Data buku kumpulan puisi
Judul : Buah Rindu
Penulis : Amir Hamzah
Cetakan :
XI, 2008 (III, 1959)
Penerbit :
Penerbit Dian Rakyat, Jakarta
Tebal :
vi + 50 halaman (28 judul puisi)
ISBN :
979-523-020-4
Beberapa pilihan puisi Amir Hamzah dalam Buah Rindu
Malam
Daun bergamit berpaling
muka
Mengambang tenang di
lautan cahaya
Tunduk mengurai surai
terurai
Kelapa lampai melambai
bidai
Nyala pelita menguntum
melati
Gelanggang sinar
mengembang lemah
Angin mengusap menyayang
pipi
Balik-berbalik
menyerah-nyerah
Air mengalir
mengilau-sinau
Riak bergulung
pecah-memecah
Nagasari keluar meninjau
Membanding purnama di
langit cerah
Lepas rangkum pandan
wangi
Terserak harum pemuja
rama
Hinggap mendekap kupu
berahi
Berbuai-buai terlayang
lena
Adikku sayang berpangku
guring
Rambutmu tuan kusut
melipu
Aduh bahagia bunga
kemuning
Diri dihimpit kucupan
rindu
Berdiri Aku
Berdiri aku di senja
senyap
Camar melayang menepis
buih
Melayah bakau mengurai
puncak
Berjulang datar ubur
terkembang
Angin pulang menyejuk
bumi
Menepuk teluk mengempas
emas
Lari ke gunung memuncak
sunyi
Berayun-ayun di atas
alas
Benang raja mencelup
ujung
Naik marak mengerak
corak
Elang leka sayap
tergulung
Dimabuk warna
berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa
sentosa
Menyecap hidup bertentu
tuju
Tuhanku apatah
Kekal?
Tuhanku, suka dan ria
Gelak dan senyum
Tepuk dan lari
Semua lenyap, silam
sekali
Gelak bertukaran duka
Suka bersalinkan ratap
Kasih beralih cinta
Cinta pembawa wasangka...
Junjunganku apatah kekal
Apatah tetap
Apatah tak bersalin rupa
Apatah baga sepanjang
masa...
Bunga layu disinari
matahari
Mahluk berangkat
menepati janji
Hijau langit bertukar
mendung
Gelombang reda di tepi
pantai
Salangkan gagak beralih
warna
Semerbak cempaka sekali
hilang
Apatah lagi laguan kasih
Hilang semata tiada
ketara...
Tuhanku apatah kekal?
(Tambahan: Apatah: kata tanya untuk menanyakan sesuatu yang
tidak memerlukan jawaban)
Kusangka
Kusangka cempaka
kembang setangkai
rupanya melur telah
diseri...
hatiku remuk
mengenangkan ini
wangsangka dan
was-was silih berganti.
Kuharap cempaka
baharu kembang
belum tahu sinar
matahari...
rupanya teratai
patah kelopak
dihinggapi kumbang
berpuluh kali.
Kupohonkan cempaka
harum mula
terserak...
melati yang ada
pandai
tergelak...
Mimpiku seroja
terapung di paya
teratai putih awan
angkasa...
rupanya mawar
mengandung lumpur
kaca piring bunga
renungan...
Igauanku subuh ,
impianku malam
kuntum cempaka putih
bersih...
kulihat kumbang
keliling berlagu
kelopakmu terbuka
menerima chembu.
Kusangka hauri
bertudung lingkup
bulu mata menyangga
panah asmara
rupanya merpati
jangan dipetik
kalau dipetik
menguku segera.
Sunyi
Kuketuk pintu masaku
muda
hendak masuk rasa
kembali
taman terkunci dibelan
pula
tinggallah aku sunyi
sendiri.
Kudatangi gelanggang
tempat menyebung
masa bujang tempat
beria
kulihat siku singgung
menyinggung
aku terdiri haram
disapa...
Teruslah aku
perlahan-lahan
sayu rayu hati melipur
nangislah aku tersedan-sedan
mendengarkan pujuk duka
bercampur.
Kudengar bangsi
memanggil-manggil
tersedu-sedu, dayu
mendayu
tersalah aku diri
terpencil
badan dilambung
gelombang rindu.
Duduklah aku bertopang
dagu
merenung kupu mengecup
bunga
lenalah aku sementara
waktu
dalam rangkum kenangan
lama.
Rupanya teja serasa
kulihat
suaramu dinda rasakan
kudengar
dinda bersandar duduk
bersikat
aku mengintip ombak
berpendar.
Imbau gelombang
menyembahkan lagu
kepada bibirmu kesumba
pati
fikiranku melayang ke
padang rindu
walaupun dinda duduk di
sisi.
Kenangan
Tambak beriak intan
terberai
kemuncak bambu tunduk
melambai
mas kumambang mengisak
sampai
merenungkan mata kesuma
teratai.
Senyap sentosa sebagai
sendu
tanjung melampung
merangkum kupu
hanya bintang cemerlang
mengambang
diawang terbentang
sepanjang pandang
Dalam sunyi kudus mulia
murca kanda dibibir
kesumba
undung dinda melindung
kita
heran kanda menajubkan
jiwa
Dinda berbisik rapat di
telinga
lengan melengkung
memangku kepala
putus-putus sekata dua;
"kunang-kunang
mengintai kita"...
Buah Rindu 2
Datanglah engkau wahai maut
lepaskan aku dari nestapa
engkau lagi tempatku berpaut
di waktu ini gelap gulita.
Kicau murai tiada merdu
pada beta bujang Melayu
himbau pungguk tiada merindu
dalam telinganku seperti dahulu.
Tuan aduhai mega berarak
yang meliputi dewangga raya
berhentilah tuan di atas teratak
anak langkat musafir lata.
Sesaat sekejap mata beta berpesan
padamu tuan aduhai awan
arah menatah tuan berjalan
di negeri manatah tuan bertahan?
Sampaikan rinduku pada adinda
bisikkan rayuanku pada juita
liputi lututnya muda kencana
serupa beta memeluk dia.
Ibu, konon jauh tanah Selindung
tempat gadis duduk berjuntai
bonda hajat hati memeluk gunung
apatah daya tangan tak sampai.
Elang, Rajawali burung angkasa
turunlah tuan barang sementara
beta bertanya sepatah kata
adakah tuan melihat adinda?
mega telahku sapa
mergastua telahku tanya
maut telahku puja
tetapi adinda manatah dia!
Bayu berpuput alun digulung
Bayu direbut buih dibubung
Selat Melaka ombaknya memecah
Pukul-memukul belah-membelah
Bahtera ditepuk buritan dilanda
Penjajah dihantuk haluan ditunda
Camar terbang riuh suara
Alkamar hilang menyelam segara
Armada Perenggi lari bersusun
Melaka negeri hendak diruntun
Galyas dan pusta tinggi dan kukuh
Pantas dan angkara ranggi dan angkuh
Melaka! Laksana kehilangan bapa
Randa! Sibuk mencari cendera mata
“Hang Tuah! Hang Tuah! Di mana dia
Panggilkan aku kesuma Parwira!”
Tuanku, Sultan Melaka, Maharaja Bintan!
Dengarkan kata bentara Kanan
“Tun Tuah, di majapahit nama termasyhur
Badannya sakit rasakan hancur!”
Wah, alahlah rupanya negara Melaka
Karena Laksamana ditimpa mara
Tetapi engkau wahai Kesturi
Kujadikan suluh, mampukah diri?
Hujan rintik membasahi bumi
Guruh mendayu menyedihkan hati
Keluarlah suluh menyusun pantai
Angkatan Pertugal hajat dihintai
Cucuk diserang ditikami seligi
Sauh terbang dilempari sekali
Lela dipasang gemuruh suara
Rasakan terbang ruh dan nyawa
Suluh Melaka jumlahnya kecil
Undur segera mana yang tampil
“Tuanku, armada Peringgi sudahlah dekat
Kita keluari denganlah cepat
Hang Tuah coba lihati
Apakah ‘afiat rasanya diri?”
Laksamana, Hang Tuah mendengar berita
Armada Peringgi duduk di kuala
Mintak didirikan dengan segera
Hendak berjalan ke hadapan raja
Negeri Melaka hidup kembali
Bukankah itu Laksamana sendiri
Laksamana, cahaya Melaka, bunga pahlawan
Kemala setia maralah Tuan
Tuanku, jadikan patik tolak-bala
Turunkan angkatan dengan segera
Genderang perang disuruhnya palu
Memanggil imbang iramanya tertentu
Keluarlah Laksamana mahkota ratu
Tinggallah Melaka di dalam ragu...
Marya! Marya! Tempik Peringgi
Lelapun meletup berganti-ganti
Terang cuaca berganti kelam
Bujang Melaka menjadi geram
Galyas dilanda pusta dirampat
Sebas Melaka sukma di Selat!
Amuk-beramuk buru-memburu
Tesuk-menusuk laru-meluru
Lala rentaka berputar-putar
Cahaya senjata bersinar-sinar
Laksamana mengamuk di atas pusta
Yu menyambar umpamanya nyata...
Hijau segera bertuka warna
Sinau senjata pengantar nyawa
Hang Tuah empat berkawan
Serangannya hebat tiada tertahan
Cucuk peringgi menarik layar
Induk dicari tempat behindar
Angkatan besar maju segera
Mendapatkan payar ratu Melaka
Perang ramai berlipat ganda
Pencalang berai tempat ke segala
Dang Gubernur memasang lela
Umpama guntur di terang cuaca
Peluru tebang menuju bahtera
Laksamana dijulang ke dalam segara
Tentang Amir Hamzah
Nama lengkapnya,
Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera, lahir dalam lingkungan bangsawan
Kesultanan Langkat, Sumatera Timur, pada 28 Februari 1911. Meninggal di Kuala
Begumit pada 20 Maret 1946 dalam umur 35 tahun, ia diculik dan dibunuh dalam
revolusi sosial Sumatera Timur. Dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung
Pura, Langkat. Ia bersekolah menengah dan tinggal di jawa saat pergerakan
kemerdekaan. Tahun 1933 mendirikan majalah Pujangga baru bersama Armijn Pane
dan Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan puisinya adalah Nyanyi Sunyi (1941) dan Buah
Rindu (1937). Ia juga menerjemahkan Stanggi
Timur (1939), Bagawat Gita (1933)
dan Syirul Asyar (tanpa tahun). Ada
yang mencatat ia meninggalkan 160 karya, terdiri dari 50 sajak asli, 77 sajak
terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli, dan 1
prosa terjemahan
Catatan
Lain
Buku ini kubeli
hari selasa, 12 juli 2011, saat perhelatan dialog borneo kalimantan XI di
Samarinda. Belinya di toko bagus, jl. Lambung Mangkurat, dengan harga Rp.
38.000,- Ceritanya, malam itu, saya, penyair Arsyad Indradi dan Ali Syamsuddin
Arsy, kelaparan dan ingin makan malam. Maka berjalanlah kami menyusur jalan
dan ketemu warung yang lumayan memuaskan selera lidah banjar, macam
panggang-panggangan ikan dan sayur berkuah. Pulangnya ketemu toko Bagus itu,
tak jauh dari hotel Lambung tempat kami menginap. Selain beli buku Buah Rindu, saya juga membeli Jantung Lebah Madu Nirwan Dewanto.
TRIMAKASIH :}
BalasHapusSANGAT MEMBANTU :D
Makasih sudah jalan-jalan di blog ini...
Hapus....Kangen sekali saya dengan buku ini....
BalasHapusBisakah di buatkan E-book nya beserta gambar-gambar vignet nya..?
Sebelum dan sesesudahnya saya ucapkan beribu terima kasih.
Wah, Mba, ilmu saya nggak nyampek... :D
HapusPuisi yg mana yg tertua? Judulnya apa dan ditulis kapan?
BalasHapusTerima kasih
Sukaaaa.......
BalasHapusRaja Ali Haji telah menukil pada tahun 1847: Gurindam Dua Belas. Sayang sekali atas nama revolusi rakyat yang berbaur kominisme nyawa penyair yang tidak berdosa telah diragut sebegitu sadis sekali. Renungkanlah.
BalasHapusSy lahir di Kuala Bingei sekitar 5km dari Kuala Begumit tepatnya Randu Gapit tmpt Alm dibunuh. Alm dikenal dgn gelar Pangeran Penyair karna karya2nya yg bernilai istimews. Sy penggemar beratnya dn ketika STM sering membacaka Buah Rindu. Tks banyak telah memposting buku ini sebagai bentuk apresiasi thdp budaya Melayu. Slm hrmt.
BalasHapusPuisi "Malam" halaman berapa ya kak?
BalasHapus