Data buku kumpulan puisi
Judul : Biar!
Penulis : Nanang Suryadi
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal versi ebook : 88 halaman pdf (83 puisi)
Link : www.nanangsuryadi.web.id; http://nanangsuryadi.blogspot.com/2012/01/kumpulan-puisi-terbaik-nanang-suryadi.html
Beberapa pilihan puisi Nanang Suryadi dalam Biar!
Burung Kata-Kata
jutaan kata melesat ke angkasa
terbang tak tentu sampai ke mana
(jutaan burung kata-kata menyerbu langit mencari arah
pulang menabrak mega-mega menabrak atmosfir menabrak bulan menabrak bintang
menabrak nebula menabrak meteor menabrak asteroid menabrak lubang hitam)
--- di mana tahta Sang Raja kata-kata?
Seekor
Naga
seekor
naga, mengamuk
menggeliat
deras di dalam dada
waktu
bergoncang-goncang
di
moncong uap panas sembur api ludahnya
panasnya
tak henti mendidihkan semesta
menderaskan
airmata api
mempuingkan
segala ingin, hingga arang, hingga abu
dalam
diri
dalam diri, seekor naga mengamuk
meminta sesaji puisi
Jam Jam Virginia
Masihkah
bisikan itu terdengar, Virginia. Sebagai dengung menakutkan. Mungkin tentang
perempuan. Tenggelam dalam arus kata-kata. Mimpimu. Rasa nyeri tak tertahankan.
Seperti tanyamu. Di balik kematian. Di balik waktu. Jam-jam yang diaduhkan
perempuan. Tanpa
sebab.
Ingin bunuh diri. Walau kebahagiaan tak terhingga dalam rengkuhmu. Walau
Malang, Nopember 2003
Fragmen Pollock
Jemari
menari di udara. Warna-warna menghambur. Muncrat. Meleleh. Abstraksi. Guratan
kegelisahan. Lukisan tercipta dari kedalaman penuh erang. Siapa yang menyimpan
rasa
nyeri?
Manusia tak sanggup tanggungkan derita. Menggerung. Mengaduh. Teriakkan hampa
ke
angkasa. Mengguncang-guncang sepi. Resah sendiri. Tak tahu apa terjadi. Tak
tahu apa
yang
diingini. Hampa. Kekosongan. Meraja di dada sendiri. Rasakan ngeri itu. Dari
kegelapan
rahasia. Kegulitaan yang mencekam. Jemari menggurat di hampa udara. Serasa
ingin
mencekik rasa bosan. Kenisbian. Di titik diam. Detak nadi kabarkan gemuruh
ledakkan mimpi berulangkali.
Malang, Nopember 2003
Skizo
menelusup ke dalam dada. perasaan demikian aneh.
menelusup dari dongeng tentang mata yang melinangkan cahaya. melinangkan
dongeng tentang mata yang cahaya. demikian cahaya menelusup-nelusup ke dalam
dada.
o, mata yang melinangkan cahaya.
karena ada yang risau dengan dirinya sendiri. seperti
didengarnya dengungan berbagai suara menyerbu kupingnya. jutaan tawon
menggaung. suara tak henti-henti menyergapnya. hingga berteriak ia sekeras
kerasnya. dan orang menyebutnya gila!
o, kuping yang mendengar gaung riuhan suara.
sebentuk kabut. tapi mungkin asap. berganti-ganti. antara
cahaya. antara suara. antara tatapnya. ia menjerit. ia menjerit. tanpa suara.
mulutnya membuka lebar-lebar. di dalam mulut ada yang bertapa, katanya.
o, mulut yang menjerit tanpa suara.
tangannya memutar-mutar. menghalau suara dengungan tawon.
agar menjauh. agar tak terus mendengung di dekat telinganya. seperti tarian.
meliuk. meliuk.
o, tangan yang memutar-mutar.
kakinya menghentak-hentak. menandak-nandak.
memutar-mutar. berlari kian kemari.
o, kaki yang menghentak menandak.
tubuhnya bergoyang ke sana ke mari. bergoyang. bergetar.
gemetar. lalu limbung jatuh. tersuruk. sembah.
menyerah
Puisi Mencakar Wajahmu dengan Kuku Jemarinya yang Lentik
puisi yang diam-diam ingin kau tulis mencakar wajahmu.
dengan kukunya yang tajam. dan kau menulisnya sebagai kepedihan. inilah puisi,
katamu, sambil membayangkan kuku di jemarinya yang lentik. dan menyisakan perih
di wajahmu.
puisi yang kau kira sebagai kucing manis. berbulu lembut
halus. ingin kau timang-timang dalam untaian kata di dalam sajak-sajak. yang
ingin kau tulis di sebuah senja yang indah. saat matahari menyemburatkan warna
jingga di langit.
tapi tak kau tahu siapa puisi. karena kau terbius oleh
mabuk kagum. dengan debar di dada. seperti debur perlahan gelombang di
pantai-pantai landai berpasir putih gemerlap tertimpa cahaya. di pantai
mimpimu.
dengan harap untuk dapat mengetahui segala rahasianya.
kelembutannya. sebagai kedamaian yang hadir dalam hatimu. sebagai ekstase yang
menuntaskan segala birahi. membuat hidup jadi demikian gairah. menyala terang
seterang purnama bulan. maka kau ingin mengabadikan puisi dalam huruf-huruf,
kata-kata, frasa, kalimat, bait, sajak…
sebagai puisi, katamu. tapi tak kau tahu puisi
sebenar-benar puisi. seperti saat ini. tak dapat kau menuliskan puisi
sesungguhnya. karena yang kau ingat hanya kuku jemarinya, yang melukai wajahmu.
maka kaupun mulai membenci puisi. dan mencoba menghapusnya
dari ingatan. tapi puisi hadir di mana-mana. dengan senyumnya. dengan kerling
matanya yang menggoda. dengan gerai rambutnya yang melambai-lambai. dengan
suara lembutnya. dengan desah manjanya. dengan tawanya. dengan lembut
jemarinya. dengan ….
puisi mengejekmu. dengan segala kenangan. dan kau
tenggelam dalam pusaran arus gelombang puisi yang memabukkan.
tenggelamlah engkau dalam puisi yang menjelma jadi lautan
mimpimu. hingga di dasarnya kau tahu: puisi
Memasuki Kota Menhir
memasuki kota menhir, sayatan pahat pada batu-batu, aroma
purba
arus mimpi mengundangku datang menemu wajahmu kota tua
seperti kutemukan wajahku di situ
tubuh yang disalibkan di pancang batu
telah tersesat domba-domba beterjunan ke lumpur hitam
hingga mengembik di sekarat legam
doa doa apa yang dilontarkan ke langit
sebagai deru sebagai teriak jerit pahit
memasuki kota menhir, lingga patah, yoni retak
wajah mimpiku pecah berderak
Di Pusaran Waktu
telah dilabuh gelisah pada pusar waktu
hingga larung abu pada sarang angin
gelombang sunyi diri sendiri
tinggal beburung jiwa menemu
karang julang tegak menantang
demikian terjal jejalan hidup di tatap matahari
sekepak sayap sekepak sayap menempuh tempuh
disayat hayat disayatsayat hingga mayat hingga tamat
tapi akan dilabuh juga segala gelisah pada pusar waktu
hingga larung abu pada sarang angin
gelombang sunyi diri sendiri
menjelma beburung jiwa
terbang mengepak dari matamu
menempuh tempuh sekepak sayap sekepak sayap
hingga sampai mematuk patuk mengetuk
pintu langit membuka
bagi jerit perih kerinduan jiwa
menemu cinta menemu cintanya
11:37:56 7/08/2002
akulah puisi. kudatangi Paz di malamnya yang ringkih.
kumabukkan ia dengan kata. hingga dadanya ingin meledak. saat kuucap selamat
malam di pagi yang sebentar kan tumbuh.
ditulisnya aku dengan bahagia: kata, frasa, kalimat,
alinea. bahkan katanya, aku mesti ada,
jika ia tak lahir ke dunia.
akulah puisi. di matanya kuberi cahaya. seperti...
Karena Diksi
sebagai petapeta yang dilukis menghamburkan jejak lama
dari riwayat sebuah ingatan
hingga waktu merapat ke titik nol
sampai dentingnya yang menggaung menjadi senyap lenyap
dalam sajak tak selesai
karena huruf membisu dalam rahim pertapaan
menumbuh tumbuh dalam diam dalam sunyi
memandang diri semakin asing
pada rambu rambu di jalanan pada buku buku dan kitab suci
layaknya puisi aneh yang ditulis dari arus deras mimpi
mengamuk tak tahu mau meloncatloncat tak tahu ingin
menarinari tak tahu hendak
bolak balik kata berbolak balik menemu kembali kata yang
sama mengulang ulang
baiklah siapkan saja pena deret leburkan kata bergumulah
dalam frasa bersetubuhlah dalam kalimat baris dan bait sajak menelusur hingga
mula, karena
jadi maka jadilah:
karena rona karena warna karena nuansa karena biru karena
hitam karena jingga
karena waktu karena senja karena petang karena malam
karena fajar karena detik karena jam karena hari karena minggu karena bulan
karena musim karena tahun karena windu karena abad karena purba
karena moyang karena kanak
karena cakrawala karena angkasa karena lazuardi karena
langit karena udara
karena bumi karena gunung karena tanah karena kerikil
karena batu karena aspal karena debu
karena angin karena awan karena mendung karena matahari
karena ufuk karena bulan karena bintang karena cahaya karena gerimis karena
pelangi karena embun karena kabut karena bayang
karena air karena danau karena telaga karena alir karena
sungai karena muara karena laut karena ombak karena gelombang karena arus
karena ikan karena palung karena debur karena pantai karena pasir karena karang
karena badai karena perahu karena layar karena kapal karena dermaga karena
labuh
karena bening karena sepi karena sunyi karena lengang
karena remang karena rembang
karena tangis karena airmata karena duka karena luka
karena gundah karena resah karena gemetar karena gelisah karena cemas karena
sedih karena marah karena dendam karena muak
karena tawa karena bahagia karena asa karena harap karena
rahasia
karena deru karena gaung karena gema karena denting
karena lengking karena dengking karena gemuruh karena derai karena bisik karena
desah karena rintih
karena angan karena mimpi karena tualang karena kembara
karena api karena bara karena asap karena arang karena
abu
karena pohon karena dahan karena ranting karena akar
karena daun karena bunga karena putik karena mawar karena kamboja karena kelopak
karena rumput karena ilalang karena semak karena perdu
karena kupu karena burung karena camar karena merpati
karena anggur karena apel
karena tatap karena cakap
karena mata karena alis karena jemari karena wajah karena
rambut karena dada karena jantung karena hati karena darah karena nadi
karena beranda karena kisi karena tingkap karena jendela
karena aku karena engkau karena dia karena kita
karena cinta karena rindu karena sayang karena birahi
karena mabuk
karena abadi karena kekal
karena Kekasih
karena Mu
Depok, 1 Mei 2003
Belajar Menulis Puisi
huruf demi huruf berhamburan
dari dalam benakku sebagai entah puisi mungkin merindu tapi apakah merindu
adalah huruf-huruf yang berhamburan tak karuan sebagai galau yang tiba-tiba
meledak dari dalam dada dan kepala sendiri meledakkan keinginan dari dalam
mimpi-mimpi yang tak kunjung selesai diputar dalam tidur tidur yang melelahkan
ke dalam jeram jeram nganga dalam keinginan sendiri hendak melompat melompat
dari tebing-tebing yang tak kembali gema tak kembali menyahut suara o inikah
suara dari dalam kegelapan jiwa yang menggapai-gapai ke terang terang cahaya
sebagai puisi yang kacau tak terbaca ada siapa di situ dirikukah atau engkau
yang kukasihi dengan setulus cinta setulus doa dengan airmata yang memancar
dari mataku yang tiba-tiba saja perih karena demikian nyeri segala yang tak
terkata demikian pedih segala yang tak terduga demikian perih segala yang
bergalau tak tahu apa dirasa apa dipinta o kabarkan padaku cintamu sebagai
darah dalam puisi yang mengalir dalam aorta nadiku hingga mengucur hingga
menderas ke dalam dadaku sebagai alir yang tak henti dalam tubuhku sebagai
denyut dalam jantungku sebagai engkau yang tak henti mencintaiku dengan
sesungguhnya cinta dengan setulusnya cinta dengan debar dalam dada sebagai doa
yang kau panjatkan setulus pinta ke maha cinta hingga disatukan dalam gelombang
cintanya yang cahaya
Mungkin
Ada
:h.a
Mungkin
ada yang mengendap. Di suatu malam. Saat rimis tiba. Menjengukmu. Saat engkau
tertidur. Dan kata-kata itu tersusun. Dalam mimpimu. Tentang ia menjejakkan
kakinya. Di tanah basah. Di halaman rumah.
Mungkin
ada yang menjengukmu. Di dalam mimpi. Saat engkau coba menyusun kata-kata.
Seperti malam itu. Engkau demikian merasa ada yang melintas di tengah rimis.
Mungkin
ada yang menulis. Menyusun mimpi-mimpi. Di suatu malam. Setelah menjenguk ke
dalam tidurmu.
Mungkin
engkau pun menulis suatu ketika. Tentang jejak di tanah basah. Tentang Aku yang
menjengukmu. Di dalam puisi itu.
Malang, Nopember 2003
Eksperimentasi Lirik
kabut menari sebagai bayang
yang mencemaskan cuaca dan musim penghujan di saat rindu menjelma angin yang
menderai mendesah ke arahmu irama purba nyanyian detik detik resah gelisahmu
saat menunggu dalam bisik-bisik perdu ilalang pada daun rerumputan yang menerima
embun dan gerimis dengan tulus sebagai reriap rambut yang menyerah pada bening
hening percakapan menetes satu satu mengalir di lekuk pelupuk kelopak bunga
mawar dan kamboja dalam warna-warna pelangi di dasar hatimu yang merahasia biru
langit mimpi angan sesunyi danau selengang cakrawala lebih sepi dari batu yang
diam tak isak tangis sedih menyimpan kembara dalam dada karena senja yang
merapat ke malam menenggelamkan matahari dan menyemburatkan warna ungu jingga
ke pucat bulan ke kerdip bintang sebagai gundah yang bikin gemetar karena
lindap cahaya menyesatkan burung burung yang ingin pulang dan istirah seperti
telah disesatkan tanya itu sebagai buah apel yang dimakan dengan penuh dendam
mabuk birahi pada yang abadi karena pernah dicatat pada beranda yang
menggaungkan tualang camar di antara buih gelombang dan badai yang hempas
perahu kapal dengan ombak dan arusnya hingga suaramu adalah gema yang
berdenting denting di antara lengking dan dengking mengetuk ngetuk jendela
hatimu seperti dikabarkan jam jam yang mengumandangkan darah lewat nadi sebagai
abad windu tahun bulan hari yang gemuruh menderu mematahkan ranting mencabut
pohon dari akarnya menggugurkan putik dan buah hingga matamu menyimpan arang
bara api yang segera menjadi abu harapmu demikianlah dikekalkan cintamu sebagai
debu pada waktu
Mei, 2003
10:59:03 7/08/2002
mengingat: oka
“‘tarian bumi” rusmini
akulah keluh. sebaris kalimat mengelupas dari sehalaman
buku.
akulah kata. mengelupas dari sebaris kalimat.
lalu aku menari. akulah tarian:
bumi. bulan. matahari. bintang-bintang.
karena surga mengusirku.
akulah perempuan. rindumu. tapi...
Sesayat Sampai
sesayat sampai lengking suaramu di dadaku, o orang
gemetar
menatap hari berliku jalannya, di terik panas, di kepul
debu menampar
tapi ingin kau masuki juga hingga jauh ke malam ke kelam
walau seribu goda menarik tangan dan kaki: kemarilah
kemarilah
tidur dalam dekap, jangan berjalan lagi
apa yang tercari tak dapat dipasti
sesayat sampai suaramu di telingaku, o orang yang sepi
menembus hari hingga ke malam hari
menemu diri menuntas nyeri!
Biar!
tak kau ingat lampu-lampu yang menyihir kita menjadi
orang yang mentertawakan dunia. tak kau ingat keringat meleleh di langkah kaki,
di punggung, kening, menantang matahari! menunggingkan pantat ke muka-muka
orang-orang yang dipuja sebagai dewa!
o, engkau telah membunuh kenangan demikian cepat. seperti
kulindas kecoak dengan ujung sepatuku. perutnya yang memburai, putih, mata yang
keluar dari kepala, masih bergerak-gerak. aku menjadi pembunuh. seperti dirimu.
demikian telengas. tanpa belas. kepada kenangan.
biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri
sendiri. di puncak sepiku sendiri!
Dongeng Ikan Di Laut Dalam
seekor ikan dari palung
terdalam di dasar laut yang tak pernah mengenal cahaya matahari yang
mengerjap-ngerjap di permukaan di pucuk pucuk ombak adalah seekor ikan yang
ribuan tahun ada di kedalaman dengan sisik tebal dengan mata buta dan
dilahirkan seperti mamalia bukan menetas dari telur seperti burung-burung atau
ikan-ikan lain yang berinsang karena memiliki paru-paru yang memompa udara
dalam tubuhnya berputar-putar terus tak pernah habis dari tubuhnya kecuali
suatu ketika ia akan mati seperti layaknya pertapa ia berdiam dalam gelap tak
terkata hingga tubuhnya terselimut seperti karang diam tak bergerak menjaga
kedalaman rahasia arus laut sebagai rahasia seperti puisi yang tak tahu hendak
kau maknai karena tak pernah ada terlintas dalam benakmu ikan seperti itu ada
di kedalaman sana
Mei, 2003
Hingga Akhirnya
detik kan berhenti dan sunyi merungkupi kau dengan
mimpimu sendiri
o manusia yang resah menjangkau cakrawala dengan benak
penuh tanya
sebagai keabadian jawab adalah tanyamu sendiri
menghitung tiktak jam berdetik menuju segala batas ucap
ucapkan selamat tinggal pada segala cinta
saatnya kini kau mengerti, bahwa sunyi adalah milikmu
sendiri
Tentang Nanang Suryadi
Nanang Suryadi lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Aktif
mengelola fordisastra.com. Buku-buku puisi yang menyimpan puisinya, antara
lain: Sketsa (HP3N,
1993), Sajak Di Usia Dua Satu (1994),
dan Orang Sendiri Membaca Diri (SIF,
1997), Silhuet Panorama dan Negeri
Yang Menangis (MSI,1999) Telah
Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002), BIAR! (Indie Book Corner, 2011), Cinta, Rindu & Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya (UB
Press, 2011) sebagai kumpulan puisi pribadi. Sedangkan antologi puisi bersama
rekan-rekan penyair, antara lain: Cermin
Retak (Ego, 1993), Tanda (Ego-
Indikator, 1995), Kebangkitan
Nusantara I (HP3N, 1994), Kebangkitan
Nusantara II (HP3N, 1995), Bangkit (HP3N, 1996), Getar (HP3N, 1995 ), Batu Beramal II (HP3N, 1995), Sempalan (FPSM, 1994), Pelataran (FPSM, 1995), Interupsi (1994), Antologi
Puisi Indonesia (Angkasa-KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), Graffiti Gratitude (Angkasa-YMS, 2001), Ini Sirkus Senyum (Komunitas
Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon
& Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002 ), Puisi Tak Pernah Pergi (Penerbit
Kompas, 2003), Dian Sastro for
President #2 Reloaded (AKY, 2004), Dian Sastro for President End of Trilogy (Insist, 2005), Nubuat Labirin Luka Antologi Puisi untuk
Munir (Sayap Baru – AWG, 2005), Jogja 5.9 Skala Richter (Bentang Pustaka - KSI, 2006), Tanah
Pilih, Bunga Rampai Puisi
Temu Sastrawan Indonesia I (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Jambi, 2008), Pesta Penyair Antologi Puisi Jawa Timur (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009).
Email: nanangsuryadi@yahoo.com
Situs: www.nanangsuryadi.web.id
Twitter:
www.twitter.com/penyaircyber
Facebook: www.facebook.com/nanangsuryadi
Catatan Lain
Bisa dikatakan, inilah penyair
yang paling aktif di dunia maya sepanjang yang saya ketahui. Saya mendapatkan
versi ebook dari Biar! dari blog
penyairnya yang tampil all out. Tak
ada halaman cover dan daftar isi. Begitu judul, langsung masuk ke puisi pertama.
Mungkin kumpulan ini terdiri dari 2 bagian, yaitu Biar! (20 puisi) dan 7/07/2002
(63 puisi). Total 83 puisi kalau tak salah hitungan saya. Tapi saya juga tak
yakin dengan dua pembagian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar