Data Kumpulan Puisi
Judul : dukaMu Abadi, Sajak-sajak 1967 - 1968
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : II,
1975 (Cet. I, Bandung, 1969)
Penerbit : PT.
Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 52
halaman (42 puisi)
Gambar jilid :
Popo Iskandar
Beberapa
pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam dukaMu Abadi
Prologue
masih terdengar
sampai di sini
dukaMu abadi.
Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin
pun terdiam, di luar
langit yang
membayang samar
kueja setia,
semua pun yang sempat tiba
sehabis
menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis
menyekap beribu kata, di sini
di
rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu
jua, yang dahulu
yang meniupkan
zarah ruang dan waktu
yang capai
menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia,
jelaga
Kepada Istriku
pandanglah yang
masih sempat ada
pandanglah aku:
sebelum susut dari Suasana
sebelum
pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di
dinding-dinding gua
pandang dengan
cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau
bertanya-tanya, bertahan setia
langit
mengekalkan warna birunya
bumi
menggenggam seberkas bunga, padamu semata
Di Stasion
pilar-pilar
besi kekal menanti
di sebelahnya:
kita yang mempercayai hati
seakan putih
semata, senantiasa
seakan detik
lupa meloncat tiba-tiba
sepi pun lengkap
ketika kereta tiba
sebelum siap
kita menerima
hari di mana
hari tak ada
ketika kita menyusun kata-kata
Hari pun Tiba
hari pun tiba.
Kita berkemas senantiasa
kita berkemas
sementara jarum melewati angka-angka
kau pun
menyapa: ke mana kita
tiba-tiba
terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
tiba-tiba
terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba
terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari
pun merapat
jarum jam hibuk
membilang saat-saat terlambat
Jarak
dan Adam turun
ke hutan-hutan
mengabur dalam
dongengan
dan kita
tiba-tiba di sini
tengadah ke
langit: kosong-sepi ...
Kita Saksikan
kita saksikan
burung-burung lintas di udara
kita saksikan
awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca
pun senyap seketika
sudah sejak
lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari
buruk dan dunia maya
kita pun
kembali mengenalnya
kumandang
kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang
lama hilang dalam igauan manusia
Sajak Putih
beribu saat
dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan
bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik
pun jatuh
kita dengar
bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa
suara
sewaktu
bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas
ruang
kita pun bisu
tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun
memanggil-manggil
sewaktu Kata
membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca
Dua Sajak di Bawah Satu Nama
I
darah tercecer
di ladang itu. Siapa pula
binatang korban
kali ini, saudara?
Lalu senyap
pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun
mengusir kita dari Sana
awan-awan kecil
mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai
Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada
pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau
darah itu. Kita ke dunia)
II
kalau Kau pun
bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari
kita bertemu kembali; sehabis
kubunuh anak
itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan
menghadapi Matahari
dan Kau pun di
sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah
saudaraku sendiri
pohon-pohon
masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia
yang setia tetapi tersisih ke tepi
benar. Telah
kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit
hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di
langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan
daunan; segala atas namamu: Kesunyian
Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita
kupandang kelam
yang merapat ke sisi kita
siapa itu di
sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut
seketika) Barangkali menjemputku
barangkali
berkabar penghujan itu
kita terdiam
saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu,
tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia
padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata
menghardik berulang kali)
bayang-bayang
pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat
malam; undurlah perlahan
(pastilah sudah
gugur hujan
di hulu sungai
itu); itulah Saat itu, bisikku
kukecup ujung
jarimu; kau pun menatapku:
bunuhlah ia,
suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang
yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan:
mengapa Kau tegak di situ)
Gerimis Jatuh
kepada: arifin c. noer
gerimis jatuh
kaudengar suara di pintu
bayang-bayang
angin berdiri di depanmu
tak usah
kauucapkan apa-apa; seribu kata
menjelma malam,
tak ada yang di sana
tak usah; kata
membeku, detik
meruncing di
ujung Sepi itu
menggelincir
jatuh
waktu kaututup
pintu. Belum teduh dukamu
Lanskap
sepasang
burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari
hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun
putih memandangnya setia
sampai habis
semua senja
Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko
Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Lulus fakultas Sastra UGM tahun 1964.
Semasa mahasiswa telah pula sibuk dengan kegiatan seni: mengasuh acara sastra
RRI Yogyakarta, menyelenggarakan diskusi dan lomba kesenian, menerjemahkan,
main dan menyutradarai sandiwara, dll. Aktivitasnya kemudian menjadi tenaga
pengajar di beberapa perguruan tinggi, hingga guru besar. (Tertulis di biodata
al. begini: DukaMu Abadi pertama kali diterbitkan tahun 1969 oleh
pelukis Jeihan. Dua buku Sapardi yang lain yang sudah terbit adalah Mata
Pisau dan Akuarium, keduanya terbit tahun 1974). Saat ini, kumpulan
puisi beliau tentu telah bertambah.
Catatan Lain
DukaMu
Abadi, yang
dipersembahkan: "kepadamu, Mu" itu terbagi atas dua bagian, yaitu
berdasarkan angka tahun: 1967 (24 puisi) dan 1968 (18 puisi). Tak ada kata
pengantar. Puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini, yang pernah saya baca
semasa sekolah antara lain: Sajak Putih, Sonet: X, dan bagian II
dari puisi Dua Sajak di Bawah Satu Nama
Makasih sudah mau megabadikan puisi-puisi
BalasHapusTerima kasih
BalasHapuskereennn
BalasHapus