Data buku kumpulan puisi
Judul
: Buku Puisi
Penulis : Hartojo
Andangdjaja
Cetakan
: IV, 2001 (Cet. I, 1973; II, 1982; III, 2000)
Penerbit
: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal
: 64 halaman (36 puisi)
ISBN
: 979-419-263-5
Gambar
jilid : Mardian
Buku
Puisi terdiri atas BUKU PERTAMA,
I. Sepasang Bayang-bayang (4 puisi), II. Nyanyian Kembang Lalang (7 Puisi),
BUKU KEDUA, Sajak-sajak Hitam Coklat (12 puisi), dan BUKU KETIGA, Rendez-vous
(13 puisi)
Beberapa pilihan puisi Hartojo Andangdjaja dalam Buku Puisi
Perarakan Jenazah
Kami mengiring jenazah hitam
depan kami kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan menunduk diam
dicekam hitam bayangan
makam muram awan muram
menanti perarakan ini di ujung jalan
tapi kali selalu berebut kesempatan
kami lempar pandang
kami lempar kembang
bila dara-dara berjengukan
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
lihat, di mata mereka di bibir mereka
hidup memerah bemerkahan
Begitu kami isi jarak sepanjang jalan
antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan
Cintaku Bekerja Sepanjang Siang dan Malam
Cintaku pergi dalam kabut fajar di hari remang
turun dari jenjang rumah-rumah lengang
menyusuri
jalan panjang
cintaku berjalan mendukung beban di hari pekan
bersama mereka, pedagang-pedagang jauh dari
daerah
perbukitan.
Cintaku mengelana, melintas lindap dan cahaya surya
di rimba-rimba di pedalaman Pasaman yang kaya
menakik getah bersama mereka di kebun-kebun para
hidup dalam kehidupan mereka, para pekerja
Cintaku pergi malam-malam ke tengah sunyi perairan
antara pulau Panjang dan daratan Pasaman
berjaga dia bersama mereka dalam sampan
hidup dalam kehidupan mereka, para nelayan
Cintaku berjaga di hari terang dan kelam
cintaku bekerja sepanjang siang dan malam
Nyanyian Kembang Lalang
Putih di padang-padang
putih kembang-kembang lalang
putih rindu yang memanggil-manggil dalam dendang
orang di dangau orang di ladang
putih jalan yang panjang
kabut di puncak Singgalang
sepi yang menyayup di ujung pandang
putih bermata sayang
wajah rawan tanah Minang
Sonet Buat Ika
Siapakah kau, mengikut daku dari bukit ke bukit
tidakkah tahu, dari puncak ini tinggal nampak
gugusan
alit
rumah yang dulu berkilau
kebun yang dulu menghijau
Pulanglah. Jangan lagi kaubisikkan suatu kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
menangkap nyanyi indah
memburu mimpi putih di pagi merah
Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, di bukit lain itu
biru puncak memanggil daku
Pulanglah. Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kekasihmu
Perempuan-perempuan Perkasa
Perempuan-perempuan yang membawa bakul
di pagi
buta, dari manakah
mereka
Ke setasiun kereta mereka datang dari
bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul
dalam
kereta, ke manakah
mereka
Di atas roda-roda baja mereka
berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju
gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan perkasa yang
membawa bakul di pagi
buta, siapakah
mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja,
perempuan-
perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah
perbukitan turun ke kota
mereka: cinta kasih yang bergerak
menghidupi desa
demi desa
1964
Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang lembut bernama puisi
ketika, seperti Brecht pernah berkata:
bicara tentang pohon pun hampir suatu dosa
Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang sayup bernama puisi
ketika, seperti kini kita derita:
bicara tentang kebenaran adalah dosa
Maka aku pun tahu kini
kenapa Voltaire dibenci
tinggal ia di Ferney, di bumi Swiss
jauh dari Perancis
maka aku pun mengerti
kenapa Pasternak sepi sendiri
dan Mayakowsky
akhirnya bunuh diri
Sebelum Suatu Elegi
Kusebut engkau ibu tua
dan tak kusebut engkau nenek
karena kerut wajahmu bukan bayang usia tua
tapi derita dari hidup yang jelek
Sekali sepekan engkau datang, Ibu tua
sekali sepekan kudengar suaramu gemetar meminta
dan kukenal wajahmu yang suram duka
seperti mendung di langit jauh di desa-desa
Hari ini engkau datang pula
dan masih kita jumpa, Ibu tua
dan masih aku kembali jadi gembira
seperti dari ngeri mimpi tiba-tiba kembali terjaga
Sebab sekali ngeri
itu bukan mimpi lagi
kalau nanti engkau tak pernah datang kembali
dan tak kutahu di mana, mungkin di jalan kampung
yang sepi
engkau terhantar mati
(nb. catatan saya: mungkin kata yang cocok untuk baris
terakhir puisi di atas adalah “engkau terlantar mati”. Bukan terhantar. Entah)
Rendez-Vous
Dalam sajak ditulis rindu
dalam sajak bertatapan engkau dan aku
dalam sajak kita bertemu
dalam sajak kita adalah satu
karena sajak melambaikan harapan-harapan baru
karena sajak adalah kaki langit yang memanggil selalu
karena sajak adalah kaki langit yang memanggil selalu
karena sajak adalah dunia di mana kasih kita bertemu
karena sajak adalah kita punya rendez-vous
Buat Saudara Kandung
Ke manakah engkau, Saudara
orang-orang lemah dan ladang-ladang tidak berbunga
dan anjing, yang mengais siang hari
malam-malam menangis panjang sekali
lenguh lembu di kejauhan
menyebar kabar kemuraman
sebuah dusun yang tenggelam
kampung merana kekeringan
cinta. Wajah-wajah menadah rawan:
kami kehilangan
dan kota mengepul debu
di dadanya oto dan radio menderu
seperti biasa:
ke sana kita, Saudara
Sudah sekian ketika
ladang-ladang tidak berbunga
orang-orang lemah dan mereka
hanya bisa berkata lewat caya mata:
ke manakah engkau, Saudara
jalan sudah begini jauhnya
Minang
Inilah tanah, dimana Sabai dilahirkan
di mana Malin, si durhaka, menerima kutukan
di mana kaba ialah sebagian dari kehidupan
dan beragam pantun mengalun dalam nyanyian
sepi di sini sepi batu dan sepi gunung
sepi hutan-hutan hijau melingkung
padang-padang lalang sejauh mata merenung
di atasnya mengambang rawan suara salung
Ada rindu di sini seperti langit sunyi melengkung
sudah kutahu lewat ratap suara salung
Ada restu di sini dalam hidup sepi di kampung
sudah kutahu lewat sayup suara lesung
Di sini cintaku matahari yang bekerja di ladang-ladang
sepi
hujan dan bunga tanah mengendap di bumi
malam kawal petani hingga subuh hari
di sini cintaku tenaga sunyi yang menghamilkan padi
Orang Asing
Dia datang dalam kehijauan pagi
datang dari hati musim semi
dibawanya melati dan kaktus berduri
di jemari kanan, di jemari kiri
Hari-hari dia berkaca di tepi telaga
– tempat keramat daerahku—
mengisi gendi sambil bercerita:
di negeriku
– kerajaan bunga dan warna –
bertakhta suatu kuasa;
dahaga
Dan akhir sekali dia pergi
mengayun lenggang di kebun ini
ditanamnya sekuntum putih:
hadiah bagiku yang penghabisan kali
Rakyat
hadiah di hari krida
buat
siswa-siswa SMA Negeri
Simpang
Empat, Pasaman
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang
berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik
di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Kota-kota Tercinta
Kota-kota tercinta
antena-antena pemancar beragam suara
antena-antena penangkap hingar dunia
timbunan kegiatan dan tempat kesibukan bermuara
di mana siang yang membakar memeluhkan keringat
kerja
mengepulkan debu dan kau bensin di udara
dan malam yang menyegarkan memulihkan kembali
segala
tenaga
kadang dengan sinar menggenang di mana-mana
dan bulan bersarang di pohon cemara –
kota-kota yang kadang bertekun dalam kerja
dan kadang-kadang ketawa dan alpa
yang di sibuk siangnya menghitung merencana
membuat grafik, menulis angka-angka
dan di senggang malamnya menyalakan lampu-lampu
pesta –
kota-kota di mana pengemis dan jutaan anak
kandungnya
kandungnya
di mana dalam peluknya yang mesra
pelacur melupakan sendunya
dan penyair menyusupkan rindunya –
kota-kota yang mengasuh aku dalam peradabannya
dan melambaikan padaku kibaran biru mimpi-mimpinya
yang melatih aku bersepatu
mengajar aku membaca buku-buku
dan membuat aku menuliskan dalam sajak segala yang
kurindu
–
kota-kota ini
di manakah akan kulihat kembali
kalau aku mati nanti
Aku akan melihatnya kembali
– kalau aku mati nanti –
dalam jiwaku sendiri
seperti panorama-panorama dalam mimpi
seperti tamasa-tamasa dalam puisi
seperti peta-peta, yang terkembang dalam diri
Nyanyian Para Babu
Inilah nyanyian kami, suara hati kami
terjemahan kehidupan kami dalam bahasa esai puisi
kami ucapkan lewat penyair ini
Kami adalah sisa-sisa penghabisan dari zaman
perbudakan
perkembangan kemudian dari budak belian
yang terdampar di abad ini dan dilupakan
Kami babu. Berjuta kami terberai di benua demi benua
dan samar-samar kami pun mendengar suara purba
yang berkata: “Tuhan bekerja. Dan segala yang ada
dilahirkan dari kegirangan raya. Kegirangan hidup,
kegirangan
kerja’*)
Maka kami pun bekerja, di mana juga kami berada
Kami bekerja. Tidak melacurkan diri dan tidak meminta-
minta
Namun kamilah yang di abad ini bekerja tanpa lindungan
kami terluput dari naungan undang-undang perburuhan:
kami bekerja tanpa jam kerja yang ditetapkan
Kami bisa dipakai kapan saja
dan buat apa saja:
kami serbaguna
Kami benda di mata tuan dan nyonya:
keranjang-keranjang sampah lemparan segala perintah
tungku-tungku hitam tak pernah padam
kami hangus dibakar kerja siang dan malam
Kami babu. Di mana lampu lima watt bersinar tak terang
di sanalah bilik kami. Sebuah bilik di ujung belakang
dari rumah nyonya dan tuan. Sebuah bilik dengan satu
ranjang
satu bantal. Sebuah bilik yang terbuka, begitu papa dan
telanjang
Di sanalah kami tidur buat sepertiga malam
di sanalah kami kubur dalam tidur yang dalam
segala kepedihan kami yang tak pernah diakui
segala kerinduan kami yang tak pernah dimengerti
Dalam hidup kami tak satu pun kami punya
dalam hidup kami segalanya milik tuan adan nyonya
Mereka pun bisa masuki hidup kami hingga ke sudut-
sudutnya
dan seperti bilik kami hidup kami telanjang terbuka
Bila malam di luar pagar datang bujang yang kami cinta
kami tak bisa bermesraan sedikit lama
karena kapan saja waktu dan tenaga kami bisa dipakai
tuan dan
nyonya
Dan demikian kami pun tak punya hak buat bercinta
Bila tuan dan nyonya dan selingkung keluarga dalam
gembira
kami mesti pula tersenyum gembira
karena senyum gembira kami adalah buat tuan dan
nyonya
Bila mereka lagi berkabung dalam duka
kami mesti pula melinangkan air mata
karena air mata kami adalah buat tuan dan nyonya
Maka habislah segala
dalam hidup kami. Tak satu pun tersisa:
waktu kami, tenaga kami
bahkan senyum dan air mata kami
Namun hari demi hari kami masih senantiasa setia
bekerja
hari demi hari kami masih menanti dengan setia
pada keturunan kami yang keberapa, akan datangnya
suatu
masa
di mana kerja adalah kegirangan dalam kehidupan raya
semacam girang yang mengalun dalam semesta
girang angin yang mengayun bunga-bunga
girang kembang yang memberikan wanginya
dan bukan paksa dan terima antara kita
dan bukan derita tak putus-putusnya
di mana air mata pun tak ada harga meratapinya
*) Somewhere dalam Sadhana, R. Tagore
Kalau Suatu Zaman Berkuasa Para Tiran
Kalau mereka menang, sayang
Merah putih akan diturunkan dari tiang
dan bendera merah dikibarkan
dan kebangsaan jadi barang hinaan
Dan lagu yang pertama pertama bukan
lagi Indonesia Raya
lagu yang pertama, sayang, ah mereka
sudah punya
dan kota yang pertama bukan lagi
Jakarta
kota yang pertama, sayang, ah jauh di
utara
Kalau mereka menang, tak ada lagi
mesjid dan gereja,
sayang
di mana kita bisa bertenang dalam doa
dan sembahyang
dan di langit tidak lagi akan mengawang
suara azan, dan bunyi lonceng yang
berkeleneng panjang
Karena doa dan sembahyang ialah
kerinduan
karena doa dan sembahyang ialah sendu
yang rawan
Dan mereka, sayang, tak pernah punya
kerinduan
dan mereka, sayang, tak pernah rasakan
sendu
yang rawan
Kita pun tak punya lagi puisi yang
indah
atau musik sahdu yang mengalun lewat
radio di rumah-
rumah
karena puisi mereka tukar dengan
slogan-slogan yang
disajakkan
dan musik mereka tukar dengan
semboyan-semboyan
yang dilagukan
dan tari yang dipertunjukkan, dan
lukisan yang
dipamerkan
adalah juga slogan dalam bentuk lain
dituangkan
dan film yang diputar bukan lagi film
tentang beragam
kehidupan
dan film yang diputar, ah kau pun tahu,
sayang, dari mana
didatangkan
kalau mereka menang, hanya orang-orang
atasan
diutamakan
dalam mobil-mobil mewah mereka lewat di
jalanan
sementara kita berderet dalam antri
menunggu beras
dibagikan
pada suatu siang dengan hati lesu dan
kupon di tangan
Kalau mereka menang, bahkan anak-anak
pun akan
kehilangan kebebasan
di malam terang mereka tak boleh lagi
berdendang:
bulan... bulan...
karena bulan membangkitkan keharuan
yang dikutuk
diharamkan
dan demikianlah, sayang, anak-anak
manis kehilangan
bulan
dan di kamp-kamp tawanan di mana
akhirnya kita pun
dipadatkan
di sana kekejaman jadi pesta kebanggaan
dan kemenangan mereka rayakan dalam
gelak
dan kemanusiaan, sayang, sudah lama
terdepak
sementara di luar matahari pun bersinar
pudar
kehidupan kehilangan warnanya yang
segar
kehidupan tak punya lagi keragaman
dalam suatu zaman di mana berkuasa para
tiran
Pantun di Jalan Panjang
(Pasaman – Bukittinggi)
Mobil tua merangkaki jalan panjang
mengerang di sepanjang bibir jurang
Dari jendela berlepasan mimpi-mimpi ke balik
Kenang;
Sebuah ladang, dua hati dan satu bisikan: ah, abang
Mobil tua bergegar mendaki tanjakan
roda-roda meraba jalanan berhujan
Cinta lama terkibar dalam angan:
dua bersua, satu meminta, lain memesra: jangan
Bangsi *) terdengar di kaki bukit
nyanyian menyangsai ke lengkung langit
Janji tertebar di dangau alit
tangan melambai mengucap pamit
Mobil tua melata di sela hutan para
seram terberai di wajah-wajah teduh rimba
Berapa lama di pojok tanah air tercinta
salam kulambai pada wajah-wajah jauh di Jawa
Jalan melingkar di pinggang bukit
awan mengelai di kaki langit
Hidup tak kusedar betapa pahit
rawan menyangsai tanpa jerit
Mobil tua terengah tiba di senja
jalan bermuara di kota jelita
Hidup betapa merekah tiba-tiba
bergantungan di warna ria lelampu kota
*)Semacam seruling di
Minangkabau
Tentang Hartojo Andangdjaja
Hartojo Andangdjaja lahir di Solo tahun
1930. Setamat PGSLP Bahasa Indonesia (1956) ia menjadi guru di SMP dan SMA
Negeri Simpangempat, Sumatera Barat. Tahun 1962-1964, ke Jakarta menjadi staf
redaksi majalah anak-anak Si Kuncung. Kembali ke Solo jadi guru STN
Negeri Kartasura. Tahun 1966-1972 bekerja di perusahaan dagang swasta solo.
Tahun 1972, pindah ke perusahaan batik. Kemudian bekerja tidak tetap. Pernah
mengasuh ruang seni dan sastra “Simposium” dalam majalah Dwiwarna Solo
(1953-1954) bersama D.S. Muljanto dan menyusun Simponi Puisi, kumpulan
sajak para penyair Solo (1954).
Catatan lain
Meskipun diterbitkan oleh PT Dunia
Pustaka Jaya, namun ada juga keterangan berikut: “Diadakan oleh:/Proyek
Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP Jakarta/Departemen Pendidikan
Nasional/Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah/Direktorat Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama/Tahun Anggaran 2001”. Dan ada pulak keterangan di
dalam kotak bahwa buku ini : Milik Negara/Tidak Diperdagangkan.
Hartojo
Andangdjaja, nama dan beberapa puisinya telah akrab dengan saya semenjak masa
sekolah. Sebelum memegang buku ini tahun 2016, saya sudah tahu dengan puisi
“Perempuan-perempuan Perkasa”, “Sebuah Lok Hitam”, “Kalau Suatu Zaman Berkuasa
para Tiran”, “Perarakan Jenazah”, “Sonnet buat Ika”, “Rakyat”. Namun ada satu
puisi yang dibuku ini tak ada, yaitu: “Dari Seorang Guru Kepada
Murid-muridnya”. Saya pernah menemukan puisi tersebut di buku sekolah dan
mencatatnya. Berikut puisi tersebut:
Dari Seorang Guru Kepada
Murid-muridnya
Adakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdianku kepadamu
Kalau hari Minggu engkau datang ke
rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis yang sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah
diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga
Ah, tentang ini tak pernah aku
bercerita
depan kelas, sedang menatap
wajah-wajahmu remaja
– horison yang selalu biru
bagiku –
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar