Data buku kumpulan puisi
Judul
: Otobiografi
Penulis : Saut
Situmorang
Cetakan
: I, November 2007
Penerbit
: [sic], Yogyakarta.
Tebal
: 282 halaman (184 puisi)
Graphic
konsep : Saut Situmorang
Graphic
eksekusi : Bayang Ilalang
Prolog
: Saut Situmorang (Tradisi dan Bakat Individu)
Otobiografi terdiri atas beberapa bagian, yaitu Cinta (110
puisi), Politik (37 puisi) dan Rantau (37 puisi berbahasa
Inggris)
Beberapa pilihan puisi Saut Situmorang dalam Otobiografi
sajak prosa
berhari hari penyair
itu duduk di pinggir sungai.
apa yang sedang kau kerjakan di sini?
tanya kawannya suatu hari. aku menanti sajak
sajakku yang kuhanyutkan di sungai ini, jawabnya
sambil menunjuk air sungai. tapi kenapa tak kau cari saja
di ujung sungai? tanya kawannya lagi tak mengerti. o aku
menanti
hujan membawanya pulang kembali, jawab penyair itu,
tersenyum pasti.
banyak orang menebang hutan
banyak orang menebang hutan di pedalaman
Sumatera-Kalimantan
o! banyak orang menebang hutan di pedalaman Sumatera-Kalimantan!
di sungai sungai kayu kayu itu diikat satu satu
kayu kayu itu diikat satu satu seperti kau mengepalkan
jari jari tanganmu
burung burung enggang yang sejak pagi terbang ke hutan
sebrang
tak mengerti ke mana istri istri mereka menghilang
burung burung enggang yang baru pulang dari hutan sebrang
kini ribut berenggang enggang sepanjang petang
mereka lihat banyak orang menebang hutan di bawah cahaya
bulan
o! o! banyak orang menebang hutan di bawah cahaya bulan!
mereka lihat sungai sungai tertutup kayu kayu yang diikat
satu satu
o! o! sungai sungai tertutup kayu kayu yang diikat satu
satu!
tapi mereka tak melihat istri istri mereka!
mereka tak melihat istri istri mereka!
o! o! di bawah cahaya bulan di pedalaman
Sumatera-Kalimantan
burung burung enggang itu terus berenggang enggang
mencari istri istri mereka yang menghilang!
dan di sungai sungai kayu kayu diikat satu satu
seperti kau mengepalkan jari jari tanganmu!
Blues for Allah
kehidupan begitu fana
dan kematian begitu abadi
bau mayat mayat busuk
dan erang anak anak
terserak antara puing puing
rumah
rongsokan mobil dan sandal
jepit jepang
di bawah langit biru
di batas debur ombak
dalam peta negeriku
yang sobek tak lagi terbaca
–
setelah tentara tentara
asing
masuk ke mari
dan menembaki kami
sekarang amarah samudera
menghabisi apa yang
masih tersisa
kehidupan begitu fana
kematian begitu abadi,
dan kata kata? apa yang
sanggup
dilakukan kata kata penyair
selain menyanyikan lagu
duka
nyiur melambai di pantai
yang kehilangan celoteh
camar
dan angkuh sobek layar
nelayan penguasa buih pagi?
kehidupan begitu fana
dan rintih ikan ikan kecil
terdampar di trotoar aspal
jalanan
jadi azan terakhir
mengetuk ngetuk
pintu langit tak bernama
menembus kabut awan airmata
semoga diterbangkan burung
musim ke batas cakrawala
Buchholz-Hamburg, 7 Jan 2005
kalyanamitra
– mendengar Anne Waldman baca puisi
om
ada kepedihan kata kata
menyergapku mendengar suaramu
yang diselingi suara suling mendayu itu
kematian
desah napasmu
gerak kehidupan yang sedetik bisa sirna
dalam kesunyian debu tanah
om
o suling bambu yang mendayu sendu
memori hijau daunkah yang kau rintihkan padaku?
kepedihan kata kata
mencoba beri makna napas yang mendesah
mencoba lupa kesunyian debu tanah
menyergapku
menyayatku
om
kuta, 7 september 2001
4 : 20 pm
realisme
kalau kau mati, sayang
matahari tetap kan muncul lagi
juga bulan
juga bintang
kalau kau mati
hujan tetap kan turun,
sayang
rumput hijau bernyanyi
sungai dan laut
bercintaan
seperti dulu lagi
kalau kau mati
mereka tetap kan nulis
puisi, sayang
tentang gunung tentang
daun daun burung burung
danau biru berkabut
gadis manis berwajah lembut
pesta kawin penuh tawa
cuma senyumMu
menguning di album tua
sedangkan batu nisan
apalah arti sebuah batu
walau nisan
yang, mungkin, kan bertuliskan
kalau kau mati, sayang
elegi claudie
di atas tanah
lembab
terlindung
beberapa rumput berduri
dia terbaring.
bulu badannya
yang putih
dan pirang
tegak memanjang
dari leher
ke ujung punggungnya.
kedua kaki depannya
agak terdorong ke muka
dan kaki belakangnya
keduanya tertekuk
seolah dia sedang mengamati sesuatu.
kedua matanya
terbuka
terbelalak
dan mulutnya menganga
waktu kuangkat
ke pangkuanku
badannya
sudah dingin.
sorenya dokter
bilang
nadi ke hatinya
pecah—
seseorang pasti memukulnya.
besoknya aku
kubur dia
di atas bukit (di belakang rumah)
yang memandang ke lembah.
Wellington, Juni 1990
parabel
– mengenang Munir
seorang bocah laki laki
main layangan
di lapangan
langit biru
angin berhembus sejuk
layangan meliuk indah
di atas ladang sawah
angin tiba tiba meniup kencang
langit mendung gelap
seekor burung garuda raksasa
muncul dari balik awan
menyambar bocah laki laki itu
dan melarikannya ke ujung cakrawala yang jauh
di lapangan
sepasang sandal kecil
basah lumpur
hujan yang semalaman tak reda
layangan itu hilang entah ke mana
jogja, 10 nov 2005
penyair dan danau
penyair itu selalu mimpi tentang danau
danau berair biru tempat ibu memandikannya dulu
danau besar dikawal barisan gunung terjal
tempat khayal melayang waktu hati kesal
di negeri jauh merantau
rindu dendam dia pendam
dalam sajak sajak danau
bambu sekitar kampung sudah lama bertunas baru
beringin depan rumah sudah lama berakar baru
tapi danau tetap seperti dulu
danau tua danau setia
walau jauh danaunya tak pernah lupa
walau tak lagi mandi di airnya
danaunya terus menunggu tak pernah berubah
pernah dia turuti mimpinya
kembali ke kampung ke masa lalunya
walau ibu sudah tak kenal anaknya
danau yang biru beriak ombaknya
selamat ulang tahun, penyair!
ada yang berubah pada diri hari ini
matahari itu jadi lebih berarti dari kemarin
debu jalanan malam hari lengket di rambut
tumbuh jadi uban uban warna perak angkuh
dan gadis gadis jadi begitu manis begitu mistis!
selamat ulang tahun padaMu, penyair!
cerita dan kisah mekar dan layu di kota kota dunia
bagai sungai mencapai samudra
bagai sungai mencapai samudra
memori jadi peta perjalanan yang ditulis seorang turis
gila
29-06-01
The Trekkers, Wellington
Jack imigran Inggris
sudah puluhan tahun di Aotearoa
sudah puluhan tahun tak jumpa saudara
Jack Tua tiap malam datang
ke Trekkers
sendiri
pesan segelas anggur putih
lalu berdiri dekat aquarium ikan hias
di luar pagar
tak lama
kembali ke bar
pesan segelas anggur putih lagi
lalu kembali berdiri dekat ikan ikan hiasnya
di luar bar
“I can’t stand the loud music!”
jawabnya, waktu ditanya mengapa
Jack dan aku senasib
orang asing terdampar di negeri asing
sama sama tak suka musik bising
sama sama punya alas an untuk menyendiri –
Jack minum anggur dengan ikan ikan hiasnya,
aku minum bir dengan kaki kaki gadis bar
“I wish they turned the music down,
you know what I mean!” teriak Jack padaku
aku ngerti, Jack, aku ngerti
ikan ikan hiasmu di aquarium juga ngerti
musik bising tak cocok untuk hati yang sepi
sepi setiap lelaki yang terusir dari kampung sendiri
---------
· Aotearoa adalah nama Maori untuk negeri Selandia Baru.
Dalam bahasa Inggris artinya “Land of the Long White Cloud”, merujuk ke lanskap
Selandia Baru yang berbukit-bukit hijau dan dihiasi gumpalan-gumpalan awan putih
yang panjang. Tapi bagi para aktivis politik Maori arti “Aotearoa” sudah
diplesetkan menjadi “Land of the Wrong White Crowd”.
dari berita di sebuah majalah
bocah perempuan itu pecah jantungnya
waktu dituduh mencuri perhiasan tetangga.
airmata cuma minyak
memarakkan api di dada sang angkara murka.
lalu seorang polisi membawa bocah kecil itu
ke kantornya. lalu polisi itu menendang
badan kecilnya ke dalam sel yang terlalu
besar buat rasa takut di matanya.
dia tak
pernah mencuri perhiasan siapa
siapa jawabnya waktu sebuah kepalan
tangan raksasa menghancurkan semua
keriangan kanak kanaknya
selama lamanya.
lalu perempuan kecil itu direndam
bagai selembar sarung kotor di bak mandi
kantor polisi.
lalu perempuan kecil itu dinikmati
jerit kesakitannya oleh dua polisi
yang duduk merokok di kursi yang memaku kuku kakinya
ke semen lantai!
airmata cuma minyak
memarakkan api di dada sang angkara murka.
seorang anak perempuan kecil
berjalan seorang diri dalam kekanak kanakannya
dan bintang bintang di langit dan bulan
di langit dan matahari di langit dan semua
yang ada di langit diam tak berbuat apa apa
waktu seekor burung garuda mematuk matanya
yang indah karena airmatanya jatuh lebih hangat
daripada semua cahaya yang mencoba menyelimuti
tanah dari mana dia terusir selama lamanya.
santiago
pulang dari laut
matanya merah lesu
dan dia langsung
masuk ke gubuknya
dan tidur.
anak laki laki kecil itu
cuma memandangnya
dari jauh.
setelah hilang beberapa
lama di laut
laki laki tua itu tiba tiba
muncul kembali
dan langsung masuk
ke gubuknya
tak pernah keluar keluar lagi.
sebuah kerangka ikan
raksasa terikat
kuat kuat
di sisi perahunya yang tua
yang kecil
di pasir pantai.
anak laki laki kecil
itu berkaca kaca
matanya memandang
garis laut
yang
j
a
u
h
sajak hujan
a
h k t k
u o a e h
j t p r u
a a i j
n M r n a
u u g n
y m k
a t a a y
n e h n a
g r n
g o p g
t e i
u l p p s
r i e i o
u n r M b
n c e u e
i m k
m r p d
a u a c
l k a n e
a a n
l
m k
t a
i k e n
m n e r a
a y c t n
l a i a y
a
l
w a
m d a
i d l
d
i a
i a h
t k
a a p
p c a
a
d
a
j
e
n
d
e
l
a
cicak mabuk
cicak mabuk di dinding
dengar lagu blues dari
gitar Lightning Hopkins
cicak mabuk sempoyongan di
dinding
Lightning Hopkins teriak tentang
sihir dan cinta perempuan kemarin
seniman miskin dengan gitar
di tangan
pacar yang pergi ditelan malam
pacar yang pergi ditelan malam
hanya cicak miskin mabuk di
dinding
mengerti denting gitarnya
yang menikam bulan
cicak mabuk di dinding
hei, lihatlah cicak mabuk
di dinding!
sudah terlalu lama dia cuma
merayap dan merayap dan merayap
tapi malam ini, ya malam ini, dia mabuk sempoyongan di dinding dinding!
tapi malam ini, ya malam ini, dia mabuk sempoyongan di dinding dinding!
cicak mabuk di dinding
bayangnya menari
sempoyongan di lilin kamar
mengikuti gitar Lightning
Hopkins
dan hei, bukankah itu Li Po
yang baru datang!
CRY FREEDOM
(kepada Steve Biko)
lama ombak membentuk pantai
lama pantai dibentuk ombak
Sept. 88
jembatan kayu
rumah kami berada di dua tebing sungai
air mengalir deras dan bersih di situ
kami selalu bertemu di jembatan kayu di atas sungai itu
tapi, oh!
semalam hujan lebat sekali
jembatan kayu itu
hanyut dibawa air rusuh!
April 88
untuk Bill Russon,
Medan, Oktober 1988*
kematian
seperti ular ada di mana mana
seperti ular ada di mana mana
dia menggantung di pohonan, melintasi
sungai kecil, di
runtuhan gedung tua, di semak belukar, & melingkar
di balik batu –
menunggumu
kematian
datang bersama matahari di pagi hari
berubah jadi kicau kutilang di dahan akasia
tangis bayi bayi yang merasa pengap
di ranjang basah
sapu lidi yang digerakkan perempuan
perempuan muda
di pinggir jalan jalan kota
& kaleng kaleng
kosong
pengemis depan plaza
kematian
seperti ular juga mengganti kulitnya
dia jadi malam di kotamu yang gelap
dengan rakus dia makan bulan & bintang
bintang yang
menyerah tak berdaya
dia makan juga lampu lampu neon di
hotel hotel,
jalan jalan utama kota & lilin
lilin redup gubuk gubuk perbatasan
dia jadi burung malam yang menjerit
jerit di langit di atas
rumahmu
jadi derak pintu & jendela yang tak
terkunci rapat
jadi bayang bayang samar yang bergerak
di
tengah tanah lapang
di sudut sudut rumah yang sunyi dari
suara suara jangkrik –
menunggumu
kematian
seperti ular mengikutimu terus menerus
dengan sepasang matanya
yang berkilat kemerahan
dia bahkan menyelinap ke kamarmu
masuk ke dalam mimpi mimpi malammu
& waktu kau tersentak bangun
& masuk kamar mandi hendak kencing
seperti ular lapar kematian telah siap menerkam
dengan mulutnya terbuka lebar lebar!
------------
* Bill adalah seorang kawan asal Kanada yang suatu hari
ditemukan mati gantung diri
dalam kamar
mandinya di Medan)
buat Fikar
– melebihi Belanda
Itulah Jakarta!
aku tak percaya tuhan membuat
bencana itu, seperti kata para nabi nabi palsu itu,
karena aku tak percaya segala tuhan itu ada.
aku cuma percaya
tak akan begitu banyak saudara kita
binasa sia sia
kalau Jakarta bisa seperti Belanda
menyayangi anak anaknya.
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penderitaan saja yang diciptakannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi ketakadilan saja yang dikembangbiakkannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penjara dan bukit tengkorak saja yang diberikannya
pada setiap keluh kesah kita.
seperti yang kau katakana sendiri,
puluhan tahun Jakarta, seperti lintah,
menghisap segalanya,
gas alam,
minyak,
emas,
hutan,
sampai akar rumput bumi
sambil mengutip kitab suci!
wahai Fikar,
tak ada negeri yang tak punya bencana alam
di bumi ini, bahkan tsunami
tak jarang di kepulauan ini. Flores
sudah biasa dengan tsunami, sudah
berpengalaman dengan tsunami
tapi Jakarta tidak mau menyimpan memori ini,
Jakarta tak peduli pengalaman Flores ini,
Jakarta lupa kepulauan negeri kita, nusantara nama kita,
walau diwajibkannya kita untuk menghapalnya:
“dari barat sampai ke timur berjejer…”
Jakarta pinjam uang beli teknologi canggih luar negeri
cuma untuk memata matai kita
cuma untuk menindas kita
cuma untuk keamanannya sendiri
dan kita juga yang harus melunasinya nanti!
wahai sahabatku Fikar,
bukan bencana itu benar yang menusuk kalbu
tapi jumlah saudara kita yang binasa sia sia
terlalu tinggi buat kota kampung kita
yang bertahun sudah dinista moncong senjata tentara.
kalau Jakarta, bisa seperti Belanda,
menyayangi anak anaknya,
sudah lama kita akan diberi tahu
apa arti gelombang yang jauh menyurut,
meninggalkan batas pasir pantai, setelah bumi menggeliat
di perut laut.
bahkan bangsa asing menolong kita pun mereka curiga!
Itulah Jakarta, begitulah Jakarta.
Jogya, 2 Feb 2005
dream time
mereka ukir nama mereka di
pohonan
nenek moyangku, mereka ukir
nama mereka di pohonan
di batu batu gunung yang
keras dan berujung tajam tajam
di dinding dinding rumah
yang terbakar di tanah keramat
di tanduk tanduk panjang
kerbau kerbau
di sepanjang jalanan
berlumpur yang membawa mereka ke laut
Laut Merah laut Putih Laut
Hitam
di perahu perahu kayu,
perahu perahu kayu yang panjang dan kecil
di angin, di malam yang
hitam, di jutaan bintang malam
mereka ukir nama mereka di
ombak ombak besar laut tak bernama
nenek moyangku, mereka
arungi malam yang hitam
langit yang hitam bintang
bintang yang hitam menuju negeri danau besar
danau di tengah tengah
dunia, di Dunia Tengah
Negeri Duabelas Singa Raja
negeri gunung keramat
Gunung Tiga Dewa
Dewa Merah Dewa Putih Dewa
Hitam
gunung Sang Maha Mula Yang
Besar
Mulajadi Nabolon
jalan menuju Dunia Atas
dunia mereka yang mati
di mana pucuk Pohon
Kehidupan berhenti
di negeri baru nenek
moyangku membangun kampung mereka
Kampung Bulan dan Matahari
mendirikan rumah rumah kayu
mereka
Rumah Kerbau Bertanduk Panjang
di negeri danau besar
gunung keramat
mereka mainkan gondang
keramat gong keramat
nenek moyangku, mereka
tarikan tortor keramat
dan tongkat keramat Tunggal
Panaluan tertancap di tengah tengah
kampung
di tengah tengah dunia
mereka menunggu kedatangan para
dewa
Dewa Dunia Atas
Dewa Dunia Tengah
Dewa Dunia Bawah
di jalan keramat Pohon
Kehidupan
untuk merestui sesaji
perjalanan mereka yang jauh
perjalanan dari negeri
lama, negeri terlupa
sesaji dari janji yang
terpenuhi
sesaji Kuda Merah Kuda
Putih Kuda Hitam
sesaji kerbau babi ayam
jantan
sesaji ikan dari danau
berkabut
danau yang menghidupi air
terjun besar
Air Terjun Harimau
harimau yang menjaga gunung
keramat
danau, anak cucu Duabelas
Singa Raja
para dewa tiba menunggang
burung burung Enggang mereka
burung burung enggang
berparuh gading
lalu mereka duduk di dekat
tongkat keramat
di tengah tengah kampung
nenek moyangku, mereka
mainkan gondang keramat gong keramat
mereka tarikan tortor
keramat mengelilingi para dewa yang duduk
Dewa Merah Dewa Putih Dewa
Hitam
lalu para dewa minum air
keramat
Air Keramat Tujuh Rasa
mereka makan makanan
keramat
ikan keramat dari danau
besar
mereka terima sesaji
persembahan nenek moyangku
lalu mereka tarikan tortor
keramat para dewa
untuk anak anaknya turunan
Bulan dan Matahari
Bangsa Duabelas Singa Raja
di bawah bayangan pohon
beringin Hariara
di bawah bayangan Pohon
Kehidupan yang keramat
Horas Jala Gabe!!!
