Minggu, 02 November 2014

TS Pinang: SUBURBIA




Data buku kumpulan puisi

Judul: Suburbia
Penulis: TS Pinang
Penerbit: TITIKNOL Project
Publikasi: 1,2011
Tebal: 24 Halaman (21 puisi)
Format buku : pdf

Beberapa pilihan puisi TS Pinang dalam Suburbia

Mistika Urbana

kami berjamaah di warung-warung kopi, di sudut-sudut layar
browser, mengaji ayat-ayat yang jatuh begitu saja dari ujung-ujung
jemari. di jalanan, wajah-wajah memancarkan elektron, kaki-kaki
bergegas secepat sms dan sinar pencerahan dari mesin pencari. kami
ingin mencari nama, mencari uang, mencari suaka dari fatwa-fatwa
ulama. kami berkelana di warung-warung koneksi, di antena-antena
jaring-jaring gelombang tinggi, di mana kata dan gambar kami saling
berpapas tanpa tubuh dan nafas. kami memecah raga dan jiwa kami
berlaksa berjuta kali, datang dan pergi sejauh ai-pi. kami menemukan
diri kami sendiri, terserak di sengkarut alam bayang pita-pita
frekuensi.

kami bersuci dari debu mikro asap solar bus kota dan noda timbal,
dengan air hujan penuh limbah mineral. zikir kami nama-nama
penghibur terkini, tasbih-tasbih digital di mana kami ungkapkan
ketelanjangan kami. tetabuhan dengan ketukan kian cepat
mengiringi ekstasi kami, dan kegelapan tak lagi menakutkan. jantungjantung
kami membuka, menghisap bergiga-giga bit data dari langitlangit,
dari kabel-kabel, dari nomor-nomor akses cepat, dari atmosfer
yang kami hirup begitu saja sebagai meditasi. pendar layar kristal
menyala-nyala di dalam kami. mungkin bukan tuhan, tapi kami
temukan detak hidup kami.

adapun tuhan, tak lagi kami cari-cari.



Monumen

kami rajin mengabadikan kalender dalam prasasti dan patung dan
tugu-tugu, memahat dongeng-dongeng dan membingkainya abadi.
perunggu, semen, batu, dan adonan pengingat kami lebur kami cetak
hingga tetap bentuknya. kami masih gampang kagum pada
kenangan, gampang lupa pada cita-cita, gampang abai pada waktu
yang sedang berderap berbaris dalam langkah cepat. kami tenggelam
dalam lautan slogan dan janji-janji yang kami kemas dalam
monumen-monumen di setiap simpang kampung, setiap gerbang
desa, setiap batas kota. kami lipat dalam brosur-brosur wisata, dalam
buku profil desa dan kota.

kami rajin menegakkan lingga kami setinggi yang mampu kami ingat,
monumen kesombongan kami yang jantan. begitu rajinnya hingga
kami lupa keramat yoni, ibu yang rebah memohonkan maaf atas
kebodohan kami pada haribaan bumi.


Suburbia

jantung kota kami telah meledak, melesak hingga ke ujung-ujung
jemarinya. di ujung-ujung jemari kota kami itu kami menjilati remahremah
di pinggir piring-piring makan kami. berserak, bersebaran ke
mana-mana, ke setiap ujung jemari bintang mata angin di ingatan
kami akan pelajaran geografi.

jantung kota kami kian kencang berdetak, kian kami tak punya
halaman untuk menghirup nafas panjang di malam yang gerah oleh
tagihan kerja besok pagi. jantung kota kami kian riuh oleh degup
yang semakin rapat frekuensinya, seperti dentam perkusi yang
merajam nyaris tak ada sela untuk sepotong melodi atau solo viola
atau sekedar jeda.

jantung kota kami kian jauh, dan kami kian menepi kian menenggang
jarak agar kami tak pongah dengan langkah kami yang secepat anak
panah, agar kami tak lengah dan rengkah tergencet badan-badan
mobil berimpit di lampu merah. dan kami kian memanjangkan jarum
jam kami agar kami dapat menghitung liter minyak terbakar di
tungku sepeda motor kami yang kian lama menyala, kian menipiskan
pantat kami saja.

jantung kota kami kian hitam oleh jelaga dari knalpot mesin-mesin
kendara kami, oleh rupa-rupa maksiat dan muslihat, oleh malam
yang telat mengendap. jantung kota kami kian tersengal, kian sering
anfal oleh cuaca nakal atau perhitungan neraca yang gagal.


Jalan Pahlawan

seandainya kamilah pemilik nama-nama yang terpampang di
penggal-penggal jalan itu, banggakah, malukah, sedihkah rasa kami?
begitulah kota-kota kami dirangkum oleh ruas-ruas jalan bernama
para pahlawan, kebanggaan pada kuburan begitu dalam mencekam
bawahsadar kami, seperti mitos-mitos yang tak mau kami tinggalkan.
sudirman, diponegoro, ahmad dahlan, kartini, pahlawan revolusi,
pahlawan negeri yang gagah berani, tertulis di papan-papan jalan.
jalan yang sempoyongan memanggul mobil motor bus truk andong
dan warung-warung tenda dan sampah-sampah. jalan yang asma
oleh asap penuh karbon dan molekul timah hitam dan sempit oleh
ruang yang berebut ingin. membayangkan jalan-jalan pahlawan ini
kami terbayang liang kubur yang sempit dan pengap pula.

jalanan kami gagah tak gentar tanpa trotoar cukup lebar. seperti
nama-nama yang besar itu harus bersabar menunggui jejalur yang
tak cukup lebar untuk menampung kesabaran: sesuatu yang selalu
kami uji di setiap simpang dan sepanjang garis marka, walau di atas
sadel atau belakang lingkar kemudi kami sering digoda murka.

seandainya kamilah pemilik nama-nama yang terpampang di
penggal-penggal jalan itu, kami bersyukur ini hanya sebuah andai.


Wisata Belanja: Pasar Klithikan

siapa mencari akan mendapati. di tepi-tepi jalanan kota, kami gelar
sisa-sisa. ampas dari yang pernah singgah dalam catatan belanja, kini
tertebar pada selembar tikar, mencoba berkelit menjadi sia-sia.

kaca spion dan lingkar roda kami punya, bila kau mencari cara
menengok kembali yang tertinggal di punggung silam atau
menggelindingkan ingatan ke jalanan berlubang di mana kau pernah
tumbang dari sepeda motormu. lampu senter dan keris tua, bila
engkau ingin menelisik rahasia malammu namun jerih bila tak
bersenjata. shockbraker kompetisi dan tachometer, bila kau cemas
dengan degup jantungmu yang kurang gegas. kami gelar semua yang
tercerai dari ingatan, kami kumpulkan kembali bagi siapa saja yang
rela membeli usia.

di sinilah kami berniaga dengan waktu, tawar-menawar yang lama
dengan yang baru. sebab kami meyakini siapa mencari akan
mendapati, maka suatu saat nanti kau pasti datang kepada kami.

mencari jejak-jejak kaki yang hilang tanpa kau sadari.


Profil Kota: Cita-Cita Setinggi Slogan

kota-kota kami adalah kota cita-cita. kami gantungkan impian-impian
kami setinggi gapura batas kota, setinggi tiang-tiang bendera; pataka
pusaka keramat kami. lalu begitu gembiranya kami dengan semangat
yang lucu dan indah itu, sehingga tak penting lagi bagi kami berbagi
jalanan berlubang atau angkutan kota berebut start dan finish paling
cepat dan penumpang hanya beban tambahan saja, tak penting lagi
bagi kami berbagi simpang-simpang yang padat dan polisi jalan pun
sampai lupa makna rambu-rambu yang begitu banyak berjejal di
sepanjang rute, tak penting lagi bagi kami berbagi trotoar dengan
penjual segala rupa benda yang tak ingin bayar sewa tempat di pasar.
kami telah cukup bangga dengan slogan kota kami yang lucu dan
asyik itu, memajang stikernya di sepeda motor atau baju seragam
kami, lalu menikmati setiap mimpi.

kota-kota kami adalah kota yang ikhlas, berhati senyaman iklan,
sembada, beriman, bertakwa, sehat indah sejuk sekali, kota insani,
kota slogan hahahihi. hahahihi. hahahihi.

kota-kota kami adalah kota yang kaya cita-cita, penuh kata-kata. kota
kami penuh prosa. kota kami miskin peta, miskin rencana, miskin
puisi yang benar-benar jadi.


Kaki Lima

di petak lima kaki persegi, kami menghitung jumlah jemari di tangan
kiri, sementara kanan kami melambai pada rejeki hari ini. kami
sajikan untaian kalung imitasi, nasi sarapan pagi, celana dalam dan
kaus kaki, bedil plastik bagi anak-anak yang bercita-cita jadi polisi.
juga helm dan korek api, atau aneka batik dan topi-topi.

kami dorong gerobak kami sepajang musim sepanjang nafas kami,
kami pikul nasib kami sendiri. kami berlari dari peluit polisi praja, dari
pengutip iuran kota sebab kami sering kencing di selokan, sebab
trotoar yang kami pinjam buat berjaja. di kota ini, bumi bukan milik
kami. kami dorong gerobak nasib kami, berharap jalanan tak
menanjak dan aspal tak leleh oleh mentari.

di petak lima kaki persegi, kami meluruskan kaki, bercengkrama
dengan pembeli atau pohon asam jawa perindang jalan kota kami
yang jarang tertawa. setua usia peta kota, pohon itu lebih suka diam
dan bersabar pada debu solar dan kencing kami; memejam mata saat
polisi praja menggelar patroli.

kami berdiam, berjalan, berlari, berhitung setiap lima langkah kaki.


Bibir Kota

di bibir sungai kami membangun kampung, imitasi kota-kota kami
sendiri dengan jalanan selebar badan dan kamar seluas debar
kecemasan kami akan pagi. di situlah tempat kami mengenang
sawah-sawah dan pekarangan yang kami tinggalkan jauh-jauh dalam
mimpi. kami membangun terasering di bantaran kali lintas kota,
punggung nasib kami yang rata, lalu menanaminya dengan tiangtiang
bambu dan dinding-dinding bata.

di bibir mimpi kami menanam ingatan pada cangkul dan ani-ani, pada
luku dan garu, pada tugal dan bebijian palawija, dan air yang kian
rajin mengering dari umbul telaga, dan hujan yang kian tak rata, dan
gambar cuaca di langit yang kian tak terbaca. lalu kami berduyun
mendayung rumah-rumah kami sepanjang kali, menambatkannya di
tepi-tepi. lalu kami belajar membaca kerlip serupa bintang di langitlangit
kota, pukaunya begitu benderang menyilau mata.

di bibir pagi kami masih bermimpi dengan mata terbuka. kami belajar
tidur siaga, sebab di kampung ini setiap desah nafas adalah
perburuan, dan setiap jengkal waktu adalah ronde kecemasan. dari
kampung kami, hingar-denyar kota terdengar riuh begitu rupa. dari
atap kota, kami cuma kakus tempat membuang dosa.

di bibir sengal nafas kami, kami mulai belajar tanda-tanda muslihat
nasib dan menghitung kekalahan.

di bibir kota, kami menggumpal jadi ampas permen karet di telapak
sepatumu!


Nota Kota

bahkan selembar bumi yang kami pijak ini bukanlah milik kami. kami
cuma menjiplaknya dalam garis-garis vektor, mewarnainya dalam
bitmap dan konvensi gambar dan angka. kami pandang dalam jarak
dekat dan jauh, dalam skala pengganti jengkal dan depa yang tak
kuasa lagi membilang rasa lapar kami akan wilayah dan kuasa. kami
tak lagi menanam padi varietas unggul atau jagung yang menjanjikan
tongkol semontok pinggul. kami menanam mata uang, membungkus
mata kaki, mengubur mata hati.

kami melarutkan diri dalam adonan afrodisiak yang memicu gairah
kami: mani! mani! money! setiap hirup udara yang masuk paru-paru
kami ialah psikotropika yang diproduksi dari bong-bong sepeda
motor, bus kota, pabrik-pabrik, juga panas hati dan sumpah-serapah.
lampu merah kuning hijau, tanpa langit biru, tanpa pencipta yang
agung, hanya berkedip-kedip bergantian seperti warna-warna daun
di peralihan iklim, seperti lampu-lampu neon-box yang mengiklankan
rangsangan seksual dan mimpi-mimpi erotis. iklan-iklan partai, iklaniklan
party, kami tancapkan di setiap depa lahan-lahan kami berharap
suatu saat dapat menuai rasa kenyang.

kami mencatat diam-diam, siapa tertawa siapa menangis, siapa
menertawakan siapa yang menangis. kami mencatat diam-diam,
kapan bisa terlepas dari belenggu angka dan garis.


Vredeburg

sejarah kami ditulis dengan torehan keris di dinding-dinding benteng,
dengan derap kuda dan moncong meriam, dengan tembok setebal
depa, dengan segala cara pencegah lupa. sejarah kami ditulis di
monumen-monumen batu tegak membisu di sudut-sudut kotapraja,
menjadi segel keramat jiwa-jiwa yang gelisah dengan masa lalu, takut
terlupakan namanya di buku-buku. monumen-monumen batu tegak
membisu itu, menikmati kesunyiannya di taman kota berpagar baja,
seperti penyair di sudut bar mabuk kata-kata.

sejarah kami ditulis dengan hawa istana, kisah perselingkuhan rajaraja,
pusaka-pusaka dan filosofia; sebab kekalahan tak boleh diingat,
dan memandang langit adalah cara termudah melupakannya.
begitulah sehingga sejarah kami basah kuyup oleh ombak samudra
kidul, sangit oleh kepundan gunung kami.

sejarah kami ditulis dengan pesing air kencing tukang becak,
gelandangan, apak kembang kuburan yang membusuk di ceruk-ceruk
selokan, ditulis dengan graffiti dan mural, ditulis dengan bendera
warna-warni bergambar sakit hati dan perut mual. sejarah kami
ditulis dengan hiruk-pikuk pedagang sayuran dini hari, buruh-buruh
gendong dan deru truk pick-up, dan embun rasa keringat.

sejarah kami ditulis dengan cara yang tak mudah, seperti monumenmonumen
batu tegak membisu yang ingin bebas dari peluh gelisah
dan rasa bersalah.


Pasar Bringharjo

setiap tetes peluh berniaga dengan harapan dan senyuman
sederhana. kadang wajah-wajah tampak terlalu beku sebab udara
yang terlalu berat kurang sinar, dan deretan los-los yang terlalu
malas menyegarkan diri. bau pewarna batik, bumbu-bumbu dapur,
dan lain-lain, dan lain-lain, mengendap seolah kondensasi uap air
yang siap menjadi hujan.

mentari di pasar ini terbit sejak satu atau dua dini hari, tanpa bayangbayang,
dan embun belum lagi dilahirkan sebab subuh masih hamil
tua. hari-hari mendewasakan diri dalam oksigen yang tipis, asap
sigaret dan bau-bauan campur-baur parfum murahan, minyak
rambut murahan, make-up murahan, negosiasi murahan, lagu-lagu
murahan. lalu, saat matahari mulai lemas kehabisan nafas, malam
pun jatuh begitu saja.

dan suara-suara berubah, cuaca berubah, cahaya berubah. baubauan
tadi masih tertinggal, seperti kenang-kenangan pengingat uap
keringat yang terbawa pulang. setiap senja beralih gelap, cerita-cerita
yang lain bersiap. babak baru. agak gelap, memang. namun, siapa
saja yang merajut kisah Bringharjo setiap hari, telah paham dan
mengerti. dini hari dan senja yang mati, adalah kegelapan tempat
mereka berjudi dengan nasib. tanpa puisi.


Metropolesan

percayalah, kami masih menghitung musim dari sudut rasi-rasi
bintang di langit-langit malam. kami panggil dan usir hujan dengan
dupa dan kembang-kembang agar konser band pop paling sohor di
seluruh bumi tak terganggu langit yang bocor. percayalah, kami telah
akrab dengan bilangan biner dan kerdip layar ponsel, akses
blackberry dan piranti bergelombang gaib produksi terkini. kami
akrab pula dengan konsultasi peramal nasib di inbox pesan langganan
kami. gaya kami industri, jiwa kami rumpun padi. percayalah, kami
bangga jadi generasi fotokopi. apa yang kami konsumsi sebagai
sarapan pagi, sepiring informasi dan instalasi instan alur logika kami,
adalah gizi yang membuat kami tumbuh lebih bersinar dalam hirukpikuk
kompetisi. kami gunting gaya hidup dot-com dan kami tempel
di balik jas hujan saat kami dihajar hujan tropika yang tak mengerti
teknologi, tak faham logika ekonomi.

percayalah, kami masih menilai kualitas intelektual kami dari aroma
terasi di sambal kami, udang asli atau rasa imitasi. kami mengerti
waktu tak lagi jadi milik kami, ia telah dibeli oleh mesin-mesin
otomasi, membuat kami kehilangan pagi, siang, malam-malam kami.
lalu, dalam maraton dari simpul ke simpul di kota-kota kami, kami
belajar lupa rupa kami sendiri. semakin jauh pula jarak bumi dari
telapak kaki kami. percayalah, kami masih mendambakan mantra dan
ritual pemanggil manna untuk mengelupas make-up di wajah kami.

dan di tengah tidur kami yang bergerigi, kami payah mengingat
kembali apa nama kota kami.


Program Pembangunan: Penggalian Jalan

maka kami mencoba ingkari setiap kali, kota kami sungguh rajin
menyakiti tubuhnya sendiri. inikah akibat diet tak sehat bertahuntahun,
lalu kini panen penyakit dan organ yang malfungsi? jalanan
yang berlubang belum lagi ditambal rapi, jalanan yang rapi digali-gali
setiap kali. kami coba abai dan menganggap inilah cara kota kami
merawat diri: kompromi dengan infus investasi.

masterplan kota kami tanpa rencana. seperti seniman atau penyair
setengah jadi: merayakan kemerdekaan setiap hari sebagai topeng
kegagalan menaklukkan waktu, menjinakkan diri. lajur jalanan kami
yang tepi telah penuh kabel tegangan tinggi dan pipa distribusi air
minum kami, kini besi-besi pemotong aspal dan beton mengiris
mengelupas lajur tengah, menanaminya dengan serabut optika untuk
memanjakan telefon di genggaman kami.

jangan tanyakan kapan kota kami menanam hutan di dada kota, dan
taman untuk anak-anak kami bermain bola kasti. kota kami sedang
sibuk menanam kabel, pontang-panting menjinakkan kolesterol
tubuhnya yang kian tak terkendali.


Tentang TS Pinang
Teguh Setiawan Pinang (demikian konon, nama panjangnya, sebab saya pernah kecele dengan nama TS Pinang yang cenderung feminim itu. Hehe), lahir di desa Semirejo, Pati, 1971. Pernah belajar arsitektur dan perencanaan perkotaan di Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM. TS Pinang adalah penyair amatir yang menulis lebih banyak di media internet sejak awal 2000. Ia pernah ikut aktif membuat dan mengelola situs (almarhum) cybersastra.net serta aktif di beberapa komunitas puisi di internet. Puisi dan eseinya dimuat di beberapa antologi bersama seperti Graffiti Gratitude: Sebuah Antologi Puisi Cyber (YMS, 2001), Filantropi (Divisi Sastra FKY XIII, 2001), antologi esei Cybergraffiti (YMS, 2001), Bumi Manusia 1: Ini Sirkus Senyum (Bumimanusia, 2002), Cyberpuitika (YMS, 2002), Dian Sastro for President! (AKY, 2002), Dian Sastro for President!#2: Reloaded (AKY, 2003), Les Cyberlettres (YMS, 2005), Antologi Bungamatahari (Avatar, 2005), Jogja 5,9 Skala Richter (KSI-Bentang, 2006), Tongue In Your Ears (FKY XIX-FKYPressPlus, 2007), 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 (Gramedia-Anugerah Pena Kencana, 2009), beberapa koran nasional seperti Republika, Kompas, Jurnal Nasional, Koran Tempo, jurnal BlockNot Poetry , majalah sastra Horison dan beberapa mailing-list maupun situs sastra di internet. Beberapa puisinya juga pernah dibacakan di Radio Suara Jerman Deutsche Welle dan RRI Nusantara II Yogyakarta. Buku puisinya berjudul Kunci (Omahsore, 2009). Situs pribadinya: titiknol.com.


Catatan Lain
Bagian yang saya suka dari buku ini adalah pernyataan berikut: “Karya ini boleh diunduh dan disebarluaskan sepanjang tidak mengambil keuntungan finansial darinya. Berikan saran dan kritik anda ke tspinang@yahoo.com. Penggunaan di luar etika penggunaan hasil karya kreatif/intelektual tidak dianjurkan. Meminta lebih baik daripada mencuri.”
            Tentu saja, saya mengenang penyair ini, karena dulu sempat juga puisi saya muncul di situs cybersastra.net yang turut dikelolanya. Saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya sekarang. Meskipun mungkin dia tak mengenal saya. Waktu itu saya masih menggunakan nama pena: SD, dan masih mahasiswa di Jogja. Saya lupa mengirim berapa puisi, tapi yang dimuat ada dua puisi yaitu Sudah Hang dan Dalam Cinta. Saya bahkan mencetak dan menempel puisi Sudah Hang di buku catatan saya. Sedang puisi Dalam Cinta sendiri, saya muat dalam kumpulan puisi “Jejak-jejak Angin” (bersama Hajriansyah, 2007). Maaf, numpang bernostalgia, nih.
            Dan ternyata, cybersastra.net tidak benar-benar almarhum. Sekarang ada metamorfosisnya: http://cybersastra.org. dan jika pun ingin bernostalgia dengan yang versi .net, bisa mengunjungi http://wayback.archive.org. Saya mencoba menelusurinya. So, dua puisi saya itu dimuat di hari Minggu, 3 Juni 2001. Di hari yang sama juga muncul puisi  Firman Venayaksa, Hamid Jabbar, Heru Emka, Sutrisno Budiharto, Suryansyah, Wannofri Samry, Dhank Ari, Djayawikarta, Made Kecara Singarsa, Heriansyah Latief, Safrina dan Nana Chang. Berikut puisi saya itu dan sumbernya:


SUDAH HANG

Semua keberpihakanku
adalah hal termudah untuk disedihkan kembali
Bullshitifitas dan ketegangan
jalin menjalin
"Zona !" katamu sambil menjentikkan jari
Kamu lenyap di sebuah taman bonsai
Kesan unikmu ranum dalam dengus senja
Tapi inilah sebenarnya yang terjadi:
Di sebuah kamar ganti, kauucapkan
beberapa kata tak pantas!

senin, 28 mei 01



DALAM CINTA

Kebenaran itu berbunyi: "Aku pernah..."
Seekor burung terpangkas sayapnya saat terbang
Terbelah. Kamu teriak sambil menunjuk ke langit
: Brassiere..!!
Dan orang-orang melupakannya
dengan gaya diplomatis
(namun sedikit lebih sedih dari menanti)

rabu, 23 mei 01


1 komentar: