Data buku
kumpulan puisi
Judul:
Migrasi Para Kampret, Sebuah Kisah Tentang Kampret yang Tergusur
Penulis:
F. Rahardi
Penerbit:
Puspa Swara (Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara), Jakarta
Cetakan:
I, 1993
Dicetak
oleh: PT. Penebar Swadaya, Jakarta
Tebal:
iii + 162 halaman (27 judul puisi)
ISBN:
979-8312-33-3
Foto
sampul: Life Nature Library
Beberapa
pilihan puisi F. Rahardi dalam Migrasi Para Kampret
Pemberitahuan
Menghadapi
buku ini
Anda
tidak usah kelewat serius
atau
curiga
sebab
saya hanya ingin bercerita
tentang
kampret yang tergusur
dengan
bahasa Indonesia
yang
mudah dipahami
orang
banyak
hanya
itu.
Jakarta, awal
1993
Sandyakalaning
Gua Kampret
Dulu
di atas bukit-bukit itu
ada pohon-pohon
ada rumpun palem
rotan
paku-pakuan
dan sinar matahari hanya temaram
karena dihadang daun-daunan
dan di atas pohon-pohon besar itu
melilit akar liana
dan nun di atas dahan-dahan itu
bertengger kadaka dan
anggrek bulan.
Serangga pun banyak
Serangga yang merupakan makanan kampret
Itu tersedia melimpah.
“Itu zaman normal cu.”
kata seorang kakek kampret pada cucunya
“Sekarang semua habis
pohon-pohon itu sudah lama digergaji
lalu pabrik-pabrik dibangun
lalu warga kita banyak yang mati
dulu di sini ada jutaan kampret
sekarang cuma ribuan.”
Ketika itu pagi
mungkin baru pukul sepuluh
matahari cerah
dan para kampret
bergelayutan di kapling masing-masing
dengan perut yang tak seberapa kenyang
lantaran serangga makin susah didapat
ketika itulah
batu demi batu dicongkel
digelindingkan
dicongkel lagi
didorong
dibuldoser
lalu bukit-bukit itu runtuh
lubang gua itu tersibak
dinding ozon di planet kecil
di Citeureup itu
seperti dibedah dengan sebuah gergaji mesin.
Gua itu sekarang telanjang
sinar matahari langsung
menghunjam ke planet para kampret itu.
“Ini artinya kiamat ya kek?”
“Ya ini akhir zaman itu mari kita pergi.”
Dan seekor kakek kampret segera
menyeret isterinya lalu menggendong
cucunya dan kabur.
Semua silau
semua gemuruh
debu di mana-mana
para kampret itu bubar.
“Siapa mau ikut aku
aku mau ke Amerika
di sana semua aman
di sana bebas
Presiden pun boleh untuk mainan
ayo kita ke sana!”
Kampret yang teler itu lalu kabur
entah ke mana diikuti rombongannya.
“Amerika mbahmu itu
ayo ikut saya saja ke Ciseeng
di sana belum ada pabrik semen
atau ke Leuwiliang juga boleh
pokoknya di sana lebih aman
nanti kalau digusur ya pergi lagi
di Jawa ini gua-gua masih banyak
tidak perlu takut
tidak usah sampai Amerika segala
ayo sebelum kita lumat.”
“Kampret itu lalu kabur diikuti
Anak, isteri dan beberapa keponakannya.
“Aku tidak mau ke mana-mana
aku tidak mau kalah
gua ini
bukit-bukit ini
adalah segala-galanya
di sini dulu saya lahir
nyaplok anak kecoak
lalu jadi besar dan kekar
batu-batu ini adalah rohku
gua ini adalah nyawaku
akan kupertahankan sampai
tetes darah yang terakhir.
Sana, semua pergi
kampret-kampret oportunis
kampret-kampret yang jiwa nasionalismenya
sudah luntur terkena deterjen
minggat semua sana
gua ini tetap akan saya pertahankan
walau hanya sendirian.”
Kampret itu lalu bermeditasi
mengatur napas
memusatkan pikiran
dan pasrah
diikuti oleh anggota paguyubannya.
“Kita
harus eling ya Saudara-saudara.”
“Ya,
eling.”
Dan
buldoser menggasak batu
“Kita
musti selalu inget sama yang
memberi
hidup ya sobat-sobat.”
“Ya,
hidup.”
Lalu
batu-batu itu runtuh
kampret-kampret
itu ikut jatuh
lalu
digiling
sampai
lumat
darah
berceceran
bulu
kampret berhamburan.
“Hidup
ini harus praktis
tidak
perlu tetes-tetesan darah
lalu
mati.
Pahlawan
memang mahal
tapi
jangan jadi pahlawan kesiangan.
Gua
ini memang milik kita satu-satunya.
tapi
cukup dipertahankan sampai
tetes
liur dan kencing dan tinja
yang
terakhir.”
“Artinya
Pakde?”
“Ya
kalau buldoser itu sudah dekat
kita
kabur
wong
besi kok dilawan
besi
itu keras
padahal
kita-kita ini lembek
ayo
ngabur ke Cibubur sana
di
sana ada tempat berkemah
dan
taman bunga
ayo
teman-teman ayo.”
“Kampret
itu lalu dengan santai
berangkat
ke Cibubur
diikuti
oleh pacar gelapnya
dan
anak buahnya.
“Semua
cuma titipan
gua
ini juga titipan
tak
ada yang abadi di dunia ini
jadi
kalau ada yang minta
ya
mesti dikasi
namanya
juga titipan
harta
kedudukan
pangkat
anak
gua
semua
kan cuma titipan
ayo
teman-teman kita
ngungsi
ke Binagraha
kayaknya
betonnya bagus
dan
di sana pasti aman.”
Mereka
lalu terbang ke Binagraha
tapi
Paswalpres buru-buru
menembak
mereka
dan
mereka pun kelepak-kelepak
lalu
mati
dan
dibuang ke tempat sampah
disantap
semut.
Gundukan
batu kapur
batu-batu
angin
debu
pabrik semen
sepi
buldoser
itu capek
lalu
istirahat
bangkai
kampret menggunung
dan
Tuhan
nun
di atas sana
tetap
tenang-tenang saja.
***
Nasehat kakek kampret untuk cucunya
Nasihat I
Kau masih muda, sehat dan normal
Ini fakta yang tak mungkin kau bantah
Jangan kau sia-siakan kemudaanmu
kesehatanmu dan kenormalanmu.
Ini fakta yang tak mungkin kau bantah
Jangan kau sia-siakan kemudaanmu
kesehatanmu dan kenormalanmu.
Nasihat II
Warga kampret adalah penghuni
sah dari planet bumi ini
sah untuk mencari nafkah
sah untuk menghuni rumah
yang alamiah
berupa gua kapur
yang sejuk dan nyaman
kebenaran ini harus kita yakini
dan selalu dijunjung tinggi.
sah dari planet bumi ini
sah untuk mencari nafkah
sah untuk menghuni rumah
yang alamiah
berupa gua kapur
yang sejuk dan nyaman
kebenaran ini harus kita yakini
dan selalu dijunjung tinggi.
Nasihat III
Gua-gua yang sudah ribuan tahun
jadi rumah kita
telah digusur
nyamuk dan kutu loncat telah
dilumuri pestisida
pohon-pohon telah diganti
tiang beton
bunga-bunga dibuat dari plastik
dan udara telah dibalut debu
radioaktif
dibebat uap knalpot
dan lubang ozon makin
menganga di selatan sana
itu semua masa depanmu cu
masa depanmu!
jadi rumah kita
telah digusur
nyamuk dan kutu loncat telah
dilumuri pestisida
pohon-pohon telah diganti
tiang beton
bunga-bunga dibuat dari plastik
dan udara telah dibalut debu
radioaktif
dibebat uap knalpot
dan lubang ozon makin
menganga di selatan sana
itu semua masa depanmu cu
masa depanmu!
Nasihat IV
Buka matamu lebar-lebar
pasang kupingmu baik-baik
lihat dan dengar
getaran ketidakberesan ini.
pasang kupingmu baik-baik
lihat dan dengar
getaran ketidakberesan ini.
Nasihat V
Jangan hanya makan, tidur
beol
makan lagi tidur lagi
beol lagi
umur kampret tak seberapa panjang.
beol
makan lagi tidur lagi
beol lagi
umur kampret tak seberapa panjang.
Nasihat VI
Jangan suka mengharapkan mukjizat
Tuhan sudah bosan mengirim keajaiban
seperti zaman Nabi-nabi
semua harus kita beli sendiri
dengan uang sendiri
semua sudah sangat konkrit
dan transparan
tak ada yang misterius
tak banyak lagi yang
gaib-gaib
semacam debus atau
David Coperfield.
Tuhan sudah bosan mengirim keajaiban
seperti zaman Nabi-nabi
semua harus kita beli sendiri
dengan uang sendiri
semua sudah sangat konkrit
dan transparan
tak ada yang misterius
tak banyak lagi yang
gaib-gaib
semacam debus atau
David Coperfield.
Nasihat VII
Gradasi warna hanya membuat
mata kampret jadi buta
nuansa hanya menjadikan kita makin
tak berdaya
dan toleransi makin membuat
kita jadi seperti dikebiri
Jadikanlah dunia ini hitam putih
siang dan malam
tanpa pagi dan sore
agar kita tak ragu-ragu
bertindak
dengan semangat tinggi
tanpa basa-basi.
mata kampret jadi buta
nuansa hanya menjadikan kita makin
tak berdaya
dan toleransi makin membuat
kita jadi seperti dikebiri
Jadikanlah dunia ini hitam putih
siang dan malam
tanpa pagi dan sore
agar kita tak ragu-ragu
bertindak
dengan semangat tinggi
tanpa basa-basi.
Nasihat VIII
Perangilah kemapanan
yang telah menciptakan
penindasan dan penggusuran
memberontaklah
selagi istilah itu belum dihapus
dari kamus.
yang telah menciptakan
penindasan dan penggusuran
memberontaklah
selagi istilah itu belum dihapus
dari kamus.
Nasihat IX
Bermimpi itu boleh
tapi bermimpilah hanya pada
waktu tidur
pada saat kita terjaga
pada waktu mata melek
yang ada hanya kenyataan.
Kadang muncul keinginan-keinginan
tapi harus muncul pula upaya-upaya
tindakan-tindakan untuk meraihnya.
tapi bermimpilah hanya pada
waktu tidur
pada saat kita terjaga
pada waktu mata melek
yang ada hanya kenyataan.
Kadang muncul keinginan-keinginan
tapi harus muncul pula upaya-upaya
tindakan-tindakan untuk meraihnya.
Nasihat X
Hidup ini harus menang
kehidupan ini demikian berharga
jadi jangan menciptakan pahlawan-pahlawan
untuk mensyukuri kematiannya.
kehidupan ini demikian berharga
jadi jangan menciptakan pahlawan-pahlawan
untuk mensyukuri kematiannya.
***
Seekor Kampret
Bicara dengan Dirinya Sendiri
(Di
Puncak Monumen Nasional Jakarta
seekor
kampret bicar dengan dirinya sendiri.
Di
bawah situ ada turis-turis
ada
turis lokal
ada
juga satu dua turis mancanegara
Suasana
senyap
matahari
yang menyengat
udara
yang gerah
tak
lagi terasa)
Aku
tak peduli pada setan atau Tuhan
Tuhan
baik, setan jahat
itu
jelas
Tuhan
Maha Kuasa, setan tidak
begitu
berkuasa, itu juga
tak
ada masalah.
Tapi
alam raya ini punya kekuatan
dan
aku harus menyerap serta
memanfaatkannya
untuk bertahan hidup.
Tak
ada kekuatan baik
tak
ada kekuatan jahat
energi
itu netral
semua
tergantung yang memanfaatkannya
kalau
kita manfaatkan untuk tujuan baik
kekuatan
itu jadi baik
kalau
untuk tujuan jahat
jadinya
ya jahat
tapi
masih adakah perbedaan
antara
baik dan buruk
antara
suci dan dosa
antara
kuat dan lemah
semua
relatif
dan
dalam ke Maha Sempurnaan
tak
ada lagi kebaikan atau keburukan
tak
ada lagi dosa atau bukan
tak
ada lagi yang kuat dan lemah
semua
selesai dan berhenti
namun
waktu meluncur terus
waktu
itu belum pernah dapat
dihentikan
atau diputar ulang
dan
semua menyerah diseret waktu
dibanting-banting
dihentakkan
ditendang
dan
kadang dilemparkan jauh sekali.
Dan
umat kampret pun kebingungan
mereka
mencari-cari panutan
harus
ada sesuatu yang dapat
digunakan
untuk pegangan
untuk
meneropong langit
dan
melihat bulan yang bopeng-bopeng
aku
akan tampil
di
depan khalayak kampret yang loyo
untuk
menyalurkan nyali
agar
mereka berani bergerak
menggoyangkan
pantat
menghentakkan
sayap
dan
mengikuti getaran musik kosmos
mengikuti
nyanyi matahari
dan
irama galaksi-galaksi
kapan
ya aku mesti mulai
misi
ini?
(Kampret
itu menyedot oksigen
ada
aliran hangat yang menjalar
ke
sayap-sayapnya)
Kekuatan
itu ternyata selalu
Ready
Stock di alam
ada
air, ada oksigen
protein
dari nyamuk dan belalang
cuma
kita-kita saja yang sering bodo
malas
untuk menyedot oksigen
banyak-banyak
aku
harus segera mengumpulkan
warga
kampret
tak
ada alasan untuk
menunda-nunda
pekerjaan
yang
sudah siap untuk dikerjakan
“Warga
kampret
ayo
kita kumpul
aku
mau bicara.”
(Suara
kampret itu menggelora
ke
seantero Jabotabek’
tidak
keras tapi terdengar jelas
dan
warga kampret yang sedang gundah
yang
sedang oleng
dan
tak punya pegangan
lalu
berbondong-bondong menuju
ke
arah tugu Monas.
Hari
berangsur sore
jumlah
kampret yang datang makin banyak
ada
yang bergelantung di pohon asoka
ada
yang nangkring di patung Diponegoro
ada
yang mengencingi kepala Chairil Anwar
dan
banyak juga yang ngetem
di
stasiun keretaapi Gambir
Beberapa
ekor ada yang mencoba
masuk
ke kantor Departemen Pertahanan
dan
Keamanan
tapi
buru-buru diusir penjaga
suara
para kampret itu berisik
namun
sura pimpinan kampret
tetap
terdengar jelas)
Saudara-saudaraku
para
warga kampret
aku
tahu saudara-saudara
selama
ini menderita
manusia,
makhluk kesayangan Tuhan
itu
telah merampas milik kita
kita
digusur
makanan
kita diracuni
kita
dibiarkan mati pelan-pelan
kita
semua punah
Anda
semua mau punah?
Tidak!
Aku
juga tidak mau punah
kita
semua tidak mau punah
untuk
itu kita semua mesti bermigrasi
kita
tinggalkan pulau terpadat
dan
terbrengsek di planet bumi
ini
dan kita cari gua kapur
yang
bagus di Sumatera sana
di
sana hutan-hutannya
pasti
masih perawan
tidak
seperti hutan di pulau Jawa
yang
sudah jadi Mak Lampir
sudah
jadi nenek-nenek sihir
yang
jahat
Anda
semua mau ikut bermigrasi?
Mau!
Aku
juga mau bermigrasi
mendampingi
Anda semua
kita
akan sama-sama bermigrasi.
Namun
sebelumnya,
mari
kita bikin repot
para
manusia di ibu kota Republik ini.
Kumpulkan
seluruh warga kampret
Dan
kita beraki kota Jakarta dari langit
Setuju?
Setuju!
Kalau
begitu, pidato saya selesai
besuk
kita acak-acak
kota
Jakarta
Hidup
kampret!
Hidup
kampret!
Kita
pasti menang!
(Hari
itu Jum’at kliwon
seusai
hujan yang turun
selama
empat jam.
Jutaan
kampret berdatangan
ke
kota Jakartra
lalulintas
lumpuh
banyak
anak-anak yang
mendadak
kena rabies
ibu-ibu
terjangkit disentri
bapak-bapak
terkena kolera
dan
banyak gadis-gadis yang
digigit
kampret lalu terluka
AIDS.
Vampir!
Ada
vampir!
Ada
jutaan Drakula
Panglima
Angkatan Bersenjata
lalu
mengerahkan pesawat tempur
dan
helikopter
Rudal
dipasang
Bom
diledakkan
Racun
khusus kampret disebar
Sidang
kabinet paripurna ditunda
Para
menteri cukup berkomunikasi
via
telepon genggam
Rumah
sakit umum pusat Ciptomangunkusumo
penuh
dengan korban kampret
ada
yang mati
ada
yang luka parah
ada
yang tidak lupa apa-apa
tapi
jadi gila
stress.
Langit
gelap
ditutup
kawanan kampret yang
memenuhi
langit seperti gayutan mendung)
“Apalagi?”
“Sudahlah,
cukup.”
(Karena
dianggap sudah cukup
pimpinan
kampret lalu minta
warga
kampret itu untuk
berhenti
menyebar teror)
Sudahlah,
sudah.
Sekarang
kita siap-siap untuk
mulai
bermigrasi
semua
sudah siap sekarang.
***
Melintasi
Selat Sunda
Awan
comulus hitam
gugusan
para kampret
bergerak
dalam derap
lagu-lagu
mars
Semangat
nyali
harapan-harapan
bahkan
impian
semua
menggumpal dalam suasana
tegangan
tinggi
jutaan
volt.
Menurut
mimpi para kampret itu
pulau
Sumatera adalah kampung-kampung kecil
seperti
suasana desa Citeureup
pada
zaman Hindia Belanda
hutan-hutan
masih perawan kencur
dengan
burung enggang
macan
ular
dan
lapisan serangga
yang
tebal di udara
dengan
arus yang deras
para
kampret tinggal santai
mengangakan
mulut
lalu
macam-macam serangga gurih
dan
empuk itu
mengalir
lancar masuk mulut
lalu
tinggal menelan begitu saja
tak
perlu ada usaha
tak
perlu ada kerja
semua
sudah tersedia
lengkap
dan alami.
Sumatera
adalah Eden
yang
nyaman dan abadi
dan
pernah ditinggali
nenek
moyang manusia
Adam
dan Hawa
Gugusan
comulus kampret itu
melintas
di atas Cilegon
di
Barat sana tampak comulus beneran.
“Itu
Selat Sunda
kalau
selat itu kita seberangi
sampailah
sudah kita di Sumatera
mari
kita nyanyi teman-teman.”
“Hidup
Sumatera, hidup Sumatera.”
“Gua
yang besar dan adem
di
atas bukit-bukit kapur
dengan
Tobing-Tobing
yang
Manurung
penuh
Pohan-Pohan
yang
Singarimbun
Parangin-angin
bertiup Sitorus
ke
arah Hutabarat
ada
Rajagugguk
ada
Sinaga
Itulah
Sumatera
Hidup
Sumatera.”
Syahdan
gunung
Anak Krakatau
yang
mungil dan nongol
di
selat Sunda itu
tampak
lagi rewel
dia
batuk-batuk
menyemburkan
pasir-pasir pijar
pemandangan
bagus sekali
dari
kejauhan para kampret
terkagum-kagum
“Apa
itu kawan?
Kok
seperti kembang api di saat lebaran
Apa
itu tungku pandai besi tukang bikin golok?”
“Bukan
kawan
itu
gunung api lagi meletus
itu
berbahaya
kita
mesti menjauhinya.”
“Ya
kita agak ke arah utara saja.”
Gugusan
kampret itu pun memutar haluan
agak
ke arah utara
di
atas pelabuhan Merak
awan
Comulus beneran makin tebal
kapal-kapal
merapat di dermaga
perahu-perahu
nelayan ngumpet
di
balik teluk.
“Kok
cuaca begini jelek
Teman-teman?”
“Ya
kita agak turun saja
sekalian
sarapan serangga laut.”
“Mana
ada serangga laut?”
“Tapi
ini memang musim barat.”
“Ya,
tapi kita harus terus.”
Gugusan
kampret itu pun
nekad
nyemplung menyeberangi
selat
Sunda
yang
sedang kumat sangarnya.
Pada
saat itu
kebetulan
Nyai Roro Kidul
yang
menguasai Laut Selatan
sedang
mengirim anak cucunya
para
jin dan peri parahyangan
untuk
mengaduk-aduk Selat Sunda
anak
Krakatau juga makin ngambek
berton-ton
pasir dan kerikil
dan
uap panas disemprotkannya ke langit
para
kampret oleng
angin
petir
badai
ledakan
Krakatau
menghajar
gugusan kampret itu
jadi
cerai berai
ada
yang langsung nyungsep lalu
dicaplok
hiu
ada
yang diangkat sampai
ketinggian
10 ribu meter
lalu
dijatuhkan di Lebak
banyak
juga yang dibanting-banting
sampai
remuk
lalu
sekalian digiling dan
ditaburkan
di ladang-ladang singkong
di
Lampung sebagai pupuk organik
hanya
sebagian kecil saja dari rombongan itu
yang
dapat selamat
dan
berhasil menepi di daratan Sumatera.
****
Percakapan di
Gunung Rajabasa I
Gunung
Rajabasa
Anggun
tapi angker
para
kampret itu loyo
capek
gemetaran
dengan
perut yang sangat lapar
tubuh
yang kedinginan
dan
semangat yang hancur
kepak
sayap mereka berat
lantaran
bulu-bulu mereka basah
kecepatan
terbang mereka
paling
banter cuma 40 km per jam
kadang-kadang
mereka oleng
ingin
sekali makan
ingin
sekali mencaplok apa saja
tapi
kerena hari sudah keburu siang
mereka
pun bergelayutan di gerumbulan
semak-semak
di
dahan-dahan kopi
di
ranting-ranting cengkeh
banyak
pula yang terpaksa
bergeletakan
di tanah
seharian
mereka keleleran dipanggang matahari
banyak
yang tidak tahan
lalu
langsung megap-megap dan mati
Menghadapi
kenyataan yang
mengenaskan
ini beberapa kampret
yang
IQ nya di atas 100 langsung protes
“Bagaimana
ini nasib kami
Kok
sembarangan saja sih yang
ngarang
buku ini.”
“Enak
saja kami dibikin susah terus.”
“Mestinya
kan sewaktu kami nyebrang
selat
Sunda dibikin bagus
Tenang,
langit cerah, ada bulan.”
“E,
badai disuruh datang
pakai
ngasih tahu Nyai Roro Kidul segala.”
“Bagaimana
ini Oom?”
“Apa?
Ada
masalah apa?”
Kan
Oom yang ngarang buku ini kan?”
“Ya,
betul.”
“Kami
para kampret jadi tokoh utamanya kan?”
“Iya.”
“Kok
kami dibikin susah terus,
sengsara
terus.”
“Itu namanya tidak bertanggungjawab dong.”
“Itu namanya tidak bertanggungjawab dong.”
“Masa
kami dibiarkan keleleran di Gunung
Rajabasa
begini.”
“Kami
protes keras.”
“Kami
mau batalkan kontrak.”
“Sudahlah
cari tokoh lain saja sana.”
“Iya,
kambing kek atau tokek
atau
macan
kan
masih banyak bintang lain
manusia
juga banyak yang mau jadi tokoh.”
“Ayo
teman-teman kita pulang saja.”
“Kita
berhenti jadi tokoh.”
“Hore!”
“Kita
bebas!”
“Merdeka.”
“Kita
kembali merdeka.”
“Penyair
brengsek.”
“Otoriter.”
“Sok
mengatur.”
“Penyair
memang manusia yang paling gombal
di
Republik Indonesia
Lain
lo dengan Menteri Lingkungan.”
“Ya,
beda sekali dengan bintang film.”
“Sudah
situ Oom tinggal saja sendirian
di
Gunung Rajabasa.”
“Rasain
lu,
kelaparan,
haus
capek
mamphus.”
“Ayo
semua pergi
biar
si Oom itu ngarang tentang
Gunung
Rajabasa atau batu.”
Gunung
Rajabasa siang itu sepi
sebagai
penyair aku sangat masygul
para
kampret itu menghilang
meninggalkan
diriku sendirian
memang
ada pohon cengkeh
ada
pohon kopi
ada
belalang dan batu-batu
ada
angin
langit
dan matahari juga tampak bagus
tapi
apa mereka bisa begitu saja
mengambil
oper peran para kampret
tidak
mungkin
aku
lalu kencing dan berjalan mendaki
menyusuri
jalan setapak
napas
saya tersengal-sengal
Inilah
kalau orang kota
yang
umurnya sudah 43
naik
Gunung Rajabasa
Ya
repot
tanpa
bekal apa-apa lagi
sudah
lapar, capek
juga
ngantuk
di
sebuah tempat yang agak datar
aku
lalu beristirahat dan ambil napas
namun
baru saja aku santai sejenak
ada
dua orang petani suami istri
yang
berlarian dari atas sambil
menenteng
golok
aku
kaget
“Awas
lo Oom
Jangan
naik
Di
atas sana banyak sekali kelelawar.”
“Iya
oom ayo turun saja
Sepertinya
itu tadi hantu kelelawar tampaknya.”
Belum
sempat aku bertanya lebih lanjut
dua
petani tadi sudah keburu ngabur ke bawah
dan
tiba-tiba semangatku kembali pulih
kekuatanku
datang lagi
tak
ada lagi lapar
capek,
ngantuk
dengan
semangat tinggi aku melompat
lalu
berlarian mendaki
kadang-kadang
harus berpegangan
pokok-pokok
kopi
aku
terus berlari
dan
di sebuah dataran yang agak rata
tampak
banyak sekali kampret
yang
bergelayutan di gerumbulan
dan
dahan-dahan kopi
napasku
tersengal
seperti
mau putus
“Ngapain
Oom lari-lari begitu?
Olahraga
ni ye?”
Setelah
ambil napas dan berpegangan
rumput-rumput
baru
aku bisa ngomong
“Lo
kalian masih di sini?
Tidak
ikut yang lain-lain itu?”
“Tidak
Oom
Kan
kami tokoh buku ini
Apapun
yang terjadi
Kami
harus tetap di buku ini.”
Aku
terharu
para
kampret itu kusalami satu-satu
sampai
aku benar-benar loyo
ternyata
masih ada kampret yang
mau
jadi tokohku
meskipun
jumlahnya tidak banyak
paling
tinggal ratusan.
“Ada
berapa banyak sih pret?”
“Dua
ratus Oom.”
“Yah,
lumayan
lebih
baik sedikit tapi bermutu
daripada
banyak tapi gombal
masak
pengarangnya dimaki-maki.
Sudahlah
prêt.
Hari
ini kita istirahat total
nanti
malam kita jalan lagi
Okey?”
“Okey
Oom!”
****
Laporan
Perjalanan Kampret dari Propinsi Lampung
Setelah
dipaksa
Oleh
si oom yang ngarang buku ini
kami
para kampret ini
segera
terbang meninggalkan
Gunung
Rajabasa
jumlah
kami kira-kira tinggal 200 an ekor
padahal
waktu start
dari
Jakarta
jumlah
kami sampai jutaan
Sebagian
besar mati dan hilang
waktu
kami menyeberangi selat Sunda
Lalu
ada ribuan lagi yang ngabur
dari
Gunung Rajabasa
lantaran
pada protes tidak lagi
mau
jadi tokoh buku ini
Hari
memang belum terlalu gelap
tapi
justru saat-saat seperti inilah
serangga
makanan kami sangat banyak
karena
perut kami sangat lapar
kami
pun segera mencaplok
serangga-serangga
itu
dengan
sangat lahap
sambil
terus menyusuri
kaki
Gunung Rajabasa
Kami
sengaja tidak melewati
kota
Bandarlampung
Jadi
dari gunung rajabasa
kami
terus ke arah utara
menuju
kota Palembang
meskipun
kami baru pertama kali ini
menerbangi
angkasa pulau Sumatera
namun
berkat adanya indera ke VI
kami
para kampret dengan sangat mudah
menentukan
arah
tidak
perlu kompas
tidak
perlu altimeter
kami
semua sudah bisa segera
menguasai
medan
Ternyata
bumi Sumatera
khususnya
Lampung
tidak
seperti yang semula
kami
bayangkan
Vegetasi
alam yang asli
sudah
banyak yang rusak
beberapa
malahan jauh lebih rusak
dari
hutan-hutan lindung
di
pulau Jawa
Kira-kira
pukul sepuluh malam
(22.00
WIB)
kami
para kampret mencium bau aneh
busuk
luar biasa
Segera
kami memperendah terbang kami
kami
sengaja agak mengumpul
agar
lebih mudah berkomunikasi satu sama lain
Nun
di bawah sana tampak sebuah sungai
dari
indera ke enam kami
ketahuanlah
bahwa banyak ikan yang mati
beberapa
rekan yang segera menjelajah
kawasan
ini
segera
melaporkan bahwa sungai itu
sudah
tercemar oleh ampas singkong
ternyata
di kawasan ini banyak sekali
pabrik
tepung tapioka
dan
ampasnya begitu saja dibuang ke sungai
kami
tidak sempat menghitung
jumlah
pabrik tapioka yang ada
tapi
sepanjang perjalanan tercatat
sampai
puluhan pabrik
kami
terus terbang kea rah barat laut
bau
busuk itu sdah jauh tertinggal
di
belakang sana
Beberapa
kampung dan kota kecamatan
kami
lewati
kami
banyak melihat surau
mesjid
pura
gereja
ada
rumah-rumah model Jawa
ada
yang model Sunda
model
Bali
dan
banyak juga rumah penduduk asli
meskipun
penduduk-penduduk pendatang itu
dulunya
transmigran
namun
kesan dari indera ke enam kami
bau
transmigran itu sudah tak ada lagi
tampaknya
mereka sudah sangat kerasan
Menjelang
tengah malam
ada
beberapa rekan yang mengeluh
bahwa
perut mereka mual-mual
semua
kami mengira mereka ngidam
tapi
ternyata cowok-cowoknya
juga
mengeluh pusing dan muntah-muntah
dugaan
kami kemudian
rekan-rekan
itu
mabuk
perjalanan
Untung
di antara rombongan ini
ada
beberapa rekan yang tahu ilmu medis
rekan-rekan
yang sakit itu segera diperiksa
Terpaksalah
rombongan berhenti
di
areal kebun kelapa sawit
suasananya
tampak gelap dan nyaman
ternyata
rekan-rekan yang sakit itu
pada
keracunan pestisida
tampaknya
serangga-serangga
yang
kami caplok sore tadi
banyak
yang sudah mengisap cairan tanaman
yang
barusan disemprot pestisida
Menurut
rekan yang ahli medis tadi
teman-teman
yang keracunan itu
pasti
tidak akan tertolong lagi
memang
kami tahu beberapa jenis daun
yang
dapat kami makan
agar
pengaruh jahat pestisida itu
bisa
hilang
namun
mereka yang kadar racunnya tinggi
pasti
akan mati
Kami
sedih
beberapa
saat kemudian
rekan-rekan
yang keracunan itu
memang
segera mati
menurut
perhitungan kami ada
43
ekor yang mati
terdiri
dari 20 ekor jantan dewasa
16
betina dewasa
5
remaja dan 2 bayi kampret
mereka
kami tinggal begitu saja
di
kebun kelapa sawit
Untuk
mengejar waktu
kami
pun segera terbang lagi
ternyata
sepanjang perjalanan ini
masih
juga ada rekan-rekan yang mati
dan
berjatuhan
kami
putuskan untuk memperlambat
terbang
dan
kami pun sepakat untuk
lebih
berhati-hati lagi dalam
menyantap
serangga
kami
tidak berani lagi makan serangga
di
sawah-sawah
di
kebun karet
di
areal kelapa sawit
dan
di kebun-kebun cokelat
kami
baru berani makan serangga
di
hutan-hutan yang sudah rusak
di
padang alang-alang
atau
malahan di ladang singkong
menurut
informasi dari indera ke VI kami
di
kawasan-kawasan tadi
serangganya
belum banyak tercemar pestisida
Kira-kira
lewat tengah malam
kami
beristirahat di sebuah hutan
yang
sudah tidak perawan lagi
di
situ memang masih ada gajah
tapi
jumlahnya kami kira tidak begitu banyak
kami
bergelayutan di dahan
dan
ranting-ranting pohon
agar
kami mengetahui jumlah rombongan ini
kami
pun melakukan penghitungan
ternyata
rombongan ini tinggal 110 ekor
tapi
di luar dugaan kami
dari
jumlah itu ada sekitar 20 an ekor
kampret
setempat
para
kampret Lampung ini tertarik
dengan
iring-iringan kami lalu mengikuti
kami
sudah menyarankan agar mereka
tidak
usah ikut
tapi
mereka ngotot
hingga
kamipun membiarkannya
toh
mereka tidak mengganggu
Setelah
beristirahat sejenak
kamipun
melanjutkan perjalanan
tampaknya
kami sudah melewati
perbatasan
propinsi Lampung
Agar
kami dapat mencapai kota Palembang
sebelum
fajar
kecepatan
terbang kami pun kami tambah
namun
akibatnya beberapa ekor kampret tua
banyak
yang tidak kuat lalu jatuh
perjalan
ini memang berat
tapi
inilah risikonya jadi tokoh cerita
kami
terpaksa harus tabah
harus
tetap optimis
para
kampret yang loyo
yang
mudah putus asa
yang
pesimis
memang
tidak ikut bermigrasi
meraka
ada yang tetap di kolong
jalan
layang tol
ada
yang tetap di Bumi Perkemahan Cibubur
ada
yang menghuni Depo Lokomotif
ada
yang di menara geraja
dan
lain-lain
mudah-mudahan
laporan perjalanan ini
tidak
mengecewakan para pembaca semua
Soalnya
kami-kami ini
memang
bukan wartawan
bukan
pengarang
jadi
laporannya ya cuma begini ini
terima
kasih
dan
maaf kalau tidak bagus
****
Migrasi tanpa
Akhir
Serangga
makin tipis
Tampaknya
tak ada lagi pohon-pohon
Tinggal
jejak buldoser
Ribuan
kilometer
semua
capek
mata
berkunang-kunang
kepala
pening
otak
mampet
tulang
linu-linu
Semua
tampak berwarna merah
langit
merah darah
cakrawala
merah darah
di
bawah yang tampak hanya
canggal-canggal
kering
yang
mencuat, berwarna merah
di
sela-sela jejak buldoser
Meskipun
capek, ngantuk, dan loyo,
para
kampret itu terus mengepakkan sayapnya
ke
arah utara
kepakan
sayap itu makin lemah
tiba-tiba
seekor kampret
tak
lagi mampu mengepakkan
sayapnya
lalu meluncur jatuh.
“Ada
teman kita yang jatuh.”
“Ya,
dia pasti mati.”
“Kita
istirahat dulu.”
“Ya
Oom, aku capek sekali lo.”
“Kenapa
semua jadi tampak merah.”
“Itu
kok ada pohon-pohon natal,
tapi
warnanya kok merah begitu?”
“Iya,
ya, semua kok tampak merah begini sih?”
“Lo,
bukan hanya langit dan tanah
dan
pohon yang merah.
kamu
juga merah kok!”
“Kita
semua merah.”
“Ya,
kita jadi merah!”
“Tidak,
kita tetap hitam.”
“Ya,
langit ya tetap biru.”
“Tanah
ya cokelat, pohon-pohon hijau.”
“Kita
sebaiknya tidak terbang
pada
siang hari.
Terlalu
riskan.
Lebih
baik istirahat di bawah sana
sebentar
lagi hari akan siang.”
Kampret-kampret
itu lalu menukik turun.
Hari
berangsur pagi.
Suhu
udara dingin,
sangat
dingin.
Tapi
sinar matahari
dari
celah tajuk pinus itu hangat.
Belantara
hutan-hutan tropis
di
daratan Sumatera itu
sudah
selesai dibabat habis,
diratakan.
Dibajak.
Dan
kemudian tumbuh Eukaliptus,
pinus
merkusi dan akasia.
Ini
hutan tanaman industri Bung!
Manusia
makin perlu kertas.
Untuk
menulis.
Untuk
bungkus kado.
Untuk
dibuat majalah dan buku.
Untuk
lap keringat.
Untuk
cebok.
Kertas
itu penting untuk manusia.
Juga
tusuk gigi.
Sumpit
untuk makan mi.
Peti-peti
sabun.
Juga
peti mati.
Semua
itu penting.
Sangat
penting.
Untuk
keperluan sumpit,
peti
mati, kertas,
tusuk
gigi dan lain-lain itu,
hutan
tropis ditebas habis
lalu
diganti akasia,
Eukaliptus
dan pinus.
Gajah
tergusur.
Tupai
tersingkir.
Trenggiling
mati.
Kodok
terpojok
dan
semut-semut bangkrut.
Di
tengah hutan Eukaliptus itu
ada
sebuah base camp kokoh,
karena
terbuat dari kayu-kayu yang bagus.
Para
kampret itu masuk lalu
bergelantungan
dan tidur.
“Kita
capek sekali ya Oom?”
“Ya,
rombongan ini tingggal berapa ekor sih?”
“Enam
puluh pak.
Kemarin
masih enam puluh satu.
Tapi
tadi pagi kembali ada yang
nyungsep
lalu matek
di
tanah yang dibuldoser tadi.”
“Lama-lama
habis ya kita ini.”
“Oom,
kenapa kita nggak sampai-sampai
sih?
Aku bosan lo?”
“Sampai
ke mana?”
“Ya,
kita ini mau pergi ke mane?”
“Kita
tidak pergi ke mane-mane!”
“Aku
bosen.
Aku
bosen dengan
perjalanan
panjang,
yang
brengsek ini.
Aku
mau berhenti di sini.
Aku
capek.”
“You
akan mati di sini.
Akan
mati kelaparan.
Di
sini tak ada belalang.
Tak
ada nyamuk.
Tak
ada kepik.
Tak
ada kutu loncat.
You
pasti mati.”
“Biarain
Semua
nantinya kan pasti
mati.
Ngapain
jauh-jauh amat
sampai
Sumatera begini?
Enakan
di Jawa sana,
Kita
dapat mati
dengan
sangat tenang.”
“Ya,
aku mau berhenti juga.
Capek!”
“Aku
juga.”
“Aku
juga ogah ah kalau
terus-terusan
jalan tanpa tujuan!”
“Siapa
bilang kita jalan tanpa tujuan!
Jangan
ngaco ngomongnya!”
“Betul
Boss!
Tujuan
kita sangat jelas.
Kongkrit!”
“Kedamaian
abadi.
Kita
menuju ke kedamaian abadi!”
“Kedamaian
abadi itu kentut.
Aku
jadi muak dengan slogan
gombal
begitu!’
“Diam
semua!
Dengarkan!
Yang
masih mau jalan
ayo
ikut di belakangku.
Yang
ingin pulang ke Jawa
ya
sana pulang.
Yang
ingin tetap di sini
ya
silakan.
Dari
dulu kita merdeka.
Tak
ada tuntutan.
Tak
ada paksaan.
Jadi
jangan ribut.”
Kampret-kampret
itu lalu diam.
Sepi.
Hanya
ada bunyi daun Eukaliptus kena angin.
“Setelah
menempuh jarak
demikian
jauh
kita
lalu jadi dapat menikmati
perjalanan
ini
tujuan
lalu menjadi tidak begitu penting.”
“Jadi
Gua kapur yang sepi dan nyaman tidak lagi penting Oom?”
“Tidak.”
“Hutan
yang perawan juga tidak perlu lagi Oom?”
“Tidak.”
“Mau
perawan kek, ibu-ibu kek,
janda,
nenek-nenek,
semua
tidak lagi problem.
No
problem!”
“Ya,
no problem.”
“Pokoknya cuek.”
“Pokoknya cuek.”
“Kita
jalan terus.”
“Anjing
menggonggong kafilah berlalu.”
“Rawe-rawe
rantas malang-malang putung.”
“Jalan
adalah jalan.”
“Sumatera
kita jelajahi
Acah
kita tonton dari udara.”
“Ke
Malaysia mau nggak?”
“Ke
mana sajalah, singapur,
Vietnam,
Jepang, Kalimantan juga boleh.”
“Bagaimana
kalau ke Eskimo?”
“Kutub
Utara saja sekalian
kita
lihat Aurora.”
“Sekalian
saja ke Mars.
Planet
biru ini lama-lama juga membosankan.”
“tidak.
Kita
harus kembali ke Eden
Firdaus
Itu
lo yang dulu pernah dihuni manusia
Adam
dan Hawa lalu ditutup Tuhan.”
“Ya
kita harus bermigrasi ke sana
mari
teman-teman
Sumatera,
gua kapur
hutan
perawan
kutu
loncat
semua
jadi tidak penting
kita
sudah menemukan kembali tujuan kita.”
“Kompas
kita ketemu.
Arah
itu tampak jelas sekarang.”
“Firdaus.”
“Keabadian.”
“Ya
kita akan ke sana
apa
pun yang kita lakukan.”
“Sekarang
tidur.”
“Nanti
malam kita nyaplok nyamuk
lalu
terbang menjelajahi planet ini.”
“Sip.”
“Pacaran,
kawin, beranak
masih
boleh ya Oom?”
Tentu,
semua
harus tetap normal.”
“Oom
sendiri?”
“Ya,
nanti juga harus kawin
sama
siapa kek,
pokoknya
betina
kita
harus jadi banyak
dan
bertahan hidup.”
Sore
itu matahari
dengan
anggun
dan
pelan sekali
angslup
di antara pohon-pohon akasia
udara
jadi makin dingin
para
kampret menggeliat-geliat
mencicit-cicit
menggerak-gerakkan
sayap
lalu
terbang meninggalkan base camp itu
dengan
gembira mereka mencaplok nyamuk,
belalang,
kepik dan kutu loncat
mereka
terus bertambah banyak
dan
terus bermigrasi
entah
sampai kapan
entah
sampai ke mana
menghindari
keserakahan
manusia
***
Tentang F.
Rahardi
F.
Rahardi lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 10 Juni 1950. Sempat menjadi guru
sekolah dasar sebelum kemudian bergelut di Majalah Pertanian TRUBUS. Kumpulan
puisinya al. Soempah WTS (1983), Catatan Harian Sang Koruptor (1985), Silsilah Garong (1990), Tuyul (1990). Kumpulan cerpennya Kentrung Itelile (1993).
Catatan Lain
Di
bagian ini, saya malah ingin menghadirkan 2 bagian, yang dimasukkan begitu saja
sebagai bagian dari puisi. Yaitu Penjelasan
Umum Tentang Kampret (diletakkan nomor 2, setelah puisi Pemberitahuan) dan Penutup. Ssttt… sebenarnya buku ini paling melelahkan yang pernah
saya tulis untuk blog kepadapuisi. Hehehe. Bayangkan, 3 (tiga) bulan
menggarapnya baru dapat selesai. Saya bilang ke Hajri, kok panjang-panjang
puisinya Jri? Keriting jari saya mengetiknya. Hajri bilang, itulah risikonya.
Ya harus diambil. Buku ini seharusnya tampil bersamaan rumah panggung, linus suryadi dan aku hadir di hari ini, hr. bandaharo, beberapa bulan yang lewat.
Penjelasan
Umum tentang Kampret
Nama
kampung : Kampret
Nama
Babtis :
Microchiroptera
Suku
Bangsa :
Kelelawar (Chiroptera)
Kelas
Binatang : Mamalia
(binatang
menyusui)
Jadi
kampret itu
melahirkan
anak
Keistimewaan Kampret : Bisa terbang. Alat
terbangnya
adalah kulit
tipis
yang membentang
menghubungkan jari-jari
tangannya
(kecuali ibu
jari)
lalu terus
menyambung
ke kaki dan
ekornya
Makanan Kampret : Serangga kecil yang
langsung
dicaplok
sambil
terbang.
Ukuran Kampret : Tubuh kampret hanya
sebesar
ibu jari kaki
orang
dewasa normal.
Rentang
sayapnya
sekitar
20 cm.
Tempat Tinggal : Gua-gua kapur yang gelap.
Bangunan-bangunan
kosong.
Menara
gereja dan lain-lain.
Waktu Beroperasi (aktif) : Malam hari.
Siang
hari mereka tidur
dengan
cara
menggantungkan
diri
(kepala
di bawah)
dengan
cakar kakinya
pada
tonjolan karang
di
gua-gua atau
bangunan
lainnya.
Seluruh tubuh kampret ditutupi bulu halus.
Warnanya coklat kehitaman.
Kampret masih sesuku dengan Codot
(Hipposiderus diadema) dan Kalong (Pteropus
vampyrus) yang berukurang lebih besar dan
makan buah.
Di dunia ini total ada 875 jenis kelelawar
yang dikelompokkan dalam 19 keluarga.
Di pulau Jawa, yang merupakan pulau dengan
penduduk terpadat di dunia,
diperkirakan ada 60 jenis kelelawar,
termasuk salah satunya adalah kampret.
Jenis-jenis kelelawar ini
terancam kelangsungan hidupnya
karena habitatnya dirusak manusia.
Terutama
yang paling terancam punah
adalah jenis kalong.
Kotoran kampret
yang menumpuk di gua-gua
dan bangunan lainnya sering dimanfaatkan
sebagai pupuk
yang banyak kandungan P (Fosfor) nya.
Dikenal dengan nama pupuk guano.
Daging kampret tidak lazim dimakan manusia.
berbeda dengan kalong dan codot
yang dikonsumsi
terutama oleh masyarakat
keturunan Cina.
***
Penutup
“Kampret
saya
sebagai penyair
ingin
menyampaikan terima kasih
pada
kalian
tanpa
kalian
buku
ini tidak bakalan ada
selain
ingin berterima kasih
sebenarnya
saya juga sedih prêt
tahu
kalian kenapa saya sedih?”
“Tidak
Oom.”
“Begini
kalian
ini digusur terus
hidupnya
makin susah
dilupakan
tapi
begitu saya tulis
e,
yang jadi beken kok malah saya
kalian
para kampret tetap saja susah
dulu
juga ada pelukis
yang
sukanya menggambar kere
kerenya
tetap saja kere
tapi
pelukisnya dapat jadi jutawan
dan
top
apa
itu adil prêt?”
“Ya
adil saja to Oom
kan
memang sudah begitu itu
aturan
main dari sononya
sebenarnya
Oom
yang
mesti berterima kasih
justru
kami-kami ini para kampret
kan
mending masih ada yang
mau
nulis tentang kami Oom!
Ya
kan Oom?”
“Ya,
tapi apa itu adil prêt?
Itu
namanya kan yang kuat
mengeksploitir
yang lemah
Mestinya
kere-kere yang dilukis
oleh
pelukis beken itu harus dapat bagian
berapa
persen dari harga lukisannya
begitu
kek pokoknya dia tidak kere lagi
Sekarang
orang-orang di Wamena
sana
kalau
dipotret pakai koteka
pada
minta bayaran lo prêt
itu
kemajuan
Juga
pemetik teh di Gunung Mas sana
kalau
disorot kamera juga minta uang
tapi
mereka minta-mintanya tetap seperti kere.
Mestinya
pakai tarif lalu ada manajernya
Jadi
mestinya kalian juga dapat bagian
kalau
buku ini laku nantinya.
Mau
nggak prêt?”
“Itu
komersialisasi diri namanya Oom
Mata
duitan gitu.”
“Lo
ya tidak
Itu
justru yang wajar
Semua
harus menerima haknya.”
“Tapi
Oom,
Anda
ini mau bikin
penutup
sebuah buku
atau
mau ngapain?”
“O,
ya
Lupa
aku prêt
Pokoknya
terima kasih
dan
maaf ya kalau ada yang nggak enak
di
benak kalian.”
“Sip
deh Oom!”
********
Saya ingin tanya, apakah Pemberitahuan, Penjelasan umum tentang kampret, dan Penutup itu tergolong puisi di dalam buku ini? Kalau tergolong puisi kok rasanya lucu ya? Saya pernah baca puisi beliau yg judulnya Definisi Tuyul, tapi rasanya kayak baca kamus. Ditunggu jawabannya terima kasih.
BalasHapusKayaknya, oleh penyair, dimasukkan sebagai puisi juga, insting saya sepertinya cenderung untuk mengatakan demikian: puisi juga. :)
Hapus