Data buku kumpulan puisi
Judul : Wekwekwek: Sajak-sajak Bumilangit
Penulis : K.H. A. Mustofa Bisri
Cetakan :
I, 1996
Penerbit :
Risalah Gusti, Surabaya
Tebal :
xiv + 76 halaman (31 judul puisi)
ISBN :
979-556-103-0
Disain Sampul :
Amir Kiah
Beberapa pilihan puisi K.H. A. Mustofa Bisri
dalam Wekwekwek
Sajak
Cinta
cintaku
kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta
romeo kepada juliet, si majnun qais kepada laila
belum
apa-apa
temu-pisah
kita lebih bermakna
dibanding
temu-pisah yusuf dan zulaikha
rindu-dendam
kita melebihi rindu dendam adam hawa
aku
adalah ombak samuderamu
yang
lari-datang bagimu
hujan
yang berkilat dan berguruh mendungmu
aku
adalah wangi bungamu
luka
berdarah-darah durimu
semilir
sampai badai anginmu
aku
adalah kicau burungmu
kabut
puncak gunungmu
tuah
tenungmu
aku
adalah titik-titik hurufmu
huruf-huruf
katamu
kata-kata
maknamu
aku
adalah sinar silau panas
dan
bayang-bayang hangat mentarimu
bumi
pasrah langitmu
aku
adalah jasad ruhmu
fayakun
kunmu
aku
adalah a-k-u
k-a-u
mu
Rembang, 30.9.1995
Negeriku
Negeriku telah menguning
1415
Dalam
Tahiat
dalam
tahiat
kulihat
wajahmu berkelebat
ke mana
gerangan kau berangkat?
berhentilah
sesaat
beri
aku kesempatan munajat
atau
sekedar menatap isyarat
sebelum
nafsuku menghentikan salat
1415
Doa
Rasulullah SAW
Ya
Allah ya Tuhanku
AmpunanMu
lebih kuharapkan
daripada
amalku
rahmatMu
lebih luas
daripada
dosaku
Ya
Allah ya Tuhanku
Bila
aku tak pantas
mencapai
rahmatMu
RahmatMu
pantas mencapaiku
Karena
rahmatMu mencapai apa saja
Dan aku
termasuk apa saja
Ya
Arhamarrahimun!
1415
Rasanya Baru Kemarin
(Versi V)
Rasanya
Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari mulut-mulut para jurkam PDI saja. Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan yang
mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka
berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya
Tokoh-tokoh angkatan 45 sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan 66 sudah banyak yang
terbenam
Rasanya
Baru kemarin
Letkol Suharto sudah menjadi
Sesepuh negara-negara sahabat
Wartawan Harmoko sudah menjadi
Pengatur suara rakyat
Waperdam Subandrio sudah hidup kembali
Menjadi pelajaran bagi setiap penguasa
Engkoh Eddy Tanzil sudah tak berkolusi lagi
Menjadi renungan bagi setiap pengusaha
Ibu Dewi sudah kembali
Menjadi penglipur
Buldozer Amir Mahmud kini
Sudah tergusur
Oom Liem dan kawan-kawan
Sudah menjadi dewa-dewa kemakmuran
Bang Zainuddin dan rekan-rekan
Sudah menjadi hiburan
Pak Domo yang mengerikan
Sudah berubah menggelikan
Bang Ali yang menentukan
Sudah berubah mengasihankan
Genduk Megawati yang gemulai
Sudah menjadi pemimpin partai
Ismail Hasan Metarium yang santai
Sudah menjadi politisi piawai
Gusti Mangkubumi di Yogya
Sudah menjadi raja dan ketua golongan karya
Gus Shohib yang sepuluh anaknya
Sudah menjadi pahlawan keluarga berencana
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaimana rasanya
Merdeka?)
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita
Merdeka
Jenderal Nasution dan Jenderal Yusuf yang
pernah jaya
Sudah menjadi tuna karya
Ali Murtopo dan Sudjono Humardani yang sakti
Sudah lama mati
Pak Umar dan pak Darmono yang berdaulat
Sudah kembali menjadi rakyat
Pak Mitro dan pak Beni yang perkasa
Sudah tak lagi punya kuasa
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita
Merdeka
Kiai Ali dan Gus Yusuf yang agamawan
Sudah menjadi priyayi
Danarto dan Umar Kayam yang seniman
Sudah menjadi kiai
Gus Dur dan Cak Nur yang pintar
Sudah berkali-kali mengganti kacamata
Rendra dan Emha yang nakal
Sudah berkali-kali mengganti cerita
Goenawan sudah terpojok kesepian
Arief Budiman sudah berdemonstrasi sendirian
Romo Mangun sudah terbakar habis rambutnya
Tardji sudah menjalar-jalar janggutnya
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian
Benar-benar merdeka?)
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya
Negara sudah semakin kuat
Rakyat sudah semakin terdaulat
Rasanya
Baru kemarin
Pejuang Marsinah sudah berkali-kali
Kuburnya digali tanpa perkaranya terbongkar
Preman-preman sejati sudah berkali-kali
Diselidiki dan berkas-berkasnya selalu
terbakar
Rasanya
Baru kemarin
Banyak orang pandai sudah semakin linglung
Banyak orang bodoh sudah semakin bingung
Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan
Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan
Rasanya
Baru kemarin
Banyak ulama sudah semakin dekat kepada
pejabat
Banyak pejabat sudah semakin erat dengan
konglomerat
Banyak wakil rakyat sudah semakin jauh dari
umat
Banyak nurani dan akal budi sudah semakin
sekarat
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian benar-benar merdeka?)
Rasanya
Baru kemarin
Pembangunan ekonomi kita sudah sedemikian laju
Semakin jauh meninggalkan pembangunan akhlak
yang tak kunjung maju
Anak-anak kita sudah semakin mekar tubuhnya
Bapak-bapak kita sudah semakin besar perutnya
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita merdeka
Kemajuan sudah menyeret dan mengurai
Pelukan kasih banyak ibu-bapa
Dari anak-anak kandung mereka
Kemakmuran duniawi sudah menutup mata
Banyak saudara terhadap saudaranya
Daging sudah lebih tinggi harganya
Dibanding ruh dan jiwa
Tanda gambar sudah lebih besar pengaruhnya
Dari bendera merah putih dan lambang garuda
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita merdeka
Pahlawan-pahlawan idola bangsa
Seperti Pangeran Diponegoro
Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja
Sudah dikalahkan oleh Kesatria Baja
Hitam dan Kura-kura Ninja
Rasanya
Baru kemarin
Orangtuaku sudah pergi bertapa
Anak-anakku sudah pergi berkelana
Kakakku sudah menjadi politikus
Aku sendiri sudah menjadi tikus
(Hari ini setelah setengah abad merdeka
Ingin rasanya aku mengajak kembali
Mereka semua yang kucinta
Mensyukuri lebih dalam lagi
Rahmat kemerdekaan ini
Dengan meretas belenggu tirani
Diri sendiri
Bagi merahmati sesama)
Rasanya
Baru kemarin
Ternyata
Sudah setengah abad kita
Merdeka
(Ingin rasanya
Aku sekali lagi menguak angkasa
Dengan pekik yang lebih perkasa:
Merdeka!)
11 Agustus 1995
Tentang K.H. A. Mustofa
Bisri
K.H. A. Mustofa
Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus, lahir 10 Agustus 1944, putra dari KH. Bisri
Mustofa, ulama dari Rembang. Masa kecil dan remaja dihabiskan di lingkungan
pesantren. Tercatat pernah nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren
Krapyak Yogyakarta dan Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang, kemudian
melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo. Saat ini, beliau menjadi
pengasuh di Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang. Karya tulisnya banyak
tersebar di media massa dan dibukukan, mengupas masalah keislaman, politik,
sosial, budaya. Gus Mus telah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi, antara
lain: (1). Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem,
(2). Tadarus, Antologi Puisi, (3). Mutiara-mutiara Benjol, (4). Pahlawan dan Tikus, (5). Syair Asma’ul Husna (bahasa Jawa), (6). Rubaiyat Angin dan Rumput.
Catatan
Lain
Buku ini sebenarnya
bukan punya saya, tergeletak di rak Hajri di kantornya di Tahura Advertising Banjarmasin.
Saya pinjam saja. Di bagian belakang buku stempel harganya masih utuh. Gramedia
Banjarmasin dengan harga Rp.4.050,-
puisi-puisi Mbah Mus ini memang renyah bagiku. meskipun tak faham sangat.
BalasHapusterimakasih :)
Tak apa tak paham, kadang yang nulis puisi juga ada yang tak paham dengan puisinya sendiri. Hehe. Salam. Mksh dah berkunjung.
BalasHapusmantapppppp
BalasHapusBukunya bs beli dmn ya?
BalasHapus