Data buku kumpulan puisi
Judul : Jejak Air
Penulis : Hajriansyah
Cetakan :
I, Oktober 2007
Penerbit :
Tahura Media, Banjarmasin
Tebal :
iv + 56 halaman (11 judul puisi)
ISBN :
978-979-159699-9
Gambar sampul : Hery S
Beberapa pilihan puisi Hajriansyah dalam Jejak Air
Prolog
Aku lahir dari kedalaman,
tempatku di waktu kecil menjejakkan kaki
Di sungai yang kecoklatan airnya
kami menyelam; menggenggam lumpur di tangan
kiri
mencoba meyakinkan yang lain bahwa
kami telah sampai di dasar sungai
Kata-kataku lahir
dari kedalaman,
seperti ingin
meyakinkanmu
Aku telah sampai
di dasar sungai
atau tanah
berlumpur yang ku injak
sesaat tadi
Kata-kataku
adalah yang tertahan di tenggorokan
saat air menekan
lubang-lubang di tubuhku
saat aku begitu
berhasrat
Begitu bergembira
ingin memenangkan diri
Aku lupa
lupa pada
warna sungai, bau air,
pada yang
menekan tubuhku sedemikian
rupa; aku
begitu ingin sampai kepermukaan,
membuncah
gelombang
bersorak menang, tapi aku lupa
lupa pada
semua yang mengepungku
mengitari,
masuk ke lubang-lubang
tubuhku,
membuatku tersedak
Aku duduk
di pinggir sungai, aku
tersengal;
seteguk air masuk ke mulut,
mulutku
kering; yang lain mengering
di tubuhku
Aku mabuk dan
terpana
Aku telanjang di
dasar sungai
Aku telanjang di
pinggir sungai
Aku kedinginan
mendekap lutut
Aku menggigil
karena air ;
Yang kecoklatan
membawa butir-butir lumpur
yang mengalir
menerbangkan perahu
yang mengelilingi
kota kecilku
yang membuatku
larut di permukaan
yang menekanku
ketika menyelam
yang membuatku
terbatuk-batuk
yang menggiringku
ke hilir-hulu;
darat-laut;
timbul- tenggelam;
yang
menenggelamkanku ke dasar sungai
saat aku hampir
mati di waktu kecil
sebab kutukan
alis yang bertaut
Inilah
sajak-sajakku
kata-kata yang
mengambang
seperti
segerombolan ilung yang
hanyut dibawa
arus
segerombolan yang
menakutkan kami
di masa kecil
Yang menyimpan
trauma
akan buaya dan
hantu sungai
Kata-kata ini,
yang mengalir
bersama air
adalah yang
datang
dari ketakutan
dan harapan
dari kenangan dan
mimpi-mimpi
yang
terus-menerus memanggilmu
yang
terus-menerus mengalir
ke rumah-rumahmu
seperti ingin
berbisik:
” Jejakku tertinggal
bersama perahu
yang terus-menerus kau
kayuh ke ladang-ladang
ke mimpi-mimpi
tak berkesudahan ”
Gadis yang Ceria
tak tertahankan; ia pergi menjumpa
muara-muara, di
tengah sungai besar
seringkali ada
pusaran yang yang menukik
ke kedalaman
seakan hati
seseorang selalu singgah
di suatu tempat
yang menariknya
Serupa buaya
putih – buaya kuning
yang menggodamu
untuk singgah
pusaran air
menenggelamkanmu
dan engkau
kemudian bertanya
pada akalmu
” Adakah jalan
menuju cahaya ? ”
Seseorang
menjawabnya,
dan ia berbaring
di sampingmu
” Jangan kau bergantung
pada
batang pohon yang
larut bersamamu”
xxx
Aku menarik nafas
setengah hati
Suatu hari dalam
hidupku
aku berjumpa
dengan gadis yang ceria
di senyumnya yang
menggoda
kutemui keriangan
masa kecilku
hatiku serupa
ruang yang terbuka
ia masuk dan
mengisinya dengan panas
dengan gairah
kanak-kanak
Aku berempati
pada kemalangan
pada hidup yang
sepi
pada kesia-siaan
duniawi
pada sebatang
ranting yang jatuh
di pinggir
sungai, dibawa larut
dipukul
kecoklatan air yang meninggi
dibawa ke muara
kepedihan
dan
ketidakmenentuan hidup yang labil
Aku terpejam di
sana
Larut bersamamu
digiring ke
pusaran air
Tanganku yang
melambai ditarik
ke permukaan
Kulihat wajah istriku yang murung,
aku tertegun di pinggir sungai
Pusaran air mengirim gelombang
dan riak kecil ke hatiku..
Aku hanyut di
sini
diantara bayangan
yang serupa
Tambun raksaasa
menutup akalku
Aku bertanya
” Adakah jalan
menuju cahaya ? ”
Di hati manusia
ada api yang membeku
panasnya tak
cukup kuat menguapkan
gumpalan-gumpalan
yang menutupinya
Sebuah keriangan
dari tawa yang sepi
menguapkan
segalanya
Api kecil
menari-nari..
Mira, kusebut
namamu
serupa nama hotel
di seberang galeri
tempat tanah
terus meninggi
kacamata, senyum
ceria, dan
suara latah yang
dibuat-buat
seperti memanggil
keriangan kanak-
kanakku
Seorang polisi di
tengah malam
engkau ditilang
dan tawaran nakal
pengganti sanksi;
dan sebuah janji
engkau tertawa,
tapi ingat janjimu
yang
sewaktu-waktu bisa saja
kau tepati
Suatu malam
kuantar engkau
ke tempat teman-temanmu
aku menunggumu di
jalan
dengan tak sabar
”Aku mabok” smsmu padaku
Sampai sms itu
nyasar di suatu
malam, dan aku
tertidur
isteriku yang
membalasnya
Isteriku..
Aku tak tahu
kapan lagi
kita bertemu
Biarlah angin
yang menjatuhkan
daun itu menunggu
Menunggu di
pinggir sungai
memikirkan diri
yang fana
menelisik ke
dasar hati
dan bertanya
” Adakah jalan
menuju cahaya? ”
xxx
Adakah cinta
terbang
ke langit malam
bersama
cerita-cerita nisbi
Gagak-gagak
pulang ke sarang
suaranya menghantui
jiwa
Adakah cinta
terbang tinggi
terbang bersama
gagak
ke langit malam
Pada
gelombang
Pada riak
air : suaranya selembut
suara daun
dihembus angin
Pada
pengalaman yang berbusa
Aku
mengenang cinta
cinta yang
melebihi nama
Perasaan
manusiawi
Yang terbang
bersama angin bersama
awan, terbang ke
langit malam
…
Pernah ku tanya
padamu
apa itu cinta
entahlah, katamu
dan kau pergi
meninggalkan mimpi
Pada
bayang-bayang
kutemui diriku
sendiri
Lukisan Bangku Indah di Taman
Sebuah bangku
berwarna merah
di taman yang
hijau
dan pohon-pohon yang ganjil
Di sana pernah
aku duduk
menunggumu
datang bersama
bintang dan pelangi
di sore yang
jingga
Sesobek kanvas
itu
penuh dengan
tumpukan cat
dengan teknik
impasto yang keras
Aku dan Kamu
dan orang-orang
yang bermimpi
tentang surga
berwarna Biru Cobalt
terang: dan
pigura pecah, dan
periode biru dari tangan Picasso
Aku tetap
menunggu,
meski sekarang
dengan
pakaian yang
lebih necis
berwarna Merah
Jambu
Aku tahu kau
pasti datang
di suatu waktu
dengan
sekeranjang cat Winton
dari Inggris
Orang-orang yang
berjalan
Langit kelabu
Hijau viridian
yang kau sapukan
kini telah
apak baunya
tak lagi sesegar
dulu;
tapi masih lebih
hijau
dari pohon yang
daunnya layu
Sebuah lukisan
Bangku Indah di
Taman
Merah warnanya
semerah hatiku
yang tetap
menungu
Tapi hujan datang
seperti duri-duri
pada kulit
salak yang kau
hadiahkan
padaku waktu
hujan
sebelum ini
Aku masih
menunggu,
di bangku merah
di taman di
pinggir kota
sebelum
pantai yang abadi
seperti
legenda itu :
Aku ingin
penantian ini
menjadi
lukisan yang indah
sebuah
bangku indah ditaman
Sepeda
pancal yang bermerek Gazelle
kusandarkan
di pokok kering
Kalau suatu
hari kau lewat
mungkin kau
akan ingat;
aku masih
menunggu,
meski di
dalam hati
”..bunga-bunga
abadi
merah, kuning,
dan biru
yang menjelma
seribu”
Epilog
Di siang hari
yang indah
Ketika matahari
naik ke
puncaknya,
saat mobil dan
motor
melaju kencang
aku pulang ke
rumah ayahku
Selalu ada kesunyian
di sana
di petak tanah
gambut
dengan rawa-rawa
Hari ini, pada
deru motor
serupa Angin
Limbubu
kulihat wajah
kota berair mata
mengalir
membasahi
rasa haus kita
akan
barang-barang
yang kemudian
memojokkan kita
Aku menoleh ke
Barat
matahari bersinar lebih
terang
dan Limbubu yang
menderu
menerbangkan kita
bersama penantian
dan
hutang-hutang
xxx
Di kepala ada
banyak sekali
kenangan yang
menunggu
ada pula mimpi
dan hutang-hutang;
Maka kusandarkan
semuanya
pada kenangan dan
pertanyaan :
“ Sudahkah Kau
mampir
ke rumahku? “
Adakah hidup yang
sesaat
memberi jejak
yang abadi
Pernahkah Kau
lihat
bangku merah di
tamanku;
Ada Warna Jingga
di sobekan
kayunya yang
tipis
Pernahkah Kau
lihat awan
berwarna Hijau di
langit Merah
Dan sungai-sungai
yang
mengaliri kotaku;
Benarkah Tambun
yang
meruntuhkan
jembatan itu
Adakah mimpi yang
meninggalkan
jejaknya di air,
serupa jukung
kecilku
di siang ini
Entahlah kawan,
aku pun ragu!
Pada sajak-sajak
ini
Aku berharap
jawab
darimu
Tentang Hajriansyah
Lahir Banjarmasin,
10 Oktober 1979. Bos Tahura Media dan pengusaha advertising. Pernah sekolah di
Pondok Pesantren Darul Hijrah, pernah kuliah di MSD (Modern School of Design) Yogyakarta dan ISI Yogyakarta dengan minat
seni lukis. Mendapat hadiah Seni dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 2011 di
bidang seni rupa. Kumpulan cerpennya Angin
Besar Menggerus Ladang-Ladang Kami (2009). Kumpulan puisinya selain Jejak Air (2007) adalah Jejak-Jejak Angin (2006, bersama saya)
dan 79 Puisi Hajri (2010). Konon
sedang menyiapkan novel juga, pengembangan dari cerita bersambung yang pernah
terbit di koran Media Kalimantan. Tapi entahlah.
Catatan
Lain
Buku ini saya dapatkan sekitar pertengahan 2011, di
gudang Tahura Media, sekalian mau ngambil kumpulan puisi saya Buku Harian Pejalan Tidur. Meski telah
lama terbit, tak punya saya bukunya itu, meski softcopynya telah saya miliki
dan tersimpan baik di komputer saya. Jejak
Air cuma berisi sebelas puisi, tapi panjangnya audzubillah, setidaknya bagi
saya yang penyuka dan pembuat puisi-puisi pendek. Di cover belakang ada
tempelan harga dengan barcode, senilai Rp. 20.500,-. Di bawahnya, tempelan
kertas biasa dengan harga cuma Rp. 7.500,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar