Data buku kumpulan puisi
Judul : [Bukan]
Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan
Penulis : Agus Noor
Cetakan : -
Penerbit : -
Tebal : -
ISBN : -
Sumber : http://agusnoorfiles.wordpress.com/
Beberapa pilihan
puisi Agus Noor dalam blognya
Delapan Kwatrin Kelopak Bunga
1
kau melihat kelopak bunga mengapung
di selokan rumahsakit.
“aih,” katamu,” ia bagai nyawa bayi yang dibuang,
dan menjerit.”
2
malam hari, dalam mimpimu,
kelopak bunga itu tumbuh berkilauan, bersih seperti
wajahmu semasih bayi.
kau, juga tiktok jam itu, perlahan saling tersedu.
3
kau petik bunga yang tumbuh dalam mimpimu itu,
iseng kau tanggalkan kelopaknya, satu per satu.
kau dengar ada yang mengaduh,
ketika kelopak itu runtuh
4
lalu kau bayangkan: alangkah tenang
kelopak bunga itu melayang,
seakan jatuh dari ketiadaan,
kemudian mengapung di selokan
5
tiba-tiba, kamar dipenuhi guguran kelopak
bunga. ada harum yang menyebar
bersama angin yang menyelusup masuk,
dan membuatmu gemetar
6
hanya ada kau, Aku dan kelopak bunga
di kamar. tapi kau yakin: ada
yang sedang diam-diam menatap kita
dengan pandangan berkaca-kaca
7
seperti kau dengar – nun di luar kamar sana
ada yang bersabda: jadilah. maka tumbuhlah
sekuntum bunga. kau berkata: gugurlah,
maka runtuhlah seluruh duka
8
pada pagi saat kau melihat kelopak bunga
mengapung di selokan rumahsakit, kau pun merasa:
waktu telah tiba.
tergenapkanlah duka
2012
Cinta adalah Ribuan Peristiwa dalam Satu Kepakan Kupu-Kupu *
1. Perempuan: kata
Kusapa kamu, kekasihku, dengan kata, yang membuat dunia ada. Kata, yang
akan tumbuh menjadi bermacam peristiwa.
Kusapa kamu, kekasihku, dalam sajak cinta. Di mana kata-kata menjadi doa,
yang menjauhkanmu dari pedih dan duka.
Maka, sajak dan doa, akan menjaga kerisauan dan kesepianmu, yang tak
pernah mampu terjangkau hatiku.
2. Laki-laki: ciuman
Kekasihku, aku telah belajar merasakan pedih, lewat ciuman-ciumanmu yang
lembut dan menanggung duka dunia.
Telah kita lewati senja demi senja yang penuh kerisauan. Senja yang muram –
senja yang selalu mengingatkan pada ciuman kita yang tergesa dan gemetar.
Ciumanmu yang lembut, telah menyelamatkanku. Ah, cinta, seperti juga Tuhan,
kadang hanya dibutuhkan saat kita merasa kesepian.
3. Perempuan: birahi
Tidak, cintaku, cinta tidak pernah membuatku kesepian. Cinta adalah ribuan
peristiwa, dalam satu kepakan sayap kupu-kupu.
Kesepian dan kesakitan, tak lebih anak-anak kecil yang rewel dan manja,
sementara kita bertambah tabah oleh usia.
Aku akan terus bertahan mencintai ciuman-ciumanmu, yang tak pernah menjadi
masa silam. Seperti aku mencintai harapan.
Benamkan kecemasanku, ke dalam pelukanmu. Biarkan aku mati dengan cantik,
dalam birahi. Dan birahimu padam, dalam ciumanku.
4. Laki-laki: senja
Senja dan sebuah ciuman, kadang lebih berharga dari apa pun yang kita
pertaruhkan.
Dan aku masih saja menerka-nerka, lebih merah mana: senja ataukah luka,
yang kau sembunyikan sekian lama.
Di dadamu: ada memar sayat memanjang, mengiris sintal susumu. Seakan makam
yang dipersiapkan bagi kepedihanku.
5. Perempuan: maut
Seorang penyair menulis: “Cinta ialah kelepak terakhir sayap kupu-kupu sebelum
maut mulai mengasah kuku.”
Tapi apalah artinya Maut, kekasihku, bila aku bisa tenang dalam pelukanmu.
Maut hanyalah kekosongan. Sedang cinta selalu memiliki caranya sendiri,
untuk bersentuhan dengan rindu.
Betapa kurindu, ciumanmu. Sebab nafasmu membadaikan sepi. Dan pantai
akan menjadi begitu biru, saat ciumanmu menggenapi cintamu.
2012
*Sajak ini terinspirasi,
dirangkum dan ditulis ulang, dari Bab 8 buku “ Cinta, Kenangan dan Hal-hal yang
Tak Selesai”. Terimakasih, kepada para penyair, yang sajak-sajaknya menjadi
bagian dari larik-larik dalam sajak ini.
Pada
Sebuah Sakit
@ameelias
masih subuh, kau membatin
subuh yang lain
bagi yang mungkin
seperti terdengar gemeretih
penggorengan mendidih
dari jantungmu
ranjang serba putih ini
sedingin porselin
(dan wajahmu lebih pasi
dari sekerat roti)
kesakitan adalah
dataran asing yang kaujelajahi, sendiri
hanya ada jendela
dimana kaubayangkan pantai
dengan sekawanan camar ramai,
menjerit –
jerit
yang taklid pada sakit
2012
Anjing dan Bir
Kesembilan
Djenar Maesa Ayu
Dari balik kegelapan
mata malam itu nyalang,
menatap seekor anjing
yang hidup dalam sebotol bir.
“Anjing ini,” katamu,
“anak jadah pengkhianatan kita.”
Lalu kita suling arak api,
menjadi keganjilan
yang hanya kita pahami sendiri.
Selebihnya, hanya birahi
taklid pada sepi.
Kita akan mengingat:
pantai menyimpan gelap,
dusta yang tak terduga.
Perlahan kita memendam birahi,
yang lebih sunyi dari mata orang mati.
Kita menulis dengan kekosongan
dan tangan gamang.
Kata-kata adalah onggokan tulang-belulang
yang telah jadi arang.
Dan dengan arang kata-kata ,
di tembok kota
kita menuliskan grafiti,
tapi nyerinya menyayat jantung sendiri.
Di bawah bulan yang ganjil
(seperti mata juling pengidap kusta, katamu)
anjing dalam botol bir
menatap marah ke arah kita;
dua pendusta yang bersikeras percaya
pada kebaikan dunia.
“Sebuah kota
yang seluruh penduduknya
terserang anjing gila,
mungkin menarik sebagai cerita.”
Tapi di kota penuh pendusta,
siapa lebih jadah:
anjing gila ataukah kita?
Lalu aku bercerita tentang revolusi.
Revolusi adalah anjing
yang memakan kesedihan
anak-anaknya sendiri.
“Saat ini aku tak butuh revolusi,” katamu.
“Aku butuh pembalut. Aku lagi menstruasi.”
Kujawab: itu menyedihkan bagi laki-laki.
Seolah lidah saling bersentuhan,
pikiran kita yang basah menjelajahi
langit; kuburan bermilyar galaxy mati.
Kau menunjuk:
sembilan bintang terang,
rasi yang belum terkenali.
“Barangkali, bintang itu menandai,
kelak, kita mati sebagai Wali”
Tapi, tak seperti perjamuan penghabisan,
pada botol bir kesembilan
aku menjauh dari pantai.
Meninggalkanmu sendiri.
Di kejauhan silhuet kota gemerlapan.
Terdengar ribuan anjing melolong,
dalam jantungku.
2013
Hai Aku
I
Pada mulanya
Hanya sabda, “Hai, Aku!”
Tersamar gema
Yang bergeletar
Terdengar seperti “Kun!”
Pada telinga
Serupa telur
Sunyi pecah, menjelma
Ruh yang pertama
Di bawah bulan
Burung gagak terdiam
Terpukau dosa
Sedangkan kita
Getir menafsir waktu
Di usir takdir
“Tapi,” katamu
“Kita tak pernah siap
Dihapus senyap.”
Angin bergegas
Sebelum nujum timpas
Cemas pun tuntas
Sedingin kabut
Maut berdenyut lembut
Dan tak tersebut
Di pohon zaitun
Sepasang mata ular
Sehitam zakar
Cahaya memar
Bintang zohar
Bergeletar dan pudar
Lalu kusentuh
Namamu dengan doa
Di keheningan
Tuhan yang tak bernama
Yang berdiam di
Sabda dan dosa:
“Berikan aku
Nikmat yang kekal itu
Bukan di surga.”
“Biarkan kami
Menikmati yang dosa
Dengan bahagia.”
Bukan karena ular
Dan buah itu
Kita tergoda
Kita pilih dunia
Karena surga
Hanyalah dusta
Ke dalam peluk
Kaucoba tolak kutuk
Dan nasib buruk
“Dekaplah aku
Dan sembunyikan aku
Dalam dosaMu.”
“Sungguh, cintaku
Maut tak lebih nikmat
Dari senggama.”
II
Reranting kering
Lengking seekor anjing
Moksa ke hening
Sekukuh iman
Malaikat pun berjaga
Di gerbang surga
Sebelum lengkap ayat
Bahkan malaikat
Pun berkhianat
Kita mengingat:
Mephisto yang jatuh
Ke lembab kitab
Juga Arakiel
Yang mensucikan diri
Ke arak api
Sebab yang suci
Bukanlah yang ilahi
Tak terpahami
“Tuhan hanyalah
Yang tak ada, tetapi
Kita percaya.”
Kita bukanlah
Pemberontak pertama
Yang menyangsikan
Janganlah getir
Kita tidak terusir
Karena takdir
Maka, cintaku
Neraka hanya ada
Di ketakutan
Di jantung langit
Seiris bulan sabit
Dan sisa jerit
Detik melambat
Kukenang dalam khidmat
Yang kan terlewat
III
Kukenang kamu
Di fotosfera senja
Seindah luka
Aku melihat
Kepala bayi mati
Dalam selokan
Wajah wanita
Yang mati diperkosa
Sepucat mawar
Udara tuba
Penuh hujah
Oranng-orang berjubah
Sedang gerimis
Seperti bedak tumpah
Di langit merah
Bagai peronda
Kematian berjaga
Di sudut kota
Dan bayanganMu
Megah berjubah kubah
Sehitam Ka’bah
Seekor burung
Dengan sayap berkobar
Terbang bergegas
“Tuhan yang kudus
Kusembunyikan
Namamu dalam cemas.”
Masih telanjang
Kita memandang
Kota rungsang dan sungsang
Rasanya belum lama
Kita nikmati
Dosa pertama
Di kota kita
Dusta lebih dipuja
Dari yang dosa
Dan kau lihatlah
Tuhan dijual murah
Serta ketengan
“Jangan kautakut
Segala bisa kata
Para pendusta
Tak perlu kaujeritkan
Kecemasanmu
Ke dalam doa.
Sentuhkan saja
Tangan lembutmu itu
Pada cahaya
Dekatkanlah jantungmu
Sedekat detak
Jantungku, Cinta.”
2013
* Lengkapnya, sajak “HAI AKU” ini berjumlah 99 haiku. Saya kutipkan
sebagian, sebagaimana yang saya postingkan ini, sebelum versi lengkapnya nanti
terbit dalam buku puisi yang tengah saya siapkan
Pagi di Secangkir Kopi
– Peggy Melati Sukma
Aku akan menjadi kopimu,
yang rela mengendap sebagai kepedihanmu
yang sabar menghangatkan kesedihanmu.
Biarkan harum tubuhku, menenangkan jiwamu.
Aku kopi pahit, yang kau seduh dengan cinta.
Segala yang pahit, bukanlah untuk menunda sakit.
Sebab kita hidup untuk berbagi kebahagiaan.
Lalu kau pandangi aku, yang pulas dalam cemas.
Aku kopi pahit, yang belajar menatap dunia
dengan senyumanmu.
Aku akan selalu mengingat pagi bening
suara cangkir berdenting dalam hening
gemericik air dituang, juga ciuman lembut
yang membangunkanku dari perasaan sia-sia.
Kita pernah berteka-teki:
dari apakah terbuat sebiji kopi ini?
“Dari airmata,” katamu, “yang ketika jatuh,
tak pernah merasa kehilangan apa-apa.”
Ia yang rela tak terikat pada yang fana.
Maka, ketika airmatamu jatuh, pagi itu
yang tak tertampung oleh hatimu
biarlah tertampung dalam secangkir kopi.
Kau tahu, cintaku, dalam secangkir kopi
kesedihan tak membutuhkan pelukan.
Biarkan jeritmu yang tertahan
mengendap dalam gelas kehidupan.
Tidurlah kau setenang pagi. Tidurlah, lagi.
Aku kopi pahit
Biarlah seluruh kesedihanmu yang hitam
Menjadi jubahku.
2013
Ada yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juni
: SDD
Ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, ialah
ia, yang terus mencintaimu, meski kau tak pernah menyadari, dan selalu berjaga
dalam kesedihan dan kebahagiaanmu
Ialah yang menggeletar dalam doa-doamu, tanpa
pernah kau menyadari, dan kau pun tentram karena merasa ada yang selalu
menjagamu
Tanpa pernah kau menyadari, ia diam-diam menjelma
bayanganmu, hingga bahkan pun dalam sunyi kau tak lagi merasa sendiri.
Ia, yang sungguh lebih tabah dari hujan bulan
Juni, selalu berbisik lembut di telingamu, meski kau tak pernah menyadari, dan
seluruh kenanganmu menjadi hangat dalam ingatan
Saat kau terisak menahan tangis, ia yang lebih
bijak dari bulan Juni, merasuk ke dalam dadamu yang disesaki duka, hingga kau
semakin memahami: betapa airmata mencintai orang yang paling dicintainya dengan
cara menjatuhkan diri
Ia jugalah yang menyelusup ke paru-parumu, tanpa sekali
pun pernah kau menyadari, ketika kau mendadak tersengal oleh entah apa, dan
segalanya tiba-tiba saja menjadi terasa lega
Ketika senja, ia yang lebih arif dari bulan Juni,
tanpa pernah kau menyadari, meruapkan hangat ke dalam teh yang tengah kau nikmati
pelan-pelan, hingga kau merasakan sore begitu damai dan menentramkan
Ia jualah yang terus duduk di sampingmu, tanpa
pernah kau menyadari, menemanimu dengan sabar memandangi cahaya senja yang
perlahan memudar, dan kau bersyukur pada segala yang sebentar
Dan ketika kau tidur, ia yang lebih arif dari
bulan Juni, tak lelah berjaga: dihapusnya debu kecemasan yang berguguran dalam
mimpimu
Ada yang jauh lebih tabah dari hujan bulan Juni,
lebih bijak, dan lebih arif, tetapi kau tak pernah menyadari, meski selalu ada
di kesedihan dan kebahagiaanmu, karena ia tak henti-henti mencintaimu
2010
Aubade
Untuk M
Pagi ialah tangan yang terulur santun, ke dalam hatimu. Dibukakannya pintu
kebaikan dan keselamatan, bagimu
Pagi yang lembut mengusap keningmu, seperti tangan ibu. Dihapusnya debu
kecemasan yang berguguran semalam, dari mimpimu
Pagi ialah kecupan kekasih, yang membangunkan kerinduanmu. Ditumpahkannya
seluruh hangat harapan, sebagai degup jantungmu
Jari-jari mungil pagi menggelitik jantung sepimu, ialah tangan kanak-kanak
yang lucu dan menggemaskan, kebahagiaanmu
Bila kaurasakan pagi menyentuhkan cahayanya yang lembut, ke hidupmu, itulah
tangan gaib Tuhan, membelai kegelisahanmu
2010
Mengingat Jalan-Jalan yang Dilupakan Ingatan
Semua jalan, Ibu,
selalu membawaku
kepadamu.
Di kota yang telah dilupakan oleh
ingatan,
aku mencoba mengingat jalan-jalan
yang pernah kita lalui. Juga
jalan-jalan
yang belum pernah kita lalui,
dan yang mungkin akan kita lalui.
Pada setiap jalan yang telah dilupakan
oleh ingatan
selalu ada kisah yang menolak
dilupakan,
dan tak mungkin terlupakan.
Setiap jalan punya kisah yang dengan
tabah
disimpannya
sendiri, menanggung luka
dan kebahagiaannya sendiri.
Ketika melewati sebuah jalan
kita tak pernah tahu:
adakah kita menambahi luka,
atau
kebahagiannya.
Apakah jalan yang kulalui, Ibu,
menambah lukamu.
Atau menyudahi kebahagianmu?
Setelah tahun-tahun yang ingin
dilupakan
masih saja aku mengingat sebuah jalan
yang membentang dari masa kecil.
Jalan yang sabar menyimpan semua
tangisan
yang kadang ingin kudengar dalam
kesendirian.
Di jalan yang abadi dalam kenangan itu,
Ibu,
aku tak lagi bisa membedakan tangismu
dan tangisku.
Ketika kudengar tangismu, aku seperti
mendengar tangisku sendiri
Kenangan, barangkali memang piringan
hitam,
yang suka memutar kesedihan
berulang-ulang.
Kota telah mengubah jalan-jalan, tetapi
akan
selalu ada jalan yang abadi dalam ingatan.
Jalan-jalang menghilang dari sejarah.
Mereka terhapuskan tapi tak terlupakan.
Seperti engkau yang lelah, tapi menolak
menyerah.
Bagaikan pengungsi ditawan kegelapan,
jalan-jalan itu mencari takdirnya
sendiri
agar sampai
yang sampai padaku,
sampai juga kepadamu.
Dari arah mana pun jalan itu,
dari masa depan atau masa lalu,
ia akan selalu membawaku padamu.
Adakah jalan itu, Ibu, adalah jalan
yang selalu menautkan kepedihan
dengan
kenangan
“Agar kau sampai pada sunyiku,
mari
kutunjukkan jalan paling rahasia,
ke jantungku,” katamu.
Dadamu: kota yang berdebar.
Kota penuh jalan rahasia
yang telah lama terbakar
menjadi memar kisah samar-samar.
Di kota yang dilupakan oleh ingatan
inilah, Ibu
aku mengingat jalan-jalan dalam dadamu.
Kau pernah bercerita;
perihal jalan, yang pada suatu hari
menjelma burung, terbang dan hinggap
ke kota lain. Orang-orang memberinya
nama baru. Membangun patung seorang
pangeran
yang menyaru dengan jubah megahnya
hanya untuk menutupi kesedihannya.
Kini aku mencoba mengingat, Ibu,
di sebuah kota yang telah hilang dari
ingatan:
adakah sebuah jalan yang akan terus
menghubungkan
kenangan dengan kepedihanku, kepadamu.
Seorang kekasih, di sebuah losmen
murahan,
pernah berbisik memelukku.
“Akan kukenalkan kau pada satu jalan,”
katanya
meraih bibirku yang telah mekar
oleh gairah.
Lalu ia buka bajuku. Kutangku.
Celanaku.
Susuku. Kulitku. Ingatanku.
Dan ia tunjuk, celah pahaku:
inilah jalan bebas hambatan,
menuju surga.
Aku telah memilih jalan bagi kepedihanku,
ketika seluruh jalanan di kota ini
ingin aku lupakan.
Jalanan kota ini penuh mahkluk ganjil
yang dadanya menyimpan api kemarahan.
Jalan-jalan yang berkobar tubuh para
korban:
wanita yang mati diperkosa.
Jalan-jalan yang mengelabu dan
mengelabui.
Seperti Malin terdampar di bandar
yang mengasingkannya, aku memandang
jalan-jalan
yang terbakar, di sebuah kota yang
telah dilupakan
oleh ingatan. Bila waktu sebuah jalan,
Ibu,
betapa jauh ia telah membawaku
melupakanmu.
“Bagi seorang anak, sebuah jalan akan
melupakan.
Ibu adalah jalan mengabadikan,” katamu
Mungkin, suatu hari orang-orang akan
menemukanmu
tergeletak di sebuah jalan tanpa nama,
tanpa ingatan.
Pada suatu hari itu, percayalah,
hanya aku yang mengingatmu, Ibu.
Akan selalu mengingatmu.
Meski semua jalan lenyap dari
ingatanku.
2011
Suaramu Telah Memikat Ingatanku
untuk #L
suaramu telah memikat ingatanku, hari ini
kurasakan suaramu, seperti cahaya lembut, yang
perlahan memeluk seluruh kesedihanku
kau tahu, aku telah lama belajar dari airmata,
yang selalu memahami seseorang yang dicintainya dengan cara menjatuhkan diri
akan tiba saatnya, di malam-malamku yang penuh
kerisauan, suaramu akan menjelma jerit kijang yang terpanah jantungnya
ya, pada saat itu aku pun tahu: ada yang lebih tajam
dari pisau waktu, yakni rindu
kesakitan, memang terasa lebih pedih dalam
ingatan. mungkin itu, yang kelak kita sebut: kenangan
kita dipertemukan dalam kegentingan. seperti ada
burung-burung api, yang terbang dalam jiwa, dan membakar kita sendiri
tapi kebahagiaan, cintaku, selalu pantas
diperjuangkan. apa pun resikonya
kau pasti akan memilih hidup dan kebahagiaanmu.
kita akan saling menghapus, atau begitu saja terhapus
bagaimana pun caramu meninggalkan aku, engkau akan
selalu bahagia dalam ingatanku. dan aku, akan betahan hidup, dengan mengingat
ciuman-ciumanmu
hidup barangkali memang hanya menunda luka
di antara kita, akan tiba juga itu luka: ketika
semua kancing bajumu terbuka, dan aku tak bisa lagi menutupnya.
2011
Sajak-Sajak Kecil Kepada M
Sajak ini doa, tangan yang menampung luka, yang menjagamu, agar kau tak
pernah merasa sendirian, dan ditinggalkan.
♥
Mencintaimu merupakan caraku berdoa setiap hari, untuk semua kebahagiaan
kita.
♥
Aku telah belajar merasakan pedih, lewat ciuman-ciumanmu yang lembut dan
menanggung duka dunia.
♥
Kupandangi langit lembut itu, seakan berada dalam keluasan matamu; dan
kutemukan sebuah dunia, yang lebih ajaib dari surga.
♥
Kekasihku, selalu ada yang pantas kita muliakan, yang membuat kita akan
terus bertahan, bahkan dalam kepedihan.
♥
Aku punya cara sederhana mencintaimu: dengan selalu mendoakan kebaikan dan
keselamatanmu…
♥
Sesuatu, yang kausebut kenangan, telah membukakan padaku rahasia, cara
mencintaimu tanpa pernah merasa kehilangan.
♥
Kangen ini. Laut tak bertepi…
♥
Entah kenapa, aku ingin membelikanmu jaket, yang setiap kali kaupakai, akan
juga menghangatkan kerinduanku.
♥
Aku masih saja menerka-nerka, lebih merah mana, senja ataukah luka, yang
kau sembunyikan sekian lama.
♥
Ada banyak cara berbahagia; satu-satunya cara yang tak pernah kubisa ialah
melupakanmu.
♥
Duka hanyalah mentega yang meleleh di penggorengan panas.
♥
Senja yang muram, selalu mengingatkan pada ciuman kita yang tergesa dan
gemetar.
♥
Ada saat-saat ketika mencoba melupakanmu, semua benda yang dulu pernah kita
sentuh, seperti berbicara kembali tentang kamu.
♥
Darimu aku faham, bila airmata ialah rahasia penciptaan Tuhan, yang paling
menakjubkan.
♥
Malam, sesungguhnya, tak pernah memejam. Ia hanya diam-diam menyembunyikan
luka kita dalam kelam, agar kita bisa tidur tentram.
♥
Aku akan jadi doa malammu. Sementara kau perlahan memejam tentram, aku akan
menggapai langit: mengetuk pintu surga bagimu.
Lelucon
Menjelang Kematian
: Gus Dur
: Gus Dur
1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan
segera melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga.
“Jangan gegabah. Kita mesti hati-hati, pada apa yang belum kita mengerti,” jawab
Presiden. “Pasti saya akan ambil keputusan, tapi nanti.”
Dan kau, juga aku, pada akhinya tahu: seorang penyair pernah mengatakan,
hidup hanya menunda kekalahan. Maka, bagi Presiden itu, hidup hanya menunda
keputusan.
2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya, ruhmu.
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya, ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, seperti pada bait puisi.
“Tapi, bila boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember,
bukan? Hari yang ranum dan bahagia. Saya tak ingin siapa pun yang merayakan
kelahiran Tuhan, berduka karna kematian saya.”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.
3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”
Kenapa, kata-Ku.
“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”
4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada
baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu suka puisi. Kau tahu, penyair
lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan, kalau bajaj mau belok, yang tahu
hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan
penyairnya sendiri tak tahu, apa yang ditulisnya itu.”
Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi.
Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi.
Ya, katamu, selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi
mati.
5/
Seperti ada yang perlahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
Seperti ada yang perlahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
“Tuan Tuhan, bukan?”
Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur
2010
Tentang Agus Noor
Agus Noor, menulis banyak prosa, cerpen, naskah lakon (monolog dan
teater) juga skenario sinetron. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara
lain, Memorabilia, Bapak Presiden yang Terhormat, Selingkuh
Itu Indah, Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak Setia), Matinya Toekang
Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos. Laman ini menjadi taman
pertemuan bagi pikiran dan gagasan, seputar karya-karya Agus Noor. Pertukaran
seputar gagasan penciptaan dan proses kreatif tentulah akan lebih menyenangkan
dan mencerahkan. Karya-karya Agus Noor yang berupa cerpen juga banyak terhimpun
dalam beberapa buku, antara lain: Jl. Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas,
2005), Ripin (Cerpen Kompas Pilihan, 2007), Kitab Cerpen Horison
Sastra Indonesia, (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), Pembisik
(Cerpen-cerpen terbaik Republika), 20 Cerpen Indonesia Terbaik
2008 (Pena Kencana), dll.
Menerima penghargaan sebagai cerpenis terbaik pada
Festival Kesenian Yogyakarta 1992. Mendapatkan sertifikat Anugerah Cerpen
Indonesia dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1992 untuk tiga cerpennya:
“Keluarga Bahagia”, “Dzikir Sebutir Peluru” dan “Tak Ada Mawar di Jalan Raya”.
Sedang cerpen “Pemburu” oleh majalah sastra Horison, dinyatakan sebagai
salah satu karya terbaik yang pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu
1990-2000. Dan cerpen “Piknik” masuk dalam Anugerah Kebudayaan 2006 Departemen
Seni dan Budaya untuk kategori cerpen.
Dua draf novelnya masih ia simpan. Ia sangat
yakin, bahwa di dunia ini ada tiga Agus Noor, yang serupa dan persis sama.
Makanya, bila suatu hari Anda berjumpa dengan seseorang yang mengaku Agus Noor
atau mirip Agus Noor, boleh jadi itu bukan Agus Noor yang sebenarnya. Mungkin
itu kembarannya. Untuk memastikan apakah itu Agus Noor sungguhan atau bukan,
Anda bisa konfirmasi ke: agus2noor@yahoo.co.id
Catatan Lain
Rasanya, saya masih di Jogja
ketika kumpulan cerpen Agus Noor Memorabilia
dan Bapak Presiden yang Terhormat,
terbit. Beberapa kali pula melihatnya di beberapa kegiatan sastra yang saya
ikuti. Kesan saya terhadap cerpennya waktu itu: ia berada satu jalur dengan
cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma. Tapi saya bukan pengamat cerpen yang baik,
tentu. Pastilah ada titik-titik perbedaan yang tidak mampu saya telisik, karena
keterbatasan pengetahuan. Itu hanya penilaian orang awam saja.
Puisi-puisi yang ada di sini diambil dari blog si
penulis. Beberapa waktu lalu, Agus Noor menerbitkan kumpulan puisinya yang
pertama, setelah 20 tahun lebih sejak mulai masuk ke dunia kepenulisan.
Diterbitkan secara indie. Dan ini komentar Agus Noor tentang penerbitan Ciuman
yang Menyelamatkan dari Kesedihan : “Untuk buku puisi ini, saya memang
memilih penerbit indie, yang mencoba melakukan penjualan langsung ke pembaca.
Saya merasa, penyebaran atau distribusi buku puisi melalui toko buku sama
sekali tidak efektif: seperti disebar begitu saja, dan belum tentu tepat
sasaran ke pembaca yang memang menyukai puisi. Dengan jejaring sosial Twitter
dan Facebook, saya bisa dengan langsung menyapa mereka yang menyukai puisi.”
Dan konon hasilnya: Pre-order buku Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan
yang dilakukan melalui jejaring sosial media Twitter, dalam dua hari sudah
mencapai 500 pemesan!
Peluncuran pertama kumpulan puisi ini di Tryst Café,
Jakarta, pada 9 September 2012. Diikuti serangkaian lagi di Padang, Bogor,
Surabaya, Yogyakarta. Kumpulan puisi ini juga dilengkapi dengan sketsa-sketsa
dari Agung Kurniawan, seorang pelukis kontemporer Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar