Data buku kumpulan puisi
Judul : Tulisan pada Tembok
Penulis : Acep Zamzam Noor
Cetakan : I, Oktober 2011
Penerbit : Komodo Books, Depok
Tebal : 108 halaman (87 puisi)
ISBN : 978-602-9137-10-1
Foto
sampul : Orlando Lienasas
Desain
sampul : Tugas Suprianto
Beberapa pilihan puisi Acep
Zamzam Noor dalam Tulisan
pada Tembok
Tulisan pada Tembok
Buat Padwa Tuqan
Semuanya belum juga menepi.
Kapal-kapal di samudera
Pesawat-pesawat di udara,
panser-panser di jalanan
Di medan-medan pertikaian. Dan
abad-abad yang bergulir
Tahun-tahun yang mengalir,
musim-musim yang anyir
Entah kapan berakhir. “Dilarang
kencing!” seekor anjing
Menyalak pada dunia. Langit
nampak masih membara
Hujan bom di mana-mana.
Terdengar tangis bayi
Jerit para pengungsi. Tak
henti-henti –
Bukankah seratus Hadiah Nobel
telah diobral
Dan seribu perundingan digelar?
Tapi di manakah
Perdamaian? Masih adakah
perdamaian itu? Semuanya
Belum mau menepi, belum mau
melabuhkan diri
Lalu kapan menepi? Kapan akan melabuhkan
diri? Kapal-kapal
Kehilangan pelabuhan,
pesawat-pesawat kehilangan landasan
Panser-panser kehilangan
terminal. Peluru-peluru berdesingan
Berita-berita berhamburan,
pidato-pidato tak terbendung
Maklumat-maklumat, fatwa-fatwa,
slogan-slogan
Konferensi-konferensi,
seminar-seminar
Meledakkan udara. Membakar
seluruh cakrawala
Tapi kekuasaan terus berderap
seperti sepatu
Seperti langkah waktu.
Kekuasaan semakin menderu
“Dilarang kencing di sini,
bangsat!” seekor anjing
Kembali menyalak pada tembok-tembok
kota
Yang sering dikencingi polisi
dan tentara
Menyerap Tinta di
Lautan
Akulah si miskin yang kaya
Dadaku berkilauan bukan oleh permata
Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta
Padaku. Kini aku menyeret langkah ke segala penjuru
Dan menulis puisi di sudut-sudut malam
Di antara kesempitan bumi dan keluasan langit
Aku terus menggeliat dan menari
Sedih dan riangku menjadi tarian di udara
Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari
Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu abadi
Beribu penyair telah menyerap tinta di lautan
Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan
Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran
Memenuhi udara dengan bau keringat pengembara
Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam
Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu
Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi
Hingga gairahku menyala dan berkobar kembali
Siang dan malam akan terus berulang, seperti berulangnya
Hidup dan mati. Lihatlah, tidak ada lagi mahkota di kepalaku
Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:
Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan
Lalu bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cinta
Akulah si miskin yang kaya
Dadaku berkilauan bukan oleh permata
Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta
Padaku. Kini aku menyeret langkah ke segala penjuru
Dan menulis puisi di sudut-sudut malam
Di antara kesempitan bumi dan keluasan langit
Aku terus menggeliat dan menari
Sedih dan riangku menjadi tarian di udara
Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari
Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu abadi
Beribu penyair telah menyerap tinta di lautan
Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan
Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran
Memenuhi udara dengan bau keringat pengembara
Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam
Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu
Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi
Hingga gairahku menyala dan berkobar kembali
Siang dan malam akan terus berulang, seperti berulangnya
Hidup dan mati. Lihatlah, tidak ada lagi mahkota di kepalaku
Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:
Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan
Lalu bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cinta
Surat Cinta
Ini musim gugur, minumlah anggur
Denting gitar
Terdengar dari belahan dunia yang hancur
Sambutlah gerimis, kelembutan akan mengurapi
Tanah-tanahmu yang mati. Langit tinggal lengkung
Kabut bergulung-gulung
Rauplah daun-daun yang jatuh, bunga-bunga yang luruh
Bayi-bayi yang terbunuh. Melewati tahun demi tahun
Melintasi abad dan milenium yang ngungun
Hiruplah genangan darah busuk, tumpukan tubuh hangus
Kepulan asap mesiu. Pertempuran demi pertempuran
Akan mendewasakan hidupmu
Arungi luas lautan, terjuni gelap hutan
Selami lubuk bumi. Kelaparan demi kelaparan
Akan membuat hari-harimu lebih berarti
Ini musim gugur, cintaku, ini bahasa sunyi
Denting piano
Sayup-sayup dari reruntuhan waktu
Ini musim gugur, minumlah anggur
Denting gitar
Terdengar dari belahan dunia yang hancur
Sambutlah gerimis, kelembutan akan mengurapi
Tanah-tanahmu yang mati. Langit tinggal lengkung
Kabut bergulung-gulung
Rauplah daun-daun yang jatuh, bunga-bunga yang luruh
Bayi-bayi yang terbunuh. Melewati tahun demi tahun
Melintasi abad dan milenium yang ngungun
Hiruplah genangan darah busuk, tumpukan tubuh hangus
Kepulan asap mesiu. Pertempuran demi pertempuran
Akan mendewasakan hidupmu
Arungi luas lautan, terjuni gelap hutan
Selami lubuk bumi. Kelaparan demi kelaparan
Akan membuat hari-harimu lebih berarti
Ini musim gugur, cintaku, ini bahasa sunyi
Denting piano
Sayup-sayup dari reruntuhan waktu
Makati
Cahaya berpendaran dalam
kepungan dentang lonceng
Yang berulang. Kusaksikan
langit mulai beranjak tua
Ketika raung ambulan di jalan
raya tak kunjung menjauh
Dari telinga. Kususuri detik,
kurayapi menit demi menit
Kuhitung napas yang berjatuhan
seperti rintik gerimis
Orang-orang masih bergegas,
hari-hari masih akan lewat lagi
Tahun-tahun terus berganti,
abad-abad datang dan pergi
Kubayangkan maut singgah di
trotoar, duduk dan batuk-batuk
Bunyi lonceng membuat langit
semakin renta dan entah kenapa
Aku merasa seperti telah
kehilangan begitu banyak peristiwa
Romantic Agony
Ciumanmu melontarkanku ke dasar
sunyi
Dan kembali kusyukuri nikmat
kejatuhanku
Di bumi. Sinar bulan kuinjak
dalam debu
Kegelapanlah yang kusongsong
sebagai harapan baru
Ketika pohon-pohon hitam
berbaris mengurungku
Langit merah padam siap
menimpaku di segala penjuru
Aku bicara sebagai bangkai dan
serigala-serigala
Mengerti ucapanku. Kujabat
tangan sungai yang deras
Dan kubiarkan salam-salamku
hanyut oleh gelombang
Kini pakaianku kesabaran yang
sobek, keikhlasan
Yang koyak. Aku bersujud
mencari lumpur yang wangi
Sambil mengenakan ciumanmu dan
kepedihanku
Menggali dan menimbun kuburan
waktu
Manila Bay, Senja
Kau membawaku pada puncak gelombang
Dan gelombang membakarku dengan sepinya
Sebelum gelap turun, masih kubaca sisa topan
Napasmu seakan bisikan yang jauh, seakan
Sekarat langit yang panjang
Keperihanmu adalah borok bumi yang kekal
Dan kau menuntunku pada pusat nyerinya
Sebelum ajal tiba, kupuja eranganmu dengan cinta
Kepalsuan dan dusta yang sama. Darahku tumpah lagi
Lautan tetaplah garam yang menyirami luka
Kau membawaku pada puncak gelombang
Dan gelombang membakarku dengan sepinya
Sebelum gelap turun, masih kubaca sisa topan
Napasmu seakan bisikan yang jauh, seakan
Sekarat langit yang panjang
Keperihanmu adalah borok bumi yang kekal
Dan kau menuntunku pada pusat nyerinya
Sebelum ajal tiba, kupuja eranganmu dengan cinta
Kepalsuan dan dusta yang sama. Darahku tumpah lagi
Lautan tetaplah garam yang menyirami luka
Le Poete Maudit
Buat Saini K.M.