andung andung
petualang
“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”
matahari panas
angin berhembus panas
bus tua meninggalkan kota
aspal jalanan melarikan segalanya
“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”
kota berganti kampung
sawah berganti gunung
anak lelaki dekat jendela
lagu petualang jadi hidup di darahnya
“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”
kampung menjelma kota
gunung gunung kembali rumah rumah
begitulah berhari bermalam
makin jauh anak dalam perjalanan tenggelam
“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”
menyebrang laut menyebrang pulau
beribu gunung kota terlampau
di negeri sebrang di negeri baru
anak melangkah masuk hidup perantau
o jakarta metropolis pertama
dongeng yang jadi silau mata
makin sayup kini suara ibu
dalam hiruk pikuk karnaval aspal hitammu
jakarta membuatnya gelisah
jakarta bukan tujuan hidupnya
jogja yang jauh
tak sabar mimpinya menunggu
tak ada yang lebih romantis
dari sosok stasiun kereta tua yang manis
lengking kereta dan derit roda besinya
membuat sang anak tak ngantuk matanya
gambir, cirebon, kroya…
lalu jogja bersama pagi tiba
dingin semen lantai dan sapa tukang beca
tak mungkin terhapus dari kepala sang anak
di atas becak antara koper dan bapak
malioboro menyambutnya ramah dan kompak
jogja tua yang manis
cinta pertama memabukkan liris
medan yang jauh
terkubur bersama suara ibu
gamelan dari radio pinggir jalan
musik upacara ritual perantauan
o tembok benteng kraton yang kokoh
lindungi tidur sang anak perantau
alun alun tamansari
mercusuar di labirin gang gang malam hari
o turis turis manis berdada manis
keluar masuk lukisan batik dan parangtritis
sang anak mabuk sempoyongan tercengang
jiwanya bergetar sekalut goro goro wayang
o hidup bebas seorang petualang
siang sekolah malam di pasar kembang
suara ibu cuma wesel surat surat bulanan
sampai kartu natal bawa berita kematian
sang anak terpukul matanya kabur
lonceng gereja jadi koor tanah kubur
cerita kristus pembawa keselamatan
jadi cerita ibu angdung andung petualangan
jogja kota manis romantis
di jantungmu seorang lelaki menangis
kematian pertama yang menggores wajah
suara ibu dicarinya kini dalam kelana tak sudah
1999
* Andung-andung adalah sebuah
nyanyian ratapan kematian di kalangan orang Batak Toba. Isinya biasanya kisah
hidup yang meninggal dunia dan “dinyanyikan” dalam bentuk performance
tunggal di hadapan jasadnya. Kebanyakan lagu pop Batak Toba kontemporer
berangkat dari tradisi oral performance ini.
ibu seorang penyair
ibu yang menangis
menunggu kelahirannya
ibu yang menangis
kesakitan melahirkannya
ibu yang menangis
kepada orang lain
memberikannya
ibu yang menangis
merawat luka lukanya
ibu yang menangis
di penjara mengunjunginya
ibu yang menangis
memberangkatkan
perantauannya
ibu yang menangis
malam malam merindukannya
ibu yang menangis itu
tak menangis lagi
airmatanya sudah habis
sekarang Dia tidur
di antara rumputan di
antara bintang bintang
di langit
Tentang Saut Situmorang
Saut Situmorang lahir 29 Juni 1966 di
kota kecil Tebing Tinggi, Sumatera Utara, tapi besar di Medan. Pendidikan
terakhir BA (Sastra Inggris) dan MA (Sastra Indonesia[tidak selesai]) di New
Zealand, di mana ia merantau selama 11 tahun. Mengajar bahasa dan sastra
Indonesia di almamaternya, Victoria University of Wellington dan Universitas of
Auckland di New Zealand. Sejak akhir 2001 menetap di Yogyakarta sebagai penulis
full time. Kumpulan puisinya yang lain: saut kecil bicara dengan
tuhan, Catatan Subversif, Perahu
Mabuk.
sampul belakang buku |
Catatan Lain
Puisi-puisi yang
dipilih, secara sederhana, dikatakan relatif tidak “memerahkan kuping”. Jika ingin bertemu dengan puisi-puisinya
yang lebih vulgar, lebih berangasan, dan lebih menohok, disarankan untuk membeli bukunya saja. Hehe…
Di esai pembuka,
Saut menyinggung masalah “kecemasan (atas) pengaruh” atau “the anxiety of
influence” oleh Harold Bloom. Ia pun tiba pada kesimpulan ini: “……, sepanjang
pengetahuan saya belum ada pengarang lain di Indonesia, baik sebelum maupun
sesudah Chairil, yang memiliki efek-sejarah (kreatif maupu biografis), atau
“kecemasan pengaruh”, atas sesama pengarang seperti yang disebabkan oleh
Chairil.” (hlm. 13). Nah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar