Rabu, 07 November 2012

Y. S. Agus Suseno: DI BAWAH LANGIT BEKU


Data buku kumpulan puisi

Judul : Di Bawah Langit Beku, Sajak-sajak 1984-1996 (manuskrip)
Penulis : Y.S. Agus Suseno
Cetakan : I, 1997
Penerbit  : Taman Budaya Prov. Kalsel, Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalimantan Selatan.
Tebal : 39 halaman (32 judul puisi)
 
Beberapa pilihan puisi Y.S. Agus Suseno dalam Di Bawah Langit Beku

Renungan-renungan Metafisik

Aku menunda bunuh diri manakala kesempatan itu tiba
Sebab apakah namanya kebebasan yang tidak membebaskan?
Kecuali desir maut berlalu selebihnya hanya bisu
Diri menggigil memandang remang di persimpangan
Di mana kemutlakan masygul di hadapan kesangsian
Ruh memperoleh nilainya dalam keriuhan manusia

Marilah bersama kita mengembalikan keriuhan ini
Kepada cahaya kemurnian atau kecemerlangan matahari
Lalu catatlah olehmu segala yang berlangsung di dunia
Kemudian lekas kembali ke arah perjalanan semula

Kenapa mesti merusak keseimbangan hari dengan kata-kata
Sedang di luar terik mereda keteduhan menjelma
Mungkin akan lebih baik bila kita berhenti bicara
Membiarkan dunia berlangsung sebagaimana adanya
Sambil menunggu pembunuhan dalam diri kita sempurna

Sebab manusia memuat maut dalam tubuhnya

1989


Sebuah Ruang Bernama Keheningan

Pada pepohonan merunduk
terhimpun kisah tentang angin
hujan panas dan unggas
patah sayap di sisi hari
Awan mendadak
tersibak matahari

Kalau ada yang berharga dari kehidupan
Maka itu adalah dedaunan
Menjulur setia pada cahaya
Menyerahkan diri tanpa kata-kata
Sebab musim tak bisa berbuat lain
Selagi udara menggenang cuaca mengambang
Mengembalikan pepohonan kepada tidur
Pada mata kampak dan maut segenap penjuru


Maka seluruh pepohonan bergetar
Melabuhkan butir demi butir airmata
Kisah-kisah yang menebalkan duka
Sebelum jarak menyimpan rahasia kematian
Di sebuah ruang bernama keheningan

1990


Di Bawah Langit Beku

Di hutan akan selalu ada
Burung-burung terlambat, pulang dalam senja.
Hidup yang berat, adakah hidup manusia.

Di bawah langit beku
Sungai mengalir, dari hulu ke hilir.
Seakan desir angin, ricik air
Begitu-begitu saja, selamanya.

Malam, mengguris alam.
Bulan tergantung. Pepohonan mematung.
Menunggu hari. Abadi.

Sampai semuanya habis
Hutan tak sempat menangis
Burung-burung tak terbang lagi
Hidup kepalang mati
Bulan hancur mencair
Sungai berhenti mengalir
Desir angin dan pusaran cahaya
Membeku alam benda

Tuhan
Siapa manusia?

1991


Menulis sajak
Membuka cakrawala
Membaca sejarah

Menulis sajak
Membuka cakrawala
Membaca sejarah

Mataku penat sepanjang jalan
- sesuatu tenggelam dalam kelam -
Pada latar kelabu
kabut turun

Kurenungi kabut dengan kebimbangan yang aneh
Langit redup semata
Begitu pun dunia
Dan pada catatan yang dengan terbata kubaca:
“Kenyataan bukan impian
Hidup hanya bosan”

- di tembok-tembok dunia yang mengisyaratkan kepedihan
kulihat sajak-sajak ditulis
cakrawala terbentang
dan sejarah berulang -

1986


Dari Mata Sunyi Seorang Lelaki

Dari mata sunyi seorang lelaki
Terbaca sebuah dunia yang karam dalam kepedihan
Tepekur di keteduhan pesisir hutan bakau
Di mana burung-burung sudah tak lagi berkicau

Seberapa beratkah beban hatimu, lelaki sunyi?
Deru kehidupankah yang memadamkan cahaya matamu
Atau gelombang impiankah menghempaskanmu?

Di sampan kecil lelaki sunyi hidup sendiri
Dengan mata hampa memandang ombak di malam hari
Menyusur arus melawan arus dan diam di arus
O, lelaki tua bermata sunyi
Dukamu yang tertambat di sungai adalah duka dunia
Membuka mata siapa saja atas kesementaraan segala

1986


Sungai Martapura

Sungai apakah yang membilas tubuhmu sepanjang usia?
Sungai hibuk di tengah kota kita sungai tua Martapura
Klotok dan speed-boat menabuh serbuk udara dengan suara abad
Mendesak jukung dan lanting-lanting tertambat
Masihkah tertambat cintamu pada gelombangnya
yang menepikah cita-cita masa lalu kita?
Adakah masih kuning kulit perawan pesisir
menawarkan angan dan menggelorakan nafsumu?

Sungai Martapura sungai keruh membelah Banjarmasin tercinta
Limbah pabrik dan coklat airnya masihkan menyisakan harapan?
Masihkah kau mengenang perahu-perahu kecil
yang telah bertolak ke bandar-bandar pengasingan
dan diburu gemuruh ombak ke teluk-teluk keabadian?

1985


Di Redup Cahaya Bulan Mati

Di seberang bayang keabadian
Musim menipis
Udara mengering
Ombak menderu
Menyingkirkan perahu-perahu

Di keluasan laut yang kita jelang
Tersimpan rahasia buih dan karang
Misteri kehidupan mengambang
Ombak memukul
Kilau terpantul

Semua sederhana saja sebenarnya
Perahu-perahu berlayar
Laut berdebur
Angin dingin
Tapi senantiasa ada yang tak terpahami
Pada desah sunyi abadi
Di redup cahaya bulan mati

1990


Perarakan Burung

Di balik kaki langit jauh
Burung-burung bakal berlabuh
Tempat di mana kehidupan dan airmata
Tiada

Sebelum burung-burung pulang
Sebelum langit menghilang
Pepohonan tegak
Bumi basah
Angin menerbangkan dedaunan
Seakan tak berubah senantiasa
Kebahagiaan dan bencana

Tapi burung-burung akan menangis
Awan akan menipis
musim menghembuskan kesedihan
di sepanjang pepohonan

Burung-burung pergi
pulang sendiri-sendiri
Terhapus jejak tersisa
untuk selamanya

1991


Pepohonan Kediaman

Di ketinggian antena itu bulan pecah pohon-pohon berdarah
Manusia membusuk oleh cuaca buruk yang meninggalkan jejak
di tanah. Seperti dalam dongeng-dongeng cahaya berhamburan
Langit terbakar menyeret kekeruhan dunia di matamu
Daun-daun angsana lelah mendengar jerit karang dan batu

Dan sejarah berulang dengan perbedaan pada jarak pandang
Pohon-pohon ditanam lagi sepanjang tepian jalan raya
Menyejukkan anak-anak dari terik matahari dunia
Tapi siapa menyanyikan perih bumi dan kemurnian yang tiada
Ketika desa dan kota-kota bersaing menawarkan harga?

Dan dari menara-menara
Dan dari rumah-rumah peribadatan yang percuma
Suaramu berlumuran doa atas kemanusiaan yang jauh
Atas cahaya kebenaran yang menyusut dalam tubuh
Tapi waktu: menanam pepohonan bisu di kedalaman mataku

Di kediaman hatikah pesonamu yang paling jelita, Tuhanku?

1987


Kepada Tanah Air Tercinta

Yang hidup dari jalanan
Adalah kami pedagang asongan
Yang hidup dari ladang
Adalah kami petani upahan
Kami yang tak nyenyak tidur
Adalah kami yang rumahnya digusur
Yang nasibnya tak mujur
Adalah kami para penganggur
Yang punya mulut tapi tak bisa bicara
Adalah kami mahasiswa Indonesia
Yang punya hak tapi tak bisa menuntut apa-apa
Adalah kami rakyat jelata
Kami semua
Berbangsa satu
Bangsa Indonesia

Tapi di mana tempat kami
Kalau kami digusur dari jalanan
Dianggap merusak pemandangan
Dan disidangkan

Tapi di mana tanah kami
Kalau kami tak lagi menggarap ladang sendiri
Mengolah sawah yang bukan milik kami
Membajak bumi tak lagi dengan cinta
Sebab ladang bukan kami punya

Tapi di mana kami tidur
Kalau rumah kami digusur
Demi tegaknya gedung-gedung konglomerat
Real estate dan lapangan golf
Villa dan toserba

Tapi sebagai mahasiswa
Bagaimana kami bicara
Kalau senjata terkokang
Di mana-mana

Tapi bagaimana para penganggur makan
Bila tak punya pekerjaan
Di mana kami mencari keadilan
Bila keadilan diperdagangkan

Sebagai rakyat jelata
Di mana tempat kami sebenarnya

Kami cinta Indonesia
Butir-butir pasir pantai pesisir
Riak danau ombak sungai gelombang samudera
Gunung menjulang dan gumpalan mega
Embusan angin hangat cuaca tropika
Hikayat raja-raja
Senang susah kami bersamanya
Bahagia sengsara kami bersamanya
Kami semua berbangsa satu
Bangsa Indonesia
Tapi airmata kami mengucur
Sepanjang desa dan kota
Di mana tempat kami sebenarnya
O, tanah air tercinta!




Tentang Y.S. Agus Suseno
Y.S. Agus Suseno lahir di Banjarmasin, 23 Agustus 1964. Selain menulis puisi, cerpen, esai sastra dan reportase seni budaya, juga bermain, menulis naskah dan menyutradarai teater. Selain di media lokal, tulisan-tulisannya juga tersebar di Swadesi, Suara Karya, Yogya Post, Minggu Pagi, Bali Post, Pelita, Merdeka, Berita Buana, Sinar Harapan, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Majalah Hai, Senang, Nova, Nona, Ceria Remaja. Puisinya dimuat dalam antologi al Perjalanan (Sanggar Minum Kopi Bali, 1990), Berita dari Hutan Bakau (Pustaka Sastra, Jakarta, 1994), Sahayun (Yayasan Taraju, Padang, 1994). Kumpulan ini menjadi bahan skripsi Hefnian Noor pada tahun 2006 di STKIP PGRI Banjarmasin dengan judul Majas Perbandingan dalam Kumpulan Puisi Di Bawah Langit Beku oleh Y.S. Agus Suseno (lihat Tajuddin Noor Ganie dalam Antologi Biografi Sastrawan Kalsel, 2010, hlm. 150). Menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan pada tahun 2000.


Catatan Lain
Waktu saya sms mau pinjam buku Di Bawah Langit Beku, langsung dibalasi kalau itu bukan buku. Langsung saya balas dengan lugu: Itu kliping? Tanpa memikirkan kemungkinan lain. Yo dijawab: Manuskrip. Baru nyadar. Oo manuskrip. Ya, tak apalah. Manuskrip pun jadi. Kamis, 4 Oktober 2012 saya dolan. Penyair tadung-mura pun menggulagai berkas-berkasnya. Lama tak ketemu. Saya berteriak dari ruang tamu, “kalau tak ketemu, kada usah.” Dari dalam kamar, penyair tadung-mura berkata semacam ini: begitulah kalau barang dicari, suka tak ketemu. Jika tak dicari, sering-sering nongol sendiri. Tapi akhirnya ketemu. Saya kemudian dihadapkan dengan manuskrip puisi yang diketik dengan mesin ketik manual, pada kertas berukuran kuarto. Itu manuskrip dijilid dan dilakban dengan lakban hitam, sepertinya dulu dilapis dengan plastik warna biru transparan. Tapi sekarang plastik birunya robek. Di dalam, ada daftar isi dan biografi penulis. Sambil membuka-buka, saya dengarkan penyair tadung-mura bercerita. Beragam cerita. Salah satu yang saya ingat, Raudal juga membawa copy manuskrip ini buat diterbitkan, tapi si penyair belum merasa sreg buat diterbitkan – ia kemudian mengutip Goenawan Mohamad – yang sumpah, saya lupa apa isinya. Dan manuskrip ini tetap tinggal sebagai manuskrip sampai sekarang.
            Yang pertama ingin saya lakukan dengan manuskrip ini adalah memamerkannya ke Hajri. Siapa tahu Hajri belum tahu ada manuskrip ini, jadi saya bisa mengejeknya. Hajri, yang di buku puisi “Jejak-jejak Angin” mengakui kalau Y.S. Agus Suseno adalah gurunya dalam menulis, mestinya punya copy manuskrip ini, setidaknya tahu. Beruntung, ketika saya sambangi di rumahnya, ia sedang tak di rumah. Rumahnya kosong. Mungkin sedang menyiapkan acara bedah buku Hairus Salim di Minggu Raya malam Senin di muka. Ya, sekarang Hajri telah menjadi semacam “pembedah” cerpen juga, setelah mengebuau di kolom Jeda dan menulis kritik seni lukis. Tapi sebelum sampai ke rumah Hajri, saya belikan dulu map plastik, biar manuskrip ini tak semakin lecek. Beberapa kali singgah ke kantin fotocopy, tak ada yang jual, sekali ada, warna kuning gelap, jadinya saya pikir, macam membungkus benda keramat saja. Kegelisahan pun kerap datang, masalahnya ini manuskrip asli, kalau-kalau terjadi apa-apa, kredibilitas saya sebagai “peminjam” buku bakal hancur. Rasa-rasanya ingin cepat saja mengembalikannya kepada pemiliknya. Hehehe.
            Oya, ada dua puisi berbahasa banjar di dalam buku ini, yaitu Kayuh Baimbay dan Sapuluh Dapa pada Masigit Noor. Saya pernah mendengar puisi Sapuluh Dapa dibacakan. Rasanya itulah puisi pertama dari penyair ini yang saya tahu, puisi kedua yang saya kenal adalah Elegi buat Agamemnon, lewat tulisan (esai) Jamal T. Suryanata. Dalam catatan ini, saya ingin mengutip puisi Kayuh Baimbay saja dan Elegi. Mari kita nikmati lagi:

Kayuh Baimbay

Ayu bangun anakku buah hati caramin mata
Ari sudah landung siang
Lakasi kita bakayuh ka muhara

Batimpungas ikam anakku nang baiman
Bawa pangayuh bukah ka jukung
Si Nanang atawa si Galuh nang tagancang di haluan
Nang kaur mata manimba di buritan

Ayu hancapi ayun pangayuh
Kaih ilung ka higa sampung
Hantak pangayuh baimbay
Tuju muhara sungai
Jukung balumut magin balaju

Timbun dupa kurrr sumangat lambung mangkurat
Lilit babatsal pitua raga samudera
Babatis tunggal bapitulakan malangkah watun
Turun baluncat bajajak di babun
Phussss! Nang di anjung nang di tambangan!
Jangan bakukutuan!

Muhara masih jauh
Di sana kita malabuh sauh
Lalu badaku sambil manyapu paluh

1988


Elegi buat Agamemnon

Aku mendengar sunyi datang, Agamemnon
Menaman kesangsian dan tanya dalam dada
Selalu selalu selalu tiba, Agamemnon
Menjelang sebuah rumusan kebenaran sempurna

Terbaca perjalanan hidupmu yang kemilau, Agamemnon
Memanggil angin mengurbankan Iphigenia
Kebenaran mutlakkah yang membuatmu terpukau, Agamemnon
Membuatmu lupa menoleh keluasan cakrawala

Kudengar suara-suara dari seberang, Agamemnon
Mengimbau perlahan menderap dalam dada
Selalu selalu selalu saja, Agamemnon
Membuatku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa

1986

Kalau ingin membaca ulasan tentang sajak di atas, silakan kunjungin link ini .... http://bengkelpuisidimasarikamihardja.blogspot.com/2011/10/tafsir-semiotik-puisi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar