Data buku kumpulan puisi
Judul : 21 Love Poems (e-book)
Penulis : Cecep Syamsul Hari
Cetakan :
I, 2006 (e-book: 2008)
Penerbit :
Orfeus E-book, Cimahi.
Tebal :
74 halaman (21 puisi-bilingual Indonesia-Inggris)
Penerjamah ke bahasa Inggris : Harry Aveling
dan Dewi Candraningrum
Beberapa pilihan puisi Cecep Syamsul Hari dalam 21 Love Poems
Sebab
Bagai Angin
Jangan pergi. Sebab bagai angin
aku selalu bersama arah. Tak ada yang bisa
sembunyi dari rindu batinku.
Jangan pergi. Sebab bagai angin
kelak aku sampai di negeri yang ditujumu.
Mungkin lebih dulu.
Biarkan kulabuhkan sampan lempungku
di tepian telaga
bening matamu itu.
1991-1992
Syair
Kesedihan
Kusadari malam itu, matamu kata-kata.
Pohon cemara sendiri dalam hujan,
mengubah kelopak-kelopak airmata jadi permainan
cahaya.
Aku melihat seorang anak perempuan pada matamu
yang ragu.
Mencoba helai demi helai sayap rapuh kupu-kupu;
bermimpi menyihir batang cemara
jadi sepotong coklat raksasa.
Hidup dan mati seorang penyair berkawan
kata-kata.
Kata adalah ruh dan keajaiban;
keriangan dan kesedihan.
Sebab matamu kata-kata
malam itu, aku menjadi seorang pencinta.
Kutanggalkan tubuh penyairku dan kuciumi wangi
kerudung rambutmu.
Dari dunia yang murung,
Zamzam berkata, "Penyair tidak sedih
karena ditinggalkan."
Tidak. Penyair adalah pemburu kesedihan.
Bagi penyair, kesedihan yang sempurna
sorga yang dijanjikan.
Hanya pencinta yang tidak pernah bersedih
karena ia tahu kelak akan ditinggalkan.
Seorang penyair dan seorang pencinta
mengembara dalam
tubuhku.
Maka biarkan
kuiris matamu dengan puluhan kecupan.
Lukai aku dengan kesedihan.
1996-2006
Sebelum
Makan Malam
Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz.
Tertegun-tegun menunggu kekuasaan tumbuh
dewasa:
Tanpa peluru, sepatu berlumpur darah itu,
dan belajar membaca manusia sebagai kumpulan
keinginan dan kesedihan.
Bukan fosil atau gambar separuh badan
sebagai sasaran tembakan.
Seperti engkau,
aku lahir dari sebuah sejarah
yang lecak dan selingkuh.
Tetapi kita mencintai negeri yang sama,
yang senyumnya bagai impian,
seperti pada masa remaja kita mencintai wanita
yang sama,
yang senyumnya bagai buaian.
Cinta dan kekuasaan bersandar pada waktu, Afuz,
seperti babad rambutmu yang menipis
dan hikayat luka dalam aliran darahku.
Segalanya menjadi selalu mungkin:
Barangkali karena ada rumah kanak-kanak dalam
batin kita
yang penuh senyum dan gelak tawa.
Bahkan ketika pecahan mortir dan kenangan
menderas dari jauh dan jatuh dua kaki dari
lubang
persembunyian, juga impian, kita yang rapuh.
Seperti Peter Pan, Tom Sawyer atau
Bimbilimbica,
kita menunggu hadiah ulang tahun bukan saja
dari pasangan
paman dan bibi yang
tambun dan riang.
Tetapi juga dari sahabat khayalan,
Tuhan, serdadu yang mulutnya penuh roti,
sepasang granium, tiga grasia,
dan peri-peri riuh di hutan-hutan jauh.
1994-2006
Episode
Terakhir dari Kenangan
Ketika waktu berhenti,
kota-kota menghapus jejak airmatamu
dengan keheningan kenangan.
Aku tak lagi mampu mengingat
kapan kisah cinta itu dimulai,
kapan selesai.
Barangkali pada sebuah senja
di bising kota asing dan kumuh,
pada beranda sebuah hotel di ujung jalan riuh.
Atau dalam kafe tanpa nama, tanpa daftar menu.
Kota-kota berangkat tua dalam batinku.
Namun senyummu abadi seperti sebaris sajak Po
Chu-i.
Senja yang kusimpan dalam ingatan
kini lapuk dan berlumut.
Tetap saja sukar kubedakan
keajaiban dongeng dan kepiluan masa silam.
Ketika waktu berhenti,
kukenang kembali airmatamu yang menari:
Di situ senja yang tak terlupakan diciptakan.
Dan cinta, disapa dengan ribuan nama.
1994-2006
Empat
Mil dari Kenangan
Sepasang angsa di sudut taman pom bensin:
Kusaksikan keajaiban dongeng dan biografi
bersatu di situ.
Seperti Wilde yang murung
di depan sajak Ginsberg dan Rendra.
Kota-kota tanpa patung "Happy Prince"
menyimpan dendam
dan keinginan diam-diam pada kematian.
Bagai puisi Malna dalam saku celana kekuasaan.
O, ke mana orang-orang pergi begitu bergegas
pada dini hari yang riuh ini?
Di luar jendela para penyair,
borgol dan selongsong peluru mengubah dirinya menjadi
bahasa.
Sayangku, di sebuah tempat dalam kenangan,
Sa`di kehilangan lentera,
Tardji kehilangan ngiau,
aku kehilangan engkau.
1994-2006
Gerimis
Di sudut sebuah perpustakaan
yang mengandung angin basah pada
bingkai-bingkai jendelanya,
aku menemukan kembali wajahmu yang gaib itu.
Mencair dari kebekuan kenangan
dan malam-malam penuh siraman cahaya bulan
purnama.
Aku ketuk pintu terkunci itu,
hujan hari terakhir bulan Desember menyisakan
butir-butir embun
berpendaran pada ujung rambutmu yang jauh.
Begitu sukar memahami dirimu
sebagai pertemuan
biasa atau kebetulan saja.
Aku kesepian dan tak mengerti.
Wajahmu memandangku di mana-mana,
menangis tanpa airmata.
Aku susuri jalan darahku sendiri.
Takjub menemukan kepingan-kepingan luka
membangun dunianya sendiri.
Di sudut sebuah pura desa
yang disapu gerimis sepanjang hari,
kukecup kedua kelopak matamu dengan seluruh
hatiku.
Dosa begitu manis dalam lidahku,
barangkali seperti
khuldi.
Dari pagi berkabut itu
aku memulai pengembaraanku yang abadi.
Mencari sepucuk pesan
dari kata-kata yang tak sempat kau ucapkan.
1994-2006
Molto
Allegro
Seperti Neruda lelah menjadi manusia, malam itu
aku pergi dan memanggil taksi.
Ke mana? Ke mana saja, jawabku.
Aku pun lewat di depan rumahmu.
Namun telah lama kau pergi dari rumah itu,
rumah itu, begitu saja, seperti dulu kau lari
dari mimpi-mimpiku.
Dari balik jendela, kota sungguh sepi.
Bagai gunting di atas genting.
Ajaib benar jika tiba-tiba bertemu Tuhan dan
Tchaikovsky
di sebuah persimpangan jalan.
Tetapi perempuan-perempuan aneh itu terlalu
berani
memamerkan tato mereka, di bahu yang terbuka.
Aku takut sepatuku berdebu,
jadi kuberi mereka lambaian tangan saja.
Berhenti di depan Fame Station
seraya mengucapkan terimakasih
pada sopir yang mengerti kesedihanku.
Asia-Afrika, kau tidur seperti bayi.
Bangun dan peluklah Don Quixote malang ini,
pengembara penuh duka, jatuh cinta
berulang kali pada perempuan yang sama.
Perempuan yang sama.
Orang dewasa yang selalu takjub pada kemurungan
tak terduga.
Setiap satu langkah, kulihat makam ibuku,
lembab oleh tangisan masa kecilku.
Seperti Neruda lelah menjadi lelaki,
aku berpikir mengakhiri dengan paksa
hidupku di sini.
Namun kutemukan Mozart di kamar
sebuah hotel dekat Simpang Lima.
Molto Allegro. Molto Allegro.
Adakah juga kekasihku menunggu di situ?
Perjalananku berakhir di atas single-bed yang
nyaman.
Aku tertidur seperti buaian dan dalam mimpiku
perempuan bersayap menyelasar tubuhku dengan
ciuman-ciuman.
"Sungguhkah kau lelah menjadi
lelaki?"
bisiknya, ringan bagai udara kamar.
Pagi, kutemukan jawaban kesedihanku malam itu:
Risau atau murung atau kehilangan
sepasang alismu yang tebal.
1997-2006
Tentang Cecep Syamsul Hari
Cecep
Syamsul Hari (CSH) lahir di Bandung, Jawa
Barat, pada 1 Mei, 1967. Buku-buku puisinya yang telah dipulikasikan: Kenang-kenangan/Remembrance
(1996), Efrosina/Euphrosyne (2002, 2005), 21 Love Poems:
Bilingual Edition (2006), Two Seasons: Korea in Poems Bilingual Edition (2007).
Ia juga menulis novel Soska (),
cerita pendek, dan esai. Karya-karya dipublikasikan pula pada sejumlah jurnal
dan antologi, antara lain: Heat Literary International (Sydney,
Australia, 1999), Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric
with Readings (United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets
Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University
Press, 2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn,
Germany, 2/2006). Ia menerjemahkan sejumlah buku, di antaranya: Para Pemabuk
dan Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja
(selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation
of Bukhari’s hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected
short stories of R.K. Narayan, 2002). Ia menyunting Kisah-kisah
Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison
Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq
Ismail, et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A
Perspective of Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes,
2004). Saat ini, ia adalah redaktur majalah sastra Horison yang berdiri di
Jakarta, Indonesia, sejak 1966.
Catatan
Lain
Membaca kumpulan ini, saya merasa yang ini
lebih kuat ketimbang buku puisi Perahu
Berlayar Sampai Bintang. E-book ini saya temukan di website penyairnya.
Silakan download langsung di sumber aslinya (telusur link di atas), jangan lupa kasih donasi.
Don't buy in to the hype. Article Source: L. Since then, things have been going steadily downhill where reverse osmosis water filters are concerned.
BalasHapusmy blog; reverse osmosis water filter arizona
Terima kasih sudah berbagi informasi menarik dan bermanfaatnya
BalasHapusTetap semangat untuk share info yang lainnya!!!!