Data buku kumpulan puisi
Judul: Sepucuk Pesan Ungu
Penulis: Ready Susanto
Cetakan: I, Mei 2007
Penerbit: Semenanjung, bekerjasama dengan Penerbit
Bejana, Bandung
Tebal: 80 halaman (62 puisi)
Desain
kulit muka: Matadesain
yang kunamakan sajak
hanyalah gelisah yang sederhana
kata yang bersahaja
(kata
pembuka buku, Ready Susanto)
Sepucuk Pesan
Ungu
terdiri dari 2 (dua) kumpulan, yaitu Sepucuk
Pesan Ungu (33 puisi) dan Album Lama
(29 puisi).
Beberapa pilihan puisi Ready
Susanto dalam Sepucuk
Pesan Ungu
Yang Paling
Pertama
- kado untuk
Yoen Ts
maaf,
bila cintaku terlalu berlumur kata-kata
dan
suatu ketika kau sebut itu
dusta
belaka
ingin
sekali, hanya kupeluk rindumu
dalam
sepi seperti
ketika
pertama berjumpa
aku
terjerat senyum yang terkesima
cinta
kini telah jadi prosa
diguncang
bimbang diguyah resah
gelisah
jadi sembilu
karena
janji yang disepuh mimpi
untuk
itu, kekasih
kukenang
selalu jumpa yang paling pertama
ketika
aku terpesona
pada
wajahmu yang tersipu
menyimpan
cinta yang tak ternyana
puisi
saja
(2006)
Momen Biasa
kita
berpandangan cuma
menakar
rasa cinta
menebak
dalam rindu
senyummu
tawar
engkau mengenang siapa?
tawaku
hambar
siapa bisa mengukur setia?
(2006)
Nongsa Point
Marina
- Sapto
it’s only word
and word that’s all I have
to take your heart away…
(“Word”, Bee
Gees)
Orang-orang
pun berkemas ketika kata-kata lepas jadi ombak
yang
gemas. Benarkah hanya kata yang dapat membawa
hatimu
berkelana? Engkau tatap ujung cahaya, lelap, langit
gelap.
Tetapi cahaya berhamburan, pecah di ujung kenangan.
Engkau,
“Sedang apa gerangan?” Coba mengingat atau melupa,
tak
ada beda. Keduanya cuma sesayat luka, atau suka? Tak ada
beda.
Orang-orang
akan pulang, meninggalkan laut sendirian.
Cahaya
telah padam, bungkam, lensa kehilangan mata. Engkau,
“Jangan
mengenang,” kataku. Cuma akan jadi rindu dendam
dan
kau akan karam
(2007)
Engkaukah
engkaukah
laut,
deburmu
merindu
kelip
lampu
engkaukah
angin,
bersiut
rawan
pada
dahan
engkaukah
sampan,
terkenang
rindu
pelabuhan
(2007)
Album Lama:
Dipati Ukur No. 68
- Republic
Science Club suatu ketika
Hujan
renyai jatuh ke sekian kali di jalan ini. Mengapa tak kau
kembangkan
payungmu yang berbunga-bunga itu? Sementara
kata
tak ada, kita cuma akan mendengar desau angin yang pergi
bersama
rahasia. Ke mana? Entah. Kita hanya perlu desir ge-
rimis
untuk digulung di dalam catatan harian.
Di
tikungan itu, tepat sebelum tangga, aku ambil jalan ke kanan.
Engkau
menggosok-gosok sepatu, mengetuk-ngetuk payung,
menyesap
ingatan dalam-dalam, “Berapa resah yang telah jadi
entah.”
Ah, kekasihku, begitu dalam palung waktu, menunjam
serupa
lempeng benua dan samudera.
Di
sini ruang begitu sungkup, bertimbun buku, berjibun berkas.
Kita
menyingkup dunia yang terbang lepas dalam malam-
malam
perbantahan yang hangat. Di luar, dingin berdecit di
telinga,
engkau menghalaunya dengan ribuan halaman kopi.
Sigaret..
sigaret.. Di mana gerangan sigaret? Freire-kah itu yang
menyesapnya
dan membualkan asap di sembarang tempat?
Lalu,
pagikah itu yang mengetuk pintu? Suratkabarkah yang
datang
dengan sepiring colenak hangat?
Begitu ramai dunia di
luar
sana, anak-anak itu datang dengan menggebu, selalu
berjaket
biru. “Orde itu segera tamat!” Dan lapangan rimbun
pun
menjadi panas, hiruk-pikuk, senja pun datang dengan tak
peduli.
Tapi engkau telah tahu, kapan saat mesti menunggu.
Dan
engkau memang setia menunggu, duduk di bangku itu,
berceloteh
ringan tentang ragu. Di sudut, perpustakaan seperti
termangu,
ruangannya dingin beku. Buku-buku mengunggun
debu,
sekali-kali saja kita meminjamnya. Pertanyaanmu terngi-
ang
selalu, “Dengan siapa engkau bertukar cinta pada halaman-
halamannya?”
(2007)
Sekuntum Mawar
Putih
- teringat
Gibran-May
sekuntum
mawar putih dalam hatiku
yang
telah kusemat dekat dahimu
betapa
manisnya!
ia
gemetar menahan malu
(2007)
Seseorang
Menunggu
- Menoel
apakah inti hidup itu menunggu
seperti hakikat menua
adalah menjadi sepi?
aku
menunggu kereta lalu
jentera
besi berdesis
dan
dari dua batang rel memercik
api
rindu
kereta
berderap lagi, lagi, dan lagi
tak
satu pun jurusanku
sementara
dari sekian pintu
bertemperasan
seribu sepatu
tak
sebersit pun bayanganmu
ah, kerinduan
setengah dari kehidupan,
engkau
mengutip ujaran
dari
buku entah yang mana
aku
pun masih menunggu
di
stasiun yang kini mati
menua
bersama gelimang cahaya
menanti
kereta paling akhir
yang
mungkin jurusanku
(2007)
Perjalanan
Lama: Stasiun Frankfurt
Angin
kelabu, desisnya di luar napas. Jalanan beku, kereta
berderak,
orang-orang berlalu. Siapakah aku? Di tengah cuaca
hampir-hampir
salju, asap sigaret tak pernah bisa kutahu. Cuma
derit
napas yang mengambang ke negeri hujan.
Siapakah
engkau yang muncul dari balik rerimbun tiang listrik,
sengkarut
gedung-gedung fana? Tangan di saku, mantel ber-
bulu
– rambutmu di mana? Tak bercakap, cuma sejelas isyarat,
Bagilah aku sigaret itu. Maka
kuketukkan sebatang sigaret di
bangku,
memantik api ke ujung sesapmu. Senyum yang dingin
itu
pun berlalu. Aku tersedak – entah asap, entah udara yang
sedingin
bungkah es. Bagaimanapun, aku berlagu: senyum itu
sapaan
pertama di hari-hari serupa mendung ini.
Lalu
menunggu, bus belum sampai waktu. Seperti langit sekan-
vas
debu, diam menyesap guguran gemuruh dedaunan. Di ujung
sana,
kereta merayap-rayap di semua sudut kota, stasiun juga
menunggu.
Perempuan tua dengan mangkuk buruk, meminta-
minta,
tak ada yang peduli. Cuma kami yang asing di lanskap
bersih
ini.
Pintu
bus berdentang, tak tampak seorang penumpang! Tapi ia
merayap
saja serupa mesin, tak pernah meleset dari tanda-tanda
perhentian
– tegak menunggu tak kenal waktu. Duhai,
begitu-
kah cinta kekasihku?
(2007)
Seuntai
tentang Rindu
alangkah
takut aku pada rindu
ia
seperti ular dalam semak hatiku
mematuk
di belakang punggungmu
(2007)
Pelabuhan
Kecilku yang Tenang
pelabuhan
kecilku yang tenang
mata
yang teduh
tempat
berlabuh
(2006)
Sepucuk Pesan
Ungu
ini
pagi yang sungguh rindu
seperti
langit mendung yang kugulung
jadi
sepucuk pesan ungu
yang
entah apakah selalu kau tunggu
(2006)
Cintaku Pun
cintaku
pun bungkam
seperti
batu di dasar begawan
cuma
mendengar desir rindu
di
sebujur waktu yang berlari
cintaku
pun diam
seperti
elang di tubir jurang
hanya
menatap desau ragu
pada
kenangan yang sembilu
cintaku
pun melambai
padamu
menumpang
bahtera pertama
bertolak
melayari sunyi
cuma
tinggal sepatah janji
kirim
isyarat jika angin mati
:
ia menunggu dengan sabar dan keras hati
(2007)
Menulis Lagi
Sajak
menatap
bunga yang bermekaran
dan
cericit burung beterbangan
dalam
derai hujan tipis-tipis
kutemukan
lagi kenangan
dan
cinta remaja yang setia
dalam
surat dan buku harian
yang
terbengkalai
:
wahai, betapa murninya!
menatap
tangkai hanjuang
yang
menguning dan luruh
di
halaman rumah
angin
gunung mengalir
dedaun
menggigil seperti bayi mungil
kuhayati
kesepian dan duka
tangis
dan harapan tak terjengkal
cita-cita
belum tergenapkan
angan-angan
yang mengimbau
:
wahai!
(2006)
Bunga
- Yoen Ts
yang
kusemai dahulu
di
taman kesunyian
berbungalah
sudah
wanginya
selalu
mengalir
dari sela jendela
yang
kutanam sebagai janji
tumbuhlah
jua
mengarungi
masa
semerbaknya
senantiasa
mengetuk
pintu kamar kita
(2006)
Tentang Ready
Susanto
Ready
Susanto lahir di Palembang, 25 Desember 1967. Lulus dari Departeman Jurnalistik
Fikom Universitas Padjadjaran pada 1992. Bekerja sebagai editor di beberapa
penerbit di Jakarta dan Bandung. Sajak-sajaknya pernah di muat di Suara Pembaharuan, Jayakarta, Bandung Pos,
Pikiran Rakyat, Puisinet, antologi Potret
Pariwisata dalam Puisi (1990) dan Cerita
dari Hutan Bakau (1994). Kumpulan puisinya Surat-surat dari Kota (2006).
Catatan
Lain
Saya
hitung-hitung, setidaknya ada 25 sajak pendek, yang hanya terdiri dari satu
bait saja. Dan ada 13 puisi yang bertipografi paragrafik, dengan penulisan rata
kiri-kanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar