Data buku kumpulan puisi
Judul:
Mantra Asmara
Penulis:
Usman Arrumy
Penerbit:
Hasfa Publishing, Demak
Cetakan:
1, April 2014
Tebal:
viii + 138 hlm; 13x19 cm (70 puisi)
ISBN:
978-602-7693-10-4
Penyunting:
Gunawan Budi Susanto
Desain
Sampul: Muhammad Hidayatullah
Produser:
Adi Susanto
Tata
Letak: Ahmad Ghossen A
Prolog:
Dr. Suwardi Endraswara M. Hum
Epilog:
KH. Budi Harjono
Laman:
http://www.usmanarrumy.com/
“aku mencintaimu/seperti tanah menjamah jasad di liang lahat/setulus angin yang menjadi nafasmu”
(Petikan sajak Rindu Qudus, Usman Arrumy)
Beberapa pilihan puisi Usman
Arrumy dalam Mantra
Asmara
Kwatrin
Tsuroysme
Selain puisi,
adakah jalan untuk menujumu?
Aku mengandaikan
kau sebagai kertas putih,
yang berkenan
menampung katakata sedih
sebab aku
percaya betapa kaulah kekasih
di hadapanmu
yang sentosa,
seluruh kataku
moksa,
sefana dunia
seisinya
bagaimana
kutulis kau, Cinta
sedang tatapanmu
lebih puisi,
ketimbang
berlaksa sang pencipta aksara
Puisi adalah
satu-satunya kendaraan,
yang mau
mengantarkan kesedihan mencapai kenangan
menuju jauh ke
dalam dirimu, berpaling dari masa depan
di banding
Pujangga terkenal
tatap matamu
lebih kekal
nyatanya detakku
fasih menyebutmu tanpa sesal
sembari
mengembarai semesta,
aku mencari kata
paling luka
untuk
kusampaikan kepadamu wahai sengsara
Selain puisi,
adakah yang lebih kenangan?
aku menghayalkan
jadi kata yang terselip di sela kalimatmu
di antara larik
lirik di balik bilik yang kaulafalkan dengan rindu
aku akan tumbuh
sepenuh yang tak bisa direngkuh
aku akan
mengembara sejauh yang tak bisa ditempuh
Sabda
Cinta
Kelak,
Tuhan akan menyentuh keseluruhanmu melalui tanganku
memasrahkan
penglihatanmu di sepasang mataku
jika kau
mendengarkan lewat gendang telingaku
indra
perasamu bergantung dengan lidahku
bibirku
sebagai pengendali senyummu
hidungku
mengemban endus aromamu
dadaku
menjadi ruang menampung rahasiamu
dan
hatiku adalah tempat terbaik untuk menuju
Kau air dari
hujanku
aku cahaya dari
purnamamu
kau ombak dalam
lautku
aku bara dalam
apimu
kau dan aku
adalah esa;
Cinta yang
bergema
Kelak,
Tuhan akan membayang di setiap bagian dari dirimu
membiarkanku
berlutut menghayati liuk lekuk lakumu
pengembaraanku
mengandung jejakmu
dan diammu
menyimpan gerakku
airmataku
sumber dari mataairmu
getaranmu pangkal dari kegetiranku
rohmu bermukim dalam tubuhku
jiwaku semayam dalam badanmu
getaranmu pangkal dari kegetiranku
rohmu bermukim dalam tubuhku
jiwaku semayam dalam badanmu
kau
bunyi dari suaraku
aku
arti dalam maknamu
kau
berdetak di jantungku
aku
berdenyut di nadimu
kau
dan aku adalah tunggal:
Cinta
yang kekal
Dan
kelak, ketika cinta bersabda
kau
dan aku tak ada bedanya
sebab kita terlahir dari takdir yang sama
sebab kita terlahir dari takdir yang sama
kau
isi dari kosongku
aku
penuh oleh adamu
kau
esa dalam diriku
aku
tunggal dalam dirimu
Seruling
Dari
rumpun bambu tempatku bermukim dulu
kusampaikan
dendamku melalui ratapan pilu
setelah
tubuhku ditebas, kulitku dikerati
jiwaku
dibakar api, dan tubuhku dilubangi
Sesungguhnya
aku telah lama menanggung rindu
setelah
sekian waktu pisah dengan kampung halamanku
betapa
maklum jika kepadamu aku mendamba,
sudi
memanggil udara untuk menuturkan kidung duka
sebab
cuma dengan itu kau bisa tahu alangkah sedih
sukma
yang tersisih, begitu pedih jauh dari Kekasih
Sekali
kau tiup aku meliuk tumbuh jadi irama
menghimpun
diri sebagai nada renjana-dukana
bunyiku
lebih luwes ketimbang pinggul pesinden
lebih
lentur dibanding kengiluan petani gagal panen
Kini,
dihadapanmu, kupasrahkan keseluruhanku
agar
bibirmu bebas memagutku, jemarimu leluasa menjamahku
biar
ia yang mendengar nuraninya tergetar, jantungnya berdebar
Aku
muncul sebagai musik, mungkin lirih berbisik
semata
agar kau tak terusik, agar kau tak lagi merasa bergidik
Dengan
jiwa yang kepayang aku mencari sumber angin
sembari
menghalau rasa ingin, aku menggeliat dalam refrein
Dari
rumpun bambu tempatku berasal
akan
kukisahkan cinta yang tak terlafal
bersenandung
kepada kau yang berkabung
melengkung
jauh ke dalam jiwa-jiwa suwung
Meski
tak kau hirau, aku tabah menyimpan risau
setelah
aku merantau jauh ke ribuan pulau
sebab
desir angin yang menjadi nafasmu
mungkin
juga sempat menjadi bagian dari diriku
O,
Kekasih, jumpai aku di tanah kelahiranku
di
sana akan kautemu nutfah yang kuwariskan kepadamu
sebab
aku sudah tak bisa kembali, aku mesti mengembara
menyapa
para pecinta dengan tembang nestapa
Jika
suatu waktu, aku mengalun masuk ke gendang telingamu
kuharap
kau tak lupa bahwa gema-gendingnya bermuara darimu
Demi
kau yang dadanya tersungkur karena ricau sangkur
aku
rela cerai dari indukku untuk menjelma sebagai pelipur
Aku
akan melayang, memanggul kenanganku
wajahmu
membayang, di tengah lagu-senduku
Diam
dan dengarkan, Kekasih, aku akan bersiul
demi
menyampaikan suara batinku yang masygul
Silence
of Amour
Dengan menyebut
nama Sang Pengendali Kalbu
aku bertekad
mengusung semua rindu ke masa lalu
--- goa sunyi
tempat kenanganmu khusuk bertapa
juga di hatimu,
Modric Cha. Muara dari renjana-loka
Demi bisa diam
aku akan berguru kepada bongkah batu
yang selalu
teguh tak mengadu setiap ditikam badai-deru
Agar mampu setia
aku akan mengaji kepada desir udara
yang tak letih
mengembara ke huma hingga rimba-rawa
Begitu Titah
Nirmala yang kau lepas dari nuranimu sampai ke batinku
seketika
syahwatku melayang, jauh. tertepis oleh rinduku padamu
Dan ketika
hasrat-birahi merumrum benakku untuk mengkhayalkanmu
aku berjihad
menjinakkan Asmara-Tantra yang berdebum merasukiku
Kau membuatku
percaya betapa cinta adalah bagian dari keyakinan
: bagian yang
terpendam begitu dalam, rahasia yang luput oleh pandangan
--- di sukmaku,
Kekasih. ruang bersemayam cintaku, juga keimanan
di sanalah
kesedihanku bangkit menghayati hakekat kehampaan
Basuhlah puisiku
dengan sisa tangismu agar ia menemukan nasibnya
sebab hendak
kemana lagi katakataku mesti mencari sumber airmata
Senyummu yang
bersahaja dulu masih terus menggeliat dari ingatanku
bagaimana bisa
lupa jika mimpiku pun meratapi kenanganku akanmu
Untuk
memperjuangkan kesunyian, aku memahami sorot matamu
manik cahaya
tembus pandang yang tak sanggup dihalau debu-kelabu
Aku merunduk di
haribaanmu, berserah diri sebagai manifestasi cintaku
ampuni aku
manakala tak bisa perkasa menyambut perpisahan itu
Solitude
Fajar selalu
hadir dengan sabar
Dan cahaya
berpendar tanpa ingkar
Kamar ini tak
henti menuangkan sunyi
Dimana rindu
menyuguhkan kesamaran makna puisi
Atau gema cecap
paling pahit dari secangkir kopi:
Di sinilah
kesendirianku dibasuh embun pagi hari
Kerdip matamu
serupa kerjap bintang paling remang
Meski, kutahu,
betapapun singkat, pandangmu mesti kuingat
Dongeng Asmara
telah berulangkali kubaca
tapi tak ada
yang lebih sederhana dari kisah kita
Mungkin, esok
pagi, akan kusampaikan bahwa:
"Cinta
adalah perjuangan untuk menjadi kita’’
Masuklah ke
sunyi, agar kau tahu betapapun lesi
Hatiku tetap
jadi hunian terbaik untuk kautempati
Zifza
Demi lengkung
langit tempat Tuhan memelihara gemintang
aku menujumu melalui
lorong lengang dan rentang kenang
dimana rindu
menghubungkanku ke bagian terjauh dalam dirimu
mencari tempat
berkholwat, menghayati keperihan sebagai kamu
Airmata adalah
kereta yang mengantarkanku sampai kepadamu
gerbong yang
mengangkut katakataku, mengusung segala pilu
melaju melintasi
relung rel yang menjurus ke ruang terdalam dari dirimu
tak akan henti,
Cintaku, tak akan. Sebelum tiba ini keretaku
Berbaringlah dan
izinkan aku membelai rambutmu yang tergerai
akan kubisikkan
kepadamu serunai kisah yang berkelok bagai sungai
atau menangislah
semaumu sampai sembilu lenyap ke dalam rindu
dan biarkan aku
menjadi orang terakhir yang menyeka luh-mu itu
Demi luas laut
tempat Tuhan merawat ombak dan gelombang
aku menempuh
samudra ke arahmu dengan layar terpasang
dan di antara
kita ada riwayat yang musti senantiasa kuingat
sebab
melupakanmu sesaat adalah keperihan hakekat
Fosforisma
I
Semula huruf itu bermetafor serupa pendar fosfor
Semula huruf itu bermetafor serupa pendar fosfor
manakala
atmosfer memercikkan nyala meteor
sebab mereka tahu bahwa dirinya perlu menjadi kata
yang mampu beri penghayatan murni kepada Cinta
II
Dan kata mulanya adalah satu titik yang, lalu berbiak
jika mata pena beranjak bergerak menuju jarak
mungkin berulangkali akan jadi bahasa
sebab mereka tahu bahwa dirinya perlu menjadi kata
yang mampu beri penghayatan murni kepada Cinta
II
Dan kata mulanya adalah satu titik yang, lalu berbiak
jika mata pena beranjak bergerak menuju jarak
mungkin berulangkali akan jadi bahasa
atau jadi majas
tempat bersuara sintaksis-frasa
III
Lalu kepada kakawin, mereka mendamba masuk ke dalam batin
melingkar bagai cincin, serutin auksin menumbuhkan beringin
Asal kau tahu,
rahasia itu lebih luas ketimbang kesepian
lebih gaib
tinimbang kebangkitan nisan, lebih bebas dari hujan
IV
Barangkali
setiap yang tertera di dalam diri mereka,
merindukan
sentuhan lembut sang asmaraloka
setelah sekian
lama cuma bertapa di gulita gua;
menjadi tanda
baca bagi rima dan hiperbola
V
Hati adalah
tempat terbaik bagi kehadiran diri
meresap ke
segenap yang sunyi,
dari zaman
paling purba mereka khusuk samadi
menghampar dalam
sunya-ruri
VI
kadang mereka
menghayalkan berbaring dalam kamus
dimana sebagian
dirinya tak tertampung oleh hukum-rumus
agar seorang
penyair bebas menafsir secara utuh
merubah yang rubuh
dari punah ke penuh
VII
mungkin mereka
mengharap lesap ke dalam hening
menjelang ke
ruang kenang, sesantun embun bening
menghasratkan
lidah penyair melepas sebuah nama
tentang puisi
yang tak usai diurai pada cinta pertama
VIII
Dan seluruh kata
akan kembali kepada cinta
setelah
mengembara dari fana ke baka
sebagian
mengendap lalu ambyar sewaktu kala
menunggu sampai
semesta tak berdaya
IX
Inilah Sembilan
bait puisi yang ditulis penyair kampungan
sebuah
perjalanan dari kenangan menuju harapan
sembari nyeduh
kopi dan nyesep samsu dengan pipa stigi
hurufhuruf itu
dikutuk menjadi puisi
Titah
Cinta
Cinta menitahkan
aku jadi kata
untuk
menyampaikan kau sebagai rahasia
meski tak kutahu
kalimat apa yang pantas mewakili
tapi hanya
kepada kau aku rela menggigil dalam puisi:
aku buku yang
tak mau menerima apaapa selain namamu
setiap hura jadi
haru, ketika hariku kosong tanpa hurufmu
aku waktu yang
berdetik siasia kecuali kau bisa peka
seluruh laku
jadi luka, bila kausua aku penuh prasangka
aku lilin yang
melumer andai kau memintaku menghalau gelap
mengabdi kepada
api, membayang sekejap lalu penyap
aku arwah yang
melayang misalkan kau mengusirku dari tubuhmu
sepi jadi tempat
menunggu, sejak kau membiarkanku digendam rindu
aku kemarau yang
selalu mengerang selagi kau segan jadi hujan
membisikkan
harap kepada awan, memanggilmu dengan sisa getaran
: Kekhawatiran
menjadi puncak dari zikirku
pemuja yang tak
jemu menunduk di hadapanmu
jangan lagi kau
tuntut aku termangu mengawasi parasmu
aku tak mahir
menafsir senyum yang menggelincir di bibirmu
Tenanglah,
sehening ruang tanpa gema
akan kuresapkan
cahaya ke dalam pena
demi kau bisa
kutulis sebagai cinta seutuhnya
agar kelak bisa
dibaca seusai masa kita
Dendam
Kamasutra
Ketika aku
mengembara mengarungi benua
Aku jadi sederet
aksara yang kaueja sebagai Durma
Dalam sadarku
kau menjadi caraka bumantara
Dalam mimpiku
kau menjadi bahureksa jendera
Dalam cemasku
kau menjadi penyatu cempera
Dalam harapku
kau menjadi cakra para batara
Dalam tangisku
kau menjadi pembasuh pleura
Dalam tawaku kau
menjadi apsara dikara-leka
Dalam sedihku
kau menjadi pemandu abiseka
Dalam bahagiaku
kau menjadi dewi adikara
Manakala kau
berdesir masuk ke lingkar sangkala
Kau jadi suku
kata yang kubaca sebagai Gita-Girissa
Pada hasratku
kau menjelma Asmara Nala
Pada syahwatku
kau menjelma Asmara Tura
Pada birahiku
kau menjelma Asmara Turida
Pada gairahku
kau menjelma Asmara Gama
Pada tresnaku
kau menjelma Asmara Dana
Pada berantaku
kau menjelma Asmara Tantra
Pada gandrungku
kau menjelma Asmara Kama
Pada kasmaranku
kau menjelma Asmara Loka
Kangenku makin
membara ketika jarak merembaka
Detak Cinta
Demi sanggup
menghayati bola matamu
Kurelakan diriku
termangu memandang kerjap bintang
Berpendar terang
dalam manikmu yang menerawang
Agar mampu menjiwai
gerak tubuhmu
Menghela tiap
helai hembusan yang halus bergulir
Supaya dapat
memaknai isyarat suara hatimu
Kutekadkan
diriku diam sebagai rahasia abadi dalam puisi
Mengungkap kata
yang mengutip kitab suci
Biar bisa
merasai utuh cintamu
Kuteguhkan
diriku dalam kesengsaraan mutlak
Ketika jarak
cuma bikin retak seluruh yang berdetak
Asmara
Loka
Mungkin, suatu waktu
Tuhan akan mengelus wajahku
melalui tanganmu
Tuhan akan menulis namaku
menggunakan jemarimu
Tuhan akan menggandeng
lenganku memakai tanganmu
Tuhan ada di gelapku
Ketika kau padamkan lampumu
Tuhan ada di terangku
Ketika kau nyalakan cahayamu
Dan barangkali, suatu hari
nanti
Tuhan akan melangkah menujuku
melalui kakimu
Tuhan akan tersenyum kepadaku
lewat bibirmu
Tuhan akan menatap mataku
melalui matamu
Tuhan ada di tidurku
Ketika kau bersama lelapku
Tuhan ada di sadarku
Ketika kau terjaga untukku
Tuhan ada di isiku
Ketika kau memasuki kosongku
Aku jadi berharap bahwa kelak,
entah kapan
Tuhan akan mencintaiku melalui
hatimu
Fatwa
Cinta
Ia memilihku
menjadi sunyi yang berderet di celah hurufmu
Dititahkan aku
sebagai doa yang melayang jauh membawa takdirmu
Ia memilihku
menjadi hening yang teruntai di sela aksaramu
Ditugaskan aku
sebagai mantra yang memanggul seluruh nasibmu
Ia memilihku
menjadi sepi yang menjulur ke setiap inci abjadmu
Diperintahkan
aku sebagai harapan yang memandu cita-citamu
Ia memilihku
menjadi makna yang mendekam di balik katamu
Diamanatkan aku
sebagai puisi untuk mengelus kegelisahanmu
Ia memilihku
menjadi jarak yang membuka jalan rindumu
Dibebankan aku
sebagai kenangan untuk memelihara dendammu
Ia memilihku
menjadi rahasia yang mendengung dalam cintamu
Diutuskan aku
sebagai duta demi menyampaikan suara batinmu
Ia memilihku
menjadi jantung ruang tempat imanmu menggeliat
Diserahkan
jiwamu kepadaku agar dapat kurawat sesuntuk hayat
Ia berfatwa
kalau kau adalah hadiah terbaik dalam hidupku
Disatukan kau
dan aku setelah sekian ribu waktu saling tunggu
Kau sepasang bola mata
Dan aku air
terendam di dalamnya
Genderang
Gendam
Malam menjalar
ke lubuk fajar
cahaya berpendar
tak reda pudar
dan gairah
berantaku bangkit menjamah langit
seperti bulan
sabit nyembul dari balik bukit
aku masuk dari
pelupuk menuju tulang rusuk
meliuk ke
kalbumu—induk dari semua yang merajuk
sumbumu menyala
sekali kupercikkan cahaya
matamu membara
begitu kuwiridkan seloka
Merekahlah,
merekah. Kau penuh gairah
kelopak kesuma
di selaput lembah
aku akan hadir
bagai angin berdesir
tak akan lingsir
hanya karena dicibir
Kuucap jampi
kesumatku rohmu berputar-giling
kuhentakkan
kakiku ke bumi sanubarimu terjaring
kusembur kembang
tuju rupa ke angkasa gonjang-ganjing
menggeliatlah
jiwamu terpelanting ke bagian paling asing
Begitu
kulafalkan namamu dalam mantraku
jantungmu
berdenyutan menanggung rindu
sekali
kurapalkan namamu tiga kali
batinmu tergugah
menahan birahi
Tubuhmu
bergeliut tertenung ajian asmara wengi
kubisikkan teluh
asmaradana menyusup ke urat nadi
mataku berjaga
sesuntuk malam demi membuatmu gandrung
kuhasut sukmamu
menggigil kalang-kabut dirundung gayung
Aku merapal
mantra gendam dalam genderang dendam
kuanyam gurindam
merontalah hatimu remuk-redam
kau terguna-guna
dan hanya kepadaku kau bisa mengidam
Senja
di Montaza
Senja di Montaza
Kutemukan kau di
antara guguran cahaya
Seperti
kunang-kunang membakar kenanganku
Melampaui
rentang jarak dan gema waktu
Ombak yang
berdeburan di pesisir Mediterania itu
Mengingatkanku
pada rintihanmu ketika mengucap namaku
Gelombang yang
terus lembut menikam benteng zaman dulu
Seperti suara
rindu yang selalu gagal kusampaikan padamu
Kutemukan kau
dalam kepasrahan bongkah batu
Khusyuk bertapa,
seperti menunggu kehadiranku
Di pinggir laut
dengan angin yang menderu
Kutemukan
senyummu menguasai kesepianku
Senja di Montaza
Wajahmu
membayang jauh di antara pekik camar di atas laut
Melengkung
laiknya pelangi, berkelabat dalam gugus kabut
Kutemukan cinta
pada pulau yang berbaring risau
Daratan yang
menghubungkan antara aku dan kau
Ombak seperti
mau memandu zikir kepasrahanku
Bongkah batu
seperti mau membimbing wirid khouf-roja’ku
Hari hampir
masuk malam
Gema peluit
petugas bersahutan
Senja di
Montaza, kutemukan kau
Pada sesuatu
yang tak terjangkau
Rubaiyat
Embun terberai
begitu santun
setekun rekah
merona pada bunga di kebun
adakah angin
pagi yang menujumu membisikkan sesuatu,
tentang perasaan
masygul yang kusebut masa lalu?
Sembari
menjinjing tempayan berisi surat rindu ke arahmu
kubasuh raut
mukaku dengan sisa luh yang terendam di dadamu
atas dasar kegelisahan
kusampaikan pesan rahasia ini:
sederet kisah
yang berderit— yang tak terangkum sunyi
Rona hitam
menyulam diri sebagai malam
kelam geram
menghalau cahaya bulan
Di hatimu yang
menyimpan perihal kenangan
adakah sekelabat
tentangku pada yang kubilang silam?
Aku menujumu
melalui airmata,
yang tiap
tetesnya menjadi dawat menulis nama
sebuah puisi
sebagai suluk paling bersahaja,
untuk
menyampaikan pesan ringkas ini, Cinta
Di jantungmu
yang menampung seluruh senandung
adakah denyutku
berkidung di sela terang-mendung?
di sepanjang
tarih ini mungkin sekali saat kita akan menemu letih
membaca sebaris
perih sembari mendamba segera kembali pulih
Rindu
Qudus
Demi paru-paru yang memuat seluruh rindu
aku mengalir di dalam waktu - bergulir sehening batu
aku bergerak nuju jarak - ruang istirah untuk nulis sajak
di hatimu, seluruh damba
aku mengalir di dalam waktu - bergulir sehening batu
aku bergerak nuju jarak - ruang istirah untuk nulis sajak
di hatimu, seluruh damba
rusuk rinduku yang selalu kupeluk bila dirimu tiada
di jantungmu, seluruh denyut
di jantungmu, seluruh denyut
di situ aku berdegup, mengharap dirimu segera kuncup
kubebaskan diriku mengembara di dalam renungmu
kubebaskan diriku mengembara di dalam renungmu
ketika anganku
mengabadikanmu, merenda harap
kubiarkan diriku khusuk bertapa dalam lamunmu
mendamba kau eja
sebagai katakata yang meratap
di kota itu, Kediri, mula aku mengenal biru matamu
kubisikkan cinta paling mawar terhadap hidupmu
seperti kali terakhir kau-aku temu --kini aku masih tersedu
dan gema cinta senantiasa bergaung di situ
Aku bersimpuh di dalam dirimu yang menolak retak
sepasrah geliat tanah liat; mendamba rindu berbiak
aku mencintaimu
seperti tanah menjamah jasad di liang lahat
setulus angin yang menjadi nafasmu
di kota itu, Kediri, mula aku mengenal biru matamu
kubisikkan cinta paling mawar terhadap hidupmu
seperti kali terakhir kau-aku temu --kini aku masih tersedu
dan gema cinta senantiasa bergaung di situ
Aku bersimpuh di dalam dirimu yang menolak retak
sepasrah geliat tanah liat; mendamba rindu berbiak
aku mencintaimu
seperti tanah menjamah jasad di liang lahat
setulus angin yang menjadi nafasmu
Kwatrin
Strainme
Pada
baris pertama dari sajakku
namamu
terguris di situ
berdiam
diri dari kekhusukan samadi
demi
melalui dunia fana ini
dan
katakata yang suaka dalam dirimu
saling
silang di ingatanku
menjadi
jazirah yang ingin selalu kusua
dimana
seluruh bahasa bersuluh cahaya
Kelak,
jika huruf demi huruf menggurit namaku di nisan
kuharap
kauziarahi sajakku yang tinggal kenangan
sebab
saat itu kau akan tahu bahwa katakataku dulu,
sesungguhnya
bersumber dari degup jantungmu
Pada
larik terakhir dari sajakku
namamu
membiru di ujung penaku
setiap
kata meronta meminta jadi juita
setelah
sekian masa dikutuk hidup melata
kuajak
kau memasuki sepi
lengkung
ruang berhuni segala yang tersembunyi
menghayati
mendung yang tak kunjung rampung:
sebaris
hujan urung bersenandung
di
sungai yang keloknya menjurus kepadamu
di
sanalah pelayaranku berhulu
dan
kubiar diriku lesap ke dalam luka
untuk
bekal sajakku pergi ke persemaian baka
Tentang Usman
Arrumy
Usman Arrumy lahir di lingkungan
Pesantren Jogoloyo Demak, pada 6 February 1990 M atau 10 Rojab 1410 H. Anak ke
Tiga dari Delapan bersaudara. Antologi puisi bersama: Jadzab (antologi puisi lintas pesantren). Adapun bukunya: Nyanyian
Sunyi (puisi), Senandung Lagu Cinta
(prosa), Kelana Bertasbih (puisi,
2008), Qutub Cinta (puisi, 2011). Dua
buku pertama banyak mendapat pengaruh dari Kahlil Gibran. Saat ini menempuh
pendidikan di universitas al-azhar, kairo, mesir.
Catatan Lain
Candra Malik, Baequni Mohammad Hariri, Habib Anis Sholeh Ba'asyin,
menyumbang komentar di buku ini. Tapi yang ingin saya kutip (dan saya amini) adalah
komentar KH. Husein
Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren di Cirebon : “Usai membaca kumpulan puisi Usman Arrumy ini saya menemukan
Jalal al-Din Rumi, Hafizh, al-Jami dan Sanai dalam Diwan-diwan mereka. Para
Begawan dan sufi penyair itu bercerita tentang misteri manusia yang tak pernah
henti dan selesai mencari diri dalam ruang dan waktunya masing-masing. Ia
adalah cinta, karena cinta adalah hasrat mencari kegembiraan dan keindahan bagi
diri. Penulis adalah santri, dan saya selalu berharap banyak santri yang tekun
seperti dia; menulis puisi dan sastra profetik yang manis dan menggerakkan.”
Kalau saya sendiri, mungkin hanya
ingin berkata, bahwa ini adalah salah satu kumpulan puisi bertema cinta terkuat
yang pernah saya baca. Kalau kita baca riwayat hidup penyair, ia memiliki 25
buku karangan kahlil Gibran dan dengan bekal itu lahirlah buku puisinya yang
pertama.
salam hangat dari kami ijin menyimak dari kami pengrajin jaket kulit
BalasHapusSedang menyimak alunan puisi, terpampang di situ
BalasHapusMenilik ungkapan cinta para sufi, meski dengan malu-malu
Matur Suwun :)
HapusDi negiri Indonesia,, engkau penyair yg datang atas nama cinta..
BalasHapusTerus berkarya kawan.. Dengan cinta engkau lahirkan arti perbedaan..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKeren-keren banget puisinya, Mas. Izin membacakan yaa 😊
BalasHapusluar biasa puisi2 ini.
BalasHapusmendayu dayu hati ini tatkala menikmati baris demi baris..
dan saya pun jatuh cinta
Pingin belajar bikin puisi kaleh jenengan Gus
BalasHapus