Data buku kumpulan puisi
Judul: Djeram, Tiga Kumpulan Sadjak
Penulis :
Ajip Rosidi
Tjetakan : I, 1970
Penerbitan: P.T. Gunung Agung, Djakarta
Tebal : 74 halaman (45 puisi)
Gambar kulit & dalam: Popo Iskandar
adapun penjair lahir/membangkitkan kematian para
penjihir/lalu dengan mantra kata-kata/mendjelmakan kehidupan manusia
(Petikan sajak Penjair, Ajip Rosidi)
Djeram terbagi 3 bagian, yaitu Sadjak-Sadjak Hijau (15 puisi), Kakilangit Lain (20 puisi), dan Satu Saat dalam Sedjarah (10 puisi)
Beberapa pilihan puisi Ajip Rosidi dalam Djeram
(catatan: penulisan menggunakan ejaan lama,
sesuai buku)
Memandang Kehidupan
Memandang relung2 kehidupan
Aku tak tahu pasti
Apakah mungkin mendjadi
Seorang tua jang tenang batja koran
Di tengah ribut dunia kebakaran?
Kusaksikan diriku dan kawan2
Sambil makan katjang dan asinan
Memperbintjangkan nasib negara
Sengit berdebat
Penuh semangat memberi perintah
Menentukan haluan dunia.
Tidakkah lebih baik kita tenggelamkan
Segala rumus dan perhitungan di warung kopi
Selagi matahari belum tinggi
Atau kupilih sadja ketenangan kursi gojang
Saban pagi semangkuk susu dan setangkup roti?
Masih pula merasa kuatir
Akan kepastian hari esok: Bukan tak mungkin
Tuhan tiba2 bertitah: Berhenti!
Maka planit2 bertubrukan, bintang2
padam.
Lalu apa jang masih dapat ditjapai?
Sedangkan
bumi tak lagi pasti.
Jang tinggal hanja angan2 jang
pandjang
Dan
kelam. Sedang
Angan-anganpun
Membutuhkan suatu landasan.
Kuteliti tanganku: urat-uratnja,
tulang-tulangnja …
Bisa sadja lenjap tiba2. Tak
satupun kupunja.
Selain do’a.
1968
Sadjak Buat Sebuah Nama
Telah kausiram bumi pertiwi
dengan darahmu jang merah: Maka kini
kaulihat pemimpin-pemimpin besar tjakap
tak lebih dari para pemain sulap
jang bersumpah atas nama Tuhan
hanja untuk pangkat dan kedudukan.
Telah kauberi tjontoh keiklasan berkurban
terhadap tanahair, bangsa dan Kebenaran
jang selama ini hendak dipalsukan
di bawah kebuasan nafsu dan
kesewenang-wenangan.
Dan telah kaubuktikan bahwa dari apapun
lebih kautjintai Kemerdekaan. Kehidupan
manusia-budak jang bergelimang kemewahan
duniawi
kautolak dengan tegas dan pasti. Lalu setjara
sederhana
kaupilih Keadilan – jang lama telah dilupakan
meski para pemimpin tak kundjung henti
mendjadjakannja dalam setiap upatjara
dengan berbagai pidato berapi api
dengan berbagai slogan dan sembojan
jang tak satupun punja arti
bagi kehidupan rakjat sehari-hari.
1967
Pedjalan Sepi
ia tembus kesenjapan dinihari
sepatunja berat menundjam bumi
menempuh kota jang lelap terlena
dalam pelukan tjahja purnama
ia tembus kedinginan pagi
siulnja njaring membelah sunji
membangunkan insan agar bangkit
dalam pertarungan hidup jang sengit
di sebuah djembatan ia berhenti
dihirupnja udara sedjuk dalam sekali:
bulan jang mengambang atas air kali
adalah gambaran hatinja sendiri!
1954
Lagu Kerinduan
wadjahmu antara batang kelapa langsing
menebar senjum dan matamu mendjadikan daku
burung piaraan
semua hanja bajangan kerinduan: kau jang nun
entah di mana
mengikuti setiap langkahku, biarpun ke mana
kudjalani kelengangan hari
sepandjang pagar bajangan: wadjahmu menanti
langkah kuhentikan dan kulihat
hanja senjummu memenuhi djagat
1954
Mata Derita
ada jang datang bermata derita
pagi berwarna olehnja
ada perawan bermata derita
berselendang angin remadja
ada jang memandang ke dalam hatiku
bumipun djadi biru
ada jang memantjar: kebeningan hening
dan segalanjapun tak teraba lagi –
1954
Penjair
1
adapun penjair lahir
membangkitkan kematian para penjihir
lalu dengan mantra kata-kata
mendjelmakan kehidupan manusia
menjanjikan kelahiran tjinta
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kaupun tahu
segala jang beralamat duka
2
siapa mendjeladjahi pagi
mendapat pertama sinar mentari
lagu kunjanjikan kini
akan dimengerti nanti
lagu kusadjakkan kini
suara lubuk hati
jang selalu sunji
1954
Djalan Lempeng
sebuah lukisan S. Soedjojono
Burang gagak, burung gagak! Biarkan dia
berdjalan!
Biarkan dia berdjalan, membungkuk pada
kejakinannja
Bertolak dari bumi kehidupan lampau, begitu ia
melangkah
Pasti dan jakin. Karena ada mimpi di balik
gunung itu:
Lembah hidjau hidup segar. Karena di sini batu
mentjair
Gurun mati. Tandus dan sepi.
Burung gagak, biarkan dia berdjalan. Di ruas2
langkahnja
Menjala dendam pada bumi lampau. Di dadanja
padat kesumat
Pada dunia kehidupan jang mati di sini.
Burung gagak, sampaikan salamku padanja. Salam
bagi
Jang sudah melangkah atas kejakinan. Salam
bagi
Jang sudah berani bikin perhitungan tandas
sekali.
Gunung2 jang membatu, gersang dan
kering,
kan takluk pada tapaknja.
Satu demi satu kan dilewatinja. Ia terdjang
dunia mati.
Burung gagak, kini ia berdjalan. Melangkah
dengan gagah
Ia tahu di balik gunung ada mimpi, ada lembah
Tidak tjair meleleh seperti bumi jang
menggolak ini.
Semua kan tunduk kepadanja.
Semau kan menjerah pada langkahnja. Karena ia
berdjalan
Atas kejakinan.
Biarkan
dia berdjalan!
Gunung dari lembah sana, gaung dari mimpi
diri.
Burung gagak, ia dengar njanji itu. Dan ia
menudju ke situ.
Pohon2 mati dan sepi. Padangpun
mati dan sepi
Batu2 mentjongak ngeri, tadjam dan
mengantjam
Tapi ia melangkah menudju lembah2
mimpi.
Ia sendirian. Batu2 dan alam geram.
Gunung mendinding di udjung. Langitpun kan
menerkam.
Dan ia melangkah dengan pasti: Batu tjair
djadi beku.
Langitpun djadi membiru, mengutjapkan selamat
djalan
Menempuh kehidupan.
Burung gagak, burung gagak, biarkan dia
berdjalan
Sampaikan salam jang erat dan hangat. Ia jang
jakin
Ada mimpi di balik gunung batu, ada lembah
hidjau dan lembut
Kehidupan tenang, sawah-ladang, padang rumput
…
Djangan kauganggu!
1955
Tjinta dan Kepertjajaan
Dalam hidup ‘kan kupertahankan
Nilai hubungan antar-manusia, didasarkan
Atas tjinta dan kepertjajaan.
‘Kan kupertahankan kehangatan
Gamitan dua tangan, menjampaikan
Kehangatan rasa dua djiwa.
Tjinta adalah bunga tumbuh
Atas kesuburan tanah kasih, berakarkan
Hati mau mengerti, saling membagi.
Dan kepertjajaan, landasan
Kerelaan dan kemesraan.
Pertalian dua hati.
1960
Ibunda
Ia terbudjur
Bumi subur
Lembah-lembah dan gunung
Terlentang tenang
Tangannja mengusap sajang
Perut mengandung.
Matanja njalang
Langit-langitpun hilang
Karena langit penuh bintang
Dan pahlawan menjandang pedang
Naik kuda hitam zanggi
Adalah masadepan si-djabang
jang dalam rahim
Menggeliat geli.
Ia memedjam
Menahan njeri.
Lalu terbajang
Bundanja tersenjum di ambang
,,Tidakkah dahulu
Kusakiti djuga bundaku?”
Keringat bermanik bening
Atas djidat, kening.
Waktu sekali lagi
Menggerundjal kentjang,
Ia mengerang
Dan malam jang lengang
Mendengar lantang
Teriakan si-djabang.
1961
Harituaku
Pabila harituaku tiba, kelak suatu masa
Katjamata tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan lelakon lama. Lalu tersenjum
Memandang bajangan atas katja djendela
Jang putih warnanja, sampaipun alis, bulumata
…
Maka namamu ‘kan kusebut, dengan bibir gemetar
Bagai ajat kitab sutji, tak sembarang boleh
terdengar
Namun kala itu jang empunja nama entah di nama
Apakah lagi menjulam, duduk bungkuk atas kursi
rotan
Ataukan sedang menimang tjutju, mungkin pula
telah lama
Aman berbaring dalam tilam penghabisan.
Dan pabila giliranku tiba, terlentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut mendjemput
Sekali lagi namaku ‘kan kusebut, lalu diam.
Mati.
1963
Kepada
Penjair
Penjair. Kaulah
pradjurit terahir
Jang meski dengan pena
patah, mesti menegakkan Kebenaran
Karena dunia
Tak boleh kaubiarkan
tenggelam
Dalam lautan fitnah
dan taufan pengkhianatan
Kaulah jang takkan
berdiri
Di fihak pemimpin
palsu dan penipu. Tak perlu mendjilat
Karena kau tak bakal
kehilangan pangkat. Tak perlu takut
Karena kau tak nanti
membiarkan bangsamu makan rumput.
Kau ‘kan
Tegak di depan si
ketjil jang lapar menggigil.
Kaulah pembela si
lemah
Jang tak
habis-habisnja diobral dan didjual
Oleh si pembual dari
rapat ke rapat. Namun tak pernah
Sekalipun ia teringat:
rakjatpun hidup dan mampu melihat
Segala kepalsuan jang
hendak ditutupi
Dengan sembojan dan
djandji.
Penjair! Asah pena,
sihirlah
Kebenaran dan Keadilan
bagi si ketjil
Jang tak pernah djemu
berkurban, sabar dan rela
Demi tjita-tjita jang
mulia.
1965
Djeram
Air beterdjunan dalam
djeram
Buihnja memertjik ke
tebing tempat kami berbaring
Dan ia mengelaikan
kepala
Dengan mata meram
terpedjam
Atas tanganku jang
mentjari-tjari
Arah manakah burung
gagak hinggap
Jang suaranja njaring
Memetjah ketenangan
hutan
Sehabis hudjan
Air beterdjunan dalam
djeram
Djeram gemuruh dalam
darahku
Dan dalam mimpi
keabadian jang njaman
Kubisikkan kata-kata
bagaikan desir angin
Mengeringkan keringat
atas kening
Sedang mataku
memandang tak jakin
Air berbuih jang
menghilir
Entah apakah ‘kan tiba
Di muara
Air beterdjunan dalam
djeram
Kata-kata beterdjunan
dari mulutku
Sungaipun tahu arti
muara
Jang tak sia-sia
menunggu.
Burung gagak berteriak
entah di mana
Dan ia bersenandung
entah mengapa
Karena dalam
kesesaatan tak terdjawab tanja lama
Jang sudah lama hanja tanja:
Hingga mana? Pabila? Mau apa…?
Dan dengan djari-djari
gemetar
Kujakinkan hatiku
sendiri: Segalanja
Berlaku pertjuma serta
sia-sia
Dan perempuan ini ‘kan
mati dalam kepingin
Karena angin hanja
angin
Kerena djeram
beterdjunan dalam diriku
Jang tak mengenal
musim kemarau
Air beterdjunan dalam
djeram
Dan djeram beterdjunan
dalam darahku.
1962
Tentang
Maut
I
Kulihat manusia lahir,
hidup, lalu mati
Menerima atau menolak,
tak peduli
Dengan tangan dingin
namun pasti
Sang Maut datang dan
tiap hidup ia ahiri.
Kuperhatikan perempuan
sedang mengandung
Wadjahnja riang,
mimpinja menimang si-djabang
Namun kulihat Sang
Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu
ia bersarang
Kuperhatikan baji
lahir
Dan pertama kali udara
dia hirup
Dalam tangisnja
kudengar Sang Maut menjindir:
,,Djangan nangis,
kelakpun hidupmu kututup”
II
Jang kukandung sedjak
hidup kumulai
Takkan kutolak, meski
ia kubentji
Tapi kalau hidupku nak
dikuntji
Datang Tuhan menawari:
,,Sukakah kau hidup
semenit lagi?”
Kudjawab pasti: ,,Suka
sekali!”
III
Seperti gelap bagi
kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak
berketentuan, bisa njergap sesuka hati
Membajangi langkah,
mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran
djadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia
dengan Hidup jang seolah ‘kan dia rebut
Kupilih fihak: Karena
pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi,
karena selalu kudapati
Nafasnya menghembus
dalam tiap hidup jang fana ini
1960
Aku
Terdjaga Tengah Malam
Aku terdjaga tengah
malam, hening dan tentram
Gunung kelabu samar membatu
Elahan nafas alam jang
berat mengembus pelan
Dan dengan nafas
sendiri tertahan
Kusimakkan tenaga gaib
tersembunji
Mengadjak bangkit,
menempelak, meludah penuh dendam
Mengajunkan kepalan,
mata merah, terbakar amarah
Karena terlalu lama
dirinja terlupakan
Dalam pesta pora
kesewenang-wenangan
Karena terlalu lama
dirinja didjual
Dalam berbagai pidato
dan penipuan
Karena terlalu lama
dirinja didjagal
Dalam berbagai
pemerasan berkedok kemakmuran
Karena terlalu lama
dirinja diindjak
Dalam berbagai
upatjara kemerdekaan
Kini tenaga penuh
semangat gaib
Kusintakkan seperti
lahar dalam perut gunung
Bangkit, menggemuruh
tiada tertahan
Melanda segala
penghalang
Mengatjungkan tangan
ke muka
Menerdjang segala
perintang
Tapi malam hening
sepi, detak djantung sendiri
Dalam tentram bumi
lelap, suara hati ingin diam tetap:
Tidakkah sia-sia dendam
mengangkat tangan
Tidakkah sia-sia
pembunuhan menghantjurkan pemerasan
Tidakkah bentuk baru
‘kan muntjul: Di mana pesta berulang
Sedang si ketjil,
makin bungkuk dan renta
Diindjak dan diperas
tenaga?
Tidak. Semangat akan
harapan dalam impian
Memberi keremadjaan
pada darah dan urat kendur
Memberi unggun dingin
api berkobar
Bah membandjir dalam
kali gersang
Banteng melihat
kain-merah mengibar
Tidak. Semangat selalu
meremadjakan. Mereka
Puas terbaring dengan
senapang di tangan
Tak ketjewa mati
sedang berdjuang
Tak pertjuma derita
buat harapan masadepan
Karena hidup manusia
selalu dipersembahkan
Pada haridepan redup
di djauhan
Bagi ketentuan jang
tak berketentuan
Karena tenaga dikerahkan
Untuk memutuskan
belenggu
Demi kebebasan.
Tiada hentinja
sepandjang djaman
Perdjuangan manusia, selalu
terlibat kembali
Dari belenggu ke
belenggu baru
Dari pemerasan ke
pemerasan lain
Namun tiada djemu,
berontak harapkan impian
Tiada bosan, melawan
harapkan kemerdekaan
Tiada damai dalam diri
manusia
Meluap dan
menggelegak, tiada tara
Manusia selalu melawan
terhadap takdir
Tak pertjaja terhadap
ketentuan azali
Karena pertjaja akan
tenaga sendiri
Tersimpan di balik
mata redup atau tjeli
Larut dalam urat
kendor atau tegang
Sembunji di balik
badju bertambal dan rombeng
Menjala dalam dada
tipis kerempeng
Tiada ‘kan habisnja.
Setiap djaman. Dan manusia
Mendengar, melihat,
menjaksikan dan menjimakkan
Pemberontakan manusia
terhadap kekuasaan
Jang dalam mentjengkam
diri
Dan kala aku terjaga
tengah malam
Kudengar pula semangat
gaib bangkit tak tertahan
Bagai lahar dalam
perut gunung berapi
Semangat perdjuangan
mengamang tindju ke depan
Karena harapkan
kemerdekaan dan kedamaian
Bagi haridepan jang
redup di djauhan
Berulang dan ‘kan
berulang lagi
Manusia memberontak
terhadap diri
Tjihideung,
20 Mei 1960
Diriku
Diriku samudra
Dilajari kapal,
perahu, badjak
Tiada djedjak
Jang sementara
Berasal dari Tiada
‘Kan lenjap dalam
Tiada.
1961
Kau!
Kau Jang Bitjara!
I
Apa artinja sadjak
Kalau setiap saat
manusia dapat ditembak
Hanja lantaran bedil
tersandang
Dan hatimu meradang?
Apa artinja puisi
Kalau pintu pendjara
terbuka
Hanja lantaran merasa
kuasa
Dan hatimu memendam
bentji?
Kutulis sadjak ini
Karena penjair
Terhindar dari takdir
djadi beo jang latah
Puisipun harus
menembus
Hidup-aman-dalam-bungkaman
Ditindas
kesewenang-wenangan
Penjairlah jang
bitjara
Menjampaikan
hasrat-kodrati manusia:
Kemerdekaan!
II
Kau. Kau bitjara
tentang hak
dan orang lain kaukurniai
hak-bajar-padjak
Kau bitjara tentang
kewadjiban
tapi dirimu sendiri
litjin bagai kantjil,
memilih
kewadjiban-memberi-perintah, memetik-hasil.
Kau. Kau bitjara
tentang kemakmuran
sedang petani-petani
tak kaubiarkan makan nasi
tenang mengerdjakan
sawah dan ladang
dan pedagang-pedagang
tak kaubiarkan lunas dari utang
dan guru-guru
kauharuskan turut memburu
beras dan gula, minjak
tanah dan peda
dan pengarang kauperas
hingga tulang
sumsumnjapun hendak
kauhisap, agar diam.
Kau bitjara tentang
kemerdekaan bitjara
sedang suara jang
hendak kau dengar hanja ,,Setudju!”
kalau ada jang
berbunji lain, alismu mengernjit
kaukutuk dia:
,,Penghianat bangsa!”
karena hanja kau
pahlawan – tiada dua.
Ah, manusia ini hanja
debu, kautahu?
dan antara debu dengan
debu
tiada tuhan, tiada
pahlawan
kalau satu dewa jang
lainpun dewa pula.
III
Tidakkah pernah dalam
tengah malam sunji
Selalu kau terlentang
Mendengarkan suara
nurani
Berbitjara lantang?
Dari hidup manusia,
dialah jang tak pernah dusta
Dari diri manusia,
dialah jang paling murni
Sepuhan, pakaian,
tiada guna, lantaran dia
paling mesra dengan
hati.
Kau. Bitjaramu selalu
tinggi
Mimpimu selalu hidjau
Atas segala kata, atas
segala mimpi
Apakah telingamu tuli,
ataukah
nuranimu bisu bagai
batu tak bertatah?
Kau. Hatimu jang
selalu pura-pura
Tidakkah kepada dirimu
sendiri kau tak kuasa
Kendati hanja sepatah
dusta?
Setelah membatja
sadjak ini,
pedjamkan matamu, lalu
hening
dalam malam jang
tentram; merenung
menjelam ke dalam
relung
rongga-rongga dasar
djiwamu: Kenalkah kau
kepada mata kuju yang
kausuruh makan batu?
Kenalkah kau kepada
tubuh-tubuh begung
jang tak djemu
kausuruh menanggung?
Kenalkah kau kepada
dada gambang
jang dikerahkan dari
satu ke lain rapat
untuk bertepuk tangan,
menarik urat, memuaskan hatimu
jang tak djemu
disandjung?
Hidup ini di atas bumi
fana
segalanjapun fana.
Sadjak ini
menolak kefanaan, dia
menjadarkan
manusia jang riwan
mimpi djadi tuhan.
Bumi fana, menampung
hidup fana.
IV
Kau. Kau jang selalu
bitjara
sekali ini dengarkan,
dengarkanlah
suara orang jang
mungkin
dengan suaramu sendiri
berlain.
Kau. Kau jang selalu
bitjara
sekali ini dengarkan,
dengarkanlah
suara jang adalah
suara paling dalam
keluar dari hatimu
sendiri
dalam malam hening
sepi.
Karena sadjak ini
bukan mimpi
remadja merindukan tjinta,
tapi
mengadjak kau
mendjenguk nurani
jang telah lama
kaudjauhi – kauhindari.
Karena sadjak ini
bukan lamunan
penjair tak tentu
kerdja, melainkan
membangunkan kau jang
gamang
terumbang ambing di
pinggir djurang.
Karena sadjak ini ‘kan
djadi bungkus roti
kalau petani mampu
menjanji malam hari,
tenang mengerdjakan
sawahnja lagi,
lepas dari intipan
takut, gelisah, bimbang;
kalau pedagang senang
menembang sepandjang hutan,
selagi mendjadjakan
beras, gula, garam;
dan kalau segala
mimpimu bukan lagi
hanja onggokan kata
dan kertas, tertumpuk tinggi,
tapi telah mendjadi
hidup manusia sehari-hari.
Djatiwangi,
November 1961
Tentang Ajip Rosidi
(Tak ada biodata penyair di buku ini). Ajib Rosidi
lahir 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Sejak SMP Ajip
sudah menekuni dunia penulisan dan penerbitan. Ia menerbitkan dan menjadi
editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955). Pada tahun
1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin redaksi
majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); Pendiri penerbit Pustaka
Jaya (1971); Menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta
(1972-1981). Ajip yang tidak pernah menamatkan pendidikan SMA-nya itu
pernah menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran,
Bandung (1967); Pengajar tamu di Osaka Gaikokugo Daikagu, Osaka, Jepang (1981);
Guru Besar Luar Biasa pada Tenri Daigaku, Nara (1983-1994) dan Kyoto Sangyo
Daigaku, Kyoto (1983-1996). Saat meraih gelar Doktor Honoris Causa dari
Unpad, Ajip Rosidi berujar, "Memajukan Kebudayaan Sunda Bukan
Provinsialistis". Untuk melihat daftar karya-karyanya, silakan baca
postingan “Pantun Anak Ayam”. J
Catatan
Lain
Rasanya, ini pertama kalinya saya menuliskan
dua tanda baca yang tak lazim, maksudnya sebelumnya belum pernah saya lakukan,
yaitu angka 2 dibelakang kata yang berulang (contoh kawan2 untuk kawan-kawan)
dan pemberian tanda petik di bawah atas (,,”) dan bukan atas-atas (“”) seperti
sekarang. Nafas puisi dalam kumpulan ini kadang bersifat individualistis, dan
beberapa berupa kritik sosial yang khas tahun 1960-an. Oya, karena umur buku
ini (dicetak tahun 1970) lebih tua dari usia saya. Maka boleh dong kita panggil
dia sebagai kakak. Semacam kakak buku. Hehehe. Bercanda.
salam hangat dari kami iijin menyimak dari kami pengrajin jaket kulit
BalasHapus