
membawa sebuah parodi
yang tak terduga
bahwa masih di kamar ini
selain puisi, lukisan jingga atau peninggalan Suri
hanya ada seruling kuno, sayap coklat cendrawasih
jarum jam yang kelam atau bunga abadi
yang tak pernah kurelakan pada siapa pun
setelah itu
setelah kau datang padaku
membawa Maliun Hawa
kesedihan yang sempurna
maka lengkaplah
langit di awal Maret ini, seperti pula
detak jantung kita yang membosankan
lebih kelam dari nilam manapun
atau lebih kudus dari lelehan purnama
sabarlah, di luar, tuhan begitu bersayap
dan tak mungkin membiarkan sukma kita menggigil
hujan adalah bahasa lain dari kesedihan itu
namun matahati kita selalu mengira
bahwa purnama yang tenang dan kembali menghilang
bahwa bunga-bunga yang tumbuh dan berguguran kemudian
bukanlah isyarat dari suatu kefanaan
yang semakin menyiksa
melupakan segalanya
tapi kau selalu mengatakan, di luar langit masih
berdarah!
1999
Hari Ke-9
bukit kecil itu milik Adam sepenuhnya
inilah situs terakhir
yang mengingatkan kita
selalu pada cinta
pada hari ke sembilan
pada jam yang tak tertahan
langit seperti dinding cadas
dan pasir hanya bias
orang-orang telah memulainya dengan bismillah
wajahnya memerah, tiba dari arah yang resah
musim dingin dan suara beribu-ribu bendera
saling mengekalkan diri di udara
di atas pasir tanpa ujung ini
tak dapat kuhitung berapa juta manusia
yang pernah menangis dan menyerahkan sepenuhnya
padamu, bergamis putih dan semampai
sebelum malam
yang luas, ruang di mana
segala penciptaan ada
2005
Surat Api
dari selembar surat ia meminta sebuah negeri
tubuhnya yang bengkak, rambutnya yang miskin
namun bergairah ketika membikin nyala api
telah kusediakan minuman dari buah pohon narjil
warna merah air pada sebuah cangkir keperakan
diingatnya sekali lagi instalasi dalam bentuk kotak-kotak
dan seperti di sini, di mana harkat manusia
terkotak-kotak
telah datang berdua, bergegas dari ujung desa
bagai sepasang biksu, mereka begitu khusyuk
memahami sesuatu
pada sehelai daun pisang
dan mulai menyadari
bahwa di sini, malam
bagai seribu duri
pada balkon ingatanmu
ingin kutitipkan berpetak-petak sawah, benih-benih kina
hamparan putih ombak negeri, cangkul coklat para petani
dulu, kita bakar jantung sendiri
menarikan pena pada lingkaran api
tapi ternyata luluh oleh keadaan
oleh sebuah jeritan
sabarlah, di luar warna hitam itu masih menari-nari
jika pada saat ini kau akan pergi dengan sebuah teka-teki
bagaimana mungkin dapat kupersembahkan padamu:
angin yang segar, dunia khayalan, bayang-bayang ibumu
sejak ia meninggalkan nama di kota yang agung
sejak kau masih dalam suasana yang serba terjangkau
tak dapat terlepaskan, kenyataan yang memang
membikin rongga dada berantakan
tak ada teks-teks lain untuk perubahan semacam ini
selain keyakinan agar selalu mengimani ujung belati!
2001
Walantaka
di jalan itu ada banyak kerikil
kerikil serta cahaya bulan
seseorang menyandarkan cintanya
pada kekosongan
dan malam, di musim seperti ini
di sawah-sawah yang keruh, di air yang kusut
ketika gumpalan awan membeningkannya kembali
dengan menyimpan bayang-bayang putihnya di situ
angin dan daun-daun
seperti hendak berlindung ke utara
Walantaka amatlah jauh
kau hancur dalam kegelapan
bagai bau jenazah, abadi di hembusan udara
tercium olehku aroma daun kemboja, malam itu
dingin seakan mengusir orang-orang bersemedi
sebuah cahaya pun mengendap di sebuah tikungan
tapi kau datang
dengan niat yang jantan
lambung yang hampa
pikiran-pikiran baru
sebuah hitungan ganjil
barangkali kehidupan mesti dimulai dengan rongga terbuka
keranjang-keranjang kosong serta mata bagai elang merana
di tanah ini
telah kutemukan cermin sunyi
bentuk bahasa yang cantik
kebiruan yang terbentang
atau sesuatu yang tak mungkin menjadi tanda seru
ketika di tubuh merah api kembali bergemuruh
ketika mengantarmu ke arah matahari menyerah
ada pasar dan majlis-majlis yang riuh di pagi hari
kaligrafi bumi yang miring, hari-hari yang lipur
jalan-jalan bergelombang bagai bentuk dadamu
setelah ritual dimulai
setelah kitab itu menjadi milik kita
setidaknya, kita dapat menafsirkan kehdiupan ini
dengan tetesan darah atau deraian airmata
cinta yang sanggup melelehkan batu-batu di angkasa
1998
Tasik dan Sebatang Pohon
bahkan di situ
di antara garis lengkung, bercak-bercak kelabu
orang-orang membandingkan warna tubuhnya
mungkin wangi gerimis
pada senja yang mulai merangkak
menjulur bagai selendang Balqis
berdua, pada hari ketika ufuk bara
berpihak ke kampungmu
seseorang dengan pontoh dan paras teraniaya
nama samaran yang lugu
sebuah ungkapan Cina dahulu
hilang ingatan saat menikmati sebuah alunan
warna asar pun bergegas
setiap kali
kuingat bayang-bayangmu
kuingat mawar yang dulu terbakar
tempurung kelapa dalam jala
sisa potongan rambutmu
benar-benar abadi di sini
dekat ilusimu sendiri
Dimar, barangkali ada kalanya pertemuan tiba
sementara biarlah ia mengilhami seluruh kata-kata
sebab cinta hanyalah secarik prosa kehidupan
yang tak terduga
setiap pagi mimpimu disentuh ratusan zohar
mungkin berbunga, mungkin luluh bersama bunga-bunga
tadi malam, setelah kuterima wejangan penuh pancaran
siapa yang kemudian memerahkan wajahmu itu?
senja biru yang mulai kekuning-kuningan
yang mulai digemari langit
dalam tubuh awan, melumuri kusam tubuhmu
memar di ujung alis mataku
ada burung malam di antara semilir angin
di situ kegelisahanmu nampak lebih telanjang
menjalar tak tergenang
gelap yang kembali meratap
dibiarkan berlalu, sehabis rasa pilu
sempurnalah anganmu
menyerap torso-torso yang meleleh
sisa pembakaran yang masih terasa
di bawah satu-satunya pohon
sementara waktu tak pernah bersifat remang
ia lebih lempang dari bentuk bayang-bayang
rasa benci yang seringkali ditakuti sebuah keimanan
barangkali, seperti itulah puisi
mengendap bagai kebenaran
nurani kaum sufi
maka seyogyanya, setelah perjalanan singkat ini
temukanlah pijaran kata-kataku
walau masih sebening
sajak-sajak Zamzam; sajak-sajak sorgawi
Tasik, selalu mengingatkan kita
pada gerbang bumi arah timur:
di mana orang-orang menggaruk tanah purbanya sendiri
dan kita, masih di antara riuh pesta
bercakap-cakap tentang kota yang gosong
atau tentang serdadu-serdadu yang keliru
saat ini, ketika layar hitam dan sebuah lentera
ditiadakan
rasa lapar dan keheningan malam kembali kita hayati
kelak, apabila kau hendak membakar duniamu sendiri:
ribuan jalan berbatu, kristal airmata
lorong-lorong berduri, kegelapan yang ranum
atau sorga tanpa sentuhan bunga
mesti kauhadapi dengan ubun dan jidat mengerut
dengan vocal yang terlepas bagai di ujung maut
bukankah dulu bumi ini ditafsirkan dengan berbagai
kehidupan
tapi lihatlah! kuburan yang kaucari telah terbuka di
mana-mana
1998-2000
Mazla
engkau selalu menjadi Geisha
dalam setiap mimpiku
aku, tentu seorang pembawa keranda
yang tak mungkin kau tahu
pohon dan musim sebelum hujan
matahari dan tubuhmu menyimpan warna yang sama
ada nyanyian kecil
pada teras yang redup
dan kita seperti lilin
pada lantai angin bertiup
misalkan esok
kita tak lagi memaknai betapa hari-hari yang musnah
gelisah yang singgah dan sajak-sajak semu itu
biarkan jerit langit juga burung-burung berpulang
bukankah samudera punya rasa yang sama seperti airmata
pada malam ia menderu, pada siang
seluruh cahaya terpantul darinya
mungkin ini bukan pertama kalinya
aku memandangmu, mungkin kutulis namamu
pada nisan kayu
2006
Muaisim
bermula dari magma
sesudah itu kita berkata: sebelum di titik subuh
sebelum kerikil sampai di genggaman ke-7
ada semacam harap
apalah artinya
antara Arafah dan Muzdalifah?
padang pasir yang sunyi
penderitaan Hajar di suatu hari;
ibu dari semua wanita yang terusir
telah kurangkum pedih bumi ini
dalam diriku, dingin subuhku
pada sisa reruntuhan sang Ibrahim
doa para penziarah melepaskan diri ke angkasa
seputih buih, tenda-tenda bergulung di bianglala
malam, gelombang angin, kemudian pagi
dan fajar menyusun kembali seluruh Mina
dan aku tahu
kota juga keramaian ini hanya sementara
meski badai dan semburan darah domba itu
tercipta menjadi tiga monumen batu
yang tidak demi satu masa
2005
Bentar Utara
di Bentar Utara
di langit yang sekuning Van Gogh
kapinis menggores sebentuk tangis
untukmu, yang masih si pewaris
bayang-bayang Izrail
akhirnya, takluk pada kesia-siaan
pada seruling krem yang kaumainkan
aku rasakan segala yang berguguran
seperti doa Ayub penghabisan
seperti juga jerit sorgawi
pada ronamu y ang kini semerah amarah
pada hitam pastel bayang-bayang soremu
tatapanmu yang keliru, dulu, ketika aku
mengajarimu di gubuk ini dan terkejut
bahwa yang meleleh di tubuh-tubuh itu
nyatanya, seperti kerianganmu yang dulu
nyatanya, semuanya telah tiada!
ketika kita masih bagai perunggu; jiwa yang lugu
dengan tenang, bercerita tentang gadis bibir elastis
matanya yang sebulat purnama atau direbut purnama
di sore yang agung, saat awan-awan putih
menggores langit dengan jemarinya yang santun
mungkin, sedetik sebelum kepedihan mengental
mengental dan dalam
bagai seribu paku berkarat di jantungku
mengental dan dalam
bagai membekunya ujung peluru
kepulangan burung-burung itu
menggarisbawahi nama kita
untuk kematian hari esok
lepas dari seluruh yang telah tiada
Bentar Utara
di mana dendam pada beribu-ribu
gerutu sang suhu
di mana kau
dan hela nafas menjadi
secepat panah mengarah
di mana adzan
juga awan yang bagai kafan
seperti dipersiapkan
bagi sisa iman kita yang sebenarnya
tapi sungguh, dari seruling krem penghabisan
dari ritme-ritme dan tanda seru yang berhamburan itu
tiba-tiba aku ingin melihat sang Suri sedekat mungkin
menyentuh kedua pipinya, seperti menyentuh lelehan lilin
aku pahami benar itu isyarat atau tiga cakar bekisar di
matamu
tapi detik ini, rasanya ingin kematian menjadi halus
bagiku
2001
Di Taman-taman
apabila seorang pencuri tersungkur di sungai itu
ia sama lusuhnya dengan ingatanku saat ini
begitulah, di stasiun kelabu, pualam-pualam berdebu
seperti sebuah masa lalu yang sangat lengkap bagiku
dan kenapa aku hanya menyimpan sebuah memo
alamat-alamat lokal, nomor-nomor yang sesat
begitulah, penemuan ini tak dapat dibandingkan
udara senantiasa membusuk, lebat di tubuhku
seakan-akan menjadi sandera bagi setiap manusia
di taman-taman, sebuah galeri yang hening
sepanjang jalan utama, taring-taring cahaya
bahkan di halte-halte di mana waktu berlalu
Tuhan seperti tak mengenal lagi kata-kataku
kota ini benar-benar mewariskan berbagai kesombongan
dengan label di kepala atau hurup lain di awal namanya
akan kukabarkan pula keganjilan-keganjilan ini:
kota yang hanya memiliki sedikit bukit
gedung-gedung yang merobek selaput cakrawala
sayap-sayap sunyi, sejauh ia melarikan diri
masih pula ia mengeram dalam setiap nyanyian
nada-nada dingin, kenikmatan dari sebuah senapan
di bibir trotoar saat kulihat seorang lelaki
tak dapat menyebrangi akalnya sendiri
seorang lelaki lain kulihat jidatnya mengkilat
ada yang mencari wajahnya di balik jendela kaca
sementara aku telah kehilangan sebuah peta
siang begitu bertaring
kebisingan berdenting
dan bagai nafas rajawali
kutahan kegelisahan ini
dan bagai seorang pertapa
kubiarkan lapar sempurna
itulah sebabnya mengapa bebanku selalu berkurang
di angkasa, setiap kali kulihat sang saka mengerang
peluru-peluru rahasia, membuat kota ini berlubang
begitulah, aku melangkah lagi
aku tinggalkan segala apa yang disebut keniscayaan
aku lupakan orang-orang dengan semua kejayaan
sebab aku telah menamainya: para pemabuk masa depan
1998
Sejak Dingin
sepasang matamu yang nyaman
seakan kepanjangan lain dari musim bunga
di timur kota
seperti sajak yang kekal
kukekalkan pertemuanmu dengan bulan
seluruh aortaku bergetar
di bawah kerudungmu yang kelam
laksana gairah baru yang selalu membuat hati bersayap
atau bagai garis pelangi yang selalu terbenam di bibirmu
diam-diam ingatanku bergelombang
diam-diam kau menjadi setangkai bunga
pandangi mataku!
akan kautemukan dirimu dalam hakikat mawar
menikmati garis-garis dan bening tubuhmu
kesunyian menganga di atas harapan yang mati
dengan tulus kulukis wajahmu yang santun
kubaringkan di atas gaun dan sebuah mimpi merah
angin begitu sayu saat mengirim harum rambutmu
malam ini, kugenggam wajahmu meski bayang-bayang
seraya mengingat lentik bulu matamu, suaramu yang pilu
dan seperti perisai badai di dasar kata-kata
ijinkan nyanyian ini agar selalu berputar di hatimu
jauh sebelum kukirim sesuatu pada kesunyianmu
menggali kuburan sendiri; mengutuk garis keturunan
atau peribahasa lama yang selalu berayun-ayun dalam
hidupmu
setidaknya, wahai perempuan kepedihan
dari rasa yang berlimpah sejak dingin ini kauraba
pagi yang lembut, sebuah jendela yang terbuka di hatimu
atau saat-saat yang kita abaikan, semuanya terkenang
remang-remang atau kembali menjelma sebuah kuburan
1998
Solo
tersusun di langit yang ikal
warna kuning kumparan awan
seseorang tak dikenal membekukan diri pada semburan senja
dengan kaki seperti sebuah kerucut dan tangan berdekapan
memandang jejak kereta yang punah ditelan dingin baja
namun malam masih memberi kesan pada tubuh kereta
sementara rerumputan melepaskan juga airmatanya
namun antara sebuah lagu, daun telinga dan hati yang papa
seorang pengamen dengan rupa Afrika yang mengerut
terlihat begitu resah, membawa Jembatan Merah
dari sebuah jendela yang meleleh
matahari yang dewasa menyapa seorang dara
pohon-pohon mengubah diri menjadi loncatan sayap angin
dan seorang lelaki tua nampak kelihatan bagai pertapa
kemudian pagi, juga segala bentuknya:
relief keemasan, para pengamen yang kelelahan
atau rasa lapar yang selalu dilupakan
saat kita bergegas melewatinya, merantau ke dunia lain
dengan tanpa melihat-lihat, berkata-kata atau berpikir
lagi
ada sebuah pintu terbuka, dan kenapa kita tak bertanya!
1998
Segenggam Sawarma
malam sedingin leher Ismail
di taman-taman yang seluruhnya batu
seluruh jemaah dan sisa puing-puing
merapatkan diri pada lampu-lampu
kubayangkan Raudloh
dan seseorang dari pedalaman India
sebelum isya, mengunyah segenggam Sawarma
sebelum khusyuk dalam alunan Khudaefi
kubayangkan juga maqom-maqom itu
berjejal orang-orang
seperti tak terlintas ruang
di mana tak ingin pulang
malam sedingin leher Ismail
di taman-taman yang seluruhnya batu
para jemaah menghabiskan matahari
sore yang terlewati, tak abadi
2004-2005
Batas
tak ada salak anjing
bintang jatuh, di nisan tua yang rapuh
tak ada sesuatu yang terjaga
pada pembuangan perwira Belanda
sebuah bentangan perak
desah paling sempurna
di bukit belerang, neraka merah
dan kabut menyimpan dirinya
pada selaput dan rasa iba
juga hitam yang mengagumkan
bagai gemuruh tarian Istanbul
juga hitam pada pikiranku:
sebuah jalan dan sebuah lembah abadi
seperti jerit 1000 kematian
kita mengira, di angin tukus bulan dan kelelawar
berebut sesajen, seperti sketsa yang tak mengarah
dan kadang lupa, jalan hitam, jalan coklat
dan bunyinya yang seperti maut mendarat
akan kita lewati pada dini hari, pada saat
yang tak ada batas
2006
Jamuan Pesisir
- Facot Roskata
di perjamuan orang-orang pesisir
mencintai angin adalah segalanya
hanya bagiku, kaulah si pelaut itu;
seorang anak yang ingin menjadi laut
tapi di tepi laut, air hanya mengerak
di dekat perapian, kau semakin menghitam
seperti jarum jam dan malam
seperti milik bunyinya yang berjatuhan
tik, tik, tik, tik, tik ….
dan malam, seperti di dusunmu ini
aku telah dapatkan kegelapan paling panjang
pohon-pohon menipis seperti ribuan silet
mengiris jejak bulan dan pikiranku
tapi, ini semangkuk manisan gori, katamu
udang bakar
seluruh rasa yakinmu
nyaris lebih linier
dari rumput dalam eter
disajikan di musim
yang segera beralih
dan pikiranku
kembali bagai semburan lava
berapa derajatkah suhu yang akan digapai
di ini laut, bagi seutuh tubuhku?
ya, di atas permadani biru yang mempesona ini
juga gadis-gadis pesisir dengan kaki mengkilat
serta elok tubuh dan rambut hitam memanjang
kulihat ia dan laut sama halnya sepasang pengantin
mampu menelanjangi seluruh keyakinanku
menancapkan beribu-rabu jarum di pundakku
langit pun kembali seperti masa-masa yang telah kulalui
walau ini hari begitu bergolak dalam hati
ada sebuah cincin merah siam yang selalu kupakai
yang kudapatkan saat kepedihan menjadi diriku
ini yang kemudian akan memetakan seluruh laut
sebelum langit berganti, sebelum aku menyadari
kapan aku harus meninggalkanmu, di sini
laut juga kebiruannya yang terhampar itu
barangkali hanya sedikit dari amsal
hari-hari yang kelak datang, kelak meradang
hari-hari yang tak mungkin seramah para penziarah
tapi lupakanlah
sebab bumi dan sungai-sungainya
yang mengalir di atas sajadah tahajud malammu
pohon-pohon serta beribu-ribu burung
yang hinggap dan merancang sarang di dalamnya
adalah untaian doa lain yang tak terhingga
meski sebenarnya, ia masih tak bernama
tapi sedingin apapun, laut, selalu bagai api
2002
Tentang Ahmad Faisal Imron
Ahmad Faisal Imron lahir di Bandung, 25 Desember 1973.
Mondok di berbagai pesantren yang ada di Jawa Barat. Mulai serius nulis puisi
sejak tahun 1997. Di muat dalam berbagai antologi puisi bersama dan beberapa
media massa seperti Pikiran Rakyat
Bandung dan Majalah Horison. Selain
itu aktif juga dalam senirupa dan beberapa kali berpameran. Tahun 2001
mendirikan Komunitas Malaikat dengan beberapa temannya dan santri yang aktif di
sastra, seni rupa dan musik.
Catatan Lain
Di bagian belakang buku, ada komentar dari Acep
Zamzam Noor, Hawe Setiawan dan Isbedy Stiawan ZS. Tak ada pengantar dari
penulis, hanya ucapan terima kasih saja kepada beberapa sastrawan dan
orang-orang terdekat. Komentar Acep Zamzam Noor, Puisi AFI seperti panorama
yang surealistik. Penggambarannya cenderung visual. Kata Hawe Setiawan, imajinasinya
sering fantastik dan ada kalanya tak terduga. Sedang Isbedy Stiawan menyebut
puisi AFI sebagai pengembaraan imajinasi-religi. Adapun saya, setuju-setuju
saja dengan komentar di atas. Tapi ada puisi yang sedikit mengganggu karena
kayaknya kebanyakan memuat kata “seperti”. Selebihnya menikmati saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar