Data buku kumpulan puisi
Judul: Bangsal Sri Manganti
Penulis: Suminto A. Sayuti
Cetakan: I, September 2013
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Bekerja
sama dengan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
Tebal: vi + 89 halaman (60 puisi)
ISBN:
978-602-229-254-8
Editor:
Dr. Wiyatmi, M.Hum dan Dr. Rina Ratih, M.Hum
Tata
aksara: Dimaswids
Rancang
Sampul: Haitamy el Jaid
Beberapa pilihan puisi Suminto
A. Sayuti dalam Bangsal
Sri Manganti
Kita pun
Sampai
Kita
pun sampai. Ketika salam rembulan menyapa pantai
Ketika
salam rembulan menggandeng kelam. Menjadi
suluk
ki dalang
Dengan
iringan gending-gending kehidupan. Dalam irama
maskumambang
Juga
eling-eling kasmaran. Sorga pun
sampai ketika talu,
ketika
tayungan
Lalu
tancep kayon. Dan kita pun wayang di
bawah
blencong kehidupan
Mencabut
diri dari simpingan. Kanan dan kiri
yang
berkelindan
Sorga
pun sampai ketika salam pun rembulan
Yogyakarta,
2012
Pohon
Trembesi, Pagi Songgoriti
- nita
Pagi
pohon trembesi. Melangkah cahaya
Bersama
rimbun daun-daun. Gemericik air
Aroma
hidup pun mengalir. Lalu kabut
Sepanjang
bukit. Sepanjang rindu yang bangkit.
Maka
aku pun lereng. Pada perbukitan terjal
Menapaki
jalan ajal. Menujumu
Menujumu.
Kudekap sunyi
Kudekap
dirimu. Serupa dekap hidup dan mati
Malang, 2011
Pada Suatu
Waktu
- in memoriam
Mas Kunto
Lalu
gugur daun
Kita
terperangah. Dalam hati ngungun
Cuaca
berubah. Dalam dingin embun
Ada
yang bergegas ke semak rimbun
Kita
tak harus menyeka airmata
Biarlah
mata kita bersih dan bercahaya
Seperti
janji yang pernah terucap
Ketika
jajar bilangan belum lagi genap
Pada
saatnya kita pun akan segera berangkat
Seperti
sudah ditulis dalam surat-surat
Yang
kubaca, yang ditulis berabad-abad
Seperti
sudah kautulis dalam sajak-sajak
Kapan
saatnya segala akan segara beranjak
Ada
yang bergegas ke semak rimbun
Bersama
gugur daun: Ma’rifat Daun, Daun Ma’rifat
Seperti
sajak yang kautuliskan, seikat demi seikat
Dulu
seabad yang lalu
Suluk Awang-Uwung kembali
kumandang
Dalam
irama Ketawang
Menghantar
kepergian dan kepulangan
:
Selamat jalan!
Yogyakarta,
Maret 2005
Syair di
Pematang
seperti
engkau lihat sendiri
segenggam
benih sawi telah ditebar
lalu
berkecambah di tanah gembur
dan
akulah petani itu, menunggu dengan sabar
agar
tumbuh dan berkembang, di sela-sela umur
berdiri
di tengah pematang
kehidupan
pun bermula
membaca
bayang-bayang
diri
pun tumpah di kubangan tanda
Kertodadi,
2004
Melintasi
Kotamu
- sugeng tri
wuryanto
antara
parakan-magelang
temanggung
terjaga
berkerudung
jarik kawung
menggema
kidung
kehidupan
orang-orang gunung
ketika
hari berangkat berhitung
dan
angka-angka berkejaran
menjadi
bilangan tahun
engkaupun
bertanya: sampai di mana kita
lalu
terminal demi terminal
dan
tikungan-tikungan terjal
menyela-nyela
di antaranya: harapan
kehijauan
yang berwajah rampogan
lalu
tanah miring, si gunung miring
sebelum
kumandang lagon dan pathetan
jiwa
teronggok di dasar jurang dalam
seperti
gendhing sebelum jejeran
lalu
perang kembang
:
kita masih setengah jalan!
Yogyakarta,
2005
Siang Arafah
serupa
kicauan burung kesayangan
semua
kenangan menukik menghampiri
menukik
ke timbunan daun kuning di hati
daun-daun
yang menatap dan melengkung
penuh
air sesal warna pucat keperakan
lalu
mengalir dalam irama sendu
lalu
hiruk pikuk pun dininabobokan
oleh
kering angin dan panas cuaca
dan
perlahan pepohonan pun henti
lalu
tak suatu pun terdengar
tak
suatu pun, selain suara bersama
mengagungkan
Yang Tak Ada
tak
suatu pun
tapi
suara itu, istriku
ah
– kenapa begitu parau
gagap
dan merana!
senandung
burung kesayangan, istriku
kembali
menerawang
lewat
mulut Kekasihku yang pertama
dan
senantiasa seperti ketika Dia tiupkan jiwa
pada
hari yang pertama
tak
suatu pun …
selain
suara mengagungkan Yang Tak Ada
tak
suatu pun, tapi kenapa suaraku parau
dan
begitu merana!
ya,
ya
aku
mungkin cuma sebuah panggilan
di
luar sepotong doa
serupa
seorang narapidana
menatap
ke arah lubang angin
di
kamar tahanan bawah tanah
dan
keluasan cakrawala
cuma
nampak lewat ciut celah jendela
tapi
di manakah puncak gunung bergoa itu, istriku
aku
pun paham mengapa pintu goa
selalu
saja tanpa cahaya
karna
bagaimana mungkin
belepot
lembaran catatan harian
disucikan
lewat kebohongan dan penipuan
Kekasih,
inilah sajakku
Tolong,
baca dan aminkan!
Makkah, 2004
Sebuah Goa di
Puncak Bukit
di
sebuah goa kecil
di
puncak bukit
seonggok
tubuh kerdil
menggapai-gapai
langit
engkau
mesti bersabar
menakar
diri menakar hati
sebelum
lakon digelar
ditabuh
dulu si babar layar
jangan
dulu bertanya
di
mana dalang sejati sembunyi
sebelum
diri selesai mendaki
sebelum
puncak
sebelum
goa terlacak
Makkah, 2004
Notasi
Keseharian (1)
-
puting beliung
pekarangan
batinku luluh lantak
diterjang
puting beliung rindu
ada
gejolak bersahut kehendak
tapi
dirimu sedingin batu
-
kabut
geliat
kabut di lereng Merapi. Gelegak sukma menahan diri
ada
suara cangkul menghantam batu. Ada irama gendhing
bertalu-talu
kata
dan kalimat berebut tempat. Di hatimu
-
pagi
Selamat
pagi. Matahari meruapkan hangat mimpi. Malam tadi
Lalu
embun di daundaun. Lalu hati ngungun
Sisanya
cuma rindu. Mengunggun.
Ayun-ayun pun Tanjung Gunung
-
ranggas
Tapi
kini dedaun gugur. Dan tersisa ranting ranggas
Merak
pun merenda umur. Di sela hari yang bergegas
Gebuk
gendang pun sumbang. Lambai selendang tak sampai
Kecuali
di hati. Kecuali di ladang cinta tak terperi…
-
batu
Serupa dedaun
hutan. Musim tengah mengubahmu pelahan
Tapi aku yakin.
Kau pun sebiji batu di bawah tanah
Sebiji. Tapi
telah membuat rumah itu abadi
-
badai
Tapi
angin pun bisa badai. Tapi jiwapun bisa sangsai
Ketika
harap mulai retak. Dan tak sampai-sampai
Serupa
kulit pohon sore hari. Hangatmu terasa juga sampai
Di
sini. Walau dalam jarak. Walau…
-
sunyi
Tiap jejak punya
tujuan. Tiap denyut punya teriakan
Tiap suara punya
irama. Tiap sukma jeritkan perjumpaan
Tapi mengapa
cuma dalam larikmu terpetakan
Sementara semua
sirna dalam sunyi keseharian
-
gerah
Tanpa
dirimu, kesunyian merebusku. Gerahpun memanjang
Lalu
lengang waktu. Dalam proses menuju beku
Membuka
lembar demi lembar. Memecaki kembali peta kenangan
Gelisah
dan galau masa silam. Mencumbu bayang-bayang semu
Sebelum
larik pertama, sebelum larik terakhir. Ada yang terasa mendesir.
-
mata
Kenapa matamu
kini sepekat kematian
Ya. Kematian
yang menjemputku sewaktu-waktu
Tidakkah kau
lihat ruap tubuhku. Serupa dupa diapikan
Dan tubuhku pun
sudah bau tanah. Kenapa matamu berpaling. Kini.
Aku buka
lembar-lembar nota harian. Ada sisa isak
Dan cinta itu
sudah membiak. Seperti tak pernah ada
Daftar rujukan
sebagai kata akhir. Lalu
Di manakah desir
ini ditambatkan.
-
Slamet – Merapi
Sungguh,
aku telah hirup asap kepundanmu. Cukup lama
Dalam
lambaian sunyi. Lalu aku pun kembali belajar mengeja
Huruf
demi huruf yang membentuk namamu. Lalu terhampar kehijauan
Tempat
diriku terbaring rebah. Melepas lelah
Lalu senandung cinta remaja. Denyar pun sampai
kepadamu
Yogyakarta,
2010-2011
Syair Anjing
cinta
itu bak anjing
salaknya
tak henti
menembus
belukar hati
menguntit
hari-hari kita
menagih
mimpi adam dan hawa
kekasih,
dengarlah gonggongnya
menggema
dalam rongga
rasakan
lenguh dan dengus napasnya
jiwa
tegak dan tatapan jauh
dalam
diriku kamu ada!
Yogyakarta,
2005
Kidung
Pengantin
- Sekar
harap
dan damba yang kita tuju
ibarat
terbukanya pintu yang selalu rapat tertutup
kecuali
kerna angin senja
bersama
gugur daun dan suara-suara ngungun
bersama
pecahnya suasana
Kinanthi larikan
pertama: Nalikane…
Semua
sahabat melempar ucap
“semoga
tumbuh subur daun-daun cinta beranting setia”
Ada
sepasang merpati dari arah Timur
mengirim
seuntai bebungaan
harumnya
tersebar ke segenap penjuru
ada
sepasang kupu dari bumi Utara
mengirim
sekeranjang dedaunan
rimbunnya
menaungi raga
dua
jiwa ditalikan benang kehidupan
menuju
arah yang entah
ketika
kedua mata kita pejam
ditimbang
keluar masuknya nafas meruah
Pakem, 9-10
Juli 2005
Melepas
Matahari
Kita
lepas matahari yang lelah
Biarkan
pundak ombak dan kangkang kaki langit
Jadi
dipan istirah
Kita
timbun bersama
Berlusin
impian hari-hari kemarin
Dengan
ikhlas dan yakin
Kita
basuh kusut wajah dengan embun fajar esok hari
Dengan
niat dan munajat
Menghangatkan
diri dengan matahari lain
Membangun
kemah hunian baru
Seperti
pernah kita alami
Di
padang luas berpasir
Tempat
hati kita menambatkan desir
Seruan
demi seruan, tetap kumandang
Panggilan
demi panggilan menemu jawaban
Kita
pun bukan kabilah sunyi
Kita
pun barisan barzanji
Selamat
menemu harapan dan tuju
Yogyakarta,
2009
Rumah Kata
Kembali
ke rumah kata. Kembali ke rumah cinta
Siapa
menunggumu. Putik kembang bertaburan
di
pembaringan
Harum
pun menyisir rambut. Semua yang teraba berbatas
ceruk
Tak
terbaca. Kembalilah jiwa demi dahaga
Bersama
matahari. Bias jingga. Sebelum berpaling muka.
Yogyakarta,
2012
Syair Embun
Pagi
Hangat
matahari. Kehendak pun tak pernah henti
Lalu,
mata pun cucuk daun. Menghirup embun pagi
Jalan
pun terbuka. Menuju cakrawala
Kugandeng
tanganmu. Menyisir hari. Di sisa usia.
Yogyakarta,
2012
Syair Puncak
Jangan
tanyakan puncak. Mendakilah terus ke Utara
Karna
puncak tak pernah ada. Ialah kerendahhatian yang
diam
tanpa suara
Maka
kita pun dataran rendah. Sepetak sawah bagi petani
kecil
Sejengkal
kolam bagi ikan-ikan mungil. Rimbun daun bagi
birahi
sepasang burung. Secercah cahaya bagi pejalan
larut.
Sebaris fatwa bermakna
Sebait
puisi abadi. Tak ada puncak ketika di ketinggian
Tak
ada puncak ketika kemah hunian kita dirikan dalam
diri
Yogyakarta,
2012
Secangkir Kopi
- bandi
Kita
seduh hidup dalam secangkir kopi tanpa gula.
Sepiring
krispi kangkung. Selusin tahu plempung.
Kumandang
gamelan
Kumandang
yang kembali. Sebelum tlutur dan palaran.
Surabaya, 2012
Tentang Suminto
A. Sayuti
Guru
Besar Ilmu Sastra pada Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta,
Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, pada 26 Oktober
1956. Selain menulis puisi, juga menulis esai dan buku teks kesastraan. Juga
piawai menabuh gamelan jawa dan bermain wayang kulit.
Catatan
Lain
Rasanya, sewaktu di
Jogja saya pernah mendengar penyair ini bicara. Tapi saya lupa kapan dan di
mana. Saya membuka-buka buku harian, juga tak ketemu. Saya cuma ingat bahwa
saat itu hati saya bicara: ternyata kesan saya selama ini salah. Awalnya saya
menduga orang ini kalem, bicaranya lembut. Tahunya sebaliknya, beliau bicara
berapi-api, kutip sana-kutip sini sebagai tanda wawasan yang luas dalam sastra.
Dan seingat saya, saya lalu membanding-bandingkannya sebagai mirip Faruk. Hanya
itu kesan yang tertinggal.
Terima kasih atas ilmunya...:)
BalasHapusMakasih sama-sama :).....
Hapus