Data buku kumpulan puisi
Judul: Pendulang, Hutan Pinus, dan Hujan
Penulis : Ahmad Fahrawi dan M. Rifani
Djamhari
Cetakan :
I, April 2011
Penerbit :
Framepublishing, Yogyakarta
Tebal :
xx + 76 halaman (masing-masing penyair 20 judul puisi)
ISBN :
978-979-16848-5-5
Disain Sampul :
Nur Wahida Idris
Gambar sampul : Abu Bakar
Desain isi :
Indrian Koto
Editor :
Ali Syamsudin Arsi
Prolog :
Maman S. Tawie
Epilog :
Raudal Tanjung Banua
Beberapa pilihan puisi Ahmad Fahrawi dalam Pendulang,
Hutan Pinus, dan Hujan
Perjalanan tak Selamanya Jarak
perjalanan tak selamanya jarak
yang ditempuh, dari laut ke pantai
dari hulu ke muara
perjalanan adalah gerak
yang diam, dari tiada ke ada
dari rahim ke sukma
perjalanan tak selamanya jarak
tahun-tahun panjang yang membagi musim
yang merentang kejujuran, yang niscaya
perjalanan adalah perantauan, yang menjala
jejak tak berjejak, yang niskala
tak suara menyiul tanda, sampaikah tujuan
tak gerak mengumbar makna, genapkah harapan
perjalanan adalah sungai ruh tak berjarak
mengalir, ke rumah Kau yang teduhkan, bakal
berlabuh
1985
Kelelatu yang
Melayang-Layang dan Hinggap di Pohon Jambu
Kepada TET
aku bisa mengatakannya apa saja
ia adalah kabar kemarau panjang bakal datang
ia adalah kabar rindu dan padang yang terbakar
ia adalah kabar petani-petani perkasa sedang
membuka ladang
ia adalah kabar perjuangan di bumi keras
kehidupan
ia adalah apa saja sepanjang aku bisa berkata
kelelatu lain melayang-layang dan hinggap di
atap rumahku
bisa saja ia membawa api dan menyulut bencana
sekarang ia adalah nasib yang terdampar
1982
(TET : Tarman Effendi Tarsyad? *admin)
Sungai Masa Lalu
sungai masa lalu, di tubuhnya melintang
jembatan bambu
sungai belakang rumahku, lubuk dalam misteri
bisu
sungai kota kecil, lanting permandian pohon
lua di tepian
dari hulu perahu-perahu dikayuh, jala dilabuh
dari hulu biji-biji para larut, bocah-bocah
berebut
dari hulu berbugil mengikuti alir
keriangan menghilir
sungai masa lalu
sungai rindu
bocah melempar batu ke lubuk dalam
riaknya yang terbayang adalah kenang
sungai masa lalu, parit keruh masa kini
perahu-perahu kehilangan tambatan
ikan-ikan kehilangan lubuk
bocah-bocah kehilangan rebutan
mampatnya air di hulu, longsornya tanah-tanah
tepian
sungai kota kecil menghiliri kemajuan
Martapura, 1982
Suatu Malam di Pantai
bagai sosok puisi yang hilang
ketika kutemu jejak-jejak basah ketam di pasir
ombak menerpa jejak-jejak terbawa
ada yang kurasakan tapi aku tinggal termangu
bagai sebaris puisi yang datang
ketika kutampak kerdip lampu jauh di laut
perahu nelayan yang bersendiri menembus jelaga
ngilu angin berdesir, lirih ombak berdebur
sesuatu menyusup ke dadaku
geletar kehidupan yang tegar
bulan mengungkung ruang langit
menyepuh pantai dan kehitaman laut
bayang-bayang daun nyiur menari
denting gitar semayup
lalu sadarlah aku bersendiri merangkul sunyi
dan aku pun dikungkung rindu
Martapura, 1981
Orang-orang Pendulang
Dipukau kilau batu berangkatlah orang-orang
pendulang
Nun ke galau pedalaman ke pendulangan yang
memendam
rahasia batu
Berangkat dengan kepastian mimpi menuju
keserbamungkinanMU
adakah kilau batu akan tergenggam tangan
mereka
adakah keserbamungkinanMu akan merebut mimpi
mereka
Orang-orang pendulanglah yang membatukan tabu
demi tabu
karena kilau batu adalah milik para datu
jika murka datu, batu pun akan kehilangan
kilau
dan tanpa kilau makna batu akan kembali ke
batu
Dipukau kilau batu orang-orang pendulang
menggali lubang
demi lubang
melimbang, dulang demi dulang
sesuntuk hari demi hari sesuntuk musim demi
musim
Tak hendak pulang, walau tak semua dulang
melimbang batu
walau tak sebutir batu mengandung kilau
karena di lekuk bumi masih terpendam rahasia
batu
karena di lekuk langit masih terpendam
keserbamungkinanMu
(Musim pun sempurna memuara
menduyunkan orang-orang pendulang menuju
kampung pulang
walau tak lagi berkabar, yang tinggal selalu
menunggu kabar
karena mereka yang pulang telah menggenggam
rahasia batu
telah menempuh pedalaman saung-saung rahasia
LuhMu)
Martapura, 1987
Beberapa pilihan puisi M. Rifani Djamhari dalam Pendulang,
Hutan Pinus, dan Hujan
Sajak Jambon buat Dik Ami, II
bulan dan sungai, lalang dikuaknya, dan kota
makin
jauh, dengar! Kericik air, jeram tempat mandi
peri
putih dan jernih, pualam cina, hitam rambutnya
bagai malam di desa, ia berdiri di tepi danau
mencoba mengukur tinggi bulan dengan
sepi, tak ada hantu di sini, tak ada
asap di lembah itu, ia mencoba
berteriak, dan suaranya
kembali ke kupingnya
sendiri
oleh tebing dan lumut gunung
bunga-bunga putih-ungu
mekar di dahan hutan
1982
Poscard
di sudut runtuhan
gadis kecil
menidurkan bonekanya
di latar belakang
kota
terkoyak
langit
terbakar
1993-1996
Senja di Hutan Pinus
masih dapatkah kau lihat jarak-waktu
sementara matahari pelan-pelan meninggalkanmu
masih dapatkah kauikuti jalan setapak itu
sedangkan angin memenggal daun-daun ungu
masih sempatkah kaunyalakan lentera
menerangi jalanku menuju rumahmu
-- ketika kita sepakat malam
telah sempurna
1980-2004
Minggu Raya III
Lagu keroncong dan lampu petromaks menyala
pucat
sampai pagi
dan sopir truk dengan handuk di leher itu
merayuku pula, Mama
“Irus manis, siapa pacar ikam?”
“Kada baisi, kadada nang handak pang!”
(mama, dapatkah ia mengerti, setiap lelaki
yang mampir di warungku, adalah pacarku?!)
Pemuda itu diam saja, mama. Gelas kopi dan
kepul
asap rokok tak henti. Giginya coklat, jaket
hitam mengkilat. Dan sorot matanya tajam
menghujam
“Indonesia sudah punya dua pilot wanita
Irus, kau pewaris Kartini, kan?!
Habis gelap terbitlah terang.”
“Ya, habis gelap terbitlah terang.”
(mama, dapatkah ia menangkap sendu wajahku?)
Lagu keroncong dan lampu petromaks menyala
pucat
sampai pagi
Banjarbaru, 1982
Membayangkan Sebuah Kota
berilah kami sebuah plaza
bangku-bangku dan pohon palma
sebuah jalan raya setiap hari minggu
biarlah diliburkan
sehingga anak-anak kami leluasa
bermain dan berlari
di sana, para remaja kami
dapat mementaskan
kesenian mereka
di taman kota, setiap sore
biarlah kami leluasa
mendorong kereta bayi
ngobrol dan berkencan
-- berbekal sebungkus kacang
dan sebuah novel baru
di kota kami sebaiknya ada kafe
tempat penyair berdebat
membaca puisi dan memperbaharui janji
untuk kemanusiaan
tempat para cendekiawan kami
membulatkan tekad
untuk tidak khianat
-- untuk tidak sama sekali berkhianat
adalah lebih baik, bila penyair
disertakan jadi anggota
dewan kota
agar rencana dan pembangunan kota
tetap manusiawi dan berbudaya
di perpustakaan kota kami
yang buka 24 jam
orang-orang ditumbuhkan minatnya
untuk membaca dan meneliti
untuk menjadi diri sendiri
bukan dicurigai sebagai pencuri
ah, biarlah pengamen tua itu
-- seperti kemarin
bernyanyi dan bermain biola
di bawah monumen pahlawan kota
berilah kami
hanya sebuah kota
yang mampu kami cintai
sebab kota itu
adalah kami sendiri
Banjarbaru, 1990-1992
Tentang Ahmad Fahrawi
Ahmad Fahrawi lahir
di Kandangan, 22 November 1954. Pendidikan SMAN di Barabai. Mukim di Martapura,
bekerja sebagai PNS di Balai Informasi Pertanian (BIP) Banjarbaru yang lantas
mengundurkan diri atas permohonan sendiri karena sakit. Menulis sejak 1975.
Antologi puisinya Jala yang Ditebar
(Sanggar Marta Intan, Martapura, 1981) dan Aku
Mencari Kata dalam Sajak (HPMB, 1982). Antologi puisi bersama yang memuat
puisinya Puisi ASEAN (sanggar seniman
muda Bali, Denpasar, 1986), Puisi Indonesia
87 (DKJ, TIM, 1987), Selagi Ombak
Mengejar Pantai (Yayasan Kemudi, Selangor, Malaysia, 1989), Festival Puisi XII (PPIA Surabaya, 1990)
dan beberapa antologi bersama yang terbit di Kalsel. Nama pena yang pernah
digunakan Era Novie M. Meninggal di Banjarmasin, 5 Juni 1990.
Tentang M. Rifani Djamhari
M. Rifani Djamhari lahir
di desa Margasari (Tapin) 8 Juli 1959, alumni Jurusan Tanah F. Pertanian,
Universitas Lambung Mangkurat. Pernah bekerja Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
Unlam sebagai pengajar, peneliti, analis AMDAL. Karya kreatifnya pernah dimuat
di Horison, Hai, Topik dan Pelita, selain dimuat di media lokal Kalsel. Ia
menjadi peserta Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru tahun 2005. Meninggal
dunia di Banjarmasin, 20 Maret 2009.
Catatan Lain
Buku ini saya dapat
sewaktu peluncurannya di TOSI (Taman Olah Sastra Indonesia) Banjarbaru milik
penyair Ali Syamsudin Arsy. Mohon maaf, lupa saya kapan acaranya berlangsung,
yang jelas masih dalam tahun 2011. Di bukunya pun tak saya beri catatan sebagaimana
saya biasa lakukan. Yang jelas, hari itu saya dapat harga khusus, beli Rp.
50.000,- dapat tiga buku. Normalnya satu buku itu Rp. 25.000,-. Saya beli 2
buku Pendulang, Hutan Pinus dan Hujan
karena satu lagi titipan Hajriansyah yang hari itu berhalangan hadir. Sebuah
buku lagi adalah gumam Asa, Bungkam Mata
Gergaji. Berhadir dalam acara itu, selain ahli waris kedua almarhum, adalah
Arsyad Indradi, Hamami Adaby, Sandi Firly, Jamal T. Suryanata, Arifin Noor
Hasby, HE. Benyamine, Elang W. Kusuma, Tajuddin Noor Ganie, Ibramsyah Barbary,
Bunda Belqis, ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar