Selasa, 14 Juni 2016

Hartojo Andangdjaja: BUKU PUISI




Data buku kumpulan puisi

Judul : Buku Puisi
Penulis : Hartojo Andangdjaja
Cetakan : IV, 2001 (Cet. I, 1973; II, 1982; III, 2000)
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal : 64 halaman (36 puisi)
ISBN : 979-419-263-5
Gambar jilid : Mardian

Buku Puisi terdiri atas BUKU PERTAMA, I. Sepasang Bayang-bayang (4 puisi), II. Nyanyian Kembang Lalang (7 Puisi), BUKU KEDUA, Sajak-sajak Hitam Coklat (12 puisi), dan BUKU KETIGA, Rendez-vous (13 puisi)

Beberapa pilihan puisi Hartojo Andangdjaja dalam Buku Puisi

Perarakan  Jenazah

Kami mengiring jenazah hitam
depan kami kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan menunduk diam
dicekam hitam bayangan
makam muram awan muram
menanti perarakan ini di ujung jalan

tapi kali selalu berebut kesempatan
kami lempar pandang
kami lempar kembang
bila dara-dara berjengukan
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
lihat, di mata mereka di bibir mereka
hidup memerah bemerkahan

Begitu kami isi jarak sepanjang jalan
antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan


Cintaku Bekerja Sepanjang Siang dan Malam

Cintaku pergi dalam kabut fajar di hari remang
turun dari jenjang rumah-rumah lengang
            menyusuri jalan panjang
cintaku berjalan mendukung beban di hari pekan
bersama mereka, pedagang-pedagang jauh dari
            daerah perbukitan.

Cintaku mengelana, melintas lindap dan cahaya surya
di rimba-rimba di pedalaman Pasaman yang kaya
menakik getah bersama mereka di kebun-kebun para
hidup dalam kehidupan mereka, para pekerja

Cintaku pergi malam-malam ke tengah sunyi perairan
antara pulau Panjang dan daratan Pasaman
berjaga dia bersama mereka dalam sampan
hidup dalam kehidupan mereka, para nelayan

Cintaku berjaga di hari terang dan kelam
cintaku bekerja sepanjang siang dan malam



Nyanyian Kembang Lalang

Putih di padang-padang
putih kembang-kembang lalang
putih rindu yang memanggil-manggil dalam dendang
orang di dangau orang di ladang
putih jalan yang panjang
kabut di puncak Singgalang
sepi yang menyayup di ujung pandang
putih bermata sayang
wajah rawan tanah Minang


Sonet Buat Ika

Siapakah kau, mengikut daku dari bukit ke bukit
tidakkah tahu, dari puncak ini tinggal nampak
            gugusan alit
rumah yang dulu berkilau
kebun yang dulu menghijau

Pulanglah. Jangan lagi kaubisikkan suatu kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
menangkap nyanyi indah
memburu mimpi putih di pagi merah

Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, di bukit lain itu
biru puncak memanggil daku

Pulanglah. Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kekasihmu


Perempuan-perempuan Perkasa

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi
buta, dari manakah mereka
Ke setasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam
kereta, ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi
buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-
perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa
demi desa


1964

Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang lembut bernama puisi
ketika, seperti Brecht pernah berkata:
bicara tentang pohon pun hampir suatu dosa

Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang sayup bernama puisi
ketika, seperti kini kita derita:
bicara tentang kebenaran adalah dosa

Maka aku pun tahu kini
kenapa Voltaire dibenci
tinggal ia di Ferney, di bumi Swiss
jauh dari Perancis

maka aku pun mengerti
kenapa Pasternak sepi sendiri
dan Mayakowsky
akhirnya bunuh diri


Sebelum Suatu Elegi

Kusebut engkau ibu tua
dan tak kusebut engkau nenek
karena kerut wajahmu bukan bayang usia tua
tapi derita dari hidup yang jelek

Sekali sepekan engkau datang, Ibu tua
sekali sepekan kudengar suaramu gemetar meminta
dan kukenal wajahmu yang suram duka
seperti mendung di langit jauh di desa-desa

Hari ini engkau datang pula
dan masih kita jumpa, Ibu tua
dan masih aku kembali jadi gembira
seperti dari ngeri mimpi tiba-tiba kembali terjaga

Sebab sekali ngeri  itu bukan mimpi lagi
kalau nanti engkau tak pernah datang kembali
dan tak kutahu di mana, mungkin di jalan kampung
            yang sepi
engkau terhantar mati

(nb. catatan saya: mungkin kata yang cocok untuk baris terakhir puisi di atas adalah “engkau terlantar mati”. Bukan terhantar. Entah)


Rendez-Vous

Dalam sajak ditulis rindu
dalam sajak bertatapan engkau dan aku
dalam sajak kita bertemu
dalam sajak kita adalah satu

karena sajak melambaikan harapan-harapan baru
karena sajak adalah kaki langit yang memanggil selalu
karena sajak adalah dunia di mana kasih kita bertemu
karena sajak adalah kita punya rendez-vous


Buat Saudara Kandung

Ke manakah engkau, Saudara
orang-orang lemah dan ladang-ladang tidak berbunga
dan anjing, yang mengais siang hari
malam-malam menangis panjang sekali

lenguh lembu di kejauhan
menyebar kabar kemuraman
sebuah dusun yang tenggelam

kampung merana kekeringan
cinta. Wajah-wajah menadah rawan:
kami kehilangan

dan kota mengepul debu
di dadanya oto dan radio menderu
seperti biasa:
ke sana kita, Saudara

Sudah sekian ketika
ladang-ladang tidak berbunga
orang-orang lemah dan mereka
hanya bisa berkata lewat caya mata:
ke manakah engkau, Saudara
jalan sudah begini jauhnya


Minang

Inilah tanah, dimana Sabai dilahirkan
di mana Malin, si durhaka, menerima kutukan
di mana kaba ialah sebagian dari kehidupan
dan beragam pantun mengalun dalam nyanyian

sepi di sini sepi batu dan sepi gunung
sepi hutan-hutan hijau melingkung
padang-padang lalang sejauh mata merenung
di atasnya mengambang rawan suara salung

Ada rindu di sini seperti langit sunyi melengkung
sudah kutahu lewat ratap suara salung
Ada restu di sini dalam hidup sepi di kampung
sudah kutahu lewat sayup suara lesung

Di sini cintaku matahari yang bekerja di ladang-ladang
            sepi
hujan dan bunga tanah mengendap di bumi
malam kawal petani hingga subuh hari
di sini cintaku tenaga sunyi yang menghamilkan padi


Orang Asing

Dia datang dalam kehijauan pagi
datang dari hati musim semi
dibawanya melati dan kaktus berduri
di jemari kanan, di jemari kiri

Hari-hari dia berkaca di tepi telaga
– tempat keramat daerahku—
mengisi gendi sambil bercerita:

di negeriku
– kerajaan bunga dan warna –
bertakhta suatu kuasa;
dahaga

Dan akhir sekali dia pergi
mengayun lenggang di kebun ini
ditanamnya sekuntum putih:
hadiah bagiku yang penghabisan kali


Rakyat
            hadiah di hari krida
                buat siswa-siswa SMA Negeri
                Simpang Empat, Pasaman

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang
            berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik
            di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
            di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
            di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa


Kota-kota Tercinta

Kota-kota tercinta
antena-antena pemancar beragam suara
antena-antena penangkap hingar dunia
timbunan kegiatan dan tempat kesibukan bermuara
di mana siang yang membakar memeluhkan keringat
            kerja
mengepulkan debu dan kau bensin di udara
dan malam yang menyegarkan memulihkan kembali
            segala tenaga
kadang dengan sinar menggenang di mana-mana
dan bulan bersarang di pohon cemara –

kota-kota yang kadang bertekun dalam kerja
dan kadang-kadang ketawa dan alpa
yang di sibuk siangnya menghitung merencana
membuat grafik, menulis angka-angka
dan di senggang malamnya menyalakan lampu-lampu
            pesta –

kota-kota di mana pengemis dan jutaan anak
            kandungnya
di mana dalam peluknya yang mesra
pelacur melupakan sendunya
dan penyair menyusupkan rindunya –

kota-kota yang mengasuh aku dalam peradabannya
dan melambaikan padaku kibaran biru mimpi-mimpinya
yang melatih aku bersepatu
mengajar aku membaca buku-buku
dan membuat aku menuliskan dalam sajak segala yang
            kurindu –

kota-kota ini
di manakah akan kulihat kembali
kalau aku mati nanti

Aku akan melihatnya kembali
– kalau aku mati nanti –
dalam jiwaku sendiri

seperti panorama-panorama dalam mimpi
seperti tamasa-tamasa dalam puisi
seperti peta-peta, yang terkembang dalam diri


Nyanyian Para Babu

Inilah nyanyian kami, suara hati kami
terjemahan kehidupan kami dalam bahasa esai puisi
kami ucapkan lewat penyair ini

Kami adalah sisa-sisa penghabisan dari zaman
            perbudakan
perkembangan kemudian dari budak belian
yang terdampar di abad ini dan dilupakan

Kami babu. Berjuta kami terberai di benua demi benua
dan samar-samar kami pun mendengar suara purba
yang berkata: “Tuhan bekerja. Dan segala yang ada
dilahirkan dari kegirangan raya. Kegirangan hidup,
            kegirangan kerja’*)
Maka kami pun bekerja, di mana juga kami berada
Kami bekerja. Tidak melacurkan diri dan tidak meminta-
            minta

Namun kamilah yang di abad ini bekerja tanpa lindungan
kami terluput dari naungan undang-undang perburuhan:
kami bekerja tanpa jam kerja yang ditetapkan

Kami bisa dipakai kapan saja
dan buat apa saja:
kami serbaguna

Kami benda di mata tuan dan nyonya:
keranjang-keranjang sampah lemparan segala perintah
tungku-tungku hitam tak pernah padam
kami hangus dibakar kerja siang dan malam

Kami babu. Di mana lampu lima watt bersinar tak terang
di sanalah bilik kami. Sebuah bilik di ujung belakang
dari rumah nyonya dan tuan. Sebuah bilik dengan satu       
ranjang
satu bantal. Sebuah bilik yang terbuka, begitu papa dan
            telanjang

Di sanalah kami tidur buat sepertiga malam
di sanalah kami kubur dalam tidur yang dalam
segala kepedihan kami yang tak pernah diakui
segala kerinduan kami yang tak pernah dimengerti

Dalam hidup kami tak satu pun kami punya
dalam hidup kami segalanya milik tuan adan nyonya
Mereka pun bisa masuki hidup kami hingga ke sudut-
            sudutnya
dan seperti bilik kami hidup kami telanjang terbuka

Bila malam di luar pagar datang bujang yang kami cinta
kami tak bisa bermesraan sedikit lama
karena kapan saja waktu dan tenaga kami bisa dipakai
            tuan dan nyonya
Dan demikian kami pun tak punya hak buat bercinta

Bila tuan dan nyonya dan selingkung keluarga dalam
            gembira
kami mesti pula tersenyum gembira
karena senyum gembira kami adalah buat tuan dan
            nyonya

Bila mereka lagi berkabung dalam duka
kami mesti pula melinangkan air mata
karena air mata kami adalah buat tuan dan nyonya

Maka habislah segala
dalam hidup kami. Tak satu pun tersisa:
waktu kami, tenaga kami
bahkan senyum dan air mata kami

Namun hari demi hari kami masih senantiasa setia
            bekerja
hari demi hari kami masih menanti dengan setia
pada keturunan kami yang keberapa, akan datangnya
            suatu masa
di mana kerja adalah kegirangan dalam kehidupan raya
semacam girang yang mengalun dalam semesta
girang angin yang mengayun bunga-bunga
girang kembang yang memberikan wanginya
dan bukan paksa dan terima antara kita
dan bukan derita tak putus-putusnya
di mana air mata pun tak ada harga meratapinya

*) Somewhere dalam Sadhana, R. Tagore


Kalau Suatu Zaman Berkuasa Para Tiran

Kalau mereka menang, sayang
Merah putih akan diturunkan dari tiang
dan bendera merah dikibarkan
dan kebangsaan jadi barang hinaan

Dan lagu yang pertama pertama bukan lagi Indonesia Raya
lagu yang pertama, sayang, ah mereka sudah punya
dan kota yang pertama bukan lagi Jakarta
kota yang pertama, sayang, ah jauh di utara

Kalau mereka menang, tak ada lagi mesjid dan gereja,
sayang
di mana kita bisa bertenang dalam doa dan sembahyang
dan di langit tidak lagi akan mengawang
suara azan, dan bunyi lonceng yang berkeleneng panjang

Karena doa dan sembahyang ialah kerinduan
karena doa dan sembahyang ialah sendu yang rawan
Dan mereka, sayang, tak pernah punya kerinduan
dan mereka, sayang, tak pernah rasakan sendu
yang rawan

Kita pun tak punya lagi puisi yang indah
atau musik sahdu yang mengalun lewat radio di rumah-
rumah
karena puisi mereka tukar dengan slogan-slogan yang
disajakkan
dan musik mereka tukar dengan semboyan-semboyan
yang dilagukan

dan tari yang dipertunjukkan, dan lukisan yang
dipamerkan
adalah juga slogan dalam bentuk lain dituangkan
dan film yang diputar bukan lagi film tentang beragam
            kehidupan
dan film yang diputar, ah kau pun tahu, sayang, dari mana
didatangkan

kalau mereka menang, hanya orang-orang atasan
diutamakan
dalam mobil-mobil mewah mereka lewat di jalanan
sementara kita berderet dalam antri menunggu beras
dibagikan
pada suatu siang dengan hati lesu dan kupon di tangan

Kalau mereka menang, bahkan anak-anak pun akan
kehilangan kebebasan
di malam terang mereka tak boleh lagi berdendang:
bulan... bulan...
karena bulan membangkitkan keharuan yang dikutuk
diharamkan
dan demikianlah, sayang, anak-anak manis kehilangan
bulan

dan di kamp-kamp tawanan di mana akhirnya kita pun
dipadatkan
di sana kekejaman jadi pesta kebanggaan
dan kemenangan mereka rayakan dalam gelak
dan kemanusiaan, sayang, sudah lama terdepak

sementara di luar matahari pun bersinar pudar
kehidupan kehilangan warnanya yang segar
kehidupan tak punya lagi keragaman
dalam suatu zaman di mana berkuasa para tiran


Pantun di Jalan Panjang
(Pasaman – Bukittinggi)

Mobil tua merangkaki jalan panjang
mengerang di sepanjang bibir jurang
Dari jendela berlepasan mimpi-mimpi ke balik
            Kenang;
Sebuah ladang, dua hati dan satu bisikan: ah, abang

Mobil tua bergegar mendaki tanjakan
roda-roda meraba jalanan berhujan
Cinta lama terkibar dalam angan:
dua bersua, satu meminta, lain memesra: jangan

Bangsi *) terdengar di kaki bukit
nyanyian menyangsai ke lengkung langit
Janji tertebar di dangau alit
tangan melambai mengucap pamit

Mobil tua melata di sela hutan para
seram terberai di wajah-wajah teduh rimba
Berapa lama di pojok tanah air tercinta
salam kulambai pada wajah-wajah jauh di Jawa

Jalan melingkar di pinggang bukit
awan mengelai di kaki langit
Hidup tak kusedar betapa pahit
rawan menyangsai tanpa jerit

Mobil tua terengah tiba di senja
jalan bermuara di kota jelita
Hidup betapa merekah tiba-tiba
bergantungan di warna ria lelampu kota

*)Semacam seruling di Minangkabau


Tentang Hartojo Andangdjaja
Hartojo Andangdjaja lahir di Solo tahun 1930. Setamat PGSLP Bahasa Indonesia (1956) ia menjadi guru di SMP dan SMA Negeri Simpangempat, Sumatera Barat. Tahun 1962-1964, ke Jakarta menjadi staf redaksi majalah anak-anak Si Kuncung. Kembali ke Solo jadi guru STN Negeri Kartasura. Tahun 1966-1972 bekerja di perusahaan dagang swasta solo. Tahun 1972, pindah ke perusahaan batik. Kemudian bekerja tidak tetap. Pernah mengasuh ruang seni dan sastra “Simposium” dalam majalah Dwiwarna Solo (1953-1954) bersama D.S. Muljanto dan menyusun Simponi Puisi, kumpulan sajak para penyair Solo (1954).


Catatan lain
Meskipun diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya, namun ada juga keterangan berikut: “Diadakan oleh:/Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP Jakarta/Departemen Pendidikan Nasional/Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah/Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/Tahun Anggaran 2001”. Dan ada pulak keterangan di dalam kotak bahwa buku ini : Milik Negara/Tidak Diperdagangkan.
            Hartojo Andangdjaja, nama dan beberapa puisinya telah akrab dengan saya semenjak masa sekolah. Sebelum memegang buku ini tahun 2016, saya sudah tahu dengan puisi “Perempuan-perempuan Perkasa”, “Sebuah Lok Hitam”, “Kalau Suatu Zaman Berkuasa para Tiran”, “Perarakan Jenazah”, “Sonnet buat Ika”, “Rakyat”. Namun ada satu puisi yang dibuku ini tak ada, yaitu: “Dari Seorang Guru Kepada Murid-muridnya”. Saya pernah menemukan puisi tersebut di buku sekolah dan mencatatnya. Berikut puisi tersebut:

Dari Seorang Guru Kepada Murid-muridnya

Adakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdianku kepadamu

Kalau hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis yang sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
– horison yang selalu biru bagiku –
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar