Data buku kumpulan puisi
Judul : Beranda
Cahaya
Penulis : Dinullah Rayes
Cetakan : I,
2001
Penerbit : Yayasan
Mitra Sastra Mataram.
Penyunting :
Kaharuddin Sarbini, Riyanto Rabbah, Sambirang Ahmadi
Tebal : xxi
+ 212 halaman (192 puisi)
ISBN : 979-96443-0-5
Desain sampul : Drs. Mayusfri
Ilustrasi : Widodo
Arumdono, Ujang Kurniawan
Prolog :
Korrie Layun Rampan
Beberapa pilihan
puisi Dinullah Rayes dalam Beranda Cahaya
Gunung
Tambora
Gunung Tambora
menyundul langit
biru Sumbawa
Pagi hari mentari
mengirim sinar
Menerpa wajah
hijau berseri
Sore hari
terpateri
Cahaya layung
ramping
Kening gunung
menjulang
menyimpan misteri
memendam materi
Air bening
mengular
membelit tumit
bukit
menuruhi lahan
sawah
Mengalun
kesuburan
Membuka kelopak
senyum warga dusun
Damai pun
menyemai
Di mana-mana
Suara
Muhammadiyah, No. 14/75/1990
Aku dan
Bayangan
Menggores aksara
saat sumpah
setia. Atas nama
adam dan hawa.
Kulit pohon palma
ini
terbaca wajah
zaman
pelepah daun yang
luruh
harapan-harapan
yang mengubur diri.
Kembali malam ini
aku dan bayangan
di bawah bulan tua
melepas angan
memburu wajahmu
yang pergi
tiada kembali
lagi.
Doa berkendara
kereta langit
Tuhan!
warnai hidupku
selalu
pancarkan nur-Mu
dalam hatiku
kelam berdebu
(Puisi-puisi/Pertemuan
Sastrawan 1974)
Jakarta
Pucuk menara
kembang api
telapak kaki
sepi
(majalah
Horison, Pebruari 1976 Th. XI)
Pesan
Seorang Residivis pada Kekasihnya
Bangku-bangku
panjang melingkar
berdesakan
bayangan dalam resah
menyimak benturan
kata-kata
sejenak lagi
namaku terdengar
lima aksara luluh
dalam riak waktu.
“Tinggallah
engkau di sini: sayang
nasib yang sepi
kugenggam
sampai nisan tak
bertanda
tiada menyapa
siapa.
harap kau catat
pagi ini jarum
detik jantungku
terasa begitu
laju.”
(Puisi
Majalah Sastra, No. 1 Th. 1 Nopember 2000)
Sajak
Musim Kemarau
Akar-akar
pepohonan di hutan
akar-akar semak
belukar di tepi dusun
akar-akar bunga
di halaman depan
akar-akar perdu
di belakang rumah warisan
Mulut-mulut yang
menganga mohon secawan air hujan
basahi kerongkongan
kering gersang
Pucuk-pucuk daun
pun merunduk, sembah sujud satu tujuan
Dari gumpalan
awan hitam, Tuhan menempa jutaan
tempayan
“KUN”
Air pun tercurah
dari kerajaan langit
Bulu-bulu akar
rambatkan puji syukur
sepanjang jalan
kehidupan
Menyentuh lahan
hatiku
menguap bau harum
surgawi di tanah lahir
Alangkah mesranya
cinta yang diukir
jemari
tangan-Nya.
(Suara
Muhammadiyah No. 7 Th 67 / April I 87)
Reuni
dalam ruang gelap
senyap
siapa pula yang
bersandar
pada dinding
angin. menjilati cairan
gula enau. matahari
terpelai dedaunan
tiada terhitung
dengus nafas dalam
temaram.
menyentuh rumpun bunga
rahasia saling
pandang lalu berjalan
berbimbingan
tangan angan. dari balik daun
pintu jelaga
terdengar suara ketukan
pelan-pelan
kemudian nyaring
lalu mendaki lereng
malam dan tiba
pada titik puncak
lalu menurun
ini sebuah irama
hidup, katamu
tetapi mengapa
kau tetap diam menunggu?
tak menyapa
siapa. di sini suara bicara
dalam isyarat. di
luar tak ada sosok misteri
menunggumu lagi.
angin mengendap sepi menyergap
segalam melebur
dalam gua gelap
berbaur bayang
Maha Misteri. barisan roh
menunggu aba-aba
akhir-Mu
(Simponi,
17-5-1987)
Brang
Bulaeng
Bagi
PT. Newmont Nusa Tenggara
Dari hulu
pedalaman Sumbawa
Mengalir,
menghilir Brang Bulaeng
Harapan anak
negeri segera mereguk air jernih bening
Menyirna dahaga
deraan kemarau panjang
Tapi orang asing
itu merampas cawan dari tangan kerdil kering
Lalu anak negeri
memandang kening langit muatan mendung hitam
Batu-batu bisu di
lubuk kalbunya yang buram
Aneh!
Tiba-tiba Brang Bulaeng
jelma telaga es mengemas
Tapi kita dihalau
bagai kucing kurap kurus
Dilarang menyauk
apalagi mandi di tepinya
Di sini kita
merasa asing dan sepi
Di kampung
halaman sendiri
Aneh!
Air Brang Bulaeng
membeku warna kuning gading
Jelma pilar-pilar
bangunan negeri surga
Anak negeri merekah
senyum bersama rembulan
Tiba-tiba
dirampok tangan-tangan putih benua jauh
Direbut
tangan-tangan sawo matang seberang lautan
Anak negeri pun
jelma daun-daun dikerumus ulat
Semakin ganas
begitu nekat
Aneh tak aneh
saudaraku
Sumbawa bersukma
lebah
Jati diri, harga
diri kita
Haram tergadai
jemari gurita
Yang mengukir
bunga kata-kata
Dari lidah hati
sarat arogansi
(1999,
Kilas, No. 32 tahun I, 2-8 Desember 1999)
Nb.
Brang Bulaeng = sungai emas
Kelahiran,
Kehadiran di Luar Bandar Melaka
Mari kita tamasya
ke Kampung
Sempang, Merlimau
di sini azan awal
memecah sunyi
menyelinap telinga
Tuan Haji Pit Ismail
menghirup sari
daun
menyimak langkah-langkah
mega
menelaah kepak
burung
menghirup napas
cakrawala
Jangan enggan
istirah
di Kampung Bertam
Malim
ranah ini tangis
pertama menggetar lidah
Datuk Haji
Mohamad bin Haji Abd. Rahman
menikmati sentuhan
gugur daunan
meraba bayangan
rebah
membaca sunyi
sembunyi
di balik lembaran
puisi alam
Kita singgah
melemaskan saraf
di Kampung Kuala
Sungai Baru
Datuk Borhan bin
Md. Yaman
meluncur dari
kandungan bunda
mendengar siul
burung
merekam seruling
gembala
memanggil angin
lembah
menyambut udara
tiba
membawa sabda
sarat rahasia
Pengembara muda
belia
mencuci mata hati
dalam Kampung
Telok Mas
tanah kelahiran
Haji Abdul Samad bin Kasim
menikmati pantun
Melayu
menangkap hikayat
lama
menguak tradisi
leluhur
menopang plapon
sejarah akhir zaman
Hari masih segar
ketika sampai
di Kesang Tua,
Jasin
Tanah tumpah
darah Mohd. Adib Haji Mohd. Adam
menatap sayap
burung menarikan pucuk pohonan
daun kelapa sawit
melambai-lambai pengelana
menyegar sukma
suara bocah-bocah mengaji
dara-dara molek
merebut rumah Allah
resah gelisah
bergegas sirna
Kaki-kaki turis
menapaki bukit hijau
di tepi Kampong
Jalan Permatang Serai, Merlimau
Di sini lahir
Datuk Haji Ahmad Haji Ithnin
gemericik air
sungai menghimbau
bebungaan
mengirim harum
ikan-ikan
gemerlap dalam kolam alam
membuka kelopak
mata batin
duhai!
Mari melepas jiwa
raga
sekujur
Semenanjung Melaka
menjinak mimpi liar
letih
dalam gua ranjang
batu
dalam laut
ranjang karang
dalam kabut dipan
awan
menyemai damai
hati insani
nyanyian surga
mengalun
kita pun pesona
baqa
(Kuala
Lumpur- Melaka 2000: Perisa, Jurnal Puisi Melayu-Malaysia 2000)
Lembah
Harau
Buat
mitra: Wisran Hadi dan Upita Agustine
Lidah-lidah air
terjun lembah Harau
Jilati
bukit-bukit batu cadas terjal
Basahi lambung
sukma yang lapar rindu
Dara-dara gelar
tari bagi kembara yang tiba
Gerak jemari hati
membias wajah cermin alam
Memanggil-manggil
dalam isyarat tangan:
Mari pulang
penyair meramu rasa di ranah Minangkabau
Padang yang
lapang kalbu.
Kita berjalan
atas daun-daun
menimbun kerikil
jalanan
Mengeja cuaca,
rambut-rambut waktu
yang ubanan
Kita segera
pulang
‘pabila umur
gugur dekat kubur
bunda Mualim Kerajaan.
(1999;
Tabloid Kilas No. 50 6-12 April 2000)
Doa
1
Bisik-bisik bunga
rasa
Mendaki lereng
kening-Mu
Semesta pun pesta
cahaya
Tuhan merekah
senyum
2
Tangan pun
menadah
tetesan embun-Mu
Basah kuyup
jemari batinku
3
Kuterbangkan
merpati putih
hinggap di kubah
benak-Mu
sunyi pun tersipu
4
Engkau diam dalam
senyum
Lidah-Mu lisankan
aksara cinta
buka pintu bumi
sepi kasih
5
Hatiku kertas
putih
Kumohon
alif-ba-tas-Mu
Luluh dalam
kaligrafi
bumi, langit
batinku
(1996;
Nusa Tenggara Minggu, 5 Januari 1997)
Bayang-bayang
Rebah
Bayang-bayang
rebah
Sekujur tubuh
kota
Mencari jati diri
Di bangku-bangku
terminal
Di langit
metropolitan
Bulan sepotong
pucat pasi
Kehabisan darah
(Jakarta,
Agustus 1995/ dari Negeri Poci 3, 1996)
Rumah
Kecil di Pucuk Ombak
Buat :
Agus Talino, hari-hari melap limbah batin
Rumah kecil di
pucuk ombak
laut pasang,
langit legam
Payung hitam
mengembang
Bulan sepotong.
Sebutir bintang rontok
Tiada kepak camar
di atasmu
Sayapnya basah,
gemetar
gigil dalam
senyap
Dalam lambung rumah
nelayan
ikan-ikan kecil
menggelepar
Nyala pelita
condong ke kiri
redup dan sirna
dari bilik hati
Siapakah
mengayunkan lengan angin
menampar pipi
laut
hingga
meraung-raung sepanjang malam?
(1992 /
Dari Negeri Poci 2, 1994)
Dinding-dinding
Jasad
Siapapun mengerti
makna wujud tubuh
yang luar yang
dalam
Pilar-pilar putih
topang daging bernyawa
Sebuah lahan batin
bermata air kasih
Adalah tempat
menuai harapan
Kepastian hidup
hari esok
menuju pelabuhan
janji-Nya
1992
Malioboro
Catatan
sepintas buat Emha dan Linus
Lorong-lorong
jalan kotamu gemerlap
Malam-malam gagal menitip gelap senyap
di trotowar, emperan toko
Aku bersama Bambang Widiatmoko
melepas kangen di lahan lesehan
selama ini tergadai sang waktu
Sejak senja kita memecah tabung sunyi
Senda gurau, tawa bahak kita
terkadang terhenti getaran tali guitar pengamen
yang membalut nasib terluka
dalam dandanan jaman berlari
Di samping kiri kita ada perempuan mata seribu
menawarkan betinanya yang terkoyak
pada siapa haus birahi malam gerah
Di sebelah kanan kita ada pemuda-pemuda
menggelar diskusi seputar radius pers
Mencakar-cakar pengendali negeri berlidah ganda
Memaki-maki demonstran asing merobek panji jati diri
Ah, belakang depan kita gedung-gedung menghadang
Kita takut melangkah diterkam rahang gurita
Malam ini batuk dan kantuk sirna
Bulan sepotong itu
betapa arif bijaksana
membagi rata cahaya emas
bagi pepohonan rindang perkasa
buat jemari rerumputan yang kerdil kaku
Kita bergegas menatap langit hitam pekat
tiba-tiba dingin mengigit
Kita pun gemetar
merebut mimpi yang buyar
(Yogyakarta, Agustus 1995 / Dari Negeri Poci 3, 1996)
Malam-malam gagal menitip gelap senyap
di trotowar, emperan toko
Aku bersama Bambang Widiatmoko
melepas kangen di lahan lesehan
selama ini tergadai sang waktu
Sejak senja kita memecah tabung sunyi
Senda gurau, tawa bahak kita
terkadang terhenti getaran tali guitar pengamen
yang membalut nasib terluka
dalam dandanan jaman berlari
Di samping kiri kita ada perempuan mata seribu
menawarkan betinanya yang terkoyak
pada siapa haus birahi malam gerah
Di sebelah kanan kita ada pemuda-pemuda
menggelar diskusi seputar radius pers
Mencakar-cakar pengendali negeri berlidah ganda
Memaki-maki demonstran asing merobek panji jati diri
Ah, belakang depan kita gedung-gedung menghadang
Kita takut melangkah diterkam rahang gurita
Malam ini batuk dan kantuk sirna
Bulan sepotong itu
betapa arif bijaksana
membagi rata cahaya emas
bagi pepohonan rindang perkasa
buat jemari rerumputan yang kerdil kaku
Kita bergegas menatap langit hitam pekat
tiba-tiba dingin mengigit
Kita pun gemetar
merebut mimpi yang buyar
(Yogyakarta, Agustus 1995 / Dari Negeri Poci 3, 1996)
Rindu
Pohon dan hutan : rindu merindu
sukma dan badan : rindu merindu
burung dan
ranting : rindu merindu
ikan dan air : rindu merindu
bayi dan susu : rindu merindu
petani dan sawah : rindu merindu
bocah dan mainan : rindu merindu
biduan dan lagu : rindu merindu
penyair dan puisi : rindu merindu
tinta dan kertas : rindu merindu
aksara dan buku : rindu merindu
surat dan amplop : rindu merindu
tanah dan air :
rindu merindu
kopi dan gula : rindu merindu
kota dan warga : rindu merindu
kaki dan sepatu : rindu merindu
garam dan asam : rindu merindu
flora dan fauna : rindu merindu
dipan dan kasur : rindu merindu
kain dan kapas : rindu merindu
kekasih dan
Kekasih : rindu merindu
insan dan Tuhan : rindu merindu
(1986 /
Suara Muhammadiyah, No 8 Th. Ke-66 , April II-1986)
Tentang Dinullah Rayes
Dinullah Rayes lahir tahun 1937 di desa Kalabeso Kec. Alas, Kab. Sumbawa,
NTB. Ia pernah bertugas sebagai guru SD beberapa tahun 1956—1965. Kemudian
beralih tugas ke Kabin Kebudayaan Kab. Sumbawa di Sambawa Besar untuk
selanjutnya dipercayakan sebagai Kasi Kebudayaan Kandep Dikbud Kab.Sumbawa.
Aktif menulis sejak tahun 1956. Selain menulis puisi juga menulis cerpen, esei,
naskah drama, artikel kesenian/kebudayaan.
Tulisannya tersebar di media massa: Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji Masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhamadiyah, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forum, Tribun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Nusa, Dewan Sastra Malasyia.
Tulisannya tersebar di media massa: Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji Masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhamadiyah, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forum, Tribun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Nusa, Dewan Sastra Malasyia.
Karya-karyanya tekumpul dalam : Anak Kecil Bunga Rumputan dan Capung Ramping (Mega Putih Sumbawa, 1975), Hari Ulang Tahun (Sanggar Mayang, Mataram 1980), Kristal-Kristal (bersama Diah Hadaning, Pustaka dan Penerbit Swadesi, Jakarta, 1982), Pendopo Taman Siswa (Sebuah Episode, bersama 28 penyair Indonesia: Sema FKSS Sarjanawiyata Taman Siswa, Yogyakarta, 1982), Puisi ASEAN (Bersama 39 penyair, Yayasan Sanggar Seniman Muda Denpasar 1983), Angin Senja (bersama 3 penyair NTB, PW HSBI, NTB, Mataram, 1983), Nyanyian Kecil (Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layuan Rampan, Jakarta, 1985), Peta Lintas Batas (bersama Sunaryono Basuki KS dan Hariman, Sanggar Bukit Manis, Bali, 1985), Pendakian (Forum Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Sumbawa, Yogyakarta, 1986), Sosok (bersama 17 penyair Nusa Tenggara Barat, HP3N Mataram, 1986), Seutas Tali Emas (bersama Siti Zainun Ismail, Agus Nurdin, Sulaiman Saleh (BKKNI Propinsi NTB, 1986), Spektrum (bersama 32 penyair Nusa Tenggara, Yayasan Mitra Sastra Mataram, bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesan (YLKMP) NTB, 1988), Istiglal (bersama 2 penyair NTP, Depdikbud Kabupaten Lombok Barat, 1990), Dari Negeri Poci 2 (Pustaka Sastra, 1994).
Catatan
Lain
Dinullah Rayes, sebuah nama yang telah lama saya dengar tapi tidak
puisinya. Sehingga ketika dihadapkan dengan banyak pilihan penyair di rak buku
penyair Y.S. Agus Suseno, tanpa ragu saya memilih buku ini. Penyair yang
bersahaja, saya kira, yang telah banyak mengembara dan terlibat dalam banyak
even sastra. Sehingga tak heran, dalam buku ini bertebaran foto-foto beliau
dengan para sastrawan Indonesia. Full colour, dengan kertas yang bening pula.
Menurut Y.S. Agus Suseno, Dinullah Rayes adalah figur dituakan di daerahnya
sana, semacam Hijaz Yamani untuk wilayah Kalsel. Ia dihormati, kata-katanya
didengar, memiliki wibawa, atau semacam itulah, menurut pikiran saya dalam
mencerna omongan datu tadung mura. Oya, saya ingin menuliskan komentar penyair
Piek Ardijanto Soeprijadi di halaman belakang buku: “Salah satu ragam puisi Dinullah Rayes yang banyak saya baca pada awal
tahun 70-an ialah yang berisi lukisan alam yang dibumbui dengan unsur
Ketuhanan. Saya senang menikmati puisinya yang semacam itu. Saya rasa memang
dia sangat akrab dengan alam dan demikian kuatnya rasa Ketuhanannya.
Puisi-puisinya semacam itu hingga kini masih juga ditulisnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar