Data buku kumpulan puisi
Judul : Kolam
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan :
I, 2009
Penerbit :
Editum, Jakarta
Tebal :
120 halaman (51 judul puisi), 14,5 x 21 cm
ISBN :
978-979-19766-0-2
Cukilan kayu pada sampul dan isi buku: Jeihan
Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam
Kolam
Pohon
Belimbing
Sore ini kita
berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di
halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang
berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan
kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.
Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang
tak terurus dengan baik, juga karena
konon ia tidak disukai
rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya
berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?
Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau
melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan
kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah
kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh itu
berjalan dalam tidur?
Kau, kan, yang
pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
tua juga akhirnya?
Tentang Tuhan
Pada
pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan
bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa
berkeliling merawat
segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan
hati-hati tanpa
memperhitungkan hari.
Ia,
seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita
sama sekali.
Tuhan
merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak
kita kenal dan juga yang tidak akan pernah
bisa kita kenal.
Sonet 4
“Hidup terasa benar-benar tak mau redup
ketika sudah kaudengar pesan:
suatu hari semua bunyi rapat tertutup”.
Penyanyi
itu tuli. Suaranya terdengar perlahan.
Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup pelupuknya,
yang menerima segala yang terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si buta?
Penyanyi
itu buta? Kau tampak gemetar;
kita pun diam-diam mendengarkannya,
“Cinta terasa baru benar-benar membakar
ketika pesa kaudengar: padamkan nyalanya!”
Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan buta.
Sonet 6
Sampai
hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari batang pohon
ranggas.
Sampai
suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata,
bergegas
memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsumku; tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai
waktu
agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.
Sampai
yang pernah bergerit di kasur
tak lagi
menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.
Sonet 14
Kaudengar
gumam jalan ini, benar? Ya, ia ingin
kita selamanya melewatinya, seolah ada yang
bisa abadi.
Kau tertawa, tentu saja. Kusentuh tanganmu
yang dingin
ketika jalan itu mulai terdengar menggumam
lagi.
Setiap berhenti sejenak untuk membenarkan
letak sepatu
kau bertanya, Kau dengar gumam jalan ini? Ia sudah tua,
didendangkannya hujan yang suka membuka payung
biru,
disenandungkannya kemarau yang suka berselimut
udara
malam-malam, digumamkannya matahari yang
melumurkan
lumut sekujur tubuh pohon teduh itu. Kau dengar itu?
Jalan ini mengalir (hanya kita yang tahu)
sangat pelahan
mengelilingi sebuah tanah lapang. Hanya kita yang tahu
bahwa ia
ingin kita melewatinya, sepanjang waktu? Tetapi,
apakah kita pernah yakin ada cinta yang
bersikeras abadi?
Sudah Lama Aku Belajar
/1/
sudah
lama aku belajar memahami
apa pun
yang terdengar di sekitarku,
sudah
lama belajar menghayati
apa pun
yang terlihat di sekelilingku,
sudah
lama belajar menerima
apa pun
yang kauberikan
tanpa
pernah bertanya apa ini apa itu,
sudah
sangat lama belajar mengagumi matahai
ketika
tenggelam di tepi danau belakang rumahku,
sudah
sangat lama belajar bertanya
kepada
diri sendiri
mengapa
kau selalu memandangku begitu.
/2/
Ia menyaksikanmu memutar
kunci pintu rumahmu,
masuk, dan menutupnya kembali.
/3/
Kalau
pada suatu hari nanti
kau
mengetuk pintu
tak tahu
apa aku masih sempat mendengarnya.
Kenangan
/1/
ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang
/2/
tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci
/3/
ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik
Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20
Maret 1940. buku puisinya antara lain duka-Mu
abadi (1969), Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, Ayat-ayat Api, Arloji, Ada
Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002). Kumpulan puisi Kolam (2009) ini masuk shortlist Khatulistiwa
Literary Award tahun 2009, bersama Perahu
Berlayar sampai Bintang (Cecep Syamsul Hari), Puan Kecubung (Jimmy Maruli Alfian), Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (Wendoko), dan Dongeng Anjing Api (Sindu Putra).
Catatan
Lain
Kolam terdiri dari 3 buku. Buku
satu, didominasi puisi berbentuk paragraf (21 puisi). Buku dua berisi Sonet 1
sampai Sonet 15. Buku tiga, lebih bebas bentuknya (15 puisi). Buku ini ditandatangani
oleh penulisnya tanggal 27 Desember 2009 dan tiba di RS Jiwa Sambang Lihum
dengan penuh limpahan cinta dan welas asih. Terima kasih.
lanjutkan, Wal!
BalasHapusSelama ente setia meminjami ane buku :D
Hapusaku sangat suka semua puisinya sapardi djoko damono, keluarin semua donk puisinya sdd
BalasHapusMakasih dah berkunjung. Kalo dikeluarin semua, ntar penerbit rugi dan penyair jadi kurang royaltinya (kalo ada). Bagusnya sih beli... :). Lagian, bukunya lagi saya sekolahin buat jaminan minjem buku :D
HapusWah keren puisinya....
BalasHapusAnggun....
BalasHapus