Mengurung diri dalam tungku
Dibakar cinta dan rindu
Api memercik dari setiap tetes
darah
Tubuhku yang luka. Dan iman pun
menyala
Di tengah hamparan gurun tak
bernama
Pasir-pasir hanyut
Dalam sujudku. Batu-batu
Tumpah
Mataku buta oleh tangis seratus
tahun
Pada puncak tiang salib
Gairahku menari. Gerobak
sejarah
Lewat
Menyeret Sodom dan Gomorah
Kata-kata mengalir
Dari setiap desah napas
Tahajudku. Dan iman pun membara
Mengobarkan pertempuran tanpa
akhir:
Kematian melahirkanku kembali,
mengulangku
Berkali-kali
Nokturno
Untukmu kunyanyikan lagu
rinduku malam ini
Dengan musik yang tenang
kulayari gelombang pasang
Kau tahu, betapa hening bunyi
yang diciptakannya
Berdenting, mengetuk-ngetuk
lantai dan dinding
Betapa nyaring! Betapa runcing
percik-percik airnya
Untuk kunyanyikan lagu rinduku
malam ini
Dengan penuh kekhusyukan kudaki
nada-nada tinggi
Lalu menukik ke dalam semadi,
menyelam ke lubuk sepi
Kau tahu, kekasihku, rindu
adalah napas syair-syairku
Ialah gitar yang kugaruki
sepanjang waktu
Ialah musik improvisasi, yang
iramanya berasal dari lubuk hati
Ialah samudera luas, yang
ikan-ikan serta camar-camarnya liar
Ialah deru angin sakal, yang
menghantam layar dan buritan
Ialah gemuruh biru, yang
gemanya bersahutan dalam dadaku
Yang menggedor-gedor dinding
beku. Aku cinta padamu
Lagu Pejalan Larut
Ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Duapuluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan
“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”
Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
Tungku-tungku menyalakan senja. Duapuluh tiga tahun
Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!
“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”
Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Duapuluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan
“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”
Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
Tungku-tungku menyalakan senja. Duapuluh tiga tahun
Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!
“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”
Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Nb. Versi blog: Tungku-tungku menyalakan waktu
Kutukan
Setelah melewati sekian keterluntaan, kau datang
Dengan kalimat-kalimat panjang, senyum yang dipaksakan
Kau datang padaku dengan sajak-sajak yang ditulis
Sebagai persembahan. Tapi sajak adalah kutukan bagiku
Di mana ruang menjadi jurang, dan aku harus melompat
Menyongsong lahirnya pengucapan baru
Betapa tersiksa membaca sajak-sajakmu yang sayup
Dengan sisa kesadaranku yang semakin redup
Kulihat lampu-lampu padam, seperti langkah olengmu
Yang tenggelam dalam pedihnya penciptaan:
Sekian kutukan, di mana keterluntaan kau dan aku
Menjadi bagian dari kemurungan zaman demi zaman
In Memoriam Kriapur
Sepucuk surat yang penuh catatan sunyi
Dikirimkan kemurunganmu dengan sampul jingga
Aku membacanya sambil minum darah bulan
Yang dituangkan langsung dari lukanya di langit
Sejenak aku mabuk dan menari-nari
Menangisi bumi yang terus dikhianati
Sedikit kegembiraan kusisakan untuk kupu-kupu
Yang menandai jejakmu dalam sepi. Di kamarku
Lampu teramat redup untuk jadi petunjuk
Bintang-bintang menyisih ke balik selimut
Dan tenggelam dalam kerumunan mimpi anak-anak –
Aku genggam suratmu dan kubaca fajar yang tiba
Seberkas cahaya seperti menyemburkan kata-kata
Yang membuka sungai lain buat airmata
Pejalan Buta
Telah kulempar tongkatku pada jeram
Dan kubuang semua perbekalan. Ingin kuhayati sunyi
Sambil mendengar semua yang dibisikkan langit
Mencatat setiap jerit bumi yang sakit
Tanpa perahu aku berlayar karena lautan luas
Adalah hatiku. Pantai-pantai berebut ingin menjemputku
Tapi aku mengelak sambil menari-nari di udara
Kelenturan telah diwariskan burung padaku dan belut
Menjadi kelicinanku. Meskipun ditumbuhi pohonan liar
Telingaku terbuka untuk kata-kata yang diucapkan diam
Tanpa tongkat aku terus berjalan, mengembara
Seperti si buta yang merambah dunia bukan dengan matanya
Zikir
Aku mengapung
Ringan
Meninggi
padamu. Bagai kapas menari-nari
Dalam angin
Jumpalitan
bagai ikan
Bagai lidah api
Bau busuk
mulutku, Anne
Seratus tahun
memanggi-manggil
Namamu
Inilah zikirku:
Lelehan aspal
kealpaanku, cairan timah
Kekeliruanku,
gemuruh mesin keliaranku
Tumpukan sampah
keterpurukanku
Selokan mampat
kesia-siaanku
Aku tak tidur
padahal ngantuk, tak makan
Padahal lapar,
tak minum padahal haus
Tak menangis
padahal sedih, tak berobat
Padahal luka,
tak bunuh diri
Padahal patah
hati
Anne! Anne!
Anne!
Zikirku seribu
sepi menombakmu
Menembus
lapisan langitmu, membongkar
Gumpalan
megamu, membakar pusaran
Kabutmu,
menghanguskan jarak
Ruang dan waktu
Aku mencair
Bagai air
Mengalir
padamu. Bagai hujan
Tumpah ke bumi
Menggelinding
bagai batu
Bagai hantu
Anne! Anne!
Anne!
Inilah rentetan
tembakan kerinduanku, lemparan
Granat
ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku
Luapan minyak
kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku
Semburan asap
kepunahanku
Aku tak
mengemis padahal miskin, tak mencuri
Padahal
terdesak, tak merampok padahal banyak utang
Tak menipu
padahal ada kesempatan, tak menuntut
Padahal punya
hak, tak memaksa
Padahal putus
asa
Anne! Anne!
Anne!
Zikirku seribu
sunyi mengejarmu
Menggedor
barikade pertahananmu, menerobos
Dinding
persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang
Semadimu,
menghancurkan singgasana
Kekhusyukanmu
Bau busuk
mulutku, Anne
Seratus tahun
memanggil-manggil
Namamu
Di Ujung Dago
Sunyi
mengalunkan lagu
Pun
segala jemu. Semilir angin mengurapi rabu
Ketika
langkahku kehilangan tuju
Di
antara pohon-pohon dan udara beku
Kabut
mempersempit ruang
Memadatkan
waktu. Kenapa aku
Kenapa
masih menunggu
Kenapa
masih percaya padamu
Sedang
ruang
Tak
mengenal waktu
Sedang
waktu tak mengenal ruang
Ruang
dan waktu tak mengenal rindu
Di Bawah
Matahari Kramat Raya
Dalam
bising jalanan dan teriknya matahari siang
Di
antara sejuta teriakan dan gemuruhnya kendaraan
Orang-orang
berseliweran, bergegas dan berlari
Sibuk
berebut dan berlomba
Mengapa
aku hanya diam, kekasihku
Merasakan
angin dan debu menampar mukaku
Mengapa
aku hanya berdiri menatapmu dengan kelu
Membiarkan
matahari membakar tubuh dan jiwaku
Dalam
sibuk dan suntuknya hari-hari pergulatan
Di
antara sejuta keluhan dan gemuruhnya keserakahan
Orang-orang
berjuang dan saling menerkam
Mengapa
aku hanya diam saja, kekasihku
Menyaksikan
kemenangan-kemenangan yang menggelikan
Juga
kekalahan-kekalahan yang tak lagi mengharukan
Mengapa
aku hanya termangu melihat semua ini
Tanpa
terlibat atau turut ambil bagian
Mengapa
aku selalu menghindar dari keramaian
Mengapa
aku seperti kehilangan keinginan
Mengapa
aku enggan meneruskan kehidupan
Mengapa
aku malas berebut dan berlomba
Mengapa
aku muak pada cita-cita dunia
Mengapa
aku benci terbitnya matahari
Mengapa
aku hanya ingin diam dan sendiri
Tenggelam
dalam sepimu yang abadi
Lanskap
Ketika
lembar hari luruh
Kabutmu
jatuh
Mengaca
di bukit-bukit jauh
Gerimis
yang turun
Firmanmu
yang ngungun
Kudengar
lembut mengalun
Ketika
lembar hari mengaduh
Dan
jiwa luluh. Kulihat cakrawala
Demikian
dekat kita
Dalam
bicara
Demikian
dekat kita, serupa Musa
Pada
tepian kata dan ambang makna
Kalimat-kalimat
yang terbit
Membersit
di langit
Demikian
dekat kita:
Demikian
berat
Hidup
hanya memburu keasingan
Diburu
kegamangan dari belakang
Lirik (2)
Kereta
itu melintas pelan di hadapanku
Menaburkan
bunga-bunga ungu
Kuhirup
kuntum demi kuntum karena tak tahu
Siapa
mesti kucium. Stasiun hanya menunggu
Di
deretan bangku masih tersimpan senyap dan seribu
Alamat.
Tapi kereta terakhir telah lewat
Mengurungkan
kiamat
Mungkin
aku telah menjemputmu
Mungkin
juga telah kehilangan jejakmu
Tapi
kenapa rel begitu dingin dan kabut tak juga luruh
Di
kejauhan kudengar lengking panjang azan subuh
Lirik (3)
Aku
tidur memeluk perahu
Memimpikanmu
melayarkan bintang-bintang
Ke
haribaanku. Gelombang
Airmata
yang mengalir dalam doa-doaku
Aku
mencatat semua yang dibisikkan angin
Membaca
semua yang disampaikan dingin padaku
Menyerap
cahaya bulan hingga lubuk dini hari:
Betapa
cepat kuda ajal merebut semua jalanku di bumi
Lautan
kembali menyalakan kaki langit
Engkaulah
cahaya pagi yang senantiasa terbit
Aku
memeluk perahu. Waktu
Menghanyutkan
lembar demi lembar usiaku
Airmataku
Lilin
Airmataku
lilin
Setelah
khusyuk berdoa
Lebur
menjadi puisi. Ingin melintasi gurun
Atau
mendirikan kemah di ujung bumi
Tapi
cahayaku tinggal lentik sepi
Tak
terdengar oleh musim manapun
Dan
waktu tak mau mencatatnya
Airmataku
lilin yang menulis
Pada
lembar-lembar angin
Di
udara kunang-kunang bertaburan
Bintang-bintang
menyapaku dengan kerlipnya
Tapi
aku bukan penyair yang ingin dipahami
Biarlah
bahasaku menjadi ketiadaan
Dan
matiku bukanlah bunuh diri
Tentang Acep
Zamzam Noor
Acep
Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya. Masa kecil dan remaja dihabiskan di
lingkungan Pondok Pesantren Cipasung. Tahun 1980 menyelesaikan SLTA di Ponpes
As-Syafi’iyah, Jakarta. Kemudian ke Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan
Desain, ITB (1980-1987). Sempat mendapat fellowship dari pemerintah Italia
untuk tinggal dan berkarya di Perugia (1991-1993). Menjadi redaktur Jurnal Sajak. Kumpulan puisinya: Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng dari Negeri Sembako (Aksara
Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu
(Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi
(Pustaka Azan, 2007). Kumpulan puisi berbahasa Sunda: Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) dan Paguneman (Nuansa Cendekia, 2011). Kumpulan Esai: Puisi dan Bulu Kuduk (Nuansa Cendekia, 2011).
Catatan
Lain
Begini
penyair membuka catatannya: “Dekade 1980-an merupakan periode yang subur
agaknya. Waktu itu saya tinggal dan kuliah di Bandung. Ada sejumlah manuskip
antologi puisi yang saya susun dan diantaranya sempat dicetak meskipun darurat:
berpenampilan buruk, berhalaman tipis, banyak kesalahan dan hanya beredar di
kalangan yang sangat terbatas. Seiring dengan bergulirnya waktu serta
bergesernya selera dalam menulis, puisi-puisi tersebut kemudian tertimbun dan
terlupakan sekian lama.//Puisi-puisi yang dihimpun dalam Tulisan pada Tembok ini sebagian besar ditulis antara 1979-1989,
baik yang sempat disusun dalam manuskrip, dicetak dalam antologi darurat maupun
yang tercecer di berbagai Koran, majalah dan jurnal, termasuk yang belum sempat
dipublikasikan sama sekali. Sejumlah puisi mengalamai sedikit perubahan: huruf,
kata, frasa serta judul, namun tidak sampai mengganggu isi, bentuk maupn
suasana secara keseluruhan.”
Di bagian lain, penyair menulis
ini:”Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada Dhian Widhiawaty, seorang
teman dari Kopenhagen, Denmark, yang sejak tahun 1982 telah menyimpan
puisi-puisi awal saya dengan baik. Dari koleksi di buku harian serta kliping
beliaulah sebagian puisi yang termuat dalam antologi ini berasal.” Kemudian si
penyair juga mengucapkan terima kasih pada Agus R. Sarjono dan Tugas Suprianto
yang mengusahakan terbitnya antologi ini.
Penyair juga ngucapin terima kasih
kepada mereka yang dianggap sebagai guru-guru dalam dunia kepenulisan: Saini
K.M., Jakob Sumardjo, Rustandi Kartakusuma (alm), Suyatna Anirun (alm), Sanento
Yuliman (alm), Karno Kartadibrata dan Aam Amilia.
nice post kak
BalasHapussuka puisinyaa :D
sesama penggemar puisi saling mampir donk kak hehe
andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn