Data
buku kumpulan puisi
Judul : Pelabuhan
Penulis : Lazuardi
Anwar
Penerbit : Nusa
Indah, Ende – Flores
Percetakan : Arnoldus
Cetakan : I, 1980
Tebal : 51
halaman (45 puisi)
NI : 831805
“Buat isteriku sartini
dan enam wajah menari
dan menari
tiap hari”
(Halaman persembahan Pelabuhan, Lazuardi Anwar)
Beberapa pilihan puisi Lazuardi Anwar dalam Pelabuhan
Kota Kecil
Kota
kecil
dipukul
ombak
tenang
menatap
samudera.
Kota
kecil di pantai barat
dipukul
ombak zaman ke zaman
camar
bermain di lidah senja
tenang
menatap samudera.
Kota
kecil kota tertinggal
lama
sudah tidak memberita
adalah
pariaman
adalah
kotaku sayang tanah kelahiran.
Kota
kecil
dipukul
ombak
tenang
menatap
tenang
mengharap.
1964
Gemuruh
Gemuruh
saat kapal buang sauh
gemuruh
saat kapal angkat sauh
gemuruh
malam
gemuruh
bulan.
Menatap
malam berkabut
terpangku
bulan sayup
gemuruh
terhempas ke pintu
daun-daunnya
pun berkepingan.
Kapal
buang sauh kapal angkat sauh
bulan
sayup malam berkabut
menggemuruh
langit jauh
meremas
ujung jari sendiri.
Angin
pun tak singgah
di
langit menggemuruh
di
wajah kehabisan api
di
wajah kehilangan arti.
1964
Malam di Pelabuhan Tinggal
Ombak
kecil menggelitik kaki dermaga
laut
hitam
pantai
hitam
malam-malam.
Deru
sepinya sendiri
pelabuhan
kecil lama tertinggal
rindu
pada kapal-kapal
buang
sauh.
Laut
hitam
pantai
hitam
pelabuhan
rindukan kapal-kapal
merapat
di dermaga
1965
Nelayan Pantai Barat
Bukit
curam
bukit
batu menggeliat dipanggang hari
pecah-pecah
ombak bersimpuh di lututnya
matahari
terjun ke balik batu karang.
Senja
di pantai barat
nelayan
bergegas berkayuh pulang
nganga
harap yang hampa
tawar
laut air ludahnya.
Musim-musim
berdatangan
derai
puting beliung di pusar laut
terkulai
menatap laut busa hidup
cadar
bias berlumur kelabu
Nelayan
pantai barat
jemari
hari memilin-milin kehidupan
ke
laut, bintang pagi belum berangkat tidur
ke
darat, matahari terjun ke balik batu karang.
Bukit
batu menggeliat sepanjang pantai
derai
puting beliung di pusar laut
nelayan
pantai barat
cadar
bias berlumur kelabu
1970
Sebuah Titik
Sebuah titik pada sebuah kalimat bagai halte di
terminal yang dibangun dengan tunai berjuta-juta
keringat rakyat melalui pos-pos pajak-pajak
pembajakan terus-menerus.
Sebuah titik pada sebuah kalimat menahan dengus yang
tercecer di jalan berlubang di kesibukan lalu lintas
kenderaan tanpa arah
tanpa singgah.
Sebuah titik pada sebuah kalimat menegunkan khianat
pada suami yang meninggalkan rumah
berbulan madu sendiri di tangkai layu
di tangkai penuh debu.
Sebuah titik pada sebuah kalimat bukan berhenti di sini
cuma istirahat di bungalow-bungalow
sebelum pagi
kemudian mandi basah kuyup.
Sebuah titik pada sebuah kalimat menebak batinku
tidak berhenti di sini
sebelum menembus
ujung sayup.
Sebuah titik pada sebuah kalimat belum lagi usai
kesia-siaan masih terbengkelai
di rumah yang beratap
tertembus titik hujan.
Sebuah titik pada sebuah kalimat tidak berarti apa-apa
bagi yang tidak tahu arti titik secara utuh
hanya bernilai kosong di pikiran lompong
bolong-bolong.
1978
Indonesiaku
Indonesiaku manis
ini salam hangat dari
hari-hariku yang rawan
tersentuh embun pagi.
Menekur gundahku dalam
wahai indonesiaku manis
siung angin singgah di tiang pencalang
menyingkirkan puting-puting.
Bukit-bukit tersiram matahari
lembah mencelak di tangkai daun
menggelitinglah wahai
indonesiaku manis
Cakram menikam ke lembah dalam
tubuh yang telanjang
gemetarlah wahai
indonesiaku manis.
Hari-hariku yang rawan
tersentuh embun pagi
bergetar di ujung jari pemain gitar
menggugah lagu indonesiaku yang sinis.
1977
Melaka Diremas Sepi
Melaka diremas sepi
angin lembut langkah hang tuah dekat perigi
datanglah ke mari
bersenda dengan puisi.
Benteng portugis menatap ke selat
berwajah cemberut
meneteskan air mata
dalam bahnya melaka.
Bintang kejut dari langit
tidak terkejut bumi peringgit
lautmu yang asin melaka
di tenggorokan mau bersin.
Melaka diremas sepi
diremas keinginan sendiri
laut berombak di bibir selat
mengukuhkan diri bersahabat.
1977
Kucubit Pipi Kuala Lumpur
Ada dengus dari kubur
dalam tanur matahari yang
semakin meninggi
kucubit pipi kuala lumpur.
Kalau di sini ada sahabat
kupeluk jari-jarinya erat
firdaus, kemala dan baha dalam tebat
kami lahap ketupat demi ketupat
Angin puyeng di tekad bukit
mencurah ke lembah jaya
pemukiman dalam kelam
rumah haram, tanah haram, kata orang.
Kucubit pipimu kuala lumpur
di kelanggengan suara guruh
keasingan yang tidak pernah asing
menyedot napas pabrik di petaling.
1977
Singapura
Sebuah kota sedang melalap bangganya sendiri
di puncak selang seling kenderaan bergisir
sepi telah lama mati
ketika kita saling mendekati.
Tiada lagi desah berdenyit di sini
kehidupan diburu hari-hari bergetah
keringat menunggu
dentang lonceng di gardu.
Ketika aku menatap
engkau pun berkata:
pabila saudara datang
tiada lagi musim kembang.
Engkau pun mengipas-ngipaskan bangga
di dekatku, betapa sunyi persahabatan
sebuah puisi kuserahkan
kau terima juga tanpa sahutan.
Sebuah kota dilalap bangga
benderang warna bersela keluh
dan kapal pun mengangkat sauh
selamat tinggal.
1977
Dalam Bayang
Dalam bayang
luka riang
riak laut danau
meramu ke dalam.
Angin sore menampar-nampar pipi
aihh, apakah engkau gadis yang kucari
ombak danau dalam riak
semakin dekat sudah itu membentak.
Luruskan pandang
atau remaskan ujung rambut ke lekuk ombak
dan sampan pun kehilangan pengayuh
kikuk dipagut angin subuh.
Dalam bayang
luka riang
riak laut danau
meramu ke dalam
1972
Lahir Sesudah Itu Apa
Memberat janin di sela-sela usus
lahir
bernapas
sesudah itu apa.
Apa yang bisa dicatat
berakhir
terlepas
tiada lagi.
Kembali
ya, pulang
ke genggaman
diam.
Semua seperti hari ini
bergumpal
kristal
runtuh ke bumi.
Semua seperti hari ini
dengus perempuan pecah ketuban
ea lantang sebuah pernyataan
wajibkah itu dicatat
Lahir bernapas
berakhir terlepas
kembali ya pulang
ke genggaman
1973
Tentang Diri
Tentang diri
berapa harganya di pasar loak
segumpal dahak
diludahkan
1978
Sejarah
Telah kau simbah halaman ini
daun-daun terkulai menanti desau
lenguh angin yang mengelopak
tanpa arah.
Telah kau simbah halaman ini
di malam bergetar
di titik didih
yang melempasing.
Telah kau simbah halaman ini
telah kau kuik
catatan yang tercabik
tidak akan menabik
Telah kau simbah halaman ini
halaman sejarah yang terburai
di lantai
tidak ada mengetuk pintu
1978
Raksasa Bertangan Lembut
Darah beku menggumpal
tetes demi tetesan
cucur peluh di keringat waktu
kandungan saat-saat.
Di lubuk cintaku paling dalam
angin tidak lagi menguber ke matahari
kalau ada pasang, anakku
tidak berpaut di bundar bulan.
Menggeliat dalam rahim atas rahman buah rahmat
kasihku raksasa bertangan lembut
di lumbung-lumbung bermata air
bersumber mata hati.
Kasihku adalah
raksasa bertangan lembut
tidak menguber ke matahari
menguber binar cintaku.
1976
Adalah Kita
Adalah kita
adalah kita
aku
engkau dan semua.
Adalah kita membelai ketinggian matahari
adalah kita menjenguk keterbanan laut
adalah kita menembus dinding batu
dengan ujung mata berpeluru.
Adalah kita memutar balikkan
segala ini
sungai-sungai memutar ke hulu
bermuara tidak ke laut, tidak perlu pelabuhan.
Aku, engkau dan semua berdiri
di semua simpang perjalanan hari
matahari harus menekurkan wajah
bulan-bulan membelalakkan biji mata.
Adalah kita pemegang knop penjuru angin
ke timur, barat, utara, selatan
ke timur laut, barat laut, tenggara, barat daya
dan kita akhirnya pun terperdaya.
Adalah kita
adalah kita
aku
engkau dan semua
1972
Tentang
Lazuardi Anwar
Lazuardi Anwar, lahir di desa
pantai Pauh Pariaman, Sumatera Barat, 12 april 1941. Mulai berkecimpung di
dunia sastra sekitar tahun 60-an. Profesi wartawan , penulis di berbagai surat
kabar terbitan Medan dan Jakarta. Antologi puisi yang memuat puisinya antara
lain: Terminal (1971), Kristal (1974), Kuala (1975), Puisi
(1977), Medan Tamasya di Sumatera Utara
(1976, puisi anak). Sekretaris Dewan Kesenian Medan periode kedua tahun
1975-1978. Puisinya juga dimuat di berbagai media cetak antara lain: Majalah
Horison, Majalah Basis, Dewan Sastra (Kuala Lumpur).
Catatan lain
Buku ini, jika diperhatikan, puisi-puisinya
disusun secara kronologis. Namun hanya tahun saja yang ditampilkan, dimulai
tahun 1962 dan terakhir tahun 1978. Daftar isi ada di bagian belakang. Biodata
dan foto penyair ada di sampul belakang. Tak ada pengantar. Tak ada puisi yang berjudul Pelabuhan, seperti judul buku kumpulan
ini. Tapi ada puisi yang memuat kata pelabuhan, yaitu Malam di Pelabuhan Tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar