Rabu, 02 Januari 2013

Sapardi Djoko Damono: dukaMu Abadi


Data Kumpulan Puisi

Judul : dukaMu Abadi, Sajak-sajak 1967 - 1968
Penulis  : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : II, 1975 (Cet. I, Bandung, 1969)
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 52 halaman (42 puisi)
Gambar jilid : Popo Iskandar

Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam dukaMu Abadi

Prologue

masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini

kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga


Kepada Istriku

pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di dinding-dinding gua

pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia
langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata



Di Stasion

pilar-pilar besi kekal menanti
di sebelahnya: kita yang mempercayai hati
seakan putih semata, senantiasa
seakan detik lupa meloncat tiba-tiba

sepi pun lengkap ketika kereta tiba
sebelum siap kita menerima
hari di mana
hari tak ada ketika kita menyusun kata-kata


Hari pun Tiba

hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun menyapa: ke mana kita
tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya

tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari pun merapat
jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat


Jarak

dan Adam turun ke hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi ...


Kita Saksikan

kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia


Sajak Putih

beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca


Dua Sajak di Bawah Satu Nama

I
darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana

awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)

II
kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali; sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari

dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi

benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan; segala atas namamu: Kesunyian


Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)

bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam; undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)


Gerimis Jatuh
kepada: arifin c. noer

gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depanmu
tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana

tak usah; kata membeku, detik
meruncing di ujung Sepi itu
menggelincir jatuh
waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu


Lanskap

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun putih memandangnya setia
sampai habis semua senja


Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Lulus fakultas Sastra UGM tahun 1964. Semasa mahasiswa telah pula sibuk dengan kegiatan seni: mengasuh acara sastra RRI Yogyakarta, menyelenggarakan diskusi dan lomba kesenian, menerjemahkan, main dan menyutradarai sandiwara, dll. Aktivitasnya kemudian menjadi tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, hingga guru besar. (Tertulis di biodata al. begini: DukaMu Abadi pertama kali diterbitkan tahun 1969 oleh pelukis Jeihan. Dua buku Sapardi yang lain yang sudah terbit adalah Mata Pisau dan Akuarium, keduanya terbit tahun 1974). Saat ini, kumpulan puisi beliau tentu telah bertambah.

Catatan Lain
DukaMu Abadi, yang dipersembahkan: "kepadamu, Mu" itu terbagi atas dua bagian, yaitu berdasarkan angka tahun: 1967 (24 puisi) dan 1968 (18 puisi). Tak ada kata pengantar. Puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini, yang pernah saya baca semasa sekolah antara lain: Sajak Putih, Sonet: X, dan bagian II dari puisi Dua Sajak di Bawah Satu Nama



















3 komentar: