Data buku kumpulan puisi
Judul : Laila
Penulis : Sumasno Hadi
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta
Cetakan : II, Februari 2013
(cet. I : Januari 2013)
Tebal : xv + 108 halaman (80 puisi)
ISBN
: 978-602-7673-54-0
Penyunting
dan tata letak: Anne Shakka
Desain
sampul : Sumasno Hadi
Prolog
: Timur Sinar Suprabana dan KH. Amin Maulana Budi Harjono al-Jawi
Epilog
: A. Kohar Ibrahim
Beberapa pilihan puisi Sumasno
Hadi dalam Laila
Matinya
Bunga Cempaka
cempaka muda menyembur kedukaan
bukan lagi kenanga dan kamboja
cempaka tumbuh dari keluarga
tertinggi
bunga-bunga surga zaman ini
bunga-bunga segar lalu layu
ujungnya mati mengering
cerita bungaan mengendap
di sanubari luas
sebelum
pergantian wajah skeptis ini, zaman mandek ini
suatu
perjalanan sangat panjang menceritakan likunya
pada
aroma-aroma putik cempaka
kenanga
dan kamboja menyerahkan titipan
kehormatan
perasaan sebangsa, setaman
ada
aroma lembut
meluncur
cepat di antara canda dan tawa kepolosan
siapapun
mengikuti aroma-aroma bunga
menjadi
waktu
mekar
aku adalah waktu yang menerjang
menjadi hidup dan melahirkan
bunga ranum wangi berparas dewi
oh, ini masih sekitaran
pengabdian
tugas dalam kemuliaan
taman sari kehidupan
ada keheningan dan hampa sepi
hewan-hewan kecil di malam
menghibur taman
kehampaan alur pikiran sudah
datang
entah, kau pergi memperlihatkan
tikungan tajam
menuju kebersamaan keadaan
perasaan
perasaan
rerumputan sekitar taman
bukan
gunung-gunung keras angkuh
hanya
beberapa di seberang taman
mengangkang
dengan letusan
tiada
mengganggu
di
dalam rumah penghuni keghaiban
menyendiri
keindahan taman
cempaka
berguguran
menyampaikan
kemuliaan
pada
kenanga dan kamboja
cempaka
mati di taman
(Yogya,
22 Desember 2010)
Aku Walang
aku
binatang Walang
kadung
berkumpul di rerimbun angan-angan
biar
lagu rayu membakar kupingku,
kekek-ku tetap renyah
biar
gemuruh mesin membuat tangis sehutan,
aku
masih menclok di dahan malam
orang
tua menebang pohon
sudah
kelelahan
tapi,
tak sepadan linu ini
bocah
ingusan menimpuk dahan-dahan
kemudian
jadi luka,
di
segenap sendi
aku
bukan anak singa,
yang
lincah di rerumputan
karena
angan cuma menatap sayu
aku
diam di sepanjang desah angin lengang
aku
Walang
yang
hampir terbang
(Sribhawono, Lampung: 12
Desember 2011)
Sungai
Cinta
shalawat
puisiku masih ngiang
ia
menipu mata sebagai kekalahan
ia
halus, ia lembut
ingin
aku bergerak mengikuti jejaknya
sebagai
kepasrahan pada cerita
tiada
duga atau pikiran kepala
hanya
tanya, hanya tanya
pantaskah
aku menatap wajah bulanmu?
berujung
permohonan kepada pemilik tabir suci
tuliskanlah
puisi segala rahasia
tauhidkanlah
ia
lekas
akan kugelar sajadah darimu
di
permukaan sungai cinta yang basah
sungai
yang dipeluk para warna
butiran
bunga-bunga
(Kayutangi,
8 Oktober 2012)
Revolusi
Kentut
perubahan
tak mungkin diingkari
evolusi
menjadi bentuk
cara
bertahan
dari
sederhana sampai yang rumit
dari
bau kentut hingga gelombang elektromagnetik
selalu
muncul kebaruan
kehidupan
kembali padanya
kembali
berevolusi
ini
bukan tentang teori evolusi dalam biologi
ini
adalah revolusi bau kentut
orang
berteriak-teriak revolusi
tapi
suara teriakannya membuat keresahan
bising
dan gaduh
yang
teriak tak tahu apa yang diteriaki
kepada
siap teriakan itu diteriakkan?
karena
hanya kentut saja
baunya
tak akan bertahan lama
bau
kentut busuk digilas aroma wangi parfum
olahan
pabrik negeri sebelah
(Sribhawano,
12 Januari 2012)
Dongeng Menang dan Kalah
kalau ini nanti jadi puisi, silakan
kalau pada akhirnya kata-kata jadi
kentut, terserahlah
karena pembelaanku tidak berharga
dalam nilai apapun
tidakku mengiya
tidaklah padaku menyangkut di dahan
perasaan
menepi dari arus pikiran kebenaran
dari senyuman, tangisan, atau
keadaan yang direncanakan
bukan, bukan mereka itu, bukan
apapun di sana
satu kesimpulan dari dua pilihan,
gelap dan cahaya
sisi yang jelas berbinar-binar di
sini, kepadaku saja
yang bukan harus menidak
di sini, buta
dalam dongeng menang dan kalah
di tengahnya itu menyerah
pecah
runtuh
rusak
kalau ini nanti jadi apa, biarlah
(Yogya,
29 Februari 2011)
Padang Rumput
arah angin
dia terlalu lembut untuk digenggam
terasa dingin ketika aku telanjang
tanpa dendam
hanya hamparan kejujuran
arah angin
membawa beberapa kabar dari seberang
yang terukir indah nan menawan di
dua insan
berpadu menggelora bara rasa
angin pagi yang lalu telah membuat
aku sejenak terlupa
menutup buku catatan
masuk semakin dalam
melewati ruang-ruang keindahan
merebah di atas padang rumput hijau
lepas belenggu hilang kepenatan
bersama angin pagi berpeluh nada
suka
menjelang cahaya
(Yogya, April 2011)
Versi facebook:
Baris 8 : berpadu
menggelora tentang cinta
Baris 10 : dan menutup buku catatan
Baris 15 : bersama angin pagi
berpeluh cinta
Puisi Biru
Aneka
macam musimnya yang tak sepasang. Di antara aneka macam musim yang paling indah
itu, adalah saat sisi kanan dan sisi kiri perjalanan telah semi dan mekar.
Keluarga-keluarga yang hangat kemudian berdendang, menyanyikan lagu balada. Di
mana-mana, kerumuan kegairahan semakin banyak ditemui. Pesta dan kemegahan
berkumandang, di balik tembok megah istana. Pangeran-pangeran serta putri-putri
berdarah biru semakin mengharu biru dalam kenikmatan. Kenikmatan yang biru. Dan
pada suatu sore yang mendung, di luar tembok istana Kerajaan Biru, di tepi
telaga biru, Ratu Permaisuri sang Raja seperti kebingungan mencari bunga mawar
birunya yang hilang. Sang Ratu tiada tahu jalan pulang... Kebingungan yang
biru...
dia mengenakan kain biru di tubuhnya
tak ada yang mengerti
tak ada yang pernah melihatnya seperti itu
dia telah memetik setangkai mawar biru
dibawa pulang ke istana
tapi kemudian terbang melayang
aku melihatnya, aku meraihnya
aku menggenggam helainya
aku merobeknya menjadi seribu
menjadi butiran cerita
sesaat jadi sulaman dalam harapan
semua sorot mata berbinar-binar
memandangnya
tapi tak satupun perasaan dapat
menyentuhnya
aku mencabiknya menjadi serpihan
menjadi kepingan
menjadi pecahan
menjadi udara
menjadi kata
dia
menyingkap kebiruan hati yang padam
segenap
nyawa mengaliri sungai yang kering
seluruh
jiwa menghempaskan kedamaian
menjadi
hidup yang berjalan
penuh
kenangan
sepasang
beberapa
pasangan
sekelompok
hati
sejumlah
kehidupan
satu
tujuan
melewati
air mata dan kepedihan
melukiskan
cerita kelam di kain yang biru
hei, pemilik hati!
hei, pelukis hati!
hei, perajut tangisan!
kenakanlah kain birumu kembali
biarkan seperti adanya
biarkan saja menjadi seperti
adanya
aku menutup mata menahan sakit
kelaparan
aku berlari mengejar rasa lapar
yang tak padam
aku menjadi penyingkap keelokan
aku kemudian merebahkan kekuatan
di antara denyut kelelahan
kulihat dia mengenakan lagi kain
biru
telah sembab dan lebam
biru yang sama
bekas tikaman dan bekas cabikan itu masih terlihat
kain yang sama di birunya keadaan
kulihat biru yang sungguh-sungguh sama
jalan ini memang sama adanya
beberapa waktu pernah kulalui
tiada beda tiada warna
biru yang sama
rajutan benang dengan pola yang sama
sesekali
ada tegur sapa di sana
dari
pelajaran dan bimbingan
mengajarkan
dan mengingatkan
tentang
segala arah tujuan dan harapan
jika
bukan karena ingatan, semuanya menjadi kehilangan
karena
ingatan, lahirlah keindahan
jika
tidak ada keheningan, musnahlah pikiran
karena
keheningan, berjuta pikiran muncul menjadi keramaian
dalam
pikiran, dia mengenakan kain biru
yang tak
seorangpun pernah memandang
dalam
keheningan, dia terus menyulam
menyulam
benang bunga
mawar
biru harapan
kebiruan
ini bersemayam
(Yogya, 11 Mei 2011)
Mabuk Kopi
duhai kopi,
kamu mengerti
aku memuja hitammu
bukan pekat
kegelapan
tapi hitam tempaan
keringat
dari kilau-kilau
merah ranum
suntingan jemari
cakatan
aromamu selalu
menari
duhai
kopi,
aku
menggilaimu
pada segala
daya cuaca
bila
engkau panas, aku cerah
lalu
kuseruput bibirmu yang ranum
desah-desahku
jadi pelangi gairah lelaki
bila
engkau dingin, aku jadi kanak-kanak
yang
merengek minta kecap nikmat
gula-gula
di dalam lembutmu
duhai kopi,
kepastian matahari membakar biji hati
meracik kepulan warna
bunga surgawi
duhai, kesetiaan purnama
bulatan cinta melengkapi mata-raga
seperti temaram sore yang jingga
aku mau mabuk kopi seperti ini, setiap hari
(Kayutangi,
2 Oktober 2012)
Berbagi Angin
jam satu
jarum panjang di angka satu
malam-malam hening
jadi pendorong orang-orang suci
untuk bergemuruh
untuk menyuarakan munajatnya
melagukan rindu-cinta bagi
kekasihnya
kalau Mbah Kakung,
pasti sedang mendoakan cucu-cucunya,
agar kelak jadi orang
bukan doa di atas sajadah,
tapi di atas lincak bambunya
sembari membakar tembakau dalam
papir lintingan
karena malam,
angin seolah memeluk bumi
dengan berbagai cerita yang tak
berkesudahan
mengabarkan janji dari pucuk
cakrawala
tapi tidak padaku
aku malah gerah sendiri
pintu rumah kecil yang dibangun
Bapak telah rapat
seperti biasa,
semenjak fajar sudah pamitan
sang angin harus mengetuk pintu
satu-dua kali
kalau mau membagi kesejukan
semua telah ada persyaratan
keheningan malam yang ini
televisi di ruang tengah edan
sendiri
aku menggamit remote tipi
lalu kucampakkan di atas tikar
aku bersemangat
untuk membagi
keheningan
lalu, pintu kubuka kunci grendel-nya
menuju kolam belakang
aku lihat belasan gurami menyembul
di permukaan
mereka berkecipakan di bawah
rembulan yang tak bundar
kubiarkan saja pintu tetap menganga
angin masuk dengan perlahan
(Sribhawono, 28 Agustus 2012)
Pencuri-Pencuri Malam
pencuri-pencuri
malam itu datang lalu-lalang
pernah
dengan ramai menguras milikku
semuanya,
seketika
kemudian
kukais lagi harapan
di
taburan gemintang yang seribu
kugapai
satu
gelap
menyongsong dengan rayuan
menawarkan
kepekatan paling manis
membuat
kerlipku lenyap mereka pendam
pencuri-pencuri malam mengulurkan tangan
lalu seorang mendekat dan tersenyum
berkata padaku,
"akulah teman dalam kesombonganmu
akulah pencuri yang akan menyelamatkan
angkuhmu!"
lalu seorang lagi menepuk bahuku seperti
sang ayah
dan sekejab mereka lenyap menjadi
kekosongan
milikku
telah mereka rebut semuanya
segala
perasaanku juga mereka rantai dengan kokoh
mereka
itu pencuri-pencuri malam
aku
tersungkur mengucurkan darah kekalahan
merangkak
dengan keringat tanda kelemahan
kepastian
pada mereka yang akan kembali merenggut
mereka
yang memeras dan menguras
tapi
aku masih punya bibir untuk tersenyum
akan
kubuka sekuat nyawa hingga mereka insaf
hingga
membunuhku
pencuri-pencuri
malam
jemputlah aku
(Yogya, 27 November 2010)
Tergenang
tentang
puisi
pada
mulanya adalah kata
aku
yang mengaku telah melipatgandakan
jumlah
kelap-kelip kesementaraan
menjadi
keheningan
diam
permulaan di dalam kataku telah
menyongsong
memeluk sejuta cakrawala
sehabis membasuh muka loyo
segelas air hitam berkelindan pada gula
manis
perempuan tergenang
diam
melanjutkan daya
untuk siapa saja
sesak dan lapang
seperti
kemungkinan lemparan dadu
seperti sambal
bawang
meremas pedas
tenggorokan
payah bernyanyi
tersengal
aku terus melotot kencang
menendang perhitungan
aku ambruk sendiri
mati
mati
diam
tentang
kata berjumbuh nada gelora
aku bukan saja berlaku sebagai aku
mendaku tamparlah daku
segenap alam, hentikan pengakuanku
hentikan untuk melayang-layang
campakkan sisa nyawa di sini
padanya
yang daku
tenggelamkanlah aku
selipkan di tumpukan kertas puisi
sajak hidupku
hidup seluasnya
sedalamnya hidup
(Papringan, 26 Agustus 2011)
Bebauan di Penghujung Malam
bau
anyir mulai mengoyak keheningan
deru
angin panas jadi memburu
matahari
hilang ingatan
dan
lalu-lalang di sekeliling makin tak beraturan
tapi
alam masih bertahan
tetap
alami di tengah-tengah ceritanya
yang
tragis
di sana,
ada
manusia yang melantunkan lagu doa
ada
yang membaca tulisan lama
ada
yang menari,
tapi
tak bergerak tubuhnya
juga
ada yang menelpon ibunya,
sembari
meminta ampun atas perilakunya
di
sini,
aku
berbodoh ria mengenang dosa
suatu senja,
terdengar
negeri yang berbanjir darah
padang
rumputnya menjadi genangan merah
sisa
peperangan antara anak dan bapak
rumah-rumah
menjadi kepulan asap
sisa
lempar-lemparan api,
antara
adik dan kakak
gedung
sekolah dan tempat ibadah rata dengan tanah
sisa
pertempuran tak seimbang
pertempuran
saudara
gunung-gunungnya
muntah serapah
beringin
tua tercerabut akarnya
melayang-layang
di udara
laksana
hujan petaka
senja
dan malam merobek nyawa
tiada,
tiada
sanggupku untuk mendengar
kabar
selanjutnya
selain
dosa-dosa,
yang
terus berdatangan dalam ingatan
di
penghujung malam,
tangan
kananku bergerak perlahan
lalu
menutup hidung
dari
bebauan
dari
bebauan
(Kayutangi, Banjarmasin: 11
Februari 2012)
Cinta dalam Angkutan Umum
cinta
dalam angkutan umum
datang-pergi,
hilir-mudik
mencari
penumpang hati
namun
ujung cinta kembali lagi
masuk
terminal kedamaian
romantisme
di jalanan cinta akan bising dan menyesakkan
asap
hitam janjian, keluar dari cerobong kebohongan
cinta
terlalu sering membuat jadi panik
pusing
bingung
marah
dan menangis
tak
terduga
cinta
terombang-ambing oleh pengemudi tak bijak
tiada
arti berputarnya roda cinta di jalanan jiwa
tiada
ngerti apa-apa tanpa kesabaran
cinta
dalam angkutan umum,
nanti
aku jadi pengendara
atau
aku jadi penumpangnya?
(Yogya, 19 Desember 2009)
Alamiah
kugoyang-goyang
dua kaki
menjadi
beberapa, dan ribuan
lagi,
dan teramat banyak langkah-langkah
ini-itu
yang menandakan
penjelasan
adalah berfikir untuk berproduksi
alamiah
tak mencari bentuk-bentuk
alamiah
tidak berdebat indah dan kumal
alamiah
tidak mengukur pantas dan kurang etis
cinta
alami yang alamiah
kapan?
saat ketakpahaman diakui adanya
saat
anak-anak dibiarkan menulis
atau,
saat menulis buah kejujuran
segala
yang dilumrahkan bukan yang alamiah
bukan
ini-itu, semua ini-itu cinta
cinta
yang berjalan alamiah begitu saja
jujurlah,
semua dalam perjalanan
(Yogya, 22 Desember 2009)
Melodi-melodi
pada
tanah Sribhawono
aku
ditancapkan di kebun singkong
oleh
mereka berdua
pada
jalan raya, papan tulis, dan gedung kuno Yogya
aku
dipertontonkan keadaan, oleh kejadian
pada
riak-riak kota seribu sungai, aku naik prahu jukung
dengan
memeluk sebuah gitar bolong
untuk
belajar lagi lagu lama yang hampir terlupa
padaku,
niat mengarungi melodi-melodi
mungkin
dapat menjadi bekal
menjadi
kekuatan
ketika
bersandar di pulau masa depan
di
sanalah kudirikan
rumah
harapan
bersama
kekasih
(Kayutangi,
22 Maret 2012)
Nb.
Di buku, puisi Melodi-melodi memakai eksperimen tipografi
Tentang
Sumasno Hadi
Sumasno Hadi lahir Di Metro (Lampung), 8
Maret 1983. Lulusan Universitas Negeri Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Seni
Musik. Paska Sarjana di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dengan
mengangkat tesis pemikiran-pemikiran Cak Nun. Laila adalah kumpulan puisinya yang pertama. Saat ini penulis
tinggal di Banjarmasin, mengajar musik di Sekolah Musik Senada Musika
Indonesia, Prodi Sendratasik FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Dan terakhir
(ini tak tertulis di buku) mengajar filsafat di IAIN Antasari, Banjarmasin.
Catatan Lain
Saya ketemu
dengan penyair ini saat peluncuran novel Sekaca
Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF di aula Perpustarda Kota Banjarbaru,
beberapa waktu lewat. Namun sudah lebih dulu mengenal dan membaca beberapa esai/artikel-nya
di Koran lokal. Makanya tak heran , puisi pertama yang dimunculkan adalah
sesuatu yang tak jauh dari Cempaka, yaitu Matinya
Bunga Cempaka. Bagi saya pribadi, puisi-puisi Sumasno tergolong “rumit”, susah
dimengerti atau butuh berpikir dan hening sejenak untuk menangkap maksud dan
suasana puisi-puisinya. Jika julukan bagi penyair masih ada, seperti penyair
burung merak untuk Rendra, atau penyair clurit emas untuk D. Zawawi Imron, atau
penyair burung gelatik untuk Micky Hidayat, maka saya mengusulkan julukan penyair Walang untuk penyair ini. Hehe
: aku binatang Walang/kadung berkumpul di
rerimbun angan-angan/biar lagu rayu membakar kupingku,/kekek-ku tetap renyah
biar
gemuruh mesin membuat tangis sehutan,/aku masih menclok di dahan malam (puisi Aku Walang).
Oya,
sebagian besar puisi di sini merupakan puisi pilihan yang dipajang si penyair
di facebooknya, namun saya sesuaikan dengan bukunya. Ada beberapa puisi yang
mengalami perubahan, namun rujukan utama tetap buku si penyair. Ada empat nama
di sampul belakang buku, 2 nama menyumbang tulisan singkat di prolog dan
epilog, yaitu Timur Sinar Suprabana dan A. Kohar Ibrahim. 2 nama lagi yang
murni menulis endorsemen, yaitu Soe Tjen Marching dan Sainul Hermawan. Oya,
karena facebook ambil peranan besar, saya kutipkan satu puisi lagi yang tak ada
di buku Laila, yaitu Imaji Merah Flamboyan. Selamat
Menikmati. Dan kepada penyair, ribuan maaf dan terima kasih.
IMAJI MERAH FLAMBOYAN
dan aku tak tahu rupamu
yang seringkas kilat sinar
rogoh kantuk pada malam
jaga tertawan keresahan
tapi-tapi tak kalau-kalau
kau pun merupa sukamu
tapi kalau tak kalau tapi
mauku memburu imaji
terangkanlah begitumu padaku
kerena tak tahu menyebab duka
duka mendukaiku mendukaimu
datang yang tak bisa dimengerti
seperti pecah tawa bocah
afrika
saat bangsanya perang saudara
serasa bernada lembut di telinga
begitu merupa tersaji dunia nyata
keharuman berujung di tanah
tersapa sesuara nyanyi Bimbo
"senja itu,
flamboyan berguguran
berjatuhan, berserakan..."
dan tubuhku redup warna
tapi kalau tak kalau tapi
begitumu memang gulita
tapi-tapi tak kalau-kalau
flamboyan merah entah
begitu kataku merupa
dunia memerah darah
dari jiwa-jiwa serakah
Kayutangi, Banjarmasin: 23 November
2012
Apa persyaratan agar buku puisi saya dapat terposting di blog ini, Mas? :)
BalasHapusOke penyair, pertama-tama makasih sudah berkunjung :) Saya senang dikasih pertanyaan ini. Biasanya saya secara fisik menemukan dan membaca langsung bukunya, memilih-milih mana puisi yang saya senangi. Tapi format ebook pun tak masalah. Terserah mau format .doc atau .pdf atau rtf. Kirim ke email saya atau via akun facebook. Saya akan sangat berterima kasih karena sampeyan mau berbagi puisi di blog ini. Ditunggu :)
HapusSaya sudah kirim naskahnya via Facebok, Mas :)
BalasHapus