Selasa, 01 Juli 2014

Dedisyah: SAJAK PERJALANAN PERTAMA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sajak Perjalanan Pertama
Penulis : Dedisyah
Penerbit : Jejak Publising, Yogyakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 99 halaman (29 puisi)
ISBN : 978-979-19552-0-1
Desain sampul : DS Priyadi
Lay-out : Abdul Jamil
Dicetak oleh : Fokusahaja Yogyakarta
Prolog : Tian Bahtiar

Beberapa pilihan puisi Dedisyah dalam Sajak Perjalanan Pertama

Aku Menuju Kepadamu

Kupu-kupu di puncak cemara,
terbang menuju panggilan cakrawala.
Langit di atas terbuka luas,
bumi diam tak terbatas.
Ratna,
tunggulah aku.
Tinggalkan masa lalu yang jauh itu.
Perjalanan adalah mencangkul jiwa
Perjalanan adalah mengolah sukma.
Seperti pasir-pasir yang gemerisik
berlarian ke teratak;
aku menuju kepadamu!

Parangtritis, Januari 2006


Sajak Perjalanan Pertama

Setengah hari mendaki,
dan kini aku letih;
terduduk di bawah naungan pinus tua.
Darah mendidih
dan nadi menggebu.
Perjumpaan keringat
dengan udara dingin
mencipta uap hangat
di permukaan kulit.
Mulailah jiwa merendah
menyelami kedalaman ziarah.
Lalu kubaca perlahan,
pesan pada ketenangan langit mendung
atau guratan batu-batu kali yang agung.
KerajaanMu terlampau jauh,
bahkan untuk seorang debu dan tanah.
Aku kosong menjelang cintaMu.
Kutunaikan,
apa yang mesti kutunaikan.
Kulunaskan,
apa yang mesti kulunaskan;
maka biarkan aku lebur bersamaMu.

Solo, Januari 2006


Pulang KepadaMu

Pulang, pulang.
Tuhan aku pulang.
Susah payah kuseberangi mimpi
kita bersampingan meniti pelangi.
Sekitarku mati sunyi
ngeri membiak,
berdesak-desak.
Rindu memberontak,
bertolak-tolak.
Lalu dari malam
wangi kelopak-kelopak melati;
adalah segala kegalauan
dan bimbang tersia-sia.
Kaulah kepastianku
sebab Engkau tangga naik ke langit.
Selama mata tengadah memandang
selama doa-doa mengaliri nafas
maut tak kuasa merampas.
Pulang,
pulang.
Aku berpulang
dari gelap menuju terang.

Surabaya, 06 Januari 2004


Etsa Mawar Hijau

Batu kali terendam sepi.
Bulan malam memendam mati.
Hatiku sekarat memeluk mati.
Melihat kekasih murung sendiri.

Sekali waktu nanti,
tanah lapang ini,
batu-batu kali yang dingin,
rinai air hujan,
selaksa capung,
dan sore yang hampir rampung,
akan jadi saksi
saat kita tak ada jarak lagi.
Saat di mana kau di sisi kananku
sambil merona malu-malu.

Hampir jam enam sore,
tiga ekor gurame
di dalam telaga menggeliat malas.
Gerimis. Gerimis semula manis
namun akhirnya berubah drastis.
Di atas truk yang membawa kita,
aku gemar memandang matamu,
mencuri-curi melirikmu.
Kau merona malu-malu
kita pun sama-sama tersipu.

Duhai,
cerita sore yang fana.
Semua yang indah masih tersisa
menjalar pada dinding-dinding ingatan kita.

Cibodas, Februari 2005


Etsa Mawar Hitam

Mawar hitam
telah mekar diam-diam.
Lalu sepi yang datang bersama hujan
menjadi lahan subur persemaian.
Pengembara masih sendiri,
tak mungkin selamanya berlari.
Datang rindu belaian,
singgahlah ia di padang perhentian.

Tidak juga mawar hitam
telah mekar diam-diam.
Di atas hati yang rindu ia tak tertolakkan.
Kata-kata terpendam,
ungkapan tertimbun dalam-dalam,
dan keberanian mengucap salam.
Itulah mawar hitam,
ialah cinta yang tak sempat terucapkan.

Cibodas, Februari 2005


Eforia

Daun-daun merapuh
berganti warna lalu jatuh.
Ketika kebisuan jatuh
kata-kata bersuara dalam riuh.

Jakarta, 21 Mei 1998


Sajak Perjalanan Selanjutnya

Perjalanan demi perjalanan,
selalu mempertemukan
dan membuka kepada pengertian-pengertian.

Gerimis yang lembut,
kabut yang naik merayah,
dan seekor elang berputar di atas lembah,
adalah puisi kiriman langit.

Rindu menjadi,
rindulah aku pada pribadi.
Kebenaran jiwa sejati tanpa diri.

Solo, Januari 2006


Catatan Perjalanan

Kelelawar-kelelawar
berkelebat
menembus Barat.
Terang tanah menelan bumi
rembulan pudar ganti matahari.
Saatnya mimpi ditali dipaku
dan kembali pasang sepatu.

Cahaya pagi menerobos atas rumah
turun tipis membelai wajah.
Sembilan tahun berjalan dalam tidur
mencari-cari bentuk dalam kabut.
Wajah menempel di kaca gedung bertingkat
berkejaran dengan usia yang singkat.

Pada gang-gang sempit
di mana orang-orang berjalan berhimpit.
Pemuda kembara bersepatu gunung
menerima malang dan bunting.
Bersiul dalam udara hitam
dan peluh menetes dari dahinya kusam.

Lebih jauh di jalanan beraspal
ia bertemu kaki-kaki di atas trotoar,
tembok-tembok bergambar,
namun di saku tanpa tanda pengenal.
Déjà vu sepanjang hari,
semua tempat seperti pernah disinggahi;
sudut-sudut sebentuk,
rambu-rambu penunjuk,
tikungan jalan serupa,
jembatan penyeberangan satu warna.

Hati yang patah
ialah pemberontakan yang nyala.
Duhai, wajah masa lalu
tak mungkin aku kembali kepadamu.
Masa lalu boleh disimpan
ditetapkan jadi rumusan.
Kenyataan sekarang perlu dihayati,
kenyataan mendatang harus digalang,
sebab catatan perjalanan
mutlak terus diperbarui

Jakarta, 06 November 2004


Suara Duka

Bahkan terang tanah baru tiba
ketika sejuta bunga kemboja
mengapung di udara.
Satu demi satu kelopaknya terbuka.
Duka segala duka,
berhimpun di hati manusia,
dalam mata terpejam
datang tanpa peringatan
Sesayup-sayup angin gaib menyanyi,
membawamu pergi tinggi.
Duhai, Alwasi!
Debu bertimbun-timbun
kembali kepada bumi

Salemba Tengah, 27 Mei 2006
(Peluk terakhir bagi Nenekda tercinta)


Hujan Datang

Hujan datang,
daun-daun trembesi melayang.
Hujan datang,
membasuh jiwaku telanjang.

Orang-orang tua,
menjaring jejak-jejak masa muda.
Wajah merayap tegang,
hati gatal oleh buluh ilalang.
Hari itu,
aku lihat wajahmu
muncul dari balik asap tembakau.
Perlahan menjauh dan menjauh,
mengabur lalu jauh,
melesap,
meruap lenyap.
Njelma gagak hitam,
meloncat ke dalam kereta senja,
menempuh Solo ketika malam.
Dan aku memandang saja.
Hanya memandang saja

Duhai,
tak tahukah kamu,
suara kesedihan hatiku
adalah suara serangga ketika malam tiba?
Aku ngumpet di Yogyakarta
berusaha melupakanmu.
Namun terus saja wajahmu
memburu dan memburu.
Kupacu tuju,
dalam aral waktu,
melimpah dosa dalam saku,
namun begitu mudah terpikat
dalam satu pertemuan singkat.

Hujan datang
wajahmu dan wajahku melayang.
Hujan datang,
sukmamu dan sukmaku telanjang,
lenyap dalam udara fana

Salemba Tengah, Januari 2006


Lingkaran di Bawah Pohon Pertemuan

Zappa. Zappa.
Di bawah naungan
pohon pertemuan,
duduk bersama di lingkaran
Menghayati napas
dan tulang punggung.
Menyadari diri sendiri,
menyapa diri sendiri,
berdiam dalam sendiri.

Tubuh-tubuh telanjang
memasuki alam.
Membebaskan tubuh
dari bingkai-bingkai pikiran.
Marilah mulai bergumam
dan ziarah ke masa silam.
Maka, terbukalah sayap-sayap malam
mengangkat sukma
anak-anak muda
ke udara.

Ya, memang
sekujur tanah ini telah banyak kenangan,
namun juga banyak dendam.
Ada wajah-wajah nenek moyang
hanyut terbawa sungai ke samodra;
Kartini berkirim surat gugatan
ke negeri Belanda
Arok menyelinap di antara pohon pisang
bersiap mengancam kemapanan
Pakodato di atas vintas,
menaklukkan ombak samodra Hindia.
Sedang di sini suatu ketika;
selembar kondom tergencet roda mobil mewah
berplat warna merah

Dan memang,
wajah-wajah terus saja berubah,
sebab pikiran,
erat bertaut dengan keadaan.
Aliran sungai yang sama
mustahil kembali dijumpa.
Generasi-generasi pendahulu
segera diganti generasi-generasi baru.
Jaman bergerak,
terus bergerak.
Jaman berjuang,
melahirkan generasi pejuang,
Jaman damai,
melahirkan generasi lunglai.

Zappa. Zappa.
Hari-hari kuliah,
dalam ruangan penuh ceramah.
Menghafal diktat-diktat purba.
Praktikum
dan laboratorium.
Ujian akhir
dan tengah semester.
Peraturan
dan tekanan dosen.
Tawa dan bicara basa-basi,
wajah-wajah tanpa ekspresi.
Total jenderal,
kopi dan tebu,
hasil program tanampaksa pendidikan.

Ayolah,
berlatih menggerakkan jiwa!
Saatnya sekarang, Antigone
Plato, Sokrates, Aristoteles
Pushkin,
satelit,
sembelit politik,
pergerakan alam,
perkemahan kaum urakan,
atau apa saja tentang kehidupan.

Asing terhadap diri sendiri,
terjerembab ke dalam lubang anarki,
lantas membrengsek keadaan atas nama protes,
sambil membakar ban bekas.
Menjadi penimbun bensin dan beras.
Aparat yang biasa korupsi.
Mafia di belakang kerusuhan dan demonstrasi.
Teroris yang meledakkan kepala saudaranya sendiri.
Atau pemimpin yang lebih percaya diri
dengan hutang luar negeri,
daripada bertumpu daya sendiri.

Hidup tanpa dasar kehidupan
dan bertumpu atas nilai pasar
adalah hidup tanpa akar.
Aturan utamanya
ialah mencuri selisih,
atau menumpuk barang di gudang.
Karena ilmu ekonomi
diterjemahkan sebagai ilmu efisiensi dan monopoli,
bukan ilmu saling mencukupi.
Keluhuran teori,
tanpa dilandasi semangat implementasi
adalah masturbasi.
Sama halnya,
membangun landasan etika dan moral
di bawah pedoman lagu rock n roll.

Seorang anak muda linglung
tak tahu apa mesti diperbuat,
bagaimana berbuat,
dan mengapa.
Dengan bangga nerocos bicara
tanpa paham ujung-pangkalnya.
Menerima kemapanan sebagaimana adanya
tanpa suka bertanya perlu dan manfaatnya.
Bahkan, dengan wajah yang bego
berusaha sembunyi dari tanggung jawab.
Lantas hendak menjawab apa?
Bukankah tanggung jawab
adalah kewajaran dalam hidup?
Bukankah hidup kehilangan arti
tanpa keluhuran hidup itu sendiri?
Yakni, apabila seorang manusia,
telah menunaikan
tanggung jawab kehidupannya,
atau memperjuangkan sikapnya
dalam suka maupun duka.
Jika ada sejumput niat baik,
sisa sejumput itulah
yang harus dipertahankan.
Sebenar-benarnya,
tak ada yang istimewa
karena itu adalah hal yang sudah biasa,
bagi manusia fana;
sangat-sangat-sangat biasa.
Jadi mengapa enggan
duduk dalam keheningan?
Sikap ragu-ragu,
akan membelenggu kesadaran,
untuk mengolah kemungkinan-kemungkinan.
Dan rupanya,
kesadaran benar-benar
sudah menjadi patung batu
dan candi-candi masa lalu.
Ya. Ya.
Patung batu semakin kukuh,
candi-candi tertutup lumut,
dan rumpun ilalang sudah tumbuh.

Hening malam
bertiup angin.
Anginnya kelam
menyusut bathin.

………………………..
Apakah kita generasi kemudian
yang termangu di halte-halte pemberhentian?
Lampu,
listrik,
atom,
matematika,
astronomi,
obat-obatan,
dan apakah yang sudah kita sumbangkan
kepada umat kehidupan?

Ada kurasakan
satu elektron berputar-putar
pergi meninggalkan atomnya.
Alam semesta terbentang,
seluas mata memandang;
kedua tangannya terbuka,
lebar-lebar,
lalu ia bergumam: zappa, zappa.
Tubuh-tubuh telanjang
memasuki pelukannya.
Sayup-sayup terdengar suara serangga
di pedalaman hutan Kalimantan,
pohon-pohon tumbang,
deru pesawat terbang,
gemerisik kabut dari langit,
lumba-lumba di permukaan laut,
raung sirine,
suara doa-doa dari surau,
Arok berbisik
vintas Pakodato menderit,
sobekan kertas surat Kartini,
aroma rempah,
bau limbah di permukaan kali,
bau lumut,
asap knalpot,

dan sebentuk rembulan bulat
di atas puncak menara.

Jagakarsa, November 2006


Makna pada Fana

Begitulah,
matahari mencipta fatamorgana,
dengan alam memutuskan takdir kita.
Bukan soal menang atau kalah,
tetapi bahwa hidup telah diberi makna,
sebelum akhirnya
terjungkal dalam jurang fana.

Salemba Tengah, 17 Agustus 2005


Tentang Dedisyah
Dedisyah lahir di Surabaya 27 Juni 1977. Menggiatkan teater kampus dan sesekali menyutradarai sekaligus bermain drama. Pekerjaanya saat ini, sebagai analis media di sebuah perusahaan media monitoring.


Catatan Lain
Saya tak pernah mengenal, juga tak pernah mendengar nama penyair ini sebelumnya. Sepertinya, namanya tak begitu riuh di pelbagai antologi bersama. Dengan sangat menyesal, itu saja catatan saya kali ini. Tapi itu mengingatkan saya pada sajak Wislawa Szymborska. Judulnya “Terima Kasih”. Begini bunyinya: “Aku banyak berhutang budi/kepada mereka yang tak kucintai.//Lega rasanya mengetahui/bahwa mereka lebih dekat dengan orang lain.//Gembira lantaran tidak menjadi/serigala bagi domba mereka.//Bersama mereka aku merasa tenteram,/bersama mereka aku bebas,/dan cinta tak akan mampu memberi/dan tak tahu bagaimana menerima/…”    (sumber: Jurnal Puisi, Nomor 6 – Desember 2001, hlm. 59).

2 komentar:

  1. Puisi-puisi yang indah...kunjungi juga blog saya di http://puisiwisnu.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Puisimu indah..seindah puisi yang puitis

    BalasHapus