Selasa, 14 Juni 2016

W. Muttaqien Ahmad: BUNG!




Data buku kumpulan puisi

Judul : Bung!
Penulis : W. Muttaqien Ahmad
Cetakan : I
Penerbit : Kedai Buku Sinau, Jakarta.
Tebal : 157 halaman (109 puisi)
ISBN : 978-979-15449-5-5
Gambar sampul : Adhiklaud
Tata letak sampul dan isi : Wees Skool

Bung! terdiri atas lima bagian, yaitu bulan di jakarta (32 puisi), suatu hari di kedai kopi (15 puisi), keheningan puisi persis seperti gelembung soda yang kaget ketika ada yang suka (37 puisi), mimpi-mimpi yang kemudian disebut rumah yang tidak bisa tidur (21 puisi) dan biografi kerinduan (4 puisi)

Beberapa pilihan puisi W. Muttaqien Ahmad dalam Bung!

MANA

kotakota milik pelarian
sedang para penjudi
berumah di kartu mati
belum genap kalah
berharap bulan kembali belah

katakata milik pedagang
: kau pasar apa menjual mana
menunjuk neraka yang sama
‘Tuhanku aku masih menyebut namaMu ?’
segumpal tanah berebut darah

2011

Catatan
Mana [kata benda] tenaga hidup yangg tidak berpribadi dan ada pada manusia, binatang, tumbuhan, dan segala macam benda, biasanya untuk jimat atau fetis, serta membawa keberuntungan bagi pemiliknya, tetapi akan menimbulkan kerugian bagi orang yang tidak menghiraukannya (menurut pandangan orang Melanesia)

‘Tuhanku aku masih menyebut namaMu’ diambil dari sajak Doa, Chairil Anwar, 1943


KISAH MEJA DAPUR
buat ER: sebuah meja dapur adalah segalanya

meja dapur yang kita pilih mestilah besar dan kuat, juga celemek yang
kau kenakan mestilah tembus pandang’

sedikitnya ia menambahkan mentega dan lada
di hadapannya sebuah ketagihan yang terus bekerja
dapurnya pencerah sekaligus pencahar
yang menggelontorkan ocehan tentang harga pasar
naiknya cabe, bawang, dan tempe seperti bulu ayam
di meja kita saling memagut daging
setiap hari layaknya pengantin baru
mendatangi pasar seperti baru kenalan
dan aku bilang pada anakku – kita ini harus bangga jadi bangsa tempe,
biar diinjak-injak tetap terasa enak –
dan aku memeras garam di punggungmu
otakku telentang melihat meja dapur
yang kosong sambil menyiapkan nasi kepal
kebahagiaan mustahil tanpa bumbu
ususku mengunyah bungabunga
melelehkannya di tungku bawah perutmu
meja siangmalam menggilirmu huluhilir
dengan atau tanpa celemek itu

2011



JALAN IBU

Sendirian keluyuran untuk dikenali sebagai saya
Sebutir kota, tengah dan tepinya retak
                          Di sana, orang-orang melahirkan saya yang lain

Ibu menunggu dengan segelas teh hangat, telor ceplok, dan nasi
masih mengenali dan tersenyum

Nak,

                          Sendirian ibu di rumah. Dikenali sebagai ibu
                          membuat banyak jalan

tak retak
tak bertepi
tak pernah pergi

2011


MEMBACA PERANG

yang bertempur tidak bertafakur. ia memandang padamu yang
sedarah semerah amarah. tidak mungkin perang disebabkan cinta lalu
menghadirkannya

semesta perang bukan semesta kerinduan. ia memandang ke
bukan cahaya. kubaca pelan-pelan dendam yang mengular. kesumat
bersambat
menusuk pengertian

yang membaca cinta tidak perlu curiga. menahan lapar mata
mencemburui si buta. hakikat cinta adalah cahaya
berpinak di hati

2011


KISAH NUN

lengkung aku memalumu
membusur lekukmu
mengarung langit ambang
puncak tuk dijejak

: hidup memangku bintang
melamunkan Kau
menjelajah bidangbidang rahasia

2011


BULAN DI JAKARTA

bagianku matahari anakku bulan
kota menyala malam
anakku menanaknya di kepala
membaginya ke kawan sebaya
Jakarta syahdu bagi perindu
gelandangan sempurnakan ritusnya
anakku tidak pernah kecewa
melihat peminta-minta
dan tato yang didagangkan di bis kota
murah saja walau tak begitu sederhana

bulan melahirkan kengerian
terasa bagai pernyataan kehidupan
orangorang melewati takdirnya
berakhir di keluarga
atau dengan anjing plus topi miring
anakku bulan memantulkan matahari
cincin gerhana kering di mata
serupa Jakarta disiang hari
adakah menyala malam
yang gagal disembunyikannya

2011


HUTAN LUKA

luka sepi
di hutan gugur daun
bunyi angin jadi sajak cinta
di telinga kijang dan bunga rumput
luka sembuh
di hutan embun lumut
gerak angin jadi lukisan
pada batu dan pasir
luka buka
di kedalaman kawah
kata hati
jadi cuka
di gigir dan dasarnya
meninggi luka
jauh berjarak
di gelap hutan
dari keramaian peradaban
kuburan dosa
jadi lumpur mendera desa
kalut hutan
di keramaian
bergegas
sempoyongan bergelondong
jadi luka
yang hilang dari peta

2006


ON MUSCLE MUSEUM

sembilu
tumbuh
seusia tubuh

seonggok tendon
tercabik ingkar
luka beban masa
lalu
hati seperti butuh pengakuan
mari pergi!
kembali menjadi
dengan-tanpamu

sembilu
tumbuh
di kamar paling sementara
lenyapkan bahasa

: kau berkata tentang sesuatu yang jatuh dari bunyi yang keluar dari
telinga sebagai aksen

aduh, semesta yang kupahami hanya bunyi Basic English dan
bahasamu seperti konser air yang digelontorkan ke kali depan rumah
dari kloset duduk bermerek American Standard

Catatan
Muscle Museum sebuah lagu ciptaan MUSE


SUATU HARI DI KEDAI KOPI

Tertanda tutup untuk dahaga
Terbuka pintu-pintu rahasia

pakaianku tidak cukup pantas untuk mengucap
salam pada tanda baca
beribu tahun berulang dihampiri pengelana
seorang yang purba
mencoba menerka seribu tahun berikutnya
menetak sabda

di kedai kopi suatu hari
tempat orang-orang lupa
ajal mungkin tiba pada teguk ke tiga
dan mulut yang kering mengucap asma
meruncing makna harum bunga

2011


SANG PENYAIR

Ia mati. Dan menjadi laut.

Aku berenang di kedalamannya
Menyusur ombak kata-kata dan pulau amsalnya

Ia mati. Dan menjadi kota.

Aku klayapan di jalan gelap dan terang
Dengan kakitangan yang lapar dan penyakit menular

Ia mati. Dan menjadi tanah.
Orang-orang menanamnya dan menulisi nisannya:

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(dan ia benar hidup, melampaui kematiannya tanpa menolak mati)

Ia kembali. Mempekerjakan sajak
Di negeri yang kehilangan harga diri

Aku laki-laki akan menjadi ibu yang melahirkan diri

Ia lakilaki pecinta yang tidak bisa menolak Ida
Perempuan menciptakan sajaknya yang lakilaki

Ia kembali berdiri. Dan tumpas segala luka
Bung ayo bung! Rebut kembali segala yang kita punya

Aku ingin kembali ke kuburnya. Menulis
: Dusta tidak bisa dibiarkan sehidupmati dengan kita

2011


BUNG!

mari pergi
dan menyumpah
       menang atas buruan

2011


PEMULA

Laut menatapmu seperti dirinya tumbuh dalam dirimu
Rupamu seperti rumah
Isinya melulu kesunyian yang membuat bahagia
Lalu suara asing
Seperti biola saat pertama kali ditemukan
Dan gelombang penasaran pecah di batu karang
Suaranya cipratan cat dikuas teratur
Itukah kesederhanaan perasaan
Semuanya seakan seperti pemula

2006


KEHENINGAN PUISI PERSIS SEPERTI
GELEMBUNG SODA YANG KAGET KETIKA
ADA YANG SUKA

yaitu ketika kenyataan sulit ditafsir
puisi ditulis cuma sebagai jejak
lawan tanding bagi rasio
tersentak ketika dibuka paksa

2007


TEMBAGAPURA

: teringat winnetou

tanah rumah ladang
perjanjian suci dan impian
kemudian prairi memerah
darah kami membangun New York
bukankah rahasia
di Freeport roh leluhur
tak mampu menahan
para pemburu bison
menjadi imigran yang lebih bermartabat
ini memang buruk
dan masih ada lagi
jalanjalan di New York penuh kematian
dari sebuah ras manusia yang dikenal
cuma memiliki bahasa memberi

2011


SAJAK SENJA

gerimis kali ini adalah sajak senja pertama
pohonpohon begitu ritmis mencipta suara
di tanah yang menjadi basa. sekabut harap
tawarkan percakapan kecuali sunyi. dingin
yang mengendap. sejulur masa lalu terangkat
di cabang cemara yang menyimpan matahari.
senja pertama begitu resah. menanti kekasih
rebah di malam yang penuh remah. ingatanku
gugur di bawah batang cemara. menunggu
getah lilin menyalakan sebuah kisah. menetaskan
kembali bayangmu di dinding cuaca. gerimis kali ini
mungkin sebuah kebaikan. segaris air ditangkup
kembali di hati. menggenapkan suasana senja ini
dingin itu penyebab aku kembali menyelimutimu.
masa lalu menyentuhmu hingga mekar
kembali kenangan yang pernah gabuk bersama angin
dalam cuaca seperti ini matahari mungkin bukan dibutuhkan
kenangan meroyak buntu malam nanti
sebuah janji pertemuan yang berisik
kita pelajari kembali peta yang paling purba di atas tubuhmu

2011


99 SAJADAH

setelah sujud di tempatmu
hatiku terpaut pada semua mahluk
hasratpun tak kuasa untuk membayangkanmu
merangkul yang hidup di semua jalanmu

kemudian terbakar sepertiga malam
bukan rumah, badan, atau kitab
aku lenyap di hasrat menujumu
bukan pada rupa buruk di depan cermin

semakin panjang sajadah
semakin haus akan wajahmu
semakin memasuki dirimu
semakin rindu untuk bertemu takdirmu

dalam permainan yang melulu dunia
tanganmu semakin berjarak
dalam pertaruhan keyakinan
aku kehilangan suara-suara yang berbeda

mungkin ini saat yang tepat untuk berhenti bertaruh
menghitung kembali sajadah yang lapuk
sambil melihat abu dan arang
yang dihasilkan doa-doa yang saling rajam

mungkin kita bisa meminta katak untuk meminta hujan
menabur segala kebaikannya pada semua yang dianggap suci
dalam tempurung mungkin kita tidak bisa melihat langit lain
yang juga tempat bersujud

2009


SURAT UNTUK SAUT BERANJAK TUA

saut menimbun luka. saat hari raya ia membaginya. ini sebuah
kesetiaan pada puisi. disusun dari lumpur di Sidoarjo sampai emas di
Papua. inilah bumiputera, semacam waktu yang ingin kita peram dan
didihkan. puisi yang menyediakan hantaran menguliti batangbatang
hutan kayu-sembilukah itu sebab puisimu menyusun akibat. hari raya
ini kita masih panen air mata. dan tuak sesaat menyatukan kita. orang
rudin juga berhak pesta, pukimak dengan neraka. dalam telanjang
masingmasing kata beradu mata. langit tetap penuh rahasia. saut berlayar
dengan puisi yang penuh bunga api. mautkah yang dilabuhkan atau
semata menghindar dari pusaran.

2011


SAJAK PERJALANAN

1.
kita pergi jauh sayang
dari dataran katakata
sepantai luka akan menunggu
kita tinggalkan saja bayangbayang
walau hati masih lekat di kampung
sejarah kini milik kita
- genggam itu saja sayangsenja
keemasan di tangan

2.
dalam perjalanan kau masih membawa pintu
walau tak pernah kau izinkan sebiji tamu mampir di situ
seseorang berjalan dengan pintu yang kekar belum cukup mengenal
dunia-sebuah jendela mesti kau bawa juga, dari sana perjalanan ini
dapat menampung cuaca yang memanjakan mata

3.
dalam pandang langit lengang
mata kita mengaliri jalanan lempang
sebaris bangau menyisir ladang kerontang
: apakah sungguh ada perjumpaan

4.
janjiku seperti warna mawar
tak bisa kubilang yang mana
kau pilih saja-duriku tetap sama
menyemak dan sedap menyentuhmu
janjiku utuh pada setiap kelopaknya
yang mengantar perjalanan duri
sampai ke pelaminannya

5.
dalam surat yang kubaca pagi bertumbuhan
setelah perjalanan malam. bumi memberi kabar
: tak ada lagi mukjizat

6.
-malam yang melahirkan bahaya dan laut pasrah-SPD

cuaca yang gelisah melahirkan rindu
petir menuntun pada yang perlu
-cahaya, seberkas saja- sebuah jalan pulang
menyambarmu hingga rekah
seperti buku terbuka
anatomi tubuhmu menghanyutkan malu
yang lebur kemudian adalah waktu
demam ditularkan angin
dan terbit di tempat jauh
cuaca yang gelisah membuatku kabur
denganmu segalanya serba boneka
masa kecil yang datang kemudian
-kita mainmain dengan takdir- sebuah topografi rahasia
lengkung demi lengkungnya kita isi dengan cairan
lelehan manis yang melaporkan kejadian-kemenangan
jalanjalan kita buat karena suka

cuaca yang gelisah melahirkan rindu
kita menjahitnya di atas perca ingatan

7.

memulai perjalanan panjang ini
-rasa haus jadikan langitberikan
yang paling fana
pada pagi pertama.
di ujung perjalanan ini
percakapan seperti mekar bunga
langit menurunkan matanya
pada yang paling wujud

2011


Tentang W. Muttaqien Ahmad
Widhyanto Muttaqien Ahmad, lahir dan besar di Jakarta. Kini berdagang buku, menyeduh kopi, dan bekerja sebagai peneliti lepas.
(Demikian biodata penyair di dalam ebook).


Catatan lain
Di bagian belakang buku ada keterangan tentang gambar sampul, yaitu pemandangan keseharian Commuter Line, Jabodetabek.
            Di bagian awal buku ada semacam kredo. Bagian ini terpisah dari rombongan puisi, yaitu:   

2 BARIS TENTANG STRUKTUR DAN
PROGRES ATAU CUMA SEBUAH
KEMUNGKINAN – YANG TERSISA ADALAH
KERJA

pada mulanya kata-kata dipekerjakan
kemudian ia berubah menjadi tuan

w.m.a
2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar