Data buku kumpulan puisi
Judul : Mata Air Akar Pohon
Penulis : Nur Wahida Idris
Cetakan :
I, April 2008
Penerbit :
[Sic], Yogyakarta.
Penyunting :
Saut Situmorang
Tebal :
96 halaman (51 puisi)
ISBN :
978-979-168493-6
Gambar sampul : Abu Bakar
Rancang sampul : Nur Wahida Idris
Lay out : Adi Samawa
Beberapa pilihan puisi Nur Wahida Idris dalam Mata Air Akar Pohon
Aku Sedang Tidak Meludahi
Diri Sendiri
aku sedang tidak meludahi diri sendiri!
bila langit berubah
perangai
di mana kakiku mesti berjejak
agar tanah tak salah tuju
mengalirkan mata air
aku hanya tahu musim
tak berkaki
menawan angin dalam tubuhku
biar jinak kehendak sendiri oleh waktu
yang tak tentu mengubah wujudnya di mulutku
si kucing liar! serumu
sambil mengeong di ujung lidahku
lalu melompat geram di jejak kaki
mengendus langkahku yang pincang
aku sedang tidak meludahi diri sendiri
kaislah bau tubuhku
bagai kutuk abadi di jalan kini dan masa lalu
yang terus menanti
Yogya, Oktober 2003
Penari
: desak putu kari
memang akhirnya kami kembali
dan berkumpul di carangsari...
tubuh penariku
melemparkan bunga tumbal
ke asap dan air yang
berpusar
di dasar takdir aku menari
kuserahkan kaki dan tangan ke dalam ruhmu
tapi mata dan ruh yang bergerak
menemu senyap cahaya di rahimku
duh ratu,
gending tangis anak-anak berdesingan
menabuh gamelan di ubun-ubun merah
dikeraskan darah kering ayah mereka
sedang aku,
terus berpusar di tarian maut ini!
aku ibu yang menari tanpa bunga dan air suci
bintang-bintang yang sembunyi
di lelap mata anakku
memercik duri-duri cahaya
membakar mahkota bunga
di kening mereka
di carangsari...
memang akhirnya kita bertemu
langit memutih
membuat bayangan menjadi abu
darah menggenang di kening berlubang
dan hari-hari menguning di pelukan kami
miri-sawit, juli 2004
Khotbah
riwayat dosa selalu menguntit
keingintahuan yang ragu
mengekalkan
ketidaktahuanku
jumat kekal di hari-hari naif
buah tangan matang
sebelum kupersembahkan
buat makan malamku yang sendiri
mengunyah mimpi
manisku
kenyataan di sekitarku redup
di mata orang-orang
merajah bintang
dan sebak nafasnya
melicinkan lidah, senyap gerit di perutku
wahai bayang di cermin
yang lantas tak
berwajah
gairah disucikan untuk tak meraba
berikan seteguk madu
untuk orang-orang suci melenggang
di jalanku yang sesat
miri-sawit, november 2005
Turun dari Dieng
ketika malam naik
kami turun dari dieng
jurang-jurang benderang
tapi tatahan di batu berlumut
mengirim kabut ke lembah-lembah
kami lupakan asap dupa
yang mengeraskan
altar
terusir dari dataran dingin penjinak kabut
dan bersitegang dengan maut
kami berlima bagai segerombolan
makhluk ganjil yang naas
saut moksa di tikungan
tan, dal, dan juha
sepanjang jalan tak henti meniup dupa
dan bunga yang
berguguran
di batas jalan yang dikeramatkan
kami hentakkan kaki yang membatu
dan sebagian keropos
tersentaklah ruh para pendeta
yang terikat di pohon-pohon
candi-candi melayang
bersama saut yang menjelma jadi pendeta
dan mantra-mantra
tertatah
di batu lontaran lahar dan kata-kata
banjarnegara-sawit, 2004-2005
Keinginan
aku biarkan diriku
menemuimu petang ini
kubiarkan musuh-musuh dalam diriku
menggiring kuda-kudanya
ke padang rumput berwarna merah
-
cahaya mataku yang merana
dan
udara bergetar di atas rumputan
kau mungkin mengenang
lambaian tangan dan pesan-pesan
agar berkabar setelah sampai tujuan,
lalu aku mengenang kelam jalan-jalan
adakah kau siap-siaga mengintai debar jiwaku
yang
kehilangan
dan
selalu berhasrat menghukumku?
kau menemuiku bagai cahaya yang melesat
seketika alam di sekitarku padam
aku telah kehilangan waktu
untuk abai padamu
miri-sawit, juni 2005
Aroma Kopi di Kening Ibu
aroma kopi mengingatkanku pada kening ibu
menyangrai biji matanya, bagi hidupku yang
terus nyala
pecah biji pelupuk
jadi arang menisik bibir ibu
biar diam segala cecap
lalu batu membungkus
diri di lidahku
aroma dan angin saling meminang
biarkan aku tumbuh di keras keningmu
biar kucecap setiap ingatan sampai ke lubuk
lesung hitam kening ibu, menggerus ujung aluku
bertubi-tubi berhasrat sempurnakan jalan panjang
kini
yang tak kutahu
berujung di telunjukmu
ayak, ayaklah kini darah yang mengental
di simpang tubuhku
pilih, ibu, pilihlah kalimat sakit di kubur
tidurku
biar pecah biji kopi di gelas piala
dan waktuku
pelupukmu yang terus berjaga
miri-sawit, oktober 2003
Loloan
apa yang dapat kukenang
dari kampung halaman
ayah yang murung di kamar
atau lambaian kain ibu
mengipas angin menarik layar
kampung kian mengecil
terhapus ombak di gigir sampan
ke mana tangis yang tadi beriak di antara kami
ah, hanyalah sekelebat bagian
yang minta jadi kenangan
kenangan hanya milik
ayah dan para lelaki
kampungku tak pernah terasing
di negeri asing yang mengurungnya
dan kami bagai anak piatu
tak sempat mengenal suara ibu
senandung buaian selalu kami cari dari negeri
yang jauh
dari pemilik ranah beribu
dan kami pun terbuai
bagai tangan kasih mengusap-usap keletihan
dari jejak diri yang mengabur
lalu aku meminjam senandung-senandung itu
bagai milikku sendiri
peninggalan nenek-moyang kami
yang saling bertukar tempat dan bersilang
turunan
dan kubayangkan suara ibu bersenandung pelan
mendongengkan asal-usul leluhur dan tersebab
kelahiranku
ah, kenangan
mengajakku menemui
ibu
di maha luas gelombang yang saling bertepuk
dapatkah kucari kenangan tentang kampung
halaman
yang tak lagi yatim-piatu
yogya, 2003
Stateless
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
(umbu landu paranggi)
telah kupijak tanah
subur
bagi sejarah
kematianku
langit biru cerah
secerah warna biru kertas surat cinta
pertama dari kekasih
orang-orang berwajah kehijauan menyambutku
seperti kartu hijau yang kini menyidikku
dari mana asalku,
mengapa aku tiba di sini,
ke mana aku menuju,
apa saja kehendakku?
isi koperku
menyerap seribu wujud maut di setiap pintu
sapaan penjaga, petugas periksa dan alat rekam
bagi jalan-jalan gelap di tubuhku
lampu-lampu putus, kata-kata tanpa kartu,
jalan masuk tak tertera, tanpa surat jalan
di mana pun hidup
tak kan pernah aman,
satu masa memihak
lain tempat menolak
di mana pun berpijak
aksenku bersiap jadi tajuk interogasi
meretas garis edar
sidik jari
ribuan mata menyamun wajah asingku
bahkan seekor lalat yang hinggap di pipi
menduga-duga aroma pa yang tercium
sebuah ruang transit
garis lingkar demarkasi
terus mengecil, setiap kusebut nama,
tujuan dan keinginan
menjadi kolam kutukan
yang bertahun mencelup kakiku
benda-benda sekeliling mencair
membuat air meluap jadi danau
menjadi lautan, sepi sekeliling ...
tapi jarak pandang hanya sebatas lengkung bumi
kapal-kapal besar, layar-layar megah
dan kibaran bendera bermunculan
lebih dalam tercelup ke punggung laut
menandai batas jalan air yang tak tersentuh
tanganku
gerak gelombang memunculkan hurup-hurup
dari arus kecemasan,
kekuasaan
kapalku hanya tinta yang memercik dari
hurup-hurup itu
nama-nama mengambang di permukaan laut
dan berkibaran di ujung tiang kapal
menyeru arah mata angin – sebagian dari napas
yang kuhembuskan
laut dan daratan sama saja
kapal ditenggelamkan agar tak mencapai daratan
dan langit yang kupuja
imajinasi tersekat bayang-bayang diri yang
menakutkan
kapan dan di mana pun
selalu dihadang
bahaya,
maka kuikhlaskan
tubuh ini
tak aman bagi setiap
tanah
bagi
setiap pijakan
kutolak bumi dan langit untuk yang fana
tapi setiap ingatan yang kumau dalam pikiranmu
menjadi tanah wakaf bagi hakekatku
miri-sawit, 2006 – maret
2008
Bulan Ketujuh
: chit ngiat pan
tiga ekor kerbau menyisir kota
tepat ketika malam sirap dalam gelap
mengintai lima palung sarang rangrang
yang ganjil
cahaya takluk di punggung legam
tiga pengintai, seekor bertanduk
mengendus hijau lalang, lebat miang
bagi arwah yang sedih
pulang tak berumah
gairah ranum tak
berdaun
yang jalang lecut maut
mengubah jalan-jalan jadi sungai
gedung dan ruko-ruko mengambang bagai sampan
mengalir ke muara api ...
lima palung sarang rangrang
mengulum kabut bagi mula cahaya
memasang perangkap untuk maut
yang lengah menakar nasib
abai mata angin
dan hilang rasa pada
waktu
aku sebuah palung
yang memasang jerat tujuh lubang rahasia
bagi mata nujum yang menjarah doa suci
walau lingkaran bulan makin ganjil
denyar cahaya menyepuh kata pahit
dan janji maut tak sanggup terucapkan
tiga ekor kerbau
menikung jalan ke arah kuil
mengarak rangrang sepenuh jalan kota
ke makam leluhur yang setengah hati
kuberi penghormatan
kini, cahaya bulan sepenggal
menjauh dari kota
menyihir yang tersedu jadi serbuk kayu
mengalir ke sungai-sungai dangkal
belinyu-sawit, agustus 2006
Chit ngiat pan adalah
sembahyang arwah yang dilakukan di rumah masing-masing oleh masyarakat
tionghoa, pada bulan ke tujuh hitungan tahun cina
Ketugtug
ketugtug, kampung hulu
kudengar sumur-sumur mulai dangkal
dan gemerincing uang logam
jadi hiasan kalung bidak catur
kampung hulu, derak gerobak perempuan yang
berjaga
bunda malam yang riang dalam rinai
mengelus embun dengan syahdu
kini kudengar lagi jerit yang menggeretak
akar bambu terbakar, sungai lenyap dalam
semalam
kampung ditinggalkan buaiannya
yang hendak menyelam rindu
ke mana pergi?
jembatan rubuh
hawa angin bersisik peluh
apakah hujan hendak berkabar?
sementara aku di sini
menunggu gerak angin
memulihkan mainan kenangan
berlayar di lautan daun musim gugur
menghalau gigil perahuku
menggapai tepi
miri-sawit, 2000
Tentang Nur Wahida Idris
Nur Wahida Idris lahir
di Ketugtug, Loloan, Negara, Bali, 28 April 1976. puisi-puisi awalnya banyak
muncul di rubrik “Apresiasi” Bali Post Minggu, di bawah asuhan Umbu Landu
Paranggi (1994-2000). Tahun 1998 hijarah ke Yogyakarta, aktif di Komunitas
Rumahlebah dan AKAR Indonesia. Menyelesaikan studi di jurusan kriya/tekstil,
fakultas seni rupa , ISI Yogyakarta, 2007. puisinya dipublikasikan al Koran Tempo, Kompas, Suara Merdeka, Minggu
Pagi, Bernas, majalah Horison,
dll.
Catatan
Lain
Dalam pengantarnya,
Nur Wahida Idris menyadari posisinya. Dia menulis begini: “Setidaknya yang membuat saya berbeda adalah keberadaan saya sebagai
perempuan di tengah konstruksi sosial yang memang belum setara, maupun
pengalaman yang berkaitan dengan alat reproduksi...” Baginya ini menjadi
dasar untuk mencari perspektif, ungkapan dan bentuk pengucapan yang berbeda. Ia
juga menengarai untuk tidak ingin ikut-ikutan merayakan wacana tertentu,
baginya, persoalan apapun jika menjadi kegelisahan dan butuh dituliskan, maka
dituliskanlah, dengan atau tanpa idiom, diksi dari wilayah domestik perempuan. Ia
juga mencatat, bahwa ada yang beranggapan kehadiran atau pencapaian-pencapaian
yang diusahakannya di dunia sastra karena faktor Raudal Tanjung Banua, sang
suami. Bahkan ada yang berkomentar bahwa puisi-puisinya adalah puisi Raudal
yang sengaja ditulis atas nama dia. Nur Wahida tentu saja meradang, ia merasa
berada di posisi dilematis dalam struktur masyarakat yang patriarkis.
Seharusnya, pasangan suami istri, yang memutuskan terjun di dunia penulisan
kreatif, dapat dipandang sebagai sparring
partner. Oya, buku ini milik Hajri,
saya mengusiknya dari rak bukunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar