Data buku kumpulan puisi
Judul : Di Bawah Langit Beku, Sajak-sajak
1984-1996 (manuskrip)
Penulis : Y.S. Agus Suseno
Cetakan :
I, 1997
Penerbit :
Taman Budaya Prov. Kalsel, Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalimantan Selatan.
Tebal :
39 halaman (32 judul puisi)
Beberapa pilihan puisi Y.S. Agus Suseno dalam Di Bawah Langit Beku
Renungan-renungan Metafisik
Aku menunda bunuh diri manakala kesempatan itu
tiba
Sebab apakah namanya kebebasan yang tidak
membebaskan?
Kecuali desir maut berlalu selebihnya hanya
bisu
Diri menggigil memandang remang di
persimpangan
Di mana kemutlakan masygul di hadapan
kesangsian
Ruh memperoleh nilainya dalam keriuhan manusia
Marilah bersama kita mengembalikan keriuhan
ini
Kepada cahaya kemurnian atau kecemerlangan
matahari
Lalu catatlah olehmu segala yang berlangsung
di dunia
Kemudian lekas kembali ke arah perjalanan
semula
Kenapa mesti merusak keseimbangan hari dengan
kata-kata
Sedang di luar terik mereda keteduhan menjelma
Mungkin akan lebih baik bila kita berhenti
bicara
Membiarkan dunia berlangsung sebagaimana
adanya
Sambil menunggu pembunuhan dalam diri kita
sempurna
Sebab manusia memuat maut dalam tubuhnya
1989
Sebuah Ruang Bernama
Keheningan
Pada pepohonan merunduk
terhimpun kisah tentang angin
hujan panas dan unggas
patah sayap di sisi hari
Awan mendadak
tersibak matahari
Kalau ada yang berharga dari kehidupan
Maka itu adalah dedaunan
Menjulur setia pada cahaya
Menyerahkan diri tanpa kata-kata
Sebab musim tak bisa berbuat lain
Selagi udara menggenang cuaca mengambang
Mengembalikan pepohonan kepada tidur
Pada mata kampak dan maut segenap penjuru
Maka seluruh pepohonan bergetar
Melabuhkan butir demi butir airmata
Kisah-kisah yang menebalkan duka
Sebelum jarak menyimpan rahasia kematian
Di sebuah ruang bernama keheningan
1990
Di Bawah Langit Beku
Di hutan akan selalu ada
Burung-burung terlambat, pulang dalam senja.
Hidup yang berat, adakah hidup manusia.
Di bawah langit beku
Sungai mengalir, dari hulu ke hilir.
Seakan desir angin, ricik air
Begitu-begitu saja, selamanya.
Malam, mengguris
alam.
Bulan tergantung.
Pepohonan mematung.
Menunggu hari.
Abadi.
Sampai semuanya habis
Hutan tak sempat menangis
Burung-burung tak terbang lagi
Hidup kepalang mati
Bulan hancur mencair
Sungai berhenti mengalir
Desir angin dan pusaran cahaya
Membeku alam benda
Tuhan
Siapa manusia?
1991
Menulis sajak
Membuka cakrawala
Membaca sejarah
Menulis sajak
Membuka cakrawala
Membaca sejarah
Mataku penat sepanjang jalan
- sesuatu tenggelam dalam kelam -
Pada latar kelabu
kabut turun
Kurenungi kabut dengan kebimbangan yang aneh
Langit redup semata
Begitu pun dunia
Dan pada catatan yang dengan terbata kubaca:
“Kenyataan bukan impian
Hidup hanya bosan”
- di tembok-tembok dunia yang mengisyaratkan
kepedihan
kulihat sajak-sajak ditulis
cakrawala terbentang
dan sejarah berulang -
1986
Dari Mata Sunyi Seorang
Lelaki
Dari mata sunyi seorang lelaki
Terbaca sebuah dunia yang karam dalam
kepedihan
Tepekur di keteduhan pesisir hutan bakau
Di mana burung-burung sudah tak lagi berkicau
Seberapa beratkah beban hatimu, lelaki sunyi?
Deru kehidupankah yang memadamkan cahaya
matamu
Atau gelombang impiankah menghempaskanmu?
Di sampan kecil lelaki sunyi hidup sendiri
Dengan mata hampa memandang ombak di malam
hari
Menyusur arus melawan arus dan diam di arus
O, lelaki tua bermata sunyi
Dukamu yang tertambat di sungai adalah duka
dunia
Membuka mata siapa saja atas kesementaraan
segala
1986
Sungai Martapura
Sungai apakah yang membilas tubuhmu sepanjang
usia?
Sungai hibuk di tengah kota kita sungai tua
Martapura
Klotok dan speed-boat menabuh
serbuk udara dengan suara abad
Mendesak jukung
dan lanting-lanting tertambat
Masihkah tertambat cintamu pada gelombangnya
yang menepikah cita-cita masa lalu kita?
Adakah masih kuning kulit perawan pesisir
menawarkan angan dan menggelorakan nafsumu?
Sungai Martapura sungai keruh membelah
Banjarmasin tercinta
Limbah pabrik dan coklat airnya masihkan
menyisakan harapan?
Masihkah kau mengenang perahu-perahu kecil
yang telah bertolak ke bandar-bandar pengasingan
dan diburu gemuruh ombak ke teluk-teluk
keabadian?
1985
Di Redup Cahaya Bulan Mati
Di seberang bayang keabadian
Musim menipis
Udara mengering
Ombak menderu
Menyingkirkan perahu-perahu
Di keluasan laut yang kita jelang
Tersimpan rahasia buih dan karang
Misteri kehidupan mengambang
Ombak memukul
Kilau terpantul
Semua sederhana saja sebenarnya
Perahu-perahu berlayar
Laut berdebur
Angin dingin
Tapi senantiasa ada yang tak terpahami
Pada desah sunyi abadi
Di redup cahaya bulan mati
1990
Perarakan Burung
Di balik kaki langit jauh
Burung-burung bakal berlabuh
Tempat di mana kehidupan dan airmata
Tiada
Sebelum burung-burung pulang
Sebelum langit menghilang
Pepohonan tegak
Bumi basah
Angin menerbangkan
dedaunan
Seakan tak berubah senantiasa
Kebahagiaan dan bencana
Tapi burung-burung akan menangis
Awan akan menipis
musim menghembuskan
kesedihan
di sepanjang
pepohonan
Burung-burung pergi
pulang
sendiri-sendiri
Terhapus jejak tersisa
untuk selamanya
1991
Pepohonan
Kediaman
Di ketinggian antena itu
bulan pecah pohon-pohon berdarah
Manusia membusuk oleh
cuaca buruk yang meninggalkan jejak
di tanah. Seperti
dalam dongeng-dongeng cahaya berhamburan
Langit terbakar
menyeret kekeruhan dunia di matamu
Daun-daun angsana
lelah mendengar jerit karang dan batu
Dan sejarah berulang
dengan perbedaan pada jarak pandang
Pohon-pohon ditanam
lagi sepanjang tepian jalan raya
Menyejukkan anak-anak
dari terik matahari dunia
Tapi siapa menyanyikan
perih bumi dan kemurnian yang tiada
Ketika desa dan
kota-kota bersaing menawarkan harga?
Dan dari menara-menara
Dan dari rumah-rumah
peribadatan yang percuma
Suaramu berlumuran doa
atas kemanusiaan yang jauh
Atas cahaya kebenaran
yang menyusut dalam tubuh
Tapi waktu: menanam
pepohonan bisu di kedalaman mataku
Di kediaman hatikah
pesonamu yang paling jelita, Tuhanku?
1987
Kepada Tanah Air Tercinta
Yang hidup dari jalanan
Adalah kami pedagang asongan
Yang hidup dari ladang
Adalah kami petani upahan
Kami yang tak nyenyak tidur
Adalah kami yang rumahnya digusur
Yang nasibnya tak mujur
Adalah kami para penganggur
Yang punya mulut tapi tak bisa bicara
Adalah kami mahasiswa Indonesia
Yang punya hak tapi tak bisa menuntut apa-apa
Adalah kami rakyat jelata
Kami semua
Berbangsa satu
Bangsa Indonesia
Tapi di mana tempat kami
Kalau kami digusur dari jalanan
Dianggap merusak pemandangan
Dan disidangkan
Tapi di mana tanah kami
Kalau kami tak lagi menggarap ladang sendiri
Mengolah sawah yang bukan milik kami
Membajak bumi tak lagi dengan cinta
Sebab ladang bukan kami punya
Tapi di mana kami tidur
Kalau rumah kami digusur
Demi tegaknya gedung-gedung konglomerat
Real estate dan lapangan golf
Villa dan toserba
Tapi sebagai mahasiswa
Bagaimana kami bicara
Kalau senjata terkokang
Di mana-mana
Tapi bagaimana para penganggur makan
Bila tak punya pekerjaan
Di mana kami mencari keadilan
Bila keadilan diperdagangkan
Sebagai rakyat jelata
Di mana tempat kami sebenarnya
Kami cinta Indonesia
Butir-butir pasir pantai pesisir
Riak danau ombak sungai gelombang samudera
Gunung menjulang dan gumpalan mega
Embusan angin hangat cuaca tropika
Hikayat raja-raja
Senang susah kami bersamanya
Bahagia sengsara kami bersamanya
Kami semua berbangsa satu
Bangsa Indonesia
Tapi airmata kami mengucur
Sepanjang desa dan kota
Di mana tempat kami sebenarnya
O, tanah air tercinta!
Tentang Y.S. Agus Suseno
Y.S. Agus Suseno lahir di Banjarmasin,
23 Agustus 1964. Selain menulis puisi, cerpen, esai sastra dan reportase seni
budaya, juga bermain, menulis naskah dan menyutradarai teater. Selain di media
lokal, tulisan-tulisannya juga tersebar di Swadesi,
Suara Karya, Yogya Post, Minggu Pagi, Bali Post, Pelita, Merdeka, Berita Buana,
Sinar Harapan, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Majalah Hai, Senang, Nova, Nona,
Ceria Remaja. Puisinya dimuat dalam antologi al Perjalanan (Sanggar Minum Kopi Bali, 1990), Berita dari Hutan Bakau (Pustaka Sastra, Jakarta, 1994), Sahayun (Yayasan Taraju, Padang, 1994).
Kumpulan ini menjadi bahan skripsi Hefnian Noor pada tahun 2006 di STKIP PGRI
Banjarmasin dengan judul Majas
Perbandingan dalam Kumpulan Puisi Di Bawah Langit Beku oleh Y.S. Agus Suseno
(lihat Tajuddin Noor Ganie dalam Antologi
Biografi Sastrawan Kalsel, 2010, hlm. 150). Menerima hadiah seni bidang
sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan pada tahun 2000.
Catatan
Lain
Waktu saya sms mau
pinjam buku Di Bawah Langit Beku, langsung dibalasi kalau itu bukan
buku. Langsung saya balas dengan lugu: Itu kliping? Tanpa memikirkan
kemungkinan lain. Yo dijawab: Manuskrip. Baru nyadar. Oo manuskrip. Ya, tak
apalah. Manuskrip pun jadi. Kamis, 4 Oktober 2012 saya dolan. Penyair tadung-mura pun menggulagai
berkas-berkasnya. Lama tak ketemu. Saya berteriak dari ruang tamu, “kalau tak
ketemu, kada usah.” Dari dalam kamar,
penyair tadung-mura berkata semacam ini: begitulah kalau barang dicari, suka
tak ketemu. Jika tak dicari, sering-sering nongol sendiri. Tapi akhirnya
ketemu. Saya kemudian dihadapkan dengan manuskrip puisi yang diketik dengan
mesin ketik manual, pada kertas berukuran kuarto. Itu manuskrip dijilid dan
dilakban dengan lakban hitam, sepertinya dulu dilapis dengan plastik warna biru
transparan. Tapi sekarang plastik birunya robek. Di dalam, ada daftar isi dan
biografi penulis. Sambil membuka-buka, saya dengarkan penyair tadung-mura
bercerita. Beragam cerita. Salah satu yang saya ingat, Raudal juga membawa copy
manuskrip ini buat diterbitkan, tapi si penyair belum merasa sreg buat
diterbitkan – ia kemudian mengutip Goenawan Mohamad – yang sumpah, saya lupa
apa isinya. Dan manuskrip ini tetap tinggal sebagai manuskrip sampai sekarang.
Yang pertama ingin saya lakukan
dengan manuskrip ini adalah memamerkannya ke Hajri. Siapa tahu Hajri belum tahu
ada manuskrip ini, jadi saya bisa mengejeknya. Hajri, yang di buku puisi
“Jejak-jejak Angin” mengakui kalau Y.S. Agus Suseno adalah gurunya dalam
menulis, mestinya punya copy manuskrip ini, setidaknya tahu. Beruntung, ketika
saya sambangi di rumahnya, ia sedang tak di rumah. Rumahnya kosong. Mungkin
sedang menyiapkan acara bedah buku Hairus Salim di Minggu Raya malam Senin di
muka. Ya, sekarang Hajri telah menjadi semacam “pembedah” cerpen juga, setelah
mengebuau di kolom Jeda dan menulis kritik seni lukis. Tapi sebelum sampai ke
rumah Hajri, saya belikan dulu map plastik, biar manuskrip ini tak semakin
lecek. Beberapa kali singgah ke kantin fotocopy, tak ada yang jual, sekali ada,
warna kuning gelap, jadinya saya pikir, macam membungkus benda keramat saja.
Kegelisahan pun kerap datang, masalahnya ini manuskrip asli, kalau-kalau
terjadi apa-apa, kredibilitas saya sebagai “peminjam” buku bakal hancur.
Rasa-rasanya ingin cepat saja mengembalikannya kepada pemiliknya. Hehehe.
Oya, ada dua puisi berbahasa banjar
di dalam buku ini, yaitu Kayuh Baimbay
dan Sapuluh Dapa pada Masigit Noor.
Saya pernah mendengar puisi Sapuluh Dapa
dibacakan. Rasanya itulah puisi pertama dari penyair ini yang saya tahu, puisi
kedua yang saya kenal adalah Elegi buat
Agamemnon, lewat tulisan (esai) Jamal T. Suryanata. Dalam catatan ini, saya
ingin mengutip puisi Kayuh Baimbay
saja dan Elegi. Mari kita nikmati
lagi:
Kayuh
Baimbay
Ayu bangun anakku
buah hati caramin mata
Ari sudah landung
siang
Lakasi kita bakayuh
ka muhara
Batimpungas ikam
anakku nang baiman
Bawa pangayuh bukah
ka jukung
Si Nanang atawa si
Galuh nang tagancang di haluan
Nang kaur mata
manimba di buritan
Ayu hancapi ayun
pangayuh
Kaih ilung ka higa
sampung
Hantak pangayuh
baimbay
Tuju muhara sungai
Jukung balumut
magin balaju
Timbun dupa kurrr
sumangat lambung mangkurat
Lilit babatsal
pitua raga samudera
Babatis tunggal
bapitulakan malangkah watun
Turun baluncat
bajajak di babun
Phussss! Nang di
anjung nang di tambangan!
Jangan bakukutuan!
Muhara masih jauh
Di sana kita
malabuh sauh
Lalu badaku sambil
manyapu paluh
1988
Elegi
buat Agamemnon
Aku mendengar sunyi
datang, Agamemnon
Menaman kesangsian
dan tanya dalam dada
Selalu selalu
selalu tiba, Agamemnon
Menjelang sebuah
rumusan kebenaran sempurna
Terbaca perjalanan
hidupmu yang kemilau, Agamemnon
Memanggil angin
mengurbankan Iphigenia
Kebenaran mutlakkah
yang membuatmu terpukau, Agamemnon
Membuatmu lupa menoleh
keluasan cakrawala
Kudengar
suara-suara dari seberang, Agamemnon
Mengimbau perlahan
menderap dalam dada
Selalu selalu
selalu saja, Agamemnon
Membuatku tahu
bahwa aku tak tahu apa-apa
1986
Kalau ingin membaca
ulasan tentang sajak di atas, silakan kunjungin link ini .... http://bengkelpuisidimasarikamihardja.blogspot.com/2011/10/tafsir-semiotik-puisi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar