Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Isyarat
Penulis : Kuntowijoyo
Cetakan : I, 1976
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 84 halaman (72 puisi)
Gambar jilid : Popo Iskandar
Beberapa pilihan puisi Kuntowijoyo dalam Isyarat
Isyarat
Angin gemuruh di hutan
Memukul ranting
Yang lama juga.
Tak terhitung jumlahnya
Mobil di jalan
Dari ujung ke ujung
Aku ingin menekan tombol
Hingga lampu merah itu
Abadi.
Angin, mobil dan para pejalan
Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.
Kota
Kotaku yang jauh
padam lampu-lampunya
angin menerpa
lorong-lorong jelaga
Kotaku yang jauh
menyerah pada malam
seperti di siang hari
ia menyerah
pada kekosongan
Tuhan
nyalakanlah neon-neon itu
Laut
Siapa menghuni pulau ini
kalau bukan pemberani?
Rimba menyembunyikan
harimau dan ular berbisa.
Malam membunuhmu bila
sekejap kau pejam mata.
Tidak. Di pagi hari kau
temukan bahwa engkau
di sini. Segar bugar. Kita
punya tangan
dari batu sungai. Karang
laut menyulapmu jadi
pemenang. Dan engkau
berjalan ke sana.
Menerjang ombak yang
memukul dadamu.
Engkau bunuh naga raksasa.
Jangan takut.
Sang kerdil yang berdiri
di atas buih itu
adalah Dewa Ruci. Engkau
nmenatapnya: menatap dirimu.
Matanya adalah matamu.
Tubuhnya adalah tubuhmu.
Sukmanya adalah sukmamu.
Laut adalah ruh kita
yang baru! Tenggelamkan
rahasia ke rahimnya:
Bagai kristal kaca,
nyaring bunyinya.
Sebentar kemudian, sebuah
debur
gelombang yang jauh
menghiburmu.
saksikanlah
Tidak ada batasnya bukan?
Desa
Yang berjalan di lorong
hanya suara-suara
barangkali kaki orang
atau malaikat atau
bidadari atau hantu
mereka sama-sama menghuni
desa di malam hari
Kadang-kadang kentong
berjalan
dipukul tangan hitam
dari pojok ke pojok
menyalakan kunang-kunang
di sela bayang-bayang
Kalau ingin melihat hidup
pandanglah bintang-bintang
yang turun rendah
menyentuh ujung kelapa
atau berhenti di bawah
rumpun bambu
mendengarkan tanah
menyanyi
Tunggulah, engkau tak akan
percaya
Siapakah mengerang dari
balik dinding bambu
Barangkali ibu yang
kehabisan air susu
Ya Tuhan!
Penyucian
Sebelum dihinakan
kalungkan daun bodi
dalam benang emas di pagi
hari
tuliskan huruf-huruf Abadi
menandakan engkau lahir
kembali
Di tengah yang serba empat
tersembunyi pusat
di mana hidup mengendap
ambil air dari dasarnya
satu teguk untuk ragamu
satu teguk untuk ruhmu.
Sempurnalah wujudmu
Pergi ke utara
mereka siapkan puji-pujian
untukmu.
Ada pun Kalimat
ialah hakikatmu yang
pertama.
Ada pun Laku
ialah hakikatmu yang
kedua.
Petuah
Langkah tidak untuk
dihitung
ia musnah disapu hujan
Ketika engkau sampai
pangkalan
ingatlah, itu bukan tujuan
Cakrawala selalu menjauh
tak pernah meninggalkan
pesan
di mana ia tinggal
Hanya matamu yang tajam
menangkap berkas-berkasnya
di pasir, sebelum engkau
melangkah
Tanpa tanda-tanda
engkau sesat di jalan
kabut menutupmu
menggoda untuk diam
Karena kabut lebih pekat
dari udara
engkau bisa terlupa.
Kenangan
Yang tergantung di udara:
jari menunjuk ke bulan
mengingatkan kenangan
Kapas-kapas ladang
dipanen angin malam
melayang-layang putih
bersaing dengan bintang
pergi ke utara
menyongsong rumpun bambu
kuning
yang berubah jadi seruling
Dengan sukarela, waktu
mengikut bujukan anjing
menyalak ringan dari
temaram.
Lima pasang sejoli
berjalan-jalan di taman
membiarkan rambut terayun
mandi cahaya.
Bulan adalah guna-guna
penyubur cinta.
Sesudah
Perjalanan
Sesampai di ujung
engkau menengadah ke
langit
kekosongan yang lembayung
Ayolah, ruh
tiba saatnya
engkau menyerahkan diri
Sunyi mengantarmu ke kemah
di balik awang-uwung
di mana engkau istirahat
sesudah perjalanan yang
jauh.
Sepi
Jangan sepi ditinggalkan
karena ia adik kandungmu
ketika di rahim ibu
Jangan dibunuh sepi
karena ia kawan jalanmu
ketika diselubung mimpi
Di subuh pagi itu
ia menunggu
mengalungkan bunga ke
lehermu
mengucap doa-doa
menyanyikan mantra.
Aduh
engkau sungguh berbahagia
karena hari ini
ia meluangkan waktu
bersamamu
sendiri.
Bencana
Toko-toko di kota
sudah ditutup. Anjing
menjajakan gonggongnya
pada yang bergegas lewat.
Tak seorang tahu
sekarang jam berapa. Hari
sudah jadi kemarin.
Nyanyian sudah berhenti di
night-club.
Polisi kembali ke pos,
menyerahkan pestol
dan tanda pangkat pada
bajingan. Yang serba
hitam mengambil alih
pasar-pasar. Menawan
wali kota. Mendudukkan
kucing di pos-pos
penjagaan. Mereka tahu,
semua sudah jadi tikus.
Sia-sia! Rumah-rumah
tertutup rapat.
Tidak peduli hari
menggelap, lampu jalan
memecah bola-bolanya
karena sedikit gerimis,
terdengar retaknya.
Kertas-kertas koran,
coklat dan lusuh
menggulung kotoran kuda.
Besi-besi berkarat
memainkan sebabak silat
di jalanan, lalu diam
mengancam. Terdengar
gemuruh tapak kuda di
setiap muka rumah,
merebut darah dari
jantung. Detak darah tidak
karena urutan, tapi
diperintah ringkikan kuda.
Nyanyian sudah berhenti,
dihapus dari ingatan.
Diam
Diam itu udara
mengendap di pohon
menidurkan derkuku
menjentik ranting patah
menyulam rumah laba-laba
Yang petapa menutup mata
Ketika angin membisik duka
mengusap halus ruang
dengan isyarat jantungnya
Serangga berjalan biasa
seolah ia tak di sana
Yang petapa menutup mata
ketika udara menggoda
dendam
hanya napas yang lembut
menghembus cinta
Daun pun mengerti
menghapus debu di dahinya
Yang diam.
Yang petapa.
Yang sahabat.
Yang cinta.
Nama-nama
Nenek moyang mencipta
nama-nama
Mereka tinggalkan begitu
saja tanpa catatan kaki
Seolah sempurna isi kamus
Ketika hari mendung dan
engkau perlu mantel
Tidak lagi kautemukan di
halamannya
Berceceran. Hujan bahkan
melepas sampul
Sesudah leluhur dikuburkan
Alangkah mudahnya mereka
larut
Sebagai campuran kimia
yang belum jadi
Terserap habis ke tanah.
Karena hari selalu punya
matahari
Nama-nama terpanggil
kembali
Dengan malu mereka datang
Telanjang sampai ke tulang
Tiba di meja mencatatkan
nomor-nomor kartu
Menandatangani perjanjian
baru
Pepohonan
Sebagai layaknya pepohonan
menampung kenangan
dunia yang tergantung di
awan
sudah sampai di simpang
Ada kubu terbungkus daunan
mengeluh pelan
memanjakan impian
Ayolah kubur dukamu di
rumputan
senja sudah mendekat
malam berjalan merayap
engkau tentu mengharap
bulan
Dalam pepohonan
yang berbuah rindu
aku mendengar
sesuatu yang tak kutahu
Namun aku suka padamu.
Tentang
Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di
Yogyakarta, 18 September 1943. Gelar strata 1 di Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Univ. Gadjah Mada (1969). Gelar MA di Univ. Connectitut (1975), Gelar Ph.D di
Univ. Colombia dalam ilmu sejarah. Bukunya antara lain: Dilarang mencintai
bunga-bunga (kumcer), Impian Amerika, Mengusir Matahari (kumpulan
fabel politik, 1999) . Novelnya: Kreta Api yang Berangkat Pagi Hari, Khotbah
di atas Bukit (1976), Pasar (1972). Kumpulan puisinya yang pertama
adalah Suluk Awang-Uwung (1975).
Catatan
Lain
Baru sekarang mengenal
Kuntowijoyo melalui puisi, perkenalan pertama saya dengan cerpennya. Barangkali
sewaktu masih setia memelototi harian Republika saat sekolah menengah
atas. Saya menyukai cerpen-cerpennya. Apalagi setelah mahasiswa di Jogja ketemu
buku Impian Amerika (buku yang sekarang hilang entah ke mana). Itu
termasuk buku yang saya sayangi. Saya juga beli bukunya yang lain, Mengusir
Matahari, sebuah kumpulan fabel politik. Saya juga baca novel Pasar,
minjam di sebuah taman bacaan. Rasanya juga terbaca novel Khotbah di Atas
Bukit, yang dalam biodata kumpulan puisi Isyarat disebut sebagai
karya sastra yang halus, yang mencari hakikat hidup. Tapi saya tidak mampu
menikmati novel itu saat itu. Saya lebih suka novel Pasar, karena lebih
realis. Pada masa-masa itu, hampir bersamaan waktunya, saya juga sedang
menikmati novel-novel Umar Kayam dan Y.B. Mangunwijaya, sebelum berlanjut ke
novel-novel Pram. Tapi yang saya sukai tentu novel-novel Agatha Christie. Hehe.
Nggak, ding. Semua novel memiliki kekuatannya sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar