Data buku kumpulan puisi
Judul: Telimpuh
Penulis: Hasan Aspahani
Cetakan: I, Juni 2009
Penerbit: Koekoesan, Depok
Tebal: xiii + 107 halaman (63 puisi)
ISBN: 978-979-1442-28-2
Perancang
sampul: MN. Jihad
Tata
Letak: Hari Ambari
Foto
Isi: R. Yusuf Hidayat
Foto
Profil: Irwansyah Putra
Prolog:
Ramdzan Mihat
Epilog:
Haris Firdaus
Secara
berurut, Telimpuh terdiri dari 4
(empat) kumpulan, yaitu Kitab Komik
(10 puisi), Kamus Empat Kata (19
puisi), Malaikat Penjaga Gawang (16
puisi), dan Tetapi, Aku Penyair! (18
puisi).
Beberapa pilihan puisi Hasan
Aspahani dalam Malaikat
Penjaga Gawang
Solilokui Sang
Bola Kaki, 3
KENAPA
semua tentara tidak dilatih menjadi
pemain
sepakbola saja?
Bukankah
pemain bola tidak perlu sepatu
lars,
topi baja, apalagi peluru dan senjata?
Bukankah
kostum pemain bola lebih meriah
dan
enak dilihat daripada seragam tentara?
Siapa
yang meragukan kehebatan seorang
sniper kalau ia dilatih jadi seorang striker?
Dan
kehebatan para komandan ditentukan oleh
strategi
bertahan dan menjebol gawang lawan?
Mungkinkah
dunia akan lebih damai, kalau
wajib
militer diganti wajib main bola?
Dan
suara-suara tembakan pun berganti
menjadi
riuh penonton di lapangan sepakbola?
Pantaskah
kalau hari Sabtu ditetapkan
sebagai
hari wajib main bola?
Berapa
jumlah stadion bola di satu negara, kalau
anggaran
militer dialihkan untuk membangunnya?
Siapa
setuju kalau kamp-kamp tentara digusur
dan
lahannya dibuat lapangan sepakbola?
Bukankah
dengan demikian, tak ada orang biasa
yang
terluka? Atau bahkan jadi korban sia-sia?
Kalau
pertempuran berhenti saat siaran bola,
kenapa
Piala Dunia tidak digelar tiap hari saja?
Untuk
sebuah lapangan sepakbola, apakah
tidak
bisa semua ranjau darat dijinakkan?
Bisakah
tank-tank diubah jadi traktor, agar
berguna
untuk membuat lapangan sepakbola?
Kompetisi
Musim Hujan
DI
kursi goyang, bersama encok di pinggang dan
usia
tua: waktu yang dikalkulasi seperti cicilan utang,
dikenangnya
saat-saat main bola bersama hujan.
Anak-anak
yang telanjang, -- hujan yang telanjang,
telah
sempurna menerjemahkan arti kegembiraan:
bola
basah biarlah, nasib bergulir tak pasti biarlah,
tubuh
basah biarlah, kehangatan rumah menunggu biarlah,
hati
basah biarlah, keriangan luruh tumpah biarlah,
kaki
basah biarlah, lumpur melumuri biarlah.
Di
kursi goyang, bersama gemetar di lutut dan
mata
tua: terlalu banyak bayang menghalangi pandang,
disiapkannya
hati mendengar tiupan peluit panjang.
Beberapa pilihan puisi Hasan
Aspahani dalam Kitab Komik
Kartun Waktu
: Furqon Elwe
/1/
KITA
bergantian menggambar wajah sendiri
di
panel-panel kosong Waktu, kertas panjang itu
Ada
balon percakapan banyak sekali, balon yang
tak
menunjuk pada siapa-siapa, balon yang kosong
karena
tak ada kata yang berani berada di sana
/2/
“Bisakah
kalian menggambar aku?” tanya Waktu
kepada
kau dan aku: sepasang kartunis yang suka
ditertawakan
oleh kehidupan yang tak lucu.
“Bisa,”
katamu.
Aku
tak tahu bagaimana caranya.
“Gampang,”
jawabku, “kosongkan saja
kertas
itu,” bisikmu padaku.
/3/
Kertas
kosong. Kartun Waktu.
Gambar
wajah kita tadi masih ada di situ
keluar
masuk balon-balon percakapan,
membikin
Waktu sekarang tampak amat lucu:
kau
tiba-tiba seperti mengucapkan aku,
aku
pun fasih mengatakan engkau.
Catatan
Seorang Pembuat Komik
SUDAH
kuduga dia: tokoh komik yang baru saja
terbunuh
di lembar terakhir cerita. Aku sangat
mengenal
efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!
Tajam
suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yang
terakhir
memegang kunci studio? Aku hanya ingat
pesuruh
kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3
Sia-sia
bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah
terkemas,
bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.
Aku
pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerja
yang
selalu didekap dada – kadang di kepala. Ada
skenario
gambar-gambar, narasi adegan, teks, dan
balon-balon
ucapan yang belum digelembungkan.
“Mari
pulang ke komik kita, Saudara. Engkau
sebenarnya
hendak merantau ke mana?” Siapa yang
berkata?
Rasanya aku tak pernah menuliskan
kalimat
yang diterbangkan tokoh komik itu.
Aku
ternyata telah lama kehilangan rumah, karena
telalu
asyik dengan denah-denah, sketsa adegan,
juga
karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari
arsip,
rancangan sampul. “Masih ingat? Di toko
alat
tulis mana terakhir kali engkau singgah?” Ah,
sudah
lama aku tidak belanja. Terakhir kali aku lupa
membeli
karet penghapus. Aku tidak detil dengan
urusan
kenangan dan daftar belanja.
Masih
juga, ada yang terus mengikuti langkahku.
Bahkan
ketika aku kembali ke studio, melangkah
melawan
arah rumah, bahkan ketika kunyalakan
lampu
di atas meja gambar. Pasti dia juga yang
membuat
makam sendiri pada kertas-kertas yang
terbakar,
eh ada batu nisan yang minta diberi
nama
dan tanggal kematian. “Namamu sendiri,
Saudara.
Kau tidak melupakannya, bukan?”
Sebuah Komik
Perang
DENGAN
gelisah yang tak nyenyak, berkelambu
asap
dan peluru, aku mencari kata yang tepat
untuk
efek suara yang hebat, desing dan dentum,
suara
bom. Juga suara tangis, yang bukankah sama
untuk
semua bahasa?
Aku
sedang merancang sebuah komik perang.
Kurujuk
saja buku Superman, juga dongeng Lampu
Aladin
yang kudengar pada malam kesekian dari cerita
seribu
satu malam. Tak ada lagi cerita raja yang
lupa
membunuh istrinya. Cuma bualan entah tentang minyak
entah
cadangan dinar dan dolar, lalu dengan itu alasan
pembunuhan
pun diberi stempel pengesahan: lakukan!
Komik
itu kubatalkan saja, daripada cuma sia-sia.
Komik Strip, 2
BAGAIMANA
menyusun kau, aku dan langit
dengan
pendar selembut satin
dan
balon percakapan yang penuh jerit?
–
di meja gambar: potret pengantin –
Sketsa
robek, bergumpal kertas
pensilku
patah, tinta hitamku tumpah
“aku
harus belajar lagi membuat garis,
aku
harus melupakan komik yang lirih.”
–
Gambar saja close up malam, ujarmu
gambar
saja arsir-arsir kelam –
aku
pun mencelup kuas ke hitam matamu
tunggu,
sayang, jangan dulu terpejam.
Pelajaran
Bebas Menggambar Komik
PADA
saatnya tiba, kita harus memberi
percakapan
pada gambar itu, lanskap
dengan
huruf bisu itu. Kelak ketika kita
khatamkan
kitab komik ini, tak ada senyap
turun
mendekap gurun, hati yang gerun.
Pada
saatnya tiba, kita harus membubuhi
warna
pada gambar hitam putih itu, dengan
pastel
pelangi. Kelak ketika kita kumpulkan
kertas
kucal ini, tak ada bidang kosong
yang
menjerit, menuntut minta diwarnai
Beberapa pilihan puisi Hasan
Aspahani dalam Kamus Empat Kata
Kamus Empat
Kata Berhuruf Awal T, 2
TELIMPUH:
aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai
sembah
ini kau sentuh. “Telah aku lewatkan beribu subuh,
telah
aku lawatkan duka yang patuh,” seperti zikir, resital syair,
jatuh
air tangis membulir bulir. Aku hendak terus bersimpuh,
hingga
menguap semua peluh, di tubuh.
TELAP:
bahkan jika petirmu melepas peluru menuju punggungku, aku
hendak
menghadapnya, menerima pada dada, seluas ada.
Kau
lihatkah? Setiap mili tubuhku adalah parut huruf, padanya
bisa
kau baca romantika luka. Kau dengarkah? Setiap pori kulitku
ada
khusyuk nada, padanya dapat kau dengar serenada bida.
TAUL:
“Aku telah mengenal senjamu itu.” Kau, penjala waktu itu. Aku
nelayan
tak berperahu, menggantung dayung di punggungmu,
melabuh
sauh di teluk tubuhmu. “Tapi, aku pun ikan. Menggelapar
di
mata kailmu.” Kau, pemancing waktu itu.
TINGKUH:
kita telah lelah berbantah, menebar tengkar. Maka biar kini
aku
memohon sembah, mengatur simpuh. Menunggu lain subuh,
setelah
runtuh malam yang angkuh. Maka biar kini aku menimba
perahu,
setelah malam karam di muaramu, menuju hulu waktu.
Kamus Empat
Kata: Sepi, Jauh, Jarak, Hilang
SEPI:
Oh, ternyata amat tak mudah, mengarti-artikan kata ini.
Aku
mungkin perlu menyayat dua-dua telinga hingga menuli.
Aku
barangkali harus busukkan dua-dua mata hingga membuta.
Dan
engkau hanya buka halaman kamus, menunjuk namaku
yang
sudah kau hapus. “Beginikah kelak padamu kata ini
memaknai
diri sendiri, menerjemah ke panjang hari-hari.”
JAUH:
Aku pun sejak itu tak bisa berhenti, terus saja pergi,
singgah
menginap di istana tua, mampir minum kopi
di
kedai senja. “Lihat ada rumput liar tumbuh di ujung
celana,
Tuan.” Kata perempuan, merayu, agar aku
lebih
lama bertahan. Di tubuh yang ia tawarkan. “Aku,
harus
terus berjalan, maaf. Aku belum bisa melemakan,
sebuah
kata di kamus, yang maknanya ingin kubuktikan.
JARAK:
Pal batas kota, makin menua, bagai totem-totem purba.
Rambu-rambu
melarah berkarat: angka kilometer tak larat
mengukur
betapa tebal lembaran kamus memisah kau
di
halaman pertama dan aku yang telah hilang masih juga
bertahan
dalam kata yang tak kau suka, di ribuan halaman lain
sesudahnya.
Aku semakin tahu. “Huruf awal kita memang beda.”
HILANG:
Dan lengkapkah ensiklopedi perjalanan? Aku menyusun
ribuan
entah-entah. Menjilidkan sebuah kitab pertanyaan.
Hampir
menemukan jawaban, lalu datang pak pos tua,
mengelu-elu
kabar yang tak mau kutahu. “Telah kubakar
seluruh
lembar, kamus yang setiap katanya adalah kisahmu
tentang
aku, tiap hurufnya adalah jejakmu atas jejakku, tiap
contoh
kalimatnya adalah jawabmu setiap kali kutanya.”
Beberapa pilihan puisi Hasan
Aspahani dalam Tetapi, Aku
Penyair!
Sepasang Kartu Pos
: Tulus
Widjanarko & TS Pinang
DI
puncak punggung, hanya jerami segunung, pematang
yang
ia ikuti berujung pada jurang, bagai telunjuk hilang.
Dusun,
tertunjuk pada arah yang salah. “Jangan gegabah,
tinggalkan
ladang, bila semua malai bakal rebah, Lelaki. Lihatlah,
jari-jariku
berdarah. Semusim ini menyiangi gulma. Agar
kita
tak lagi-lagi hanya memanen gundah,” kata Perempuan.
Seperti
sumpah. Aku: bocah menempa tanah, di kolong rumah.
“Ibu,”
kataku pada Perempuan itu, “Kenapa kau larang aku ikut
berburu
dengan Lelaki itu? Aku sudah pandai menebang bambu.
Meruncingkannya
jadi anak panah. Aku benci layang-layang itu!”
“Pergilah
ke kota!” kata Perempuan itu. Perintah. Atau petuah.
Maka
bila kutebak musim panen tiba, kukirim sepasang kartu pos.
Untuk
si Lelaki, kulunasi janji: hewan buruan telah kubuat lumpuh.
Untuk
si Perempuan, kuulangi doa: luka jarimu, lekaslah sembuh.
Kolam, Kursi
Rotan, Kura-kura, Katak dan Kucing di Kukusan
: singgah di
rumah Rieke dan Donny
HANGAT
hari hujan, merendam sekolam kalam
tegak
tangkai teratai, menjadi pena Li Bai
Sesusun
kursi rotan mengejar ke kejauhan
kenangan,
ke kesepian toples tua kue lama
Rieke
berteriak, “Kura-kuranya makan katak, Don!”
Kubayangkan,
ia dijawab dengan filsafat terapan.
Di
hijau halaman, di sejangkauan tangan angan
kucing
memeluki sisa sunyi, ia mimpi menulis puisi.
Di
kukusan, rumah itu membuka pintu bersunduk kayu
seperti
kitab kisah yang berakhir bahagia, selalu.
Tetapi, Aku
Penyair!
: Gus tf
/1/
TETAPI,
aku penyair
bukan
pengemis cemas
yang
tak pernah yakin selalu ada sesuatu
yang
bisa disantap di kantong roti
Aku
penyair
yang
tahu pasti, di kantong roti itu
selalu
ada lapar: penuh dan sangat tawar.
Ya,
aku kira
aku
tadi bertemu seseorang seperti Diogenes,
menumbuk-numbukkan
ujung tongkat
ke
kantong rotiku yang kempes,
“Bagikanlah,
bagikanlah sekerat lapar itu padaku.”
/2/
Tetapi,
aku penyair
bukan
penyihir mahir
menyimpan
mantera di saku mantel
Aku
penyair
yang
meringkuk
di
dalam tong
–
bahasa yang sering dicurigai & kerap disesali –
tetapi
ke dalam tong itulah aku kembali
meringkuk
seperti janin
menendang-nendang
dinding rahim.
Aku
dengar
ada
seseorang berkata, seperti Socrates
filsuf
berlidah protes
di
depan sebuah syair, sebuah pertanyaan
ia
tinggalkan,
“kenapa
terlalu banyak kata, berdesakan,
kata
yang tidak saya perlukan?”
Sejak
itu aku lenyapkan diri
berulang
kali, di akhir sajak
menghilangkan
jejak, agar bait tak sesak,
mengulangi
perpisahan:
aku
terus berjalan, ke keberbagaian,
sedang
sajak menuju ke kebanyakan,
arah
berlain-lainan.
/3/
“Tetapi
aku penyair,”
kataku.
“Benarkah?”
katamu,
“bila
ya, mari kita melenyap ke lain badan,
mari
kita menghancur ke lain sebutan,
karena
dengan demikian
kita
bisa menghampir pada keabadian,
kita dapat kuat
menahan
kita mampu lama
bertahan.”
Pelangi di
Rambutmu
: Oom Danarto
TUJUH
lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Kulihat
rimbun kebun, rumpun-rumpun bambu
Siapakah
sufi melayang-menari bersamamu?
Siapakah
sufi menyanyi irama asmaramu?
Setangkai
mawar dipetik hujan di taman awan,
Setangkai
mawar bersilancar di tangkai hujan
Tujuh
lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Di
rimbun kebunmu, naung sayap malaikat
Kakimu
dan kakiku tak sampai dirayapi rayap.
Pompong tak
Singgah di Bakong
: Rida K
Liamsi
BAIKLAH,
lekas naik selangkah ke Daik,
sebelum
dada cabik, sebelum dahi belah
Dan
patah cabang lain jatuh ke jantung laut
ke
bibir yang mengucap nama perahu hanyut
Siapa yang
membisikkan siasat itu padamu, Sultan?
Maka
tak ada peta pengungsian di lautan
dan
sekarang kita melangkah tanpa denah
tersandung
batang rebah pangkal sagu busuk
aduh,
ada duri tertikam di sela kuku ibujari
aduh,
ada lebah menyengat ujung lidah, tapi
masih
kita berlagu tudung periuk pandai menipu
Siapa yang
menikamkan khianat itu padamu, Sultan?
Sebagai
tual-tual sagu, dirakit ke muara itu,
bila
hujan sebentar, tenggelam rumah pengulu
tengok
ada perahu datang dari teluk berhantu
menjemput
bocah lelaki lihai menghalau ragu
Baiklah,
lekas naik selangkah ke Daik,
sebelum
mata lamur, sisa seruas umur
Sultan, siapa
yang bilang padamu ini sudah terlanjur?
Dipantau di
Pantai, di Rantau dirantai
: Damhuri
Muhammad
MEMANG,
tak ada tempat
kecuali
sekat-sekat
ruang
di
samping surau
menampung
para lelaki
terusir
dari
pintu rumah ibu
dari
kamar bekas istri
Atau
jauh
terdesak
ke
jarak
terhalau
ke
rantau
*
Kau
bilang,
“Memang
Kami
telah amat mahir
menanak
riang dan risau
menyantapnya
di lepau.”
*
Jarak
pantai
ke
pelantar pelabuhan
hanya
ada sejangkau
di
seberang surau.
Ketika
kabut kalap
laut
gelap
itulah
saat tepat
untuk
melepas tali tambat.
Tak
akan ada yang mengantar
ketika
lelaki berangkat.
Tak
ada.
Pun
bekal
mungkin
hanya kain sebungkal
dan
sebakal
sesal.
*
“Jangan
bertanya
inginkah
aku pulang.”
kau
bilang,
“karena
aku
terbayang
pada
mata
mata-mata
yang
memantau
di
rumah
pantai.”
Mata
para perempuan
yang
meningkap
di
tingkap.
*
“Jangan
bertanya
juga,
bagaimana
aku
melangkah
di
jalan
yang
tak terarah
ke
rumah,”
kau
bilang,
“sebab
kaki kami
bagai
dirantai
di
rantau.”
Danau Betina
: Hary B
Koriun
ASYIK
sekali dia menangis,
menangisi
tangisnya sendiri
Mata
kacanya pecah
Ia
bertukar air mata
dengan
mata air danau itu
Saat
itu kau sedang
mengeringkan
matamu
yang
seharian kuyup
kehujanan
airmatanya
Kau
sedang memancing senja
Ada
bayangannya,
bayangan
senja, dan
bayanganmu
di
tabah wajah danau itu
Kau
pemancing yang tak mahir
bisa
saja kau terpancing
bayanganmu
sendiri
Betul,
kan? Ketika
beriak
wajah danau itu
padahal
ia tak meminta kau renangi
tiba-tiba
saja kau sudah
menggelepar
di mata kailmu sendiri
Basah
lagi, basah lagi
Senja,
seperti biasanya
selalu
lekas, cemas dan rawan
Kelopak
matanya segumpal awan
Matanya
akuarium,
sinarnya
ranum
Kau
kini berada di sana
sendiri,
berenang
hening,
di
bening mata kaca itu
Tentang Hasan
Aspahani
Hasan
Aspahani, di buku kumpulan puisi keduanya ini, setelah Orgasmaya (2007),
menulis biografinya sendiri seperti sebuah catatan kecil satu halaman. Di buka
dengan pertanyaan: “Kau penyair sekarang ya?” tanya temannya. Itu harusnya cuma
pertanyaan biasa… dst. Di bagian tengah, ia mulai masuk ke bagian cerita,
misalnya beberapa sajaknya digubah menjadi komposisi musik sastra oleh Ananda
Sukarlan. Dan akhirnya biografi ini diakhirnya dengan pertanyaan juga: “Anda
Hasan Aspahani, kan?” tanya temannya. Hanya inilah pertanyaan yang dengan lekas
dan pasti bisa ia iyakan.
Catatan
Lain
Penyair
menulis pengantar yang terdiri dari 4 paragraf dan satu kesimpulan. TETAPI
Sajak adalah sebuah tetapi, kata di paragraf pertama berikut penjelasannya.
BAHKAN. Sajak juga adalah sebuah bahkan, kata paragraf kedua dan penjelasan
lagi. ATAU. Sajak juga sebuah atau, kata penyair di paragraf selanjutnya. KEMUDIAN.
Tetapi sajak juga sebuah kemudian, pungkas penyair, lagi-lagi dengan
penjelasannya. Lalu muncul kredo Hasan Aspahani: Ketika saya menyair saya
mencari serangkaian tetapi, bahkan, atau dan kemudian.
Di sampul belakang buku, ada
komentar Agus Noor, Teguh Setiawan Pinang, dan Ready Susanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar