Data buku kumpulan puisi
Judul : Serat Joko Lodang
Penulis : Ronggowarsito
Cetakan : -
Penerbit : -
Tebal : -
ISBN : -
Sumber
Foto Ronggowarsito : http://seratsuluk.wordpress.com/
Sumber
referensi penerjemahan :
Terjemahan
bebas Serat Joko Lodang oleh Ronggowarsito
GAMBUH
Joko lodang datang dengan berayun di antara dedahan pohon
Duduk tanpa sopan santun dan bicara dengan lantang
Ingat-ingatlah, sudah menjadi Kehendak Tuhan
Bahwa setinggi-tinggi gunung akan merendah
Sedalam-dalam jurang bakal timbul ke permukaan
Zaman serba terbalik
Terusir kita dari bumi kecintaan bagai si kalah perang
Tapi jangan keliru
Mengurai kabaran yang telah digariskan
Walau serendah apapun gunung
Masih akan tetap terlihat
Berbeda dengan jurang yang curam
Walaupun ia melembung
Tanpa penahan yang kuat, longsorlah ia.
Ini sudah menjadi kehendak-Nya,
Bilamana telah menginjak masa:
Sirna tata estining wong
(Tahun Jawa 1850. Sirna = 0, Tata = 5, Esthi = 8, Wong =
1. Kisaran tahun 1919-1920 masehi)
SINOM
Seluruh kehendak tak ada yang terwujud,
apa yang dicita-cita buyar,
yang dirancang berantakan,
yang ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanya perbuatan nista,
orang besar akan kehilangan kebesarannya,
bangga dengan nama tercemar tinimbang bersikap ksatria,
sedangkan yang kecil juga tidak sadar akan dirinya.
apa yang dicita-cita buyar,
yang dirancang berantakan,
yang ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanya perbuatan nista,
orang besar akan kehilangan kebesarannya,
bangga dengan nama tercemar tinimbang bersikap ksatria,
sedangkan yang kecil juga tidak sadar akan dirinya.
Banyak orang terlihat alim, tetapi hanya semu belaka,
di luar tampak baik tapi di dalam busuk,
banyak ulama gemar bermaksiat,
mabuk, main perempuan, dan berjudi.
Banyak haji melemparkan,
dan melepas ikat kepala hajinya,
para wanita kehilangan kewanitaannya,
karena pengaruh harta benda,
semata-mata karena kebendaan-lah yang menjadi tujuannya.
di luar tampak baik tapi di dalam busuk,
banyak ulama gemar bermaksiat,
mabuk, main perempuan, dan berjudi.
Banyak haji melemparkan,
dan melepas ikat kepala hajinya,
para wanita kehilangan kewanitaannya,
karena pengaruh harta benda,
semata-mata karena kebendaan-lah yang menjadi tujuannya.
Segala hal diperjualbelikan
Harta benda dipertuhankan
Seluruh dunia isinya penderitaan
Kesengsaraan makin menjadi-jadi
Nir sad estining urip (tahun Jawa 1860: Nir = 0, Sad = 6, Esthi = 8, Urip = 1)
Itu telah menjadi masanya
Dan semua akan berakhir
Saat orang-orang kembali bertobat dan menyerahkan diri
kepada kekuasaan Tuhan dengan sepenuh hati
MEGATRUH
Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.
Kemudian Joko Lodang berkata lagi:
“Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab akibat,
Sekalipun di dalam ramalan yang sudah ditentukan
Kemudian Joko Lodang berkata lagi:
“Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab akibat,
Sekalipun di dalam ramalan yang sudah ditentukan
tetaplah harus diupayakan.”
Zamannya masih di zaman ini
Dalam ujung pertengahan abad ini
Wiku Sapta Ngesthi Ratu
(Tahun Jawa 1877: Wiku = 7, Sapta = 7, Ngesthi = 8, Ratu
= 1/ tahun masehi 1945).
Datanglah keadilan bagi manusia
Itu sudah menjadi kehendakNya
Di saat itu, segala sesuatunya menjadi mudah
Ibarat orang mengantuk mendapat kethuk (gong kecil)
yang banyak bertebaran di jalan
Gembiralah bagi yang menemukan
karena di dalamnya kencana-mutu manikam
Tentang Ronggowarsito
Raden Ngabehi
Ronggowarsito, atau nama kecil Bagus Burhan lahir di Surakarta, Jawa
Tengah, 15
Maret 1802 – meninggal di kota yang sama pada 24
Desember 1873 dalam umur 71
tahun. Hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar
terakhir tanah Jawa. Merupakan putra dari Mas Pajangswara. Ayahnya adalah cucu
dari Yasadipura
II, pujangga utama
Kasunanan Surakarta. Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan
Kesultanan
Pajang sedangkan
ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak.
Sewaktu
muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama
Islam pada Kyai Imam
Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya
ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia
mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi
pemuda alim yang pandai mengaji. Pada 28 Oktober 1819 diangkat sebagai Carik
Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom.
Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut
mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan
memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau
Bali untuk
mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki
Ajar Sidalaku.
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu
Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito, menggantikan ayahnya
yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita
diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana
VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita
melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana
VII juga sangat
harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu
kesaktian (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita )
Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang
mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito
memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya
ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M.
Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang
pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main
dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual,
Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang
dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati,
pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan
beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang,
bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat
kematiannya sendiri.
Berdasarkan
catatan dalam laman http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/15/jtptiain-gdl-s1-2005-nurbaetise-739-Bab3_119-8.pdf
, ada disebutkan begini: Simuh menyebutkan bahwa ada 50 judul karya
Ranggawarsita. Sedangkan Andjar Any menyebut 56 judul. Danu Priyo Prabowo
(2003) mengkategorikan karya-karya Ranggawarsita, sebagai berikut:
1.
Karya
Ranggawarsita yang ditulis sendiri.
Ø Babad Itih
Ø Babon Serat
Pustaka Raja Purwa
Ø Serat Hidayat
Jati
Ø Serat Mardawa
Lagu
Ø Serat
Paramasastra
Ø Purwakane Serat
Pawukon
Ø Rerepen Sekar
Tengahan
Ø Sejarah Pari
Sawuli
Ø Serat Iber-Iber
Ø Uran- Uran
Sekar Gambuh
Ø Widyapradana
Ø Karangan
Ranggawarsita yang ditulis oleh orang lain, yaitu:
Ø Serat Aji Darma
Ø Serat Aji Darma
Aji Nirmala
Ø Serat Aji
Pamasa
Ø Serat
Cakrawarti
Ø Serat Cemporet
Ø Serat
Darmasarana
Ø Serat Joko
Lodhang
Ø Serat
Jayengbaya
Ø Serat Kalatidha
Ø Serat
Nyatnyanaparta
Ø Serat
Pambeganing Nata Binathara
Ø Serat Panji
Jayengkilang
Ø Serat Pamoring
Kawula Gusti
Ø Serat
Paramayoga
Ø Serat
Partakarja
Ø Serat
Pawarsakan
Ø Serat
Purrusangkara
Ø Serat
Purwagnyana
Ø Serat Sari
Wahana
Ø Serat Sidawakya
Ø Serat
Wahanyasampatra
Ø Serat Wedharasa
Ø Serat
Wedhasatya
Ø Serat Wedhatama
Piningit
Ø Serat
Widyatmaka
Ø Serat Wiraradya
Ø Serat Yudhayana
3. Karangan
Ranggawarsita yang ditulis bersama orang lain, meliputi :
Ø Kawi-Javaansche
Woordenboek
Ø Serat Saloka
Akaliyan Paribasan
Ø Serat Saridin
Ø Serat Sidin
4. Karya
Ranggawarsita yang digubah lagi oleh orang lain:
Ø Pakem Pustaka
Raja Purwa
Ø Pakem Pustaka
Raja Madya
Ø Pakem Pustaka
Raja Antara
Ø Pakem Pustaka
Raja Wasana
5. Karangan Ranggawarsita yang
diubah bentuknya oleh orang lain ada dua, yaitu; Jaman Cacad dan Serat
Paramyoga.
6. Karya orang lain yang disalin
oleh Ranggawarsita ada tiga judul, yakni; Serat Bratayuda, Serat Jayabaya, dan
Serat Panitisastra.
7. Karangan orang lain yang
dilakukan sebagai karangan Ranggawarsita, yaitu; Serat Kalatidha Piningit dan
serat Wirid Hidayat Jati
Catatan Lain-lain
Saya membandingkan beberapa terjemahan bebas Serat Joko Lodang dari
beberapa sumber. Kadang saya tak puas dan melakukan interpretasi sendiri.
Misalnya untuk menerjemahkan Gunung mendhak jurang mbrenjul ada yang menulis “bahwa kelak
gunung-gunung akan menjadi rendah/sebaliknya jurang yang curam akan timbul ke permukaan”.
Yang lain mengubah kata “timbul” menjadi “tampil”. Dan saya menerjemahkannya
jadi begini : “Bahwa setinggi-tinggi gunung akan merendah/Sedalam-dalam jurang
bakal timbul ke permukaan”
Atau keberanian saya untuk menginterpretasi
Ingusir praja prang kasor menjadi “Terusir kita dari bumi kecintaan
bagai si kalah perang”, pada saat yang lain menerjemahkan menjadi “karena kalah
perang maka akan diusir dari negerinya”. Ah, frase “bumi kecintaan” sungguh
mengingatkan saya kepada puisi-puisi Hartojo Andangdjaja. Saya mengenal
Ronggowarsito sebagai pujangga sejak jaman sekolahan, entah SD entah SMP?
Beberapa sumber menulis namanya menjadi Rangga Warsita. Tapi saya kadung
menyukai penyebutan yang pertama saja, nama yang pertama kali saya kenal dulu:
Ronggowarsito. Kewibawaannya dapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar