Data buku kumpulan puisi
Judul : Kitab
Cinta (Sajak-sajak 2003-2013)
Penulis : Jamal T. Suryanata
Cetakan : I, Mei
2014
Penerbit : Skripta
Cendekia, Banjarbaru
Tebal : x + 124 halaman (88 puisi)
ISBN : 979-17092-5-4
Beberapa pilihan puisi Jamal T. Suryanata
dalam Kitab Cinta
Tahajud
Cinta
ingin kutulis
tentangmu seribu kali lagi
lalu kulafalkan namamu
hingga tak ada
yang berubah kecuali
kebutaanku sendiri
yang kian nanar
memandangi tubuhmu
seperti kata para
pemuja, wahai kegilaanku
pedang mabukku masih
terhunus tajam
untuk menusuk
dalam-dalam ke jantungmu
tapi diammu lebih
kupilih sebagai kawan
aku ingin berteduh
dalam damai senja ini
mengapa tak kita
biarkan hati bernyanyi?
dan tikar sembahyang
itu sudah terhampar
menyediakan mimpi bagi
jiwa yang lelah
tapi penawaran
surga-neraka silih berganti
mendatangi kita di
beranda-beranda sunyi
bukankah iblis
bersumpah tak pernah mati?
maka biarlah aku terus
memuja cintamu
lalu menepi di setiap
rindu menyapa sepi
aku tahu, engkau
selalu memanggilku
dan tak pernah menolak
keluh keliaranku
karena kasihmu
mendahului murkamu
2013
Semesta
Rinduku
bukankah telah
kautebarkan ayat-ayatmu, kekasih
dari negeri bersulam
kabut bertatah intan rahasia
kepada pekat malam
yang menanti purnama tiba
kepada laut biru yang
menekuri amuk gelombang
kepada langit jingga
yang merelakan matahari senja
kepada segala perindu
yang lelah mengeja dunia
bukankah telah
kauembuskan api cintamu, kekasih
yang melepas
burung-burung pada liar kepaknya
membiarkan dingin
sungai mengekalkan arusnya
menciumi aroma bunga
di jelang layu kelopaknya
mendahagakan kapal
mimpi di lepas jangkarnya
melarutkan berjuta
kata bagi para penyair gila
ya, kekasih, akulah
musyafir yang haus belai cintamu
akulah penyair yang
gila pada keindahan bahasamu
ya, kekasih, kalau kau
memang sedekat urat leherku
mengapa gelora rindu
ini tak pernah terlunaskan?
2010
Epigram
Rindu (2)
pernah kutuliskan
rindu di desau angin
di rinai-rinai hujan
yang menuruni lembah
agau kaunyanyikan
badai ke laut mimpiku
pernah kupahatkan
cinta di pohon-pohon
pada dingin rumputan
yang memagut embun
supaya kaulunaskan
mautku di ujung sunyi
sebab rinduku telah
melampaui semesta
rindu yang selalu
memburu keniscayaan
sebab cintaku tak lagi
berbatas cakrawala
cinta yang senantiasa
menanti ketiadaan
2004
Aku
Ingin Karam di Lubuk Terindah Irama Gurindammu
(bagi
pendahuluku: raja ali haji)
pernah kudengar lantun
suara ibu
tajam menyilet sunyi
di gigil malam
meningkahi siul
serangga mengepak riang
pada sebuah peta asing
di lunas rindunya
sambil membutiri
kembali jejak airmata
yang terus menyulam
sejarah sendiri
yang senantiasa
menggariskan cahaya
berkilauan dari
lubang-lubang abad
hingga mabukku
tumpah-ruah
berenangan mengaliri
tasik-tasik silam
ingin kekalkan rindu
abadikan cinta
dari lubuk terindah
irama gurindammu
“ini gurindam pasal
yang pertama,”
bisikmu lembut membuka
mata
dan kau pun segera
bercerita
tentang ada dan tiada,
tentang dia dan kita
lalu para musafir
berdatangan
membanjiri
majelis-majelis cinta
lalu para penafsir coba
berlomba
mengurai tamsil dan
umpama
pernah kudengar lantun
suara ibu
tajam menyilet sunyi
di gigil malam
meningkahi siul
serangga mengepak riang
pada sebuah peta asing
di lunas rindunya
tapi setiap butir
airmata
yang dirangkainya jadi
sekalung doa
selalu lerai
berhamburan
sebelum benar mencapai
sempurna
atau bahkan tak
sanggup
menjelma rangkaian
mantra purba
“ini gurindam pasal
yang kedua belas,”
katamu akhirnya
menutup kata
lalu kauceritakan
tentang adat berbangsa,
akhirat juga pada
akhir kesudahannya
sebagai pelaut yang
haus mengeja cuaca
kau telah mengajariku
membaca gelombang
sebagai penyair yang
lapar memburu kata
aku ingin karam di
lubuk terindah
irama gurindammu
2007
Datanglah
Sang Cahaya
wahai, engkau yang
lahir berselimut embun
selalu kupanggil-panggil
kuseru-seru sehabis suara
kemari, bawalah api
cintamu bara kasihmu
biar kugenggam dalam
bingkai beribu purnama
jangan, jangan
kauhentikan tangis risau ini
sebelum badai rinduku
benar kikis terlunaskan
kalau kau merasa sunyi
sendiri, kekasih
akulah penabuh rebana
dari lembah malam
lalu kulantunkan
lagu-lagu cinta di sisimu
sambil menari
berputaran menerbangi semesta
dalam lentur tubuh
rumi dan getar bibir rabi’ah
ketika mereka
terhanyut dalam lautan fana
kalau kau merasa lelah
sendiri, kekasih
akulah penunggang kuda
dari gurun sahara
yang selalu siap
menemanimu sepanjang usia
sambil meniup seruling
dalam irama rindu
kerinduan musafir pada
sejuk telaga kausarmu
seperti ketika musa
sujud tersungkur di kaki tursina
kekasih yang selalu
kupanggil-panggil kuseru-seru
pembawa risalah dari
langit mimpi yang jauh
engkaulah cahaya
mahacahaya bagi pengembara buta
tongkat penyangga kala
menapak di jalan-jalan kelam
selamat datang wahai
sang pemanggul matahari
dan bersemayamlah
diam-diam di liang dadaku
2004
Sungai
Martapura
memandang lama-lama
riak sungai di ujung senja
serasa bersitatap
dengan wajah sendiri dalam seribu cermin
menekuri jejak
perjalanan antara kekinian dan kesilaman
lihatlah matahari
betapa risaunya akan tinggalkan senja
dengan pasti ia
melukis haluan jukung puluhan rombong
dalam bayang memanjang
di lengkung air tarian gelombang
mengekalkan senyum
penjaja kebuli, peluh perahu tambangan,
gurau anak-anak, dan
lekuk tubuh galuh di lanting pemandian
sementara kertuk
dayung masih riuh menggoreskan ombak
dan kecipak saluang lalu membentuk pusar di tengah
arusnya
menyimpan kembali
beribu kisah dalam batas kelampauan
memandang lama-lama
riak sungai di ujung senja
seperti membaca
kembali lembar sejarah masa silam
menyaksikan perjalanan
panjang sebuah kota tua
sungai martapura yang
masih terbentang membelah kota
yang airnya semakin
menguning bercampur lumpur jelaga
adalah sungai masa
lalu tempat kita menambatkan rindu
menautkan hati dalam
gelisah menuju keakanan
sungai martapura yang
masih terbentang membelah kota
yang arusnya semakin
pelan dan kian sarat memikul beban
adalah sungai kenangan
yang terus ditimbun hiruk peradaban
kini telah menjadi
sepotong dongeng di tebing kesangsian
memandang lama-lama
riak sungai di ujung senja
seakan membutiri
kembali airmata yang menguap perlahan
sebelum ia mengering
dalam cerita ketiadaan
2004
Prelude
entah dengan apa lagi
mesti kuucapkan
rahasia malam yang
terus memburu gelisahnya
ketika dingin embun
pun tak menyisakan senyum
di daun-daun perdu
antara kota dan belantara
yang mengemas jembatan
bambu di hulu telaga
menjadi mimpi panjang
tak berkesudahan?
entah dengan apa lagi
mesti kutuliskan
gelora rindu para
pengembara di ujung senja
seperti deras
anak-anak sungai menuju muara
langkah-langkah kecil
berlarian memburu cahaya
siang kepada malam
yang menggesek biola
meningkahi setiap
hentak kaki semesta?
sudah, sudah kutatah
batu-batu jadi beribu arca
sudah, sudah kuasah
mata pahat di tulang dada
ingin kuungkapkan
rahasia malam dengan kata-kata
ingin kulunaskan
segala dengan sajak-sajak cinta
2003
Mengaji
Ramadhan (1)
telah kutanam
pohon-pohon rindu
dalam tingkah irama
rebana
menghijaui gurun-gurun
tandus
menumbuhi tanah-tanah
terbuka
telah kusirami
taman-taman sunyi
dengan rinai hujan
tahajud malamku
maka syahadat pun lari
berdesakan
memburu cintamu di
semesta raya
ramadhan, seperti
sebuah kota suci
dinginnya memaguti
detak jantungku
ramadhan, senantiasa
kaupanggil aku
seakan merindu kampung
kenangan
lalu alif ba ta pun
bertumpahan
melukis mimpi keakanan
yang jauh
lalu bait-bait sajakku
kelu membeku
di mihrab-mihrab sejuk
cintamu
2011
Majelis
Cinta
di majelis sunyi ini
selalu kuzikirkan
indah namamu
sekadar meminang sapa
bibirmu
yang serasa terus
merasuk lembut
menyelami lubuk-lubuk
rinduku
menggenangi danau
cintaku
tasbih pun menjuntai
lemah
menuruni lembah-lembah
sunyiku
lalu maut datang
membawa kabar
kerinduan dari
pulau-pulau yang jauh
menyudahi kisahnya
tentang senja raya
di majelis sunyi ini
ingin kulantunkan
lagu-lagu lama
seperti riuh burung-burung
pagi
berebut menuju berkas
cahaya
matahari yang tak
lelah mengeja
dunia yang hampir
sempurna
2009
Semesta
Cinta
membaca tanda-tanda
mengekalkan airmata
doa
senantiasa ingin
kupanggil pulang
para musafir di lepas
kembara
untuk kembali ke rumah
yang baka
menekuri sunyi di
ujung senja
damai cinta semesta
cinta
wahai, masih jauhkah
engkau kiranya
penyair kelanaku yang
selalu resah
merangkai kata
menuliskan anyir dunia
dengan lagu sangsai
sajak-sajak luka
sementara zikirnya
telah membelah rindu
merayapi ceruk-ceruk
terdalam
dingin cinta semesta
cinta
2008
Sembilu
Rindu
di depan mihrab
kebesaranmu
dinding-dinding waktu
berlompatan
wajah-wajah berhala
berlarian
di depan mihrab
keagunganmu
rumus-rumus teori
berpecahan
diktum-diktum filsafat
berpudaran
engkau tahu, kekasih
betapa sembilu rinduku
selalu
ingin mengaji alifmu
tak jengah-jengah
menyingkap hijabmu tak
payah-payah
engkau tahu, kekasih
betapa sembilu rinduku
selalu
ingin memuja rupamu
tak sudah-sudah
mengurai zatmu tak
lelah-lelah
engkau tahu, kekasih
engkau tahu segala
tahu
2008
Di
Sinilah Tasik Cintaku
pernahkah kautanyakan
arti sebuah tasik
bagi kapal-kapal
dihempas gelombang?
tasik adalah mimpi
indah di malam gelap
tempat labuhkan angan
lunaskan rindu di dada
janji baik mengorak
cinta di keluasan semesta
tasik adalah akhir
segala gubahan sajak
tempat menyudahi pena
para penyair kelana
seperti terang siang
ditutup kelembutan senja
di sinilah tasik
rinduku
di sinilah tasik
cintaku
2006
Tak
Terlunaskan
dahagaku tak pernah
terlunaskan
hanya dengan dingin
airmata sesalmu
yang menirus dosa jadi
rangkaian doa
dahagaku tak pernah
terlunaskan
hanya dengan sejuk
wajah kepurbaanmu
yang menghias dunia
dengan bunga-bunga
dahagaku adalah dahaga
ombak
yang tak sudah-sudah
memukul karang
membuihkan rindu para
pencinta
ke tebing-tebing
tertinggi bukit keilahian
dahagaku adalah dahaga
gelombang
yang tak lelah-lelah
memburu mimpi
mengaramkan
kapal-kapal makrifat
ke lubuk-lubuk
terdalam laut keabadian
2006
Senandung
Cinta
seperti gumpalan awan
yang berarak perlahan
dengan gemetar melukis
rindunya di langit biru
maka sepanjang jalan
kulantunkan lagu-lagu cinta
menafsirkan getar
sunyi dalam doa-doa purba
seperti burung-burung
yang setia mengorak sayap
menerbangi keluasan
cakrawala dengan senyumnya
kurangkul segala
cahaya kuburu keniscayaan senja
sampai malam terlelap
dalam peluk mimpinya
akulah biduan yang
kehilangan suara
senantiasa memuja
kesemestaanmu sehabis-habis kata
akulah pelukis yang
kehabisan warna
tak pernah sempurna
membutiri setiap lekuk semesta
akulah penyair yang
selalu dahaga
hanya dengan
larik-larik sajak mengekalkan cinta kita
2004
Di
Bawah Pohon Rindu
di bawah pohon rindu
angin mendesah
menghela sepi
menepikan daunan yang
jatuh berlepasan
dari pucuk
rerantingnya tadi pagi
menentang matahari
yang membawa resah cuaca
sebelum petang datang
membayang
lalu hujan
menyiraminya dengan doa-doa
dan kelu zikirku
menelan semesta
di bawah pohon rindu
orang-orang suntuk
menunduk
sambil membisikkan
cinta dalam nada parau
pada beribu burung
yang beterbangan mengitari
pusar angin senja di
sela rasa asing dan tiada
tapi kesendirian telah
mengajari mereka bahasa
untuk menamai segala
bentuk keindahan
yang menenun langit
jadi ladang-ladang terbuka
seperti adam yang
menarikan cinta di surga
dengan lantang ia
mengeja tanda-tanda dunia
lalu, ya kalam, semua
terbaca segala terkata
maka akulah adam yang
mendengarkan keluh
para fakir pengembara
saat berkemas menuju sunyi
saat angin tak lagi
menangisi kehilangan desirnya
di bawah pohon rindu –
tempat kita mengadu
2004
Rantau
(4)
bila kurenungkan
sekali lagi
apa arti perjalanan
ini bagiku
seperti ada suara yang
selalu datang
lalu memanggil lembut
penuh pinta
maka tafsir pun tak
pernah sempurna
ketika menyederhanakan
bahasa cinta
dik, jika kau mengerti
rahasia ini
tak ada bisik lain
yang menghantuimu
wajah sang maut datang
dengan rupa
kesantunan seorang
tamu bijaksana
dik, jika kau mengerti
rahasia ini
setiap denyut nadimu
berzikir atas namanya
lalu engkau berseru,
engkau pun merindu
segalanya seakan penuh
irama cinta
kematian itu, dik,
adalah sebait puisi
yang tak pernah
rampung kita tuliskan
2012
Setelah
Pertemuan
pertemuan itu, ya,
pertemuan senja itu
telah menyemaikan
berjuta tunas anggur
memekarkan kuncup jadi
mahkota bunga
dengan segala
wewangiannya
pertemuan itu,
kekasih, pertemuan itu
telah membangun
kubah-kubah hijau
di segala penjuru dan
ceruk terdalam
keindahan samudera
cinta
kini, tak ada yang
dapat kulakukan
selain terus
merinduimu sehabis-habis rindu
menyebut indah namamu
di lubuk hatiku
karena cinta tak
pernah mengenal harga
maka kucintai engakau
tanpa perhitungan lagi
tak ‘kan kubagi
cemburuku pada sesiapa
wahai, biarkan aku
sendiri, kekasih
menanggungkan gelisah
dalam sakit rindu ini
agar ia terlunaskan
dipanggang api cintaku
biarkan, biarkan aku
sendiri, kekasih
menggelepar luruh
dalam tragika rindu ini
agar tak sempat aku
berpaling dari cintamu
2010
Tentang Jamal T. Suryanata
Jamal T. Suryanata dilahirkan pada 1
September 1966 di Kandangan, Kalimantan Selatan. Menyelesaikan pendidikannya di STKIP PGRI Banjarmasin, Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, dengan skripsi
berjudul “Sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam Sentuhan Sufistik: Hermeneutika
Kerohanian Sebagai Titik Tolak Pengkajian” (1999) dan di Program Pascasarjana
FKIP Unlam Banjarmasin dengan mengangkat tesis tentang “Cerpen Banjar
1980-2000: Tinjauan Struktur, Isi, dan Konteks Sosialnya” (2004).
Mulai menekuni dunia penulisan sejak
akhir dekade 80-an, tetapi merasa kian serius baru sejak awal 90-an.
Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, kritik dan esai sastra, serta artikel umum
lainnya pernah dimuat di Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Radar
Banjarmasin, Bali Post, Koran Tempo, Kompas, Swadesi, Wanyi, Ceria Remaja,
Al-Zaytun, Matabaca, On-Pff, Gong, Matra, Basis, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Kebuadayaan Kandil, dan Dewan Sastera (Kuala Lumpur,
Malaysia).
Sejumlah puisi,
cerpen, dan esainya ikut disertakan dalam beberapa buku antologi bersama
seperti Festival Puisi Kalimantan (1992), Tamu Malam (1992),
Bosnia dan Flores (1993), Batu Beramal 2 (1995), Kebangkitan
Nusantara II (1995), Antologi Puisi Serayu (1995), Jendela Tanah
Air (1995), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Angkatan 2000 dalam
Sastra Indonesia (2000), Wasi
(2000), La Ventre de Kandangan
(2004), Dian Sastro for President! (2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Perkawinan Batu (2005), Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera
(2005), Seribu Sungai Paris Barantai
(2006), Sastra Banjar Kontekstual
(2006), Tongue in Your Ear: Indonesian
Poetry Festival (2007), dan sajaknya ”Datanglah Sang Cahaya” telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal —dimuat dalam buku Antologia de Poeticas: Antologi Puisi Indonesia—Portugal—Malaysia (2008).
Selain
menulis dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis puisi dan cerpen dalam bahasa
Banjar. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan adalah Untuk Sebuah Pengabdian (Balai
Pustaka, 1995), Mengenal Teknologi Penerbangan dan Antariksa (Adicita
Karya Nusa, 1998), Di Bawah Matahari Terminal (Adicita Karya Nusa,
2001), Untuk Sebuah Pengabdian (novel anaka/remaja, 1995) Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra (Adicita
Karya Nusa, 2003), Galuh: Sakindit Kisdap Banjar (Cerpen bahasa banjar, Radar
Banjarmasin Press, 2005), Penyesalan Sang
Pemburu (Pabelan Cerdas Indonesia, 2005), Bulan di Pucuk Cemara (Cerpen, Gama Media dan LPKPK, 2006), Bintang Kecil di Langit yang Kelam (Cerpen,
Tahura Media, 2009), Debur Ombak Guruh Gelombang (Puisi, Tahura Media, 2009),
Guruku Tidak Kencing Berlari (kumpulan
esai pendidikan, 2010), Tragika Sang
Pecinta (Telaah puisi, 2010), Sastra
di Tapal Batas (telaah sosiologi sastra, 2012), Inspiring Teacher: 7 Zona Pemantik Sukses Menjadi Guru Inspiratif (motivasi
dan pengembangan diri, 2 jilid, 2013), dan sebuah lagi Sajak Sepanjang Trotoar (manuskrip, 1992), yang menghimpun 35 sajak
yang ditulis sepanjang lima tahun pertama karir kepenyairan 1988-1992.
Catatan
Lain
Di bagian depan buku ini ada Catatan
Penyair. Tak terasa, tutur penyair, ia telah menjalani dunia penulisan
kreatif sastra bidang puisi selama 30 tahun. Ia telah mulai menulis puisi sejak
awal 1988, namun mulai mantap memasukinya sejak awal dekade 90-an. Waktu itu ia
banyak belajar dari H. Hijaz Yamani melalui ulasan kritis apresiatif dalam acara
“Untaian Mutiara: Sekitar Ilmu dan Seni” yang diasuh selama puluhan tahun dan
disiarkan setiap minggu di RRI Nusantara III Banjarmasin. (Saya sedikit
garuk-garuk kepala di bagian ini, kalau mulai menulis sejak 1988, maka 30
kemudian berarti tahun 2018. Atau jika penghujung 2013, maka 30 tahun
sebelumnya berarti tahun 1983 telah mulai menulis. Hehe. Lupakan saja ini).
Setelah itu, penyair
dengan jujur mengatakan bahwa ada 3 penyair yang mempengaruhinya yaitu
Ajamuddin Tifani, Y.S. Agus Suseno dan Noor Aini Cahya Khairani. Dari pergulatan intens dengan karya dan
pemikiran ketiga orang itu, lahirlah kumpulan Sajak Sepanjang Trotoar tahun 1992. Berisi 35 sajak-sajak awal. Dan
17 tahun kemudian lahir Debur Ombak Guruh
Gelombang (2009). Berisi 81 sajak. Dan menurut penuturan JTS, yang kedua
ini adalah hasil pergaulan dengan banyak pemikiran dan karya para penyair dari
berbagai wilayah Indonesia dan mancanegara.
“Ada
apa dengan cinta? Kenapa dengan sajak-sajak cinta?” kata penyair. Dijawabnya
sendiri: “Entahlah. Saya hanya ingin menuliskan sesuatu yang abadi. Sesuatu
yang terpatri indah di benak saya, di sepanjang perjalanan karier kepenyairan
saya.” Lalu dikatakan penyair bahwa cinta bukan saja sesuatu yang manusiawi,
melainkan juga bernilai ilahi. Cinta adalah sebuah misteri tak berkesudahan…. Dan
Kitab Cinta kini hadir di hadapan
kita. Dan sepertinya ia tidak akan menjawab apapun, tidak akan memecahkan
misteri cinta yang kita rasakan. Cinta masih akan misteri, sebagaimana
keyakinan penyair. Dan kita masih akan suntuk dengan yang namanya cinta itu,
sembari berharap-harap dapat membikin kitab-kitab cinta lainnya. Hehe.
Sdr. M. Nahdiansyah Abdi. Engkau benar kiranya, ternyata perhitungan selisih kurang antara 2013 dan 1998 hanya menghasilkan angka 25 (tahun), bukannya 30 (tahun). Jd, entah kenapa, akulah yg keliru saat menuliskan Catatan Penyair di buku puisi terbaruku bertajuk KITAB CINTA (2014) itu. Trm ksh atas koreksimu, sekaligus ini bisa dianggap sbg ralat sy terhadap kekeliruan tsb. Salut buat peABDIanmu terhadap dunia puisi. Salam takzim sy (Jamal T. Suryanata)
BalasHapusSip, bang. Sekalian mencatat sekalian belajar nulis puisi dari para master....
Hapus