Data Kumpulan Puisi
Judul : Etsa
Penulis : Toto Sudarto Bachtiar
Cetakan : III,
1976 (Cet. I, Jakarta 1958)
Penerbit : PT.
Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 48
halaman (40 puisi)
Gambar jilid :
Popo Iskandar
Beberapa
pilihan puisi Toto Sudarto Bachtiar dalam Etsa
Ode I
Kutanya, kalau
sekarang aku harus berangkat
Kuberi pacarku
peluk penghabisan yang berat
Aku besok bisa
mati. Kemudian diam-diam
Aku mengendap
di balik sendat kemerdekaan dan malam
Malam begini
beku, di manakah tempat terindah
Buat hatiku
yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
Tanahku yang
baru terjaga
Malam begini
sepi, di manakah tempat terbaik
Buat peluru
pistol di balik baju cabik
O, tanah di
mana mesra terpendam rindu
Kemerdekaan
yang mengembara ke mana saja
Ingin aku
menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
Engkau pada
pilar derita, megap nafasku di gang tua
Menuju kubu
musuh di kota sana
Aku tak sempat
hitung langkahku bagi jarak
Mungkin pacarku
kan berpaling
Dari wajahku
yang terpaku pada dinding
Tapi jam tua,
betapa pelan detiknya kudengar juga
Di tengah malam
yang begini beku
Teringat betapa
pernyataan sangat tebalnya
Coretan-coretan
merah pada tembok tua
Betapa lemahnya
jari untuk memetik bedil
Membesarkan
hatimu yang baru terjaga
Kalau sekarang
aku harus pergi, aku hanya tahu
Kawan-kawanku
akan terus maju
Tak berpaling
dari kenangan pada dinding
O, tanah, di
mana tempat yang terbaik buat hati dan jiwaku
Pusat
Serasa apa hidup
yang terbaring mati
Memandang musim
yang mengandung luka
Serasa apa
kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa
bicara
Diri mengeras
dalam kehidupan
Kehidupan
mengeras dalam diri
Dataran pandang
meluaskan padang senja
Hidupku dalam
tiupan usia
Tinggal seluruh
hidup tersekat
Dalam tangan
dan kari-jari ini
Kata-kata yang
bersayap bisa menari
Kata-kata yang
pejuang tak mau mati
Au Revoir
Pada waktu itu,
pada hati waktu
Yang mengandung
gelita yang membatu
Burung hantu
dan malam
Yang gelisah
bagai serdam alam
Bersama
kemerdekaan yang terus mengelana
Detik demi
detik membebankan nasib dengan bencana
O, terasa
nyaman mengenang jalan-jalan di luar penjara
Menajamkan
sanggurdi bagi pemacu jalanan!
Etsa
Suara kasih
dalam hati malam
Kian lincah,
tapi kemudian membeku
Tanpa bulan,
karena bulan beradu
Dan hatiku
sendiri kian terbenam
Kawan
Biasanya dia
berjalan malam-malam
Menggigil
karena angin terlalu tajam
Orang-orang
memandangnya dengan membelalak
Tapi aku tidak
Apa yang tak
memikatnya sampai ke hati
Lampu dan
bintang-bintang menyala tinggi
Matanya sayu
membelai semua yang berjalan
Perempuan-perempuan,
anak-anak berkejaran
Kalau malam
putus asa tambah menurun
langkahnya pun
bertambah berat berembun
Kadang-kadang
dia berhenti, melihat padaku
Kami sama-sama
tersenyum pahit pilu
Aku tak perlu
tahu dia siapa
Tapi kami
pernah sama mencintai malam
Aku dan dia tak
ada bedanya
Hidup keras
indah menari depan mata
Danau M
(untuk Bahar)
Serasa pernah
kukenal gunung-gunung ini
Juga paras
danau
Yang tepinya
tak kelihatan
Sangat lajunya
sekunar berkejaran
Burung-burung
terbang siang hari
Air gemersik
perlahan meninggalkan daunan
Ada daunan layu
serba 'kan gugur
Yang dahannya
langsing melentur-lentur
Semuanya
mengacu padaku
Dan sampai pada
jamahan tiada berupa
Hidupnya
perasaanku pagi ini
Tapi hidupku
tak hidup di sini
Jendela
Dulu kutengok
lagi dari sana, mungkin kau datang
Kebetulan tirai
tersingkap angin pagi yang lantang
Mengantar
pipimu yang merah tersipu
Alangkah
beratnya rindu
Pada jendela
berdetik-detik air hujan
Kutahu pasti
kau akan tiba
Tak usah
memandangku penuh hiba
Aku ingin tahu
apa aku bisa pergi selamanya
Tak usah juga
engkau menampikku
Karena aku pun
sedia pergi
Menuju arah di
mana musim-musimnya bisu
Buat selamanya
Tegak
Antara ada dan
tiada
Yang kutahu
diriku hanya
Memandang
lantun tertinggi hidup kita
Betapa juga
pendeknya ...
Cinta, riah
musim yang debar-debar jantungnya
Sangat tambah
mesra ajakannya
Bersolek di
atas cahaya matamu
Betapa sibuknya
kupandang sekali
Juga alangkah
sibuknya cinta dan kerja
Asyik
menghitung satu dua tiga tiada habisnya
Tapi bisa
terbengkalai sebab sepi yang datang
Antara ada dan
tiada
Muka
Pada kaca
jendela kulihat wajahku
Berat bersinar
matinya yang akan tiba
Sangat dekat
nafas usia, tapi tak teraba
Tapi aku betul
tahu, dia memang wajahku
Tangan dalam Kelam
Tangan halus
yang bisa merabaku dari jauh
Jadi tangan
bisik yang mengulur belas padaku
Tangan mesra
yang jari-jarinya sayang
Aku sangat
rindu kepadanya
Kalau hidup
mengandung neraka
Hendaklah
hidupku ini saja
Tanpa hidup
orang-orang lain yang baik
Yang tangannya
jauh tak berdaya
Tangan halus
yang bisa dari jauh cinta padaku
Cukup baik
untuk memegangnya
Ah, dunia dosa
Aku kembali
bermimpi tentangmu
Takut tanpa
ujung karna hidup terlalu cinta
Jari-jariku
ingin mengurai wajahnya
Tanpa kaku,
tanpa terlena tidur
Karena kantuk
semangatku jadi kendur
Tangan yang
mengulur mesra kepadaku
Wahai dunia
yang gaungnya kudengar
Apa arti
jari-jari yang terkulai lapar
Biar dia
melambai kepadaku
Jembatan Tua
Sudah begitu
lama, masih juga aku lalu
Berapa banyak
kaki telanjang dan bersepatu
Menggetarkan
tangan-tangannya
Yang siang
begitu menyala dan malam begitu biru
Bergandengan
tangan kadang sepasang merpati
Melambatkan
langkahnya dan kemudian berhenti
Waktu memandang
ke bawah air bisu mengerdipkan matanya
Berlaksa mimpi
menemukan matinya yang indah di sana
Awan yang lena
terkaca di atasnya
Sarat
mengandung muatan mendungku ini
Tergila-gila
memang hatiku yang banyak meminta
Tanpa sebab,
dalam terowongan perjalanan yang akan sebentar saja
Tetapi selalu,
kalau aku di sana, aku mendengarnya
Suara yang tak
habis-habisnya sampai
Kalau engkau
sekali menjadi setuaku
Nasibmu mungkin
lebih baik dari padaku
Tentang Toto Sudarto Bachtiar
Toto
Sudarto Bachtiar lahir di Palimanan (Cirebon), 12 Oktober 1929. Pendidikan al,
MULO dan SMA di Bandung, kemudian Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta.
Pada waktu pecah perang kemerdekaan, ia bergabung dalam Tentara Pelajar Korps
Pengawal Divisi Siliwangi di Tasikmalaya, dan pada waktu terjadi Clash ke-1 ia
bergabung dengan Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pernah
menjadi redaktur majalah Angkasa (milik AURI) sewaktu masih mahasiswa,
juga menjadi redaktur majalah Menara di Jakarta, sebelum tahun 1964
turut mendirikan majalah Sunda di Bandung. Sajak-sajaknya mulai
bermunculan tahun 1950-an, kebanyakan setelah tahun 1953. Sebagaian dikumpulkan
dalam Suara (Kumpulan sajak 1950 - 1955), yang mengantarkan penyair ini
memperoleh hadiah sastra nasional dari BMKN. Selain menulis sajak, juga
menerjemahkan cerpen, emnulis esai kebudayaan, sastra dan politik.
Catatan Lain
Barangkali
hanya ada dua sajak Toto Sudarto Bachtiar yang sekilas masih saya ingat dari
ingatan masa-masa saya sekolah tempo lalu. Yang bunyinya semacam ini: Ia
terbaring, tapi bukan tidur sayang dan Gadis kecil berkaleng
kecil/senyumnya terlalu kekal untuk kenal duka. (Nanti akan saya cross-cek
lagi, adakah puisi-puisi tersebut sempat saya tuliskan di buku tulisan tangan
saya). Sepertinya dua puisi itu terdapat dalam kumpulan puisi Toto yang satu
lagi, Suara. Buku ini (Etsa) tanpa kata pengantar sama sekali. Biografi
penulis diletakkan di sampul belakang. Terus terang saya girang menemukan buku
ini pertengahan desember lalu di perpustakaan provinsi. Entah muncul dari mana,
sebelum-sebelumnya tak terlihat. Padahal di rak itu sudah saya teliti
sebelumnya. Pertama seumur hidup saya menemukan buku puisi penyair yang selama
ini hanya hidup dalam ingatan saja. Penyair, yang di buku-buku sekolah,
disebut-sebut berada di bawah bayang-bayang Chairil Anwar. Sebelum membaca
Etsa, kesan saya terhadap Toto Sudarto Bachtiar adalah ia seorang yang
romantik. Namun setalah membaca Etsa, ada beberapa kata yang kerap muncul,
yaitu malam. Pandangan-pandangan Toto, barangkali bisa dilacak dari
keterpesonaan dan interpretasinya terhadap malam.
Aku tak
perlu tahu dia siapa
Tapi kami
pernah sama mencintai malam
Aku dan dia
tak ada bedanya
Hidup keras
indah menari depan mata
(dalam puisi Kawan)
Ketemu.
Ternyata dua puisinya sempat saya tuliskan, yaitu Pahlawan tak Dikenal
dan Gadis Peminta-minta. Berikut puisinya:
Pahlawan tak Dikenal
Sepuluh tahun
yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan
tidur, sayang
Sebuah lubang
peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya
mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat
bilamana dia datang
Kedua lengannya
memeluk senapang
Dia tidak tahu
untuk siapa dia datang
Kemudian dia
terbaring, tapi bukan tidur, sayang
Wajah sunyi
setengah tengadah
Menangkap sepi
padang senja
Dunia tambah
beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih
sangat muda
Hari itu 10
Nopember, hujan mulai turun
Orang-orang
ingin kembali memandangnya
Sambil
merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak,
wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun
yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan
tidur, sayang
Sebuah lubang
peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya
mau berkata: aku sangat muda
Gadis Peminta-minta
Setiap kita
bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu
terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah
padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku
jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut,
gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah
jembatan yang melulur sosok
Hidup dari
kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari
kemanjaan riang
Duniamu yang
lebih tinggi
Melintas-lintas
di atas air kotor, tapi yang begitu kau hapal
Jiwa begitu
murni
Untuk bisa
membagi dukamu
Kalau kau mati,
gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas
itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah
kotaku
Hidupnya tak
lagi punya tanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar