Data buku kumpulan puisi
Judul : Buli-buli Lima Kaki
Penulis : Nirwan Dewanto
Cetakan :
I, November 2010
Penerbit :
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal :
168 halaman (55 judul puisi)
ISBN :
978-979-22-6443-2
Gambar sampul : karya instalasi Joko Dwi
Avianto, Gajah, bahan bambu apus,
di
Festival Salihara 2010
Beberapa pilihan puisi Nirwan Dewanto dalam Buli-buli Lima Kaki
Apel
dan Roti
Di balik dua butir
apel selalu ada sekeping matahari
Hijau, sehingga
pisaumu tentu akan tersipu malu
Menatap merah yang
selalu padam itu.
Di antara dua
potong roti selalu ada selapis jantung
Kuning, sehingga
lidahmu pasti akan berhenti
Sebelum mencapai
putih yang menyala itu.
Di antara hijau dan
kuning selalu ada ekor rubah
Abu-abu, yang empunya
hanya mampu bertahan
Di balik gaunmu,
sebelum menerkam sajakku.
Di antara perutmu
dan piring yang termangu, lapar
Bisa juga bernama
bianglala, yang segera berakhir
Ketika aku
menumpahkan sajakku ke mejamu.
Sungguh lapar dan
birahi tak akan terlihat oleh mata
Yang tersembunyi
dalam sajakku yang terlalu lama
Tersimpan dalam
lemari es di sudut dapurmu
Di luas meja yang
telanjur basah oleh umpama itu
Terkecoh oleh si
matahari dan si jantung, rubahmu
Makan hitam berulam
mata. Mataku barangkali.
(2009)
Lazar
Jangan renggut
kematian dariku,
Aku tengah berusaha
memilikinya.
Tolong tutup lagi
pintu mausoleum ini,
Sebab terang di
luar sana hanya milikmu.
Pasti kudengar
langkah kakimu ke mari.
(Kau belum pernah
melayatku, bukan?)
Namun jika aku
mampu bangkit bahkan
Dalam kafan yang
mulai terasa sejuk ini,
Yeshua, bukanlah
aku juru selamatmu.
(2010)
Tulisan pada Nisan
Kuucapkan
selamat tinggal kepadanya,
Meski
aku tetap terjatuh ke haribaannya.
Kukenakan
pakaian panjang putih. Supaya ia
Leluasa
menodaiku. Mungkin menghitamkanku.
Masih
ada bercak darah kubawa, ternyata.
Ia
berkata seseorang menembakku di Gaza.
Ia
bertanya kenapa aku bergegas ke mari.
Kujawab
tidak. Sudah kulupakan matahari,
Sebab
terang bukan milikku dan percayalah
Namaku
telanjur terpahat di batu gamping ini.
Ia
bumi, bukan? Aku belajar mencintainya
Ketika
kalian berebut wajahnya nun di atasku.
(2010)
Setiap
tengah malam
Setiap tengah
malam, bunyi serunai kereta api pengangkut batubara
Mendesak gendang
telinganya. Tengah malam ketika ia merasa mesti
Menginum
segelas susu, sebelum menyelamatkan ke dalam mimpinya—
Menyelamatkan,
misalnya, warna merah pangkal sayap burunghitam
Atau
ceceran darah rakun yang mati terlindas sia-sia di jalan raya –
Sudah tiga musim
begini, dan ia tetap saja tak mampu memastikan
Rangkaian gerbong
terbuka yang merayap sopan itu melewati depan
Ataukah belakang
rumahnya. Dan ia berharap si masinis selalu belia.
(2009)
Kuintet
Namaku piano, dan
bebilahku lelah oleh jemarimu.
Namaku klarinet,
dan mulutku mencurigai mulutmu.
Aku teramat haus,
tapi telingamu hanya menatapku.
Baiklah, di bawah
sorot lampu akan kupuja sepatumu.
Di depan kita,
mereka yang hanya membawa bola mata
Mengira kita
pasangan yang serasi meninggi menari.
Tapi namaku
biolin, dan betapa dawaiku sudah beruban.
Dan kau masih
hijau, masih menghapal khazanah lagu.
Mereka bertepuk
tangan ketika terhunus pisau tiba-tiba
Dari balik
lambungku, siap menyadap madu di lehermu.
Ternyata namaku
kontrabas, dan aku jirih pada pujian.
Mereka memacuku
ke puncak penuh karangan kembang.
Maka namaku masih
marimba, dan kuseret kau ke danau.
Di mana si
komponis buta rajin mencuci telinga mereka.
(2009)
Jalan
ke Vignole
Berjam-jam
(tidak, barangkali juga berabad-abad)
Aku dan kaum
jemaat itu sabar menunggu di Giudecca
Si tukang perahu
yang akan mendamparkan kami
Ke sebuah pulau
yang dilahirkan matahari
Pastilah ia akan
benar-benar serupa
Dengan si
pemberontak yang dihukum mati
Di Golgotha,
ketika umurnya baru 33. (Tetapi
Ia bangkit pada
hari ketiga.) ”Tak ada
Pendayung ulung
serupa itu di sini,”
Kata seorang
lelaki berkuda, angkuh
Dan beku dalam
baju zirahnya
Berabad-abad,
seakan pasukan Turki
Akan selalu
menyerbu ke mari. Dan jawabku:
“Colleoni,
kamilah para penyerbu terkini
Tapi kami tak
membunuh pulau-pulaumu.”
Ya, aku telah
membinasakan barisan mobil
Pakaian seragam,
jalanan aspal, kitiran besi.
Kepalaku penuh
abu, embun dan maut
Ketika aku
terbangun di bawah pohon palma
Di dunia yang
baru saja ditorehkan Carpaccio:
aku pun bangkit
bersama iringan jemaat berjubah
(Yang baru saja
menguburkan Santo Jarome)
Merayap di
lelurung berbau kemih anjing
Muntah di teras
lapang aneka basilika
Dengan tubuh
hijau lebam kami rubuh lagi
Di antara
meja-kursi di Paizza San Marco
Dan seekor singa
bersayap menggeram:
”Pergilah kalian
para pemabuk jahanam,
Bertobatlah hanya
sebelum tiba malam.”
Maka terdamparlah
kami di muara amis itu:
“Persetan dengan
si tukang perahu!”
Tapi sebuah
perahu besar tiba-tiba
Merenggutkan kami
dari kabut muram lena.
Melewati
pekuburan yang dilindungi ombak
Kami terhadang
hantu Pound dan Stravinsky
Padahal sudah
lama kami membenci musik dan puisi
Yang pasti bukan
bagian dari penyelamatan kami
Yang cuma hiburan
jika kami sampai di neraka nanti.
Musim semi
menggosok tangan kami
Yang perlahan
terlihat seperti sayap
Tidak, sungguh
kami tak ingin terbang,
Kami tak pernah
bersekutu dengan Gabriel,
Kami suka
mengukur laut dengan jengkalan.
”Pesiarkah, atau
pembuangankah ini?”
Tanya dua belas
orang di antara kami
Yang tiba-tiba
mirip serdadu Roma, seraya
Mengeluarkan palu
dan paku dari saku
Kami akan segera
sampai di pulau matahari itu
Untuk menghajar
berpiring ikan mentah
Dengan baluran
minyak zaitun dan cuka
Dengan roti
gandum coklat dan anggur merah tua.
Kemudian di
anatra rerumpun asparaga
Kami akan memilih
perawan paling murni
Untuk
berlama-lama mendoakan kami
Agar kami segera
menemukan pemberontak itu
Yang kukira
menyamar sebagai si tukang perahu.
Padahal ia
bekerja sebagai koki di restoran tujuan kami:
Pastilah ia
tengah melubangi kedua telapak tangannya
Dan
mengucurkan darahnya ke hidangan siang kami.
(1994)
Tentang Nirwan Dewanto
Menjalani masa
kanak dan remaja di Banyuwangi dan Jember (jawa Timur), merampungkan pendidikan
terakhir di Bandung dan kini bermukim di Jakarta. Selain penulis puisi dan
esai, ia juga editor sastra dan kurator seni. Bukunya, Senjakala Kebudayaan (esai, 1994) dan Jantung Lebah Ratu (puisi, 2008) yang beroleh Hadiah Sastra
Khatulistiwa.
Catatan Lain
Ini buku saya beli
di Gramedia Duta Mall pada hari Minggu, 12 Juni 2011, dengan harga yang
tanggung, Rp. 49.500,- Bersama buku Dian Hartati, Kalender Lunar dan buku Rendra, Blues
untuk Bonnie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar