Data buku kumpulan puisi
Judul: Blues untuk Bonnie
Penulis: Rendra
Cetakan: XII, 2008 (cet. 1. 1971;
cet. II, 1976, PT. Dunia Pustaka Jaya)
Penerbit: Burungmerak Press
Tebal: 54 halaman (13 puisi)
ISBN: 978-979-17719-2-4
Desain sampul dan lay-out: DS Priyadi
Beberapa pilihan puisi Rendra
dalam Blues untuk Bonnie
Pemandangan Senjakala
Senja yang basah meredakan hutan yang terbakar.
Kelelawar-kelelawar raksasa datang dari langit kelabu tua.
Bau mesiu di udara. Bau mayat. Bau kotoran kuda.
Sekelompok anjing liar
memakan beratusribu tubuh manusia
yang mati dan yang setengah mati.
Dan di antara kayu-kayu hutan yang hangus
genangan darah menjadi satu danau.
Luas dan tenang. Agak jingga merahnya.
Dua puluh malaekat turun dari sorga
mensucikan yang sedang sekarat
tapi di bumi mereka disergap kelelawar-kelelawar raksasa
yang lalu memperkosa mereka.
Angin yang sejuk bertiup sepoi-sepoi basa
menggerakkan rambut mayat-mayat
membuat lingkaran-lingkaran di permukaan danau darah
dan menggairahkan syahwat para malaekat dan kelelawar.
Ya, saudara-saudaraku,
aku tahu inilah pemandangan yang memuaskan hatimu
kerna begitu asyik kau telah menciptakannya.
Rick dari Corona
(Di Queens Plaza
di stasion trem bawah tanah
ada tulisan di satu temboknya:
“Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?”)
Ya.
Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?
- Akulah Betsy
Ini aku di sini.
Betsy Wong dari Jamaica.
Kakek buyutku dari Hongkong.
Suamiku penjaga elevator
Pedro Gonzales dari Puertorico
suka mabuk dan suka berdusta.
Kalau ingin ketemu, telpon saja aku.
Pagi hari aku kerja di pabrik roti
Selasa dan Kamis sore
aku miliknya Mickey Ragolsky
si kakek Polandia
yang membayar sewa kamarku.
Cobalah telpon hari Rabu.
Jangan kuatirkan suamiku.
Ia akan pura-pura tak tahu.
O, ya, sebelum lupa:
dua puluh dollar ongkosnya.
Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya mewah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
Dan kakinya sempurna.
Singsat dan licin
bagaikan ikan salmon
(Rick dari Corona
di perut kota New York
memandang kanan kiri
sambil minum jeruk soda)
Betsy.
Di mana engkau, Betsy?
- Ini, Betsy Hudson di sini.
aku merindukan alam hijau
tapi benci agraria.
Aku percaya pada dongeng aneka ragam
Aku percaya pada benua Atlantis.
Dan juga percaya bahwa hidup di bulan
lebih baik dari hidup di bumi.
Pada politik aku tak percaya.
Namaku Betsy.
Memang.
Tapi kita tak mungkin ketemu
Siang hari aku kerja jadi akuntan.
Malam hari aku suka nulis buku
harian.
Untuk merias diri
memelihara rambut dan kuku
telah pula memakan waktu.
Namaku Betsy.
Cantik
Aku suka telanjang di depan kaca.
Aku benci lelaki.
(Dengan mobil sport dari Inggris
Rick dari Corona
mengitari kota New York
berkacamata hitam sekali.
Melanggar aturan lalu lintas
ia disetop polisi
sambil masih mimpi siang hari)
Betsy gemerlapan bagai lampu-lampu Broadway.
Betsy terbang dengan indah.
Bau minyak wanginya menidurkan New York
Dan selalu sesudah itu
aku diselimutinya
dengan selimut katun
yang ditenunnya sendiri
Betsy, di mana engkau, Betsy.
- Di sini, bodoh!
Kau selalu tak mendengarkan aku, Ricky!
Kau selalu menciptakan kekusutan.
Sepatu tak pernah kauletakkan pada raknya.
Selalu kau pakai dasi yang kacau warnanya.
Berapa kali pula kau kuperingatkan
kalau tidur jangan mendengkur.
Itu barbar.
Dan Ricky!
Kau harus belajar makan sup yang lebih sopan!
(New York mengangkang.
Keras dan angkuh.
Semen dan baja.
Dingin dan teguh.
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
terdengar musik gelisah
yang tentu saja
tak berarti apa-apa)
Rick dari Corona telah di sini
Ya. Ya.
Betsy, engkau di mana?
- Ricky, sayang, aku di sini.
Ya. Ya.
+ Engkau hitam.
Engkau bukan Betsy.
Engkau macam Negro dari Harlem.
- Pegang pinggulku
Rasakan betapa lunak dan penuhnya.
Namaku Betsy. Ya. Ya.
+ Gadisku selalu menjawab dengan sabar
segala pertanyaanku yang bodoh dan sangsi.
- Aku Betsy kerna aku Negro.
Kerna aku Negro
aku adalah tanggung jawabmu.
Ya, namaku Betsy.
Telah kuputuskan namaku Betsy
+ Apyun. Apyun.
Aku hasratkan pengalaman mistis.
Aku ingin melukis tubuhmu telanjang.
sambil kuhisap mariyuana.
- Ricky, sayang, engkau akan kuninabobokan.
Dan bagai bayi akan kaupuja tetekku.
+ Dari Queens. Dari Brooklyn. Dan dari Manhattan….
- Ricky, sayang, garudaku sayang.
+ Sebab irama combo, sebab buaian saxophone…
- Pejamkan matamu.
Dan bagaikan banyo
mainkanlah aku
(Di Harlem, Manhattan, New York
di mana orang tinggal penuh sesak
di mana udara bau air kencing dan sampah
di musim panas dengan udara sembilan puluh lima drajat
para Negro menari watusi di tepi jalan
dan pada drajat ke seratus dua
terjadi perkelahian antara mereka).
Hallo. Hallo.
Di sini Rick dari Corona.
Dan Betsy juga di sini…
Hallo, Dokter.
Kami harus disuntik sekarang juga.
Kami kena rajasinga.
Blues untuk Bonnie
Kota Bostron lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam café itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.
Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubug-gubug kaum Negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Orang-orang berhenti bicara.
Dalam café tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya.
Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.
Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Serentak dilihat muka majikan café jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut
Negro itu menengadah.
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap ke surga.
Dan surga.
melemparkan sebuah jala
yang menyergap tubuhnya
Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.
Angin bertalu-talu di alun-alun Boston.
Bersuit-suit di menara gereja-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si Negro menghentakkan kakinya
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
wajahnya kotor, basah dan tua
Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah.
Sedang di tengah-tengah itu semua
ia rasakan sentakan yang hebat
pada kakinya.
Kaget
hampir-hampir tak percaya
ia merasa
encok yang pertama
menyerang lututnya.
Menuruti adat pertunjukan
dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan duduk di kursi
Seperti guci retak
di toko tukang loak.
Baru setelah menarik napas panjang
ia kembali bernyanyi.
Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih di sana
setia tapi merana
Anak-anak Negro bermain di selokan
tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual
banyak hutangnya.
Dan di hari Minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
Di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
kerna di dunia mereka tak berdaya.
Georgia.
Lumpur yang lekat di sepatu.
Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
sama-sama telah tua
Sorga dan neraka
keduanya usang pula.
Dan Georgia?
Ya, Tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
masih juga Georgia menguntitnya.
Kupanggil Namamu
Sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu, wanitaku.
Apakah kau tak mendengarku?
Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.
Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa
Sia-sia.
Tak ada yang bisa kujangkau.
Sempurnalah kesepianku.
Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.
Berulang kali kupanggil namamu
Di manakah engkau, wanitaku?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggil namamu.
Kupanggil namamu.
Kerna engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sediakala
hanya memedulikan hal yang besar saja.
Seribu jari dari masa silam
menuding kepadaku.
Tidak.
Aku tidak bisa kembali.
Sambil terus memanggili namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku.
Penuh. Dan prawan.
Keheningan sesudah itu
sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota
Jakarta
Pelacur-pelacur kota Jakarta
dari kelas tinggi dan kelas rendah
telah diganyang
telah diharu-biru.
Mereka kecut
keder
terhina dan tersipu-sipu.
Sesalkan mana yang mesti kausesalkan.
Tapi jangan kau kelewat putus asa.
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban.
Wahai, pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah.
Sanggul kembali rambutmu
Kerna setelah menyesal
datanglah kini giliranmu
bukan untuk membela diri melulu
tapi untuk melancarkan serangan.
Kerna:
Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
tapi jangan kau rela dibikin korban.
Sarinah.
katakan pada mereka
bagaimana kau dipanggil ke kantor mentri
bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
tentang perjuangan nusa bangsa
dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
ia sebut kau inspirasi revolusi
sambil ia buka kutangmu.
Dan kau, Dasima
Kabarkan pada rakyat
bagaimana para pemimpin revolusi
secara bergiliran memelukmu
bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
sambil celana basah
dan tubuhnya lemas
terkapai di sampingmu
Ototnya keburu tak berdaya.
Politisi dan pegawai tinggi
adalah caluk yang rapi.
Konggres-konggres dan konperensi
tak pernah berjalan tanpa kalian.
Kalian tak pernah bisa bilang “tidak”
lantaran kelaparan yang menakutkan
kemiskinan yang mengekang
dan telah lama sia-sia cari kerja.
Ijasah sekolah tanpa guna.
Para kepala jawatan
akan membuka kesempatan
kalau kau membuka paha.
Sedang di luar pemerintahan
perusahan-perusahaan macet
lapangan kerja tak ada….
Revolusi para pemimpin
dalah revolusi dewa-dewa.
Mereka berjuang untuk surga
dan tidak untuk bumi.
Revolusi dewa-dewa
tak pernah menghasilkan
lebih banyak lapangan kerja
bagi rakyatnya.
Kalian adalah sebagian penganggur
yang mereka ciptakan.
Namun
sesalkan mana yang mesti kausesalkan
tapi jangan kau klewat putus asa
dan kau rela dibikin korban.
Pelacur-pelacur kota Jakarta.
berhentilah tersipu-sipu.
ketika kubaca di Koran
bagaimana badut-badut mengganyang kalian
menuduh kalian sumber bencana Negara
aku jadi murka
Kalian adalah temanku.
Ini tak bisa dibiarkan.
Astaga.
Mulut-mulut badut.
Mulut-mulut yang latah
Bahkan seks mereka perpolitikan.
Saudari-saudariku.
Membubarkan kalian
tidak semudah membubarkan partai politik.
Mereka harus beri kalian kerja.
Mereka harus pulihkan derajat kalian.
Mereka harus ikut memikul kesalahan.
Saudari-saudariku. Bersatulah.
Ambillah galah.
Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya.
Araklah keliling kota
sebagai panji-panji yang telah mereka nodai
Kini giliranmu menuntut.
Katakanlah pada mereka;
menganjurkan mengganyang pelacuran
tanpa menganjurkan
mengawini para bekas pelacur
adalah omong kosong.
Pelacur-pelacur kota Jakarta.
Saudari-saudariku.
Jangan melulu keder pada lelaki
Dengan mudah
kalian bisa telanjangi kaum palsu.
naikkan taripmu dua kali
dan mereka akan klabakan.
Mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berjinah
dengan istri saudaranya.
Kesaksian Tahun 1967
Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja
kaca dan tambang-tambang yang menderu.
Bumi bakal tidak lagi perawan,
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang merdeka.
Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan.
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan.
Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang
menganga.
Nasib kita melayang seperti awan.
Menantang dan menertawakan kita,
menjadi kabut dalam tidur malam,
menjadi surya dalam kerja siangnya.
Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini
dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal
Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja.
Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat
dan membuka lipatan surat suci
yang tulisannya ruwet tak bisa
dibaca
Tentang Rendra
Rendra lahir di Solo, 7 November 1935. Selain tekun
menulis puisi (beberapa buku puisi lahir sejak tahun 1957), ia juga giat dalam
pertunjukan drama dengan Bengkel Teaternya. Kumpulan cerpennya Ia Sudah
Bertualang.
Catatan Lain
Pada Minggu, 12 Juni 2011, saya beli buku ini di
Gramedia Duta Mall, Banjarmasin. Harganya waktu itu Rp. 28.500,- Saya juga
sempat melihat Blues untuk Bonnie dengan sampul Rendra mengangkat satu
tangan saat deklamasi puisi (setengah badan), dengan latar buku hitam, di rumah
Y.S. Agus Suseno. Buku tipis ini hanya memuat 13 puisi. Puisi yang juga
terkenal dari buku ini adalah Nyanyian Angsa dan Khotbah.
Sajak sajak sang burung merak .memang fulgar dan penuh kejujuran. Tapi Kata kata yang tersusun begitu indah dan mudah dipahami kapan .ya lahir seniman seniman sekelas WS Rendra !!
BalasHapusMas Rendra dialah yg terbaik pd masax, karena sajakx sangat vulgar.
BalasHapusMasa WS Rendra tinggal kita kenang dan kita berharap semua untuk melawan lupa dan semoga di jaman sekarang kembali Rendra Rendara yg baru lahir menyuarakan suara tangis masyarakat kecil lewat pinta penanya .
BalasHapus