Minggu, 16 Juli 2023

Ahmad Yulden Erwin: CINTA IKARUS



 Judul buku: Cinta Ikarus (Kumpulan Puisi 1987-2018)
Penulis: Ahmad Yulden Erwin
Penerbit: Lampung Literature
Cetakan: Pertama, Maret 2020
Tebal: x + 90 halaman (44 puisi)
Tata Letak dan desain sampul: Devin Nodestyo
Penyunting bahasa: Yulizar Fadli Lubay
ISBN: 978-602-51988-8-5
 
Sepilihan puisi Ahmad Yulden Erwin dalam Cinta Ikarus
  
MENJELANG SANQU HUJAN
 
Engkau cahaya bagi hujan
Di antara bekas luka
Dunia tercipta sejauh pikiran
 
Awan mendung di balik matamu
Kilat pagi di telapak tanganku
Engkau masih menatap mataku
 
Pagi tidak berada dalam ruang hampa
Kami tengah menyusun ruang hampa
Engkau seolah mendung bagi pelupukku
 
Sayap kupu-kupu tersusun dari luka hujan
Tawa hujan debu hujan ruang hujan
Kami sedang bermain kupu-kupu hujan
 
Seseorang kembali tersedu dalam hujan
Di sini seseorang masih tersedu dalam hujan
 
 
BIOGRAFI DI LUAR HALAMAN
 
*
Angin merah delima
Langit di luar kata
 
*
Aku makin takut memasuki kehidupan
Elang hitam terbang melintasi halaman
 
*
Kusaksikan awan-awan putih bergerak perlahan
Kusaksikan suka dan duka bergerak bergantian
 
*
Kini kusadari aku bukanlah kata
Bunga ilalang mekar di luar bahasa
 
*
Aku tersenyum, aku makin sakit dalam tersenyum
Alangkah ranum buah mangga itu, alangkah ranum
 
*
Pergi, pergi, pergi sejauh-jauhnya
Yang kutemui, tetap pintu yang sama
 
*
Di langit senja, mendung bergerak perlahan
Di langit senja, mataku bergerak perlahan
 
*
Waktu terus mengalir di luar kehendakku
Angin berhembus semilir menyentuh keningku
 
*
Jalan setapak berumput, di sini
Kutemukan maut, hidup, dan sunyi
 
*
Kutulis puisi, kutulis pedih dan kedamaian
Daun-daun sunyi terus tumbuh dan berguguran
 
 
Melankoli Hagi
 
Dingin kembali membuka jendela kamarmu, pagi mulai
Transparan, sebelum cemas menyeka ujung sepatu dan
Bersiap melepas dua belas anak tangga, rintik cahaya
 
Mulai terjaga, dinding benderang menangkap kerisik
Dedaun bambu; di luar kamar solipsis menutup pintu,
 
Dingin telah menunggu, ketika langit turun ke jendela
Kamarmu, sebelum sepi bermain dengan ekor cicik
Lompat ke cawan retak, korden jendela, cermin pecah
 
Mata pena mencatat bait-bait sajak paling dingin,
Segelas kopi hitam tak sempat diaduk, ujung tumitmu
Bersayap, langit berkepak ke jantung kata, seperti hidup,
 
Seperti maut di bibir jendela, seseorang kini menelepon
Dan mendengar gema suaranya mulai sedikit sepon,
Hanyut ke lekuk dagu – dua arus sungai yang bertemu.
 
 
                   Cawan-Api Kaneshige
 
                             Andai cinta pertama memang
                              ada, mungkin sabda pertama
                                       akan menyebutnya,
                                                ‘Cawan!’
                            Ketika erupsi pertama terlepas
                              dari lingga di puncak Kailash
                             indung pertama telah tercipta
                            bersama aliran magma. Ketika
                            salju tiba tubuh kelam itu akan
                             menjelma sekeras batu, tentu,
                            ia akan sabar menunggu lelaki
                            pertama lahir dari rahim beku.
                            Andai cinta pertama memang
                            ada, maka dua insan pertama
                                         tak akan pernah
                                                bertemu
                                       di puncak bukit itu,
                                               melainkan
                                           dalam kaldera
                                         di cawan apimu.
 
 
Cinta Ikarus
 
1
Dalam rindu ini biarkan neraka perlahan membiru,
lalu lamur dan hancur berganti ranum delima bibirmu,
biarkan surga sulfur itu gugur menjelma butiran embun
 
di belantara mimpiku, betapa kubenci bentang jarak ini,
betapa letih napas merindukanmu, telaga yang tenang
atau gugus awanku, hanya dalam kebeningan matamu
 
seluruh kegelapan kini menyala, kau tahu, Kekasihku,
seluruh rasa sakit ini merentangkan kedua sayapku,
sebab di sini kaulah lengkung langit dan galaksiku.
 
2
Telah kubaca laut dalam kedua bola matamu, pada kurva
senyummu kupandang ombak berulang menderu, dan cahaya
senja itu tak lain mimpiku, yang tak henti menyebut namamu.
 
Saat kusentuh bibirmu seluruh rahasia hidup pun luruh
menjelma butiran hujan, maka segala duka kita pun runtuh
tumbuh menjelma pepohonan cahaya di tepi hutan puisiku.
 
Kekasih, andai kematian tiba lebih dulu memetik napasku,
izinkan kusemai namamu pada segugus bintang utara
dan rinduku akan mekar pada setiap mata yang memandangnya.
 
 
Di Museum Keramik Hamada
 
Kita masuki halaman senyap itu
Selepas jeda antara abjad k dan a luruh
Di tepi hutan: luka ini hidup, juga cahaya
 
Matahari pagi mulai sedikit manis
Di depan pukau ungu setangkai anemon
Kau kembali berbisik inilah cara terlekas
 
Menghapus cemas dalam mimpimu;
Kami terdiam menatap capung hitam dan
Warna anggur di dinding cawan Hamada
 
Seakan tak hendak berpaling saat itu
Dua pasang mata masih menatap di ruang
Yang sama: bayang anemon, juga embun;
 
Kau membuka pintu dan berbalik
Menatap kilat pagi di bola mataku, tentu,
Hujan begini tak bisa menolak senyummu.
 
 
                           Lirik Narita
 
                      Kumasuki wajahmu. Sebuah ruang tunggu
kini terkunci. Satu elevator dari pecahan mimpi,
                      kebohongan serupa kerta tisu di toilet usia,
 
menara pemantau dari tulang para pendosa:
                      bandara dari milyaran tanda tanya. Cermin
di matamu telah menyusun lekuk hidungku,
 
                      kerut keningku, juga seuntai tanka pada maut
dan permainan warnanya. Tak ada yang mesti
                      kautunggu. Misteri itu telah jadi sebutir salju.
 
Lalu kauingat sepoi angin di teras rumahmu,
                      tak lain film-film kosong di layar batinku.
Kaumasuki wajahku. Detik-detik berguguran
 
                      menjelma laron-laron sabana, juga metafora
tentang api suci yang membakarnya. Cermin
                      telah pecah di mataku. Satu ilusi telah sirna.
 
Sekarang, ruang tunggu itu telah terbuka
                     Namun, telah kaubatalkan jadwal terbangmu,
dan telah kaupilih sunyi untuk mengantarku:
 
                     pulang ke langit matamu.
 
 
Cawan-Sunya Song Gi-jin
 
Sunya bukanlah ketiadaan
namun jeda yang lesap
perlahan tatkala sekuntum ceri
mekar di dinding cawan
 
Jeda bukanlah kehampaan
namun segumpal awan
tatkala angin pun hinggap
pada margin bengawan
 
Awan mungkin sejelang ombak
sebelum petang pun surut
atau hirap ke dalam pasang kabut
 
Petang mungkin setangkai rumput
menjelang dipotong, ketika
seekor kumbang berputar
di atasnya, seakan seluruh semesta
 
Sunya juga sepotong sabda
di cermin kolam, berbilang abad
menunggu cahaya matamu
akhirnya lesap ke dinding cawan
 
 
Puja Raku
 
Kulantunkan puja
Kepada angin
Yang berembus
Di luar halaman
Menyentuh sehelai
Rambut dan daun
Dan rumput
Sekira halimun
Dipeluk cahaya
Pagi yang lembut
Kulantunkan puja
Kepada angin
Yang berembus
Di dalam dirimu
Menyatukan yang
Terpisah, melepaskan
Yang terikat, di sini
Di sana, di mana-mana
Semoga hanya cinta
Yang mengalasi
Tidurmu, semoga
Hanya senyum yang
Mengantarkan
Kesedihan kembali
Bersulih, luruh
Sebagai benih dan
Tumbuh perlahan
Sebagai kemuning
Menebarkan harum
Terhening di sudut
Halaman rumahmu
Serupa hatimu, semoga
Kesehatan kembali
Menjelma gumpalan awan
Meneduhkan cuaca terik
Di hamparan rasa sakit
Tulang-tulang dan kulit
Dan air matamu
Kulantunkan puja
Kepada angin
Yang berembus
Di luar dan di dalam
Dirimu, semoga
Semua kata melepaskan
Bebannya, semoga
Semua makhluk berbahagia.
 
 
Enam Simetri Jeniffer Lee
 
1
Gema ombak pada cawan
Atau pasu bunga, di sini
Sebutir pasir adalah semesta
 
2
Ruang kosong atau cahaya
Purnama, solipsis tanpa bentuk
Tiga aster di luar jendela –
Seluruh sabda dalam warna amber
 
3
Seakan padam cahaya
Perempuan itu bergegas
Meletakkan kedua matanya
 
Di rumput halaman, seperti nonsens
Ia mencium harum bawang pada tangga
Marmer dan meraba warna kamper
Dari sedih yang absen, sebelum malam
 
Seekor balam meminjam matanya
Lalu terbang ke tepi jurang, dan itu cukup
 
4
Saba –nubuat bagi
Segala yang fana—
Segala yang karam
Segala yang hilang
Segala yang padam
Tanpa jalan pulang
 
Odysseus, tidurlah!
 
5
Tanpa umpama + ilusi bunga-bunga
Seluruh simetri tak lain korosi
Hingga rasa sakit matang menjelang pagi
 
6
Jeniffer Lee punya enam
Ayat pada keramik
Digosok, seluruh waktu
Adalah sebutir pasir – di sini
Kefanaan tak punya kata akhir
 
 
Ode Tiga Waktu
 
1/
Menatap arus sungai Mississippi, menatap
bayangmu memetik cahaya pagi, juga kilau embun
di daun-daun ceri, sebelum awan melepas rintik hujan,
merelakan arusmu yang mungkin tak akan pernah kembali.
 
2/
Berulang aku melihatmu bergegas mengejar
trem di DC, aku melihatmu tersenyum di Portland,
aku melihat perih yang lain berlari ke kafe, ke halte,
ke Fifth Avenue hanya untuk sia-sia mencoba melupakanmu.
 
3/
Di sini, di negeri cemas yang lain, duduk
sendiri di sudut beranda, mengutuki cuaca yang dingin,
mati-matian melupakanmu, mencatat tiga stanza
hanya untuk mengekalkan senja yang lembut di matamu.
 
 
Tentang Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Yulden Erwin lahir di Tanjungkarang, pada 15 Juli 1972. Ia aktif menulis puisi dan prosa sastra sejak tahun 1987. Tahun 1997,ia menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung.
 
Beberapa puisinya pernah diterbitkan di media massa lokal dan nasional, juga dalam beberapa antologi puisi bersama di antaranya: Memetik Puisi Dari Udara (1987), Jung (1994), Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Festival Januari (1996), Refleksi Setengah Abad Indonesia (1995), Dari Huma Lada (1996), Mimbar Penyair Abad-21 (1996), Cetik (1999), Perawi Tanpa Rumah (2013), Sabda Ruang (2015), Hara Semua Kata (2017), Perawi Rempah (2018), Cinta Ikarus (2020), dan Dua Puluh Ribu Cawan dalam Bilangan Phi (2020). Setelah tahun 1999 praktis ia berhenti memublikasikan puisi-puisinya dan lebih banyak aktif di gerakan sosial antikorupsi hingga tahun 2015.
 
Pada tahun 2018, kumpulan puisinya "Perawi Rempah" berhasil masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa.
 
 
Catatan Lain
          Kumpulan puisi ini ditujukan bagi istri tercintanya (Listawati Intan) dan kedua putri tersayangnya (Adenita dan Ananda). Diberi 3 paragraf pengantar, yang bertanda Bandarlampung, 30 Agustus 2020. Ada prolog, yang dijuduli “Cermin Metafora”, terdiri dari 7 bait puisi yang bertanda bintang dan Epilog, yang dijuduli “Mekar di Bawah Guguran Daun-Daun”, semacam prosa puitis sepanjang 6 halaman, yang juga mengutip puisi Matsuo Basho, Li-Young Lee, Gu Cheng, Yuan Zhen, Bei Dao dan Tao Hongjing. Setelah epilog ada Glosarium (halaman 69 – 84), Indeks Waktu (halaman 87), yang berisi tahun penciptaan puisi-puisi di buku ini, ditulis berdasarkan tahun sejak 1987 hingga 2018. Di sampul belakang buku, ada puisi “Ode Tiga Waktu” yang ditulis tahun 2015.  
            Dalam pengantarnya, ditulis bahwa kumpulan puisi ini memuat empat puluh satu (41) puisi yang mengangkat tema tentang cinta dengan berbagai dimensinya. Tapi setelah saya hitung di daftar isi, kok ya 43 puisi + prolog 1 puisi. Total 44 puisi. Begitu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